Share

6. Petik rambutan

last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-08 21:31:16

Obrolan terus berlanjut sampai beberapa menit, sampai Pandu kembali. 

"Ayo Kembang, main denganku sebentar saja," katanya lagi. Kembang kembali gelisah. 

Namun, kesempatan kali ini tidak berpihak padanya. 

"Mainlah Kembang, akrabkan dirimu dengan teman barumu, sepertinya mulai detik ini, kita akan tinggal di distrik ini juga." Srini berbisik di dekat telinga gadis itu. Kembang menoleh, ia dan Srini saling pandang sampai Srini tersenyum dan mengangguk meyakinkan.

Akhirnya, Kembang harus menerima ajakan Pandu walau dengan sangat terpaksa. 

"Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Kembang. Setelah cukup lama terus membisu sejak pertama kali bertemu, akhirnya dia berani angkat bicara pada Pandu. 

Malam-malam. Mereka berdua tengah berjalan di jalan tanah berbatu di desa itu, melewati beberapa rumah orang lain dengan lampu putih dan ada juga lampu cahaya orange

Alih-alih menjawab pertanyaan Kembang, Pandu malah tersenyum padanya.

"Kembang, kau sangat cantik ... aku suka padamu."

Seketika Kembang berhenti berjalan. Dia kaget mendengar ungkapan Pandu. Pandu yang sudah berjalan beberapa langkah darinya berhenti, menoleh melihat Kembang yang tertinggal.

"Ada apa? Ayo ...," katanya. 

"Apa kau sadar ucapanmu itu?" tanya Kembang.

"Apa? Yang mana? Tentang kau cantik? Apa aku salah ...? Bukankah, kau memang cantik?"

"Ah! Sudahlah! Sebenarnya kau mau mengajakku ke mana?! Jangan jauh-jauh, aku masih lelah ...." Kembang kesal, dia tidak nyaman mendengar ungkapan Pandu. Tetapi, ketika kalimat terakhirnya ... Kembang sempat di buat malu. 

"Ikuti saja aku ...," kata Pandu. 

Mereka terus berjalan, Kembang termenung sembari melihat langkah kakinya. Ia menatap ke depan dan memanggil Pandu. Ingin memastikan sesuatu. 

"Hei!" Pandu tidak menoleh. 

"Hei, apa kau dengar aku?" 

Kali ini Pandu menoleh ke belakang, ke arah Kembang tetapi tidak menjawab.

"Kau kenapa sih?! Aku memanggilmu loh!"

"Memanggil siapa? Kalau kau memanggilku, coba sebut namaku mulai sekarang. Aku sudah menyebut namamu, tapi kamu tidak."

Kembang memejamkan mata, menarik napas. Apa yang dikatakan Pandu memang benar, sejak tadi dia tidak menyebut namanya. 

"Hei Pandu." Kali ini dia menyebutnya.

"Apa?" Pandu berbalik, dan menjawab.

"Soal yang kau katakan tadi ...."

"Soal Apa?"

"Soal aku ... apa di matamu aku cantik?" 

Pandu berhenti, ia terdiam lalu tersenyum.

"Apa kamu tak sadar diri? Dirimu cantik, Kembang. Seperti Ibumu."

"Apa?" 

"Kau cantik seperti Ibumu ... ayahmu pasti sangat beruntung memiliki kalian."

"Tapi ... dia bukan Ibu kandungku, dia Ibu angkatku."

Pandu langsung berhenti lagi. Dia menoleh pada Kembang dengan tatapan sulit diartikan.

"Apa? Dia bukan Ibu aslimu?"

Kembang diam. Berulang kali begitu, berhenti berjalan berhenti kesekian kalinya. Gadis itu mematung, karena telah mengatakan hal yang seharusnya tidak dikatakan. 

"Um ... walau dia Ibu Angkatku, tapi aku sangat bahagia bersamanya, aku senang, bahkan aku sangat bersyukur. Dia Ibu yang baik, dan tentunya aku pun akan menjadi anak yang baik untuknya ... aku harap, aku selalu bisa bersamanya," jelas Kembang. Pandu tersenyum, lalu mengacungkan dua jempol.

Mereka lanjut berjalan. Kali ini tidak lama, mereka telah sampai. Tepatnya, di bawah pohon rambutan di samping rumah reot satu lampu bewarna orange di bagian atas depan rumah, yang nampaknya tak berpenghuni. 

"Mau apa kita di sini?" tanya Kembang.

"Petik rambutan. Ayo!" Pandu mengambil galah yang tergeletak, terbenam oleh rumput-rumput yang tingginya sebetis mereka. 

Dia mulai mengambil rambutan, sedangkan Kembang melongo berdiri melihatnya. 

"Kembang, bantu aku! Jangan diam saja!" 

"Kau mengajakku mencuri?"

"Rumah ini kosong sudah lama, pohon rambutan ini juga dibiarkan begitu saja. Ayo daripada terbuang jatuh dan busuk, lebih baik kita petik dan makan."

Kembang memperhatikan ujung galah bagian bawah yang Pandu ganjalkan pada perut bulatnya. 

"Pf ... Pft ... Hahahahaha." Kembang menertawakannya. 

Saat sedang asik tertawa, Pandu tiba-tiba berteriak. 

"Kembaaaang! Awaaas ...!"

Belum juga Kembang menyadari apa maksud kata awas dari Pandu, dan lagi ia masih tertawa menertawakan anak laki-laki gembul itu. 

Tiba-tiba saja .... Bruk!

"KEMBAAAAANG!" Pandu berteriak. 

Satu tangkai yang penuh rambutan jatuh tepat di kepala Kembang. Gadis kecil itu berjongkok, memegangi pucuk kepalanya dan mengaduh. 

"Aaaadddduuuuhh ...."

Serta rambutan yang harusnya bergerombol, sebagian berserakan, beberapa daun kering dan daun hijau rambutan menempel di bagian pundak dan punggung baju kebaya yang Kembang pakai. 

"Kau tak apa?" tanya Pandu, khawatir. 

"Kau bagaimana sih! Kenapa kau jatuhkan di kepalaku?! Aduuh!"

"A-aku tidak sengaja, tadi rambutan itu kupetik di dahan yang kebetulan ada jauh di atas kepalamu."

***

"Bagaimana cara kita membawanya?" tanya Kembang. Melihat rambutan yang berserakan di tanah dan rumput. 

Pandu mencopot bajunya. Perut bulatnya terlihat jelas. Pandu bertelanj4ng dada. Dia meletakan di atas rumput, melebarkannya lalu memindahkan satu satu rambutan ke atas bajunya.

"Kenapa kau pakai bajumu untuk wadah rambutan?"

"Kalau aku suruh pakai bajumu itu, apa kau mau?" 

Kembang mendelik, dia merangkul tubuhnya sendiri. "Jangan bercanda!"

"Hahahahaha ...." Pandu tertawa, "kau tambah cantik saat marah."

"Hei berhentilah!" 

"Untuk apa berhenti, rambutannya masih banyak dan belum kupindahkan semua."

"Bukan itu maksudku!"

Pandu tertawa lagi, dia terhibur bisa bercanda jahil dengan Kembang. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   17. Secarik Surat Perkenalan

    Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   16. Antar Pulang

    Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   15. Teror Kampung

    Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   14. Makan Malam

    14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   13. Mancing ikan

    Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   12. Bantu masak

    12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status