BAB 3
Orang tua Arra sudah terkulai lemas usai dihajar para penagih hutang. “Sita ponselnya, dan ikat mereka dengan kencang agar tidak bisa kabur.” Pria yang separuh wajahnya terdapat bekas luka itu memberi perintah kepada bawahannya. “Siap, Boss ... Tapi apa mungkin anak mereka benar-benar akan datang?” tanya salah seorang. “Pasti! Anak itu teramat menyayangi dua lansia tidak berguna ini!” Usai menjawab pria yang dipanggil boss itu keluar disusul oleh anak buahnya. Seperginya mereka, Kelly, ibu Arra, menatap suaminya iba. Tak tega dia melihat wajah Bruce yang sudah babak belur, bahkan sudut bibirnya robek. “Bruce ... Sebenarnya siapa mereka? Tidak mungkin hanya karena kau punya hutang, mereka sampai menculik dan bahkan mengancam untuk membunuh.” Kelly tahu suaminya pernah berhutang kepada rentenir untuk membiayai kuliah Arra, dan sampai sekarang hutang itu belum lunas sebab pemasukan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tapi, seingatnya wajah rentenir yang sering menagih hutang ke rumah mereka, tidak sesangar itu. Apalagi memiliki bekas luka yang menyeramkan. “Maaf, Kelly ... Mereka memang bukan rentenir yang biasa menagih hutang ke rumah kita. Tapi poinnya tetap sama, aku memiliki hutang pada mereka.” Wajah Bruce tampak sendu, kedua mata yang pinggirnya sudah lebam kebiruan itu berkaca-kaca. Kelly menghela napas, dia ingin bertanya lebih banyak tapi dia rasa sekarang bukan saat yang tepat untuk menginterogasi suaminya. Lebih baik dia pergunakan waktu untuk melepas ikatan yang melilit di kedua tangan mereka. Sementara Kelly berusaha melepas ikatan, Bruce justru menundukkan kepala, pasrah. Menyesal sebab sudah terlibat dengan orang-orang dunia bawah tanah yang kejam seperti mereka. Andai beberapa bulan lalu dia tidak tergoda untuk menerima tawaran, sudah pasti dia dan keluarganya akan hidup aman. Niat mau terbebas dari hutang, tapi malah terlibat masalah yang lebih besar. Sungguh Bruce teramat menyesal. Sempat dia bernegosiasi dengan mereka agar hanya membawa dirinya, dan membiarkan istri dan anaknya tidak terseret masalah ini. Tapi orang-orang itu justru memukulinya dan membawa istrinya ikut serta. Harapan terakhir Bruce adalah jangan sampai Arra datang ke tempat ini. Anak gadisnya itu tidak boleh ikut menanggung akibