Share

6. Petik rambutan

Obrolan terus berlanjut sampai beberapa menit, sampai Pandu kembali. 

"Ayo Kembang, main denganku sebentar saja," katanya lagi. Kembang kembali gelisah. 

Namun, kesempatan kali ini tidak berpihak padanya. 

"Mainlah Kembang, akrabkan dirimu dengan teman barumu, sepertinya mulai detik ini, kita akan tinggal di distrik ini juga." Srini berbisik di dekat telinga gadis itu. Kembang menoleh, ia dan Srini saling pandang sampai Srini tersenyum dan mengangguk meyakinkan.

Akhirnya, Kembang harus menerima ajakan Pandu walau dengan sangat terpaksa. 

"Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Kembang. Setelah cukup lama terus membisu sejak pertama kali bertemu, akhirnya dia berani angkat bicara pada Pandu. 

Malam-malam. Mereka berdua tengah berjalan di jalan tanah berbatu di desa itu, melewati beberapa rumah orang lain dengan lampu putih dan ada juga lampu cahaya orange

Alih-alih menjawab pertanyaan Kembang, Pandu malah tersenyum padanya.

"Kembang, kau sangat cantik ... aku suka padamu."

Seketika Kembang berhenti berjalan. Dia kaget mendengar ungkapan Pandu. Pandu yang sudah berjalan beberapa langkah darinya berhenti, menoleh melihat Kembang yang tertinggal.

"Ada apa? Ayo ...," katanya. 

"Apa kau sadar ucapanmu itu?" tanya Kembang.

"Apa? Yang mana? Tentang kau cantik? Apa aku salah ...? Bukankah, kau memang cantik?"

"Ah! Sudahlah! Sebenarnya kau mau mengajakku ke mana?! Jangan jauh-jauh, aku masih lelah ...." Kembang kesal, dia tidak nyaman mendengar ungkapan Pandu. Tetapi, ketika kalimat terakhirnya ... Kembang sempat di buat malu. 

"Ikuti saja aku ...," kata Pandu. 

Mereka terus berjalan, Kembang termenung sembari melihat langkah kakinya. Ia menatap ke depan dan memanggil Pandu. Ingin memastikan sesuatu. 

"Hei!" Pandu tidak menoleh. 

"Hei, apa kau dengar aku?" 

Kali ini Pandu menoleh ke belakang, ke arah Kembang tetapi tidak menjawab.

"Kau kenapa sih?! Aku memanggilmu loh!"

"Memanggil siapa? Kalau kau memanggilku, coba sebut namaku mulai sekarang. Aku sudah menyebut namamu, tapi kamu tidak."

Kembang memejamkan mata, menarik napas. Apa yang dikatakan Pandu memang benar, sejak tadi dia tidak menyebut namanya. 

"Hei Pandu." Kali ini dia menyebutnya.

"Apa?" Pandu berbalik, dan menjawab.

"Soal yang kau katakan tadi ...."

"Soal Apa?"

"Soal aku ... apa di matamu aku cantik?" 

Pandu berhenti, ia terdiam lalu tersenyum.

"Apa kamu tak sadar diri? Dirimu cantik, Kembang. Seperti Ibumu."

"Apa?" 

"Kau cantik seperti Ibumu ... ayahmu pasti sangat beruntung memiliki kalian."

"Tapi ... dia bukan Ibu kandungku, dia Ibu angkatku."

Pandu langsung berhenti lagi. Dia menoleh pada Kembang dengan tatapan sulit diartikan.

"Apa? Dia bukan Ibu aslimu?"

Kembang diam. Berulang kali begitu, berhenti berjalan berhenti kesekian kalinya. Gadis itu mematung, karena telah mengatakan hal yang seharusnya tidak dikatakan. 

"Um ... walau dia Ibu Angkatku, tapi aku sangat bahagia bersamanya, aku senang, bahkan aku sangat bersyukur. Dia Ibu yang baik, dan tentunya aku pun akan menjadi anak yang baik untuknya ... aku harap, aku selalu bisa bersamanya," jelas Kembang. Pandu tersenyum, lalu mengacungkan dua jempol.

Mereka lanjut berjalan. Kali ini tidak lama, mereka telah sampai. Tepatnya, di bawah pohon rambutan di samping rumah reot satu lampu bewarna orange di bagian atas depan rumah, yang nampaknya tak berpenghuni. 

"Mau apa kita di sini?" tanya Kembang.

"Petik rambutan. Ayo!" Pandu mengambil galah yang tergeletak, terbenam oleh rumput-rumput yang tingginya sebetis mereka. 

Dia mulai mengambil rambutan, sedangkan Kembang melongo berdiri melihatnya. 

"Kembang, bantu aku! Jangan diam saja!" 

"Kau mengajakku mencuri?"

"Rumah ini kosong sudah lama, pohon rambutan ini juga dibiarkan begitu saja. Ayo daripada terbuang jatuh dan busuk, lebih baik kita petik dan makan."

Kembang memperhatikan ujung galah bagian bawah yang Pandu ganjalkan pada perut bulatnya. 

"Pf ... Pft ... Hahahahaha." Kembang menertawakannya. 

Saat sedang asik tertawa, Pandu tiba-tiba berteriak. 

"Kembaaaang! Awaaas ...!"

Belum juga Kembang menyadari apa maksud kata awas dari Pandu, dan lagi ia masih tertawa menertawakan anak laki-laki gembul itu. 

Tiba-tiba saja .... Bruk!

"KEMBAAAAANG!" Pandu berteriak. 

Satu tangkai yang penuh rambutan jatuh tepat di kepala Kembang. Gadis kecil itu berjongkok, memegangi pucuk kepalanya dan mengaduh. 

"Aaaadddduuuuhh ...."

Serta rambutan yang harusnya bergerombol, sebagian berserakan, beberapa daun kering dan daun hijau rambutan menempel di bagian pundak dan punggung baju kebaya yang Kembang pakai. 

"Kau tak apa?" tanya Pandu, khawatir. 

"Kau bagaimana sih! Kenapa kau jatuhkan di kepalaku?! Aduuh!"

"A-aku tidak sengaja, tadi rambutan itu kupetik di dahan yang kebetulan ada jauh di atas kepalamu."

***

"Bagaimana cara kita membawanya?" tanya Kembang. Melihat rambutan yang berserakan di tanah dan rumput. 

Pandu mencopot bajunya. Perut bulatnya terlihat jelas. Pandu bertelanj4ng dada. Dia meletakan di atas rumput, melebarkannya lalu memindahkan satu satu rambutan ke atas bajunya.

"Kenapa kau pakai bajumu untuk wadah rambutan?"

"Kalau aku suruh pakai bajumu itu, apa kau mau?" 

Kembang mendelik, dia merangkul tubuhnya sendiri. "Jangan bercanda!"

"Hahahahaha ...." Pandu tertawa, "kau tambah cantik saat marah."

"Hei berhentilah!" 

"Untuk apa berhenti, rambutannya masih banyak dan belum kupindahkan semua."

"Bukan itu maksudku!"

Pandu tertawa lagi, dia terhibur bisa bercanda jahil dengan Kembang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status