BAB 4
Arra membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat asing. Dia pikir para rentenir itu juga menangkapnya. Tapi tidak, sebab tempat dia membuka mata sekarang justru terlihat mewah, berbanding terbalik dengan tempat ayah dan ibunya disekap. Menyebut ibu, Arra seketika bangkit dari tidurnya. Adegan saat ibunya ditembak terekam ulang. Tidak mungkin itu hanya mimpi, sebab Arra sempat ingat samar-samar saat tubuhnya digendong dan dimasukkan ke dalam mobil, dia mendengar suara tembakan bersahut-sahutan. “Kau sudah bangun?” Suara pria membuat Arra menolehkan kepala ke samping. “Kau?” Arra terkejut sebab orang itu adalah pria yang sudah menidurinya kemarin. “Hmm ....” Eiden menatap teduh wajah wanita yang seharian tadi membuatnya frustasi. “Maaf ... Tapi aku tidak ada urusan denganmu, sekarang biarkan aku pergi karena orang tuaku saat ini membutuhkanku.” Meski penasaran kenapa dia bisa ada di kamar pria ini, tapi Arra rasa itu tidak begitu penting. Keadaan orang tuanya terutama sang ibu adalah yang utama. “Apa perempuan yang tertembak kepalanya yang kau maksud?” tanya Eiden, membuat pergerakan Arra terhenti dan kini wanita itu menatap Eiden dengan kedua alis bertaut. “Kau tau darimana?” “Orang yang membawamu semalam melapor padaku bahwa dia melihat kejadian itu. Jika memang dia ibumu, aku bisa membantumu.” Jujur saja, Arra tak mau memiliki hutang budi pada pria yang sudah mengambil keperawanannya, tapi dia tidak punya pilihan lain. Besar harapan Arra akan keselamatan mereka, kendati otaknya mengatakan kemungkinan itu sangatlah kecil, tapi sekecil apapun itu, Arra tak mau melewatkannya. “Baiklah ... Kau beristirahatlah dulu. Dokter keluarga yang ku telepon sedang dalam perjalanan, kurasa kau juga butuh perawatan,” ucap Eiden kemudian pergi dari sana. Arra lalu merebahkan tubuhnya kembali. Bayangan mengerikan semalam sungguh membuatnya was-was. Pikiran buruk memenuhi kepalanya hingga kemudian pintu kamarnya diketuk. “Masuk!” Seorang perempuan dengan lima kerutan di dahinya masuk, disusul seorang pria dengan jas putih di belakangnya. “Nona ... Dokter Edwin datang untuk memeriksa keadaan anda.” Wanita tua itu bicara, lalu mempersilahkan pria berjas putih untuk memeriksa Arra. “Sejauh ini semuanya baik, hanya tekanan darah anda yang rendah, Nona. Itu sebabnya kepala anda terasa berdenyut,” ucap sang Dokter setelah memeriksa tensi darah Arra dan pemeriksaan lain. “Dokter, apakah seseorang yang tertembak akan mati?” tanya Arra. Dokter Edwin mengernyitkan dahi, merasa pertanyaan Arra tidak ada hubungannya dengan hasil pemeriksaannya. “Tergantung.” Dokter Edwin menjawab sembari membereskan kembali alat pemeriksaan yang dia gunakan. Arra diam, tapi tatapan matanya tidak beralih sedikitpun dari sang dokter, menunjukkan bahwa dia menunggu kelanjutan dari jawaban itu. “Jika hanya betis atau lengan yang tertembak, asalkan mendapat penanganan yang cepat, dia bisa selamat. Tapi jika alat vitalnya yang tertembak, kecil kemungkinan orang itu akan selamat,” papar dokter itu dengan bahasa sederhana yang bisa dimengerti oleh Arra. “Bagaimana jika kepalanya yang tertembak?” Arra tak cukup puas dengan jawaban Dokter Edwin hingga dia mengajukan lagi pertanyaan. “Maaf ... Memangnya siapa yang tertembak? Karena sejauh yang kulihat, tidak ada luka di kepalamu.” Arra membuka mulutnya hendak menjawab tapi pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, perempuan tua yang tadi mengantar dokter Edwin kembali masuk dan berbisik pada si dokter. Mendengar apa yang dibisikkan itu, Dokter Edwin yang ternyata teman dari si pemilik rumah tersebut terkekeh, “Kurasa dia takut wanitanya berubah haluan kepadaku.” “Maaf, Nona ... Tapi waktuku tidak banyak, aku harus segera kembali ke rumah sakit sekarang. Jika ada yang ingin kau tanyakan tentang luka tembakan atau tentang hal lainnya kau bisa menghubungi aku.” Edwin tersenyum manis, sengaja untuk memanas-manasi Eiden yang ternyata memantau mereka lewat CCTV kamar sejak tadi. Tidak hanya itu, Edwin juga memberikan kartu nama kepada Arra. “Haha ... Kau pasti sangat cemburu sekarang, Eiden.” Dokter Edwin menertawai temannya yang pasti sedang merasa cemburu sekarang. Dan benar, Eiden yang baru saja meninggalkan mansionnya jadi putar arah untuk kembali. “Putar balik sekarang!” Hardy yang fokus mengemudi melirik ke kursi belakang. Padahal tadi Eiden buru-buru ingin melihat lokasi yang disebutkan anak buahnya. Tapi tiba-tiba pria itu meminta putar balik untuk pulang. Saat Eiden tiba, ponselnya berdering. Anak buah yang dia tugaskan untuk datang ke lokasi penyekapan orang tua Arra kini menelepon. Dia memberi kabar bahwa Kelly sudah meninggal sementara suaminya tidak ada. Tak membuang-buang waktu, Eiden memberitahukan itu pada Arra, dan perempuan itu menangis histeris sembari mendesak Eiden untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Kini dua orang itu berangkat ke rumah sakit dengan Hardy yang mengemudi. Arra menangis sepanjang perjalanan, hingga mobil mereka tiba di sebuah rumah sakit. Arra nyaris pingsan melihat kondisi ibunya yang tampak mengenaskan, namun di sisinya, Eiden tak henti menguatkannya dan berjanji akan menemukan pelaku penembakan itu. Arra cukup tenang sekarang, bahkan sampai jenazah ibunya dibawa untuk dimakamkan, Arra tidak lagi histeris, hanya isakan kecil yang keluar dengan air mata yang seolah tiada habisnya. Seminggu telah berlalu, dan selama itu pula Arra tinggal di mansion Eiden. Awalnya wanita itu menolak, namun Eiden mengatakan bahwa tidak aman jika Arra tinggal di apartemennya sendirian, sementara pelakunya belum tertangkap. Besar kemungkinan orang tersebut juga mengincar Arra. Setelah Arra merasa keadaan sudah cukup aman, dia memutuskan untuk kembali. Sekalipun Eiden bersikap baik dan memanjakannya, tapi Arra tidak ingin terlalu bergantung pada pria itu. “Apa kau yakin?” Kali ini Eiden tidak akan lagi menahannya. Pria itu hanya akan mengutus beberapa anak buahnya untuk terus mengawasi Arra agar tetap aman. “Ya. Aku ingin kembali bekerja dan hidup normal seperti biasa. Rasanya aku selalu ingat ibu jika hanya diam di rumahmu yang seperti istana ini.” “Baiklah ... Nanti sore aku akan mengantarmu. Sekarang aku masih harus mengurus sedikit masalah di lapangan. Tidak apa-apa ‘kan, kau menunggu sampai nanti sore?” Arra mengangguk. Dia tak tahu Eiden bekerja apa? Tapi selama seminggu di sini, hanya dua kali dia melihat pria ini pergi untuk bekerja. Namun ia memilih untuk tidak bertanya sekalipun sangat penasaran. Arra merasa sedikit bosan saat dia ditinggal sendirian di dalam kamar, maka ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar mansion. Meskipun sudah satu Minggu tinggal di sini, tapi Arra belum pernah berkeliling. “Boss ... Aku membawa kabar baik dan kabar buruk kali ini. Kabar mana dulu yang ingin kau dengar?” suara berat seorang pria terdengar dari ruang kerja Eiden. Arra yang baru memikirkan pekerjaan Eiden apa, memutuskan untuk mengintip. “Terserah.” “Baiklah, kurasa kau perlu tahu kabar buruk terlebih dahulu. Geng lebah hitam kemaren berulah lagi, bahkan Hardy yang merupakan tangan kananmu tak membuat mereka segan.” Pintu yang sedikit terbuka membuat Arra bisa melihat dua orang yang sedang mengobrol di dalam. “Lalu kabar baiknya, masalah kemaren sudah aku tangani sampai ke akar-akarnya, tidak akan ada polisi yang mengendus keberadaan kita sekarang.” Lawan bicara Eiden berkata lagi, membuat Arra makin penasaran saja dengan pekerjaan pria yang satu minggu ini sudah menolongnya. “Hm ... Tapi kurasa masalah ini belum benar-benar selesai, aku akan mengutus Hardy untuk mengurusnya lebih lanjut." Eiden berbicara, namun matanya sama sekali tidak tertuju pada lawan bicaranya. Pria itu justru fokus pada layar komputer di depannya. "Baik, Boss ... Lalu bagaimana dengan geng lebah hitam?" Pria yang memanggil Eiden dengan sebutan Boss itu bertanya. "Geng pembuat onar itu sudah melampaui batas, secepatnya kau selidiki markas mereka. Cari celah agar orang kita bisa masuk dan menjadi mata-mata di sana.” “Baiklah. Kalau begitu aku permisi, dan ini, aku menemukannya saat kemaren mengintai di markas geng lebah hitam.” Pria itu memberikan sebuah gelang perak bertuliskan ‘lebah hitam’ di atasnya. Arra yang melihat tangan pria itu kini tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia menutup mulut dengan mata membesar tak percaya. “Dia!” Arra melihat tato naga pada pergelangan tangan pria itu. Kendati Arra belum melihat wajahnya, tapi tato naga yang dimiliki oleh pria itu sama persis dengan orang yang menembak ibunya. Arra buru-buru bersembunyi saat pria itu bangkit dan berpamitan untuk pergi. Lagi-lagi Arra dibuat syok saat melihat wajah pria yang membuka pintu dan keluar dari ruang kerja Eiden, di wajah pria itu terdapat luka gores memanjang di pipi kirinya. Arra menutup mulut saking syoknya. “Jika pria itu memanggil Eiden Boss, artinya dalang dari pembunuhan ibu adalah ....” Arra tak mampu melanjutkan kalimatnya. Tak ingin ketahuan, dia buru-buru kembali ke kamar. "Masalah kemaren sudah aku tangani sampai ke akar-akarnya, tidak akan ada polisi yang mengendus keberadaan kita sekarang.” “Hm ... Tapi kurasa masalah ini belum benar-benar selesai, aku akan mengutus Hardy untuk mengurusnya lebih lanjut." Perbincangan Eiden dengan pria bertato tadi terngiang di telinga Arra. "Pasti yang Eiden maksud adalah aku. Ya, itu pasti aku. Dia akan mengutus Hardy untuk membunuhku sebagai saksi mata terakhir agar masalah ini benar-benar selesai,” yakin Arra. Wanita itu bergelut dengan pikiran dan ketakutannya. Sungguh dia tidak menyangka bahwa selama seminggu ini dia telah tinggal di tempat pembunuh orang tuanya.BAB 30 "Arra, bolehkah aku memelukmu?" Arra merasakan dejavu saat Andrew berbisik di telinganya dari arah belakang. Bukan tanpa alasan Andrew melakukan itu, semua perlakuan manisnya sejak tadi adalah ide Dokter Cindy yang menyuruh agar lebih memperhatikan Arra. "Kalau bisa, berperan lah sebagai ayah untuk anak itu, karena sesungguhnya aku tidak bisa menjamin bayi itu sehat jika ibunya tidak bisa mengelola emosi." Kalimat Dokter Cindy terngiang di telinga Andrew. Pria itu tak ingin Arra terluka hatinya. Beberapa hari bersama dengan Arra, di balik kemarahan dan dendamnya, wanita itu adalah gadis baik yang jika dia kehilangan bayinya, pasti akan sedih dan terguncang. 'Ahhh aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.' Lalu beginilah yang terjadi, tidak hanya mengusap punggung Arra, Andrew juga memeluk wanita hamil itu seolah dia adalah bapak dari anak yang ada di dalam kandungannya. "Andrew, aku-" "Sstt ... Sudah, jangan banyak bicara, ayo cepat tidur, aku tidak akan berbu
BAB 29 Di kediaman Storm. Arra tak kunjung bisa tidur. Dia sudah mencoba berbagai posisi untuk bisa membuatnya segera pergi ke dalam mimpi. Namun hal itu, sama sekali tak membuahkan hasil. Dan pada akhirnya, wanita itu memilih untuk keluar dari kamar. Berjalan menuju lantai bawah lalu kemudian ke teras. Duduk di kursi depan, Arra melihat suasana kampung yang gelap sebab dia depan sana adalah hamparan sawah yang luas. "Hei ... Kenapa belum tidur?" Andrew berdiri di sisinya, mengusap puncak kepala gadis itu layaknya adik yang paling dia sayang. "Eh ... Dokter, kau belum tidur?!" Bukannya menjawab pertanyaan Andrew, Arra justru berbalik memberi pertanyaan. Pria itu tersenyum kecil, lalu mengambil tempat di seberang meja, bersebalahan dengan kursi Arra. Sama-sama memandangi persawahan warga yang gelap, keduanya terdiam dengan isi kepala yang berbeda. "Tumben kau tidak ke rumah sakit, Dokter." Arra yang membuka pembicaraan, wanita itu tak bisa terlalu lama saling diam se
BAB 28 Eiden memejamkan mata, perutnya lapar sejak tadi, dia sudah mencoba untuk makan di beberapa restoran saat dalam perjalanan pulang dari desa Werdho. Namun begitulah ... Tak satupun dari menu yang dia pesan bisa masuk dengan aman ke lambungnya. Semuanya dia muntahkan baru dalam suapan pertama. "Ini makanan yang anda minta, Tuan." Bi Hana sangat cekatan untuk soal makanan. Dia bisa memasak tiga kali lebih cepat dari orang pada umumnya. Selain karena dibantu oleh dua orang bawahannya, Bi Hana memang memiliki keterampilan khusus dalam mengolah sebuah masakan agar lebih cepat. Membuka mata, Eiden memperbaiki posisi duduknya. Melihat asap mengepul dari kuah sop yang Bi Hana bawa, Eiden merasa pasti aromanya akan penuh satu ruangan. "Kenapa kau membawanya ke sini?" Seketika pria itu menutupi hidungnya yang sudah memakai masker dengan tangannya. Trauma betul Eiden dengan masakan yang baru matang sebab aromanya selalu membuatnya ingin muntah. "Bukankah biasanya makanan an
BAB 27 Mobil sudah tiba di rumah sakit, namun begitu Andrew akan turun, rupanya wanita yang ada di sampingnya sedang tertidur pulas. Sibuk berkirim pesan dengan Dokter Mulan, Andrew lupa mengajak Arra mengobrol dan bahkan pria itu juga tak sadar bahwa Arra tertidur dengan kepala miring ke jendela. Membenarkan posisi kepala Arra, Andrew lantas menatap wajah yang terlelap itu. 'Kasihan kamu.' Menyelipkan anak rambut Arra ke telinga, Andrew tak tega jika harus membangunkan wanita itu. "Kembali ke rumah," ucapnya pada sopir. Tak lupa dia mengirim pesan pada Dokter Mulan, mengabari bahwa dia tak jadi ke rumah sakit. Selesai memberitahu Dokter Mulan, Andrew meletakkan kembali ponselnya. Dan saat dia menoleh ke samping, rupanya kepala Arra sudah miring lagi ke kaca. "Sebenarnya sudah berapa banyak hal yang kamu lewati? Bahkan dengan posisi begitu pun kau bisa tidur dengan nyenyak." Melihat kepala Arra yang miring dan bergerak akibat guncangan mobil, membuat Andrew merasa b
Arra 26 "Dokter, kau sekarang melamun." Kembali memberi pukulan, Arra sungguh gemas dengan Andrew yang sejak tadi bertingkah aneh dan menyebalkan. Entah sejak kapan, tapi sebelumnya pria ini tidak begitu. Lupakan kebodohan Andrew saat masuk kamar Arra dan melihatnya telanjang. "Oh astagaa ... Aku tidak melamun, Arra." Mengusap lengan yang tadi dipukul Arra. Sungguh! Mulai sekarang, Andrew harus mempekerjakan orang baru yang ahli mengurut badan di rumah. Bisa kaku otot-otot lengannya kalau Arra terus-terusan memukulnya seperti ini. "Kau melamun tadi," berkeras Arra. Jelas-jelas dia melihat Andrew tersenyum, meskipun samar dan singkat, tapi Arra melihatnya sekilas. "Iya, Arra sayang .., aku melamun. Maaf ya." Lagi dan lagi, Andrew seolah menjadi si pembuat onar yang setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyalah permintaan maaf akibat perbuatannya. 'Sayang? Dia memanggil sayang?' Arra memerah wajahnya. Namun karena tak ingin ketahuan oleh pria itu, dia buru-buru berbalik dan
Bab 25Sigap, sang dokter tampan berusaha menangkap tubuh Arra yang hampir terjatuh. Tapi respon cepatnya justru tak memperkirakan keseimbangannya sendiri. Alhasil keduanya jatuh dengan Arra yang menimpa tubuh Dokter Andrew.“Kau tidak apa-apa?” khawatir Andrew, matanya menatap Arra yang berada tepat di atasnya. 'Astaga, pose apa ini? dan kenapa pula jantungku jadi berisik? semoga Arra tidak mendengarnya.' Bukannya menjawab, Arra justru jadi salah tingkah. Langsung dia bangkit dan membelakangi sang dokter.‘Aataga! Bodohnya ... Kenapa aku bisa menimpa dia?!’ Arra menyesali kecerobohannya sendiri.“Arra, kau tidak apa-apa kan?” Sekarang Andrew sudah berdiri tepat di belakang Arra. Dia sungguh-sungguh khawatir dengan wanita itu. Maksud hati ingin membuat Arra bahagia, malah terjadi kecelakaan seperti ini.“Perutmu sakit? Atau ada bagian lain yang sakit?” tanya Andrew lagi.Namun Arra masih malu. Kecelakaan tadi sungguh membuat dia salah tingkah, menimpa tubuh Andrew yang artinya dada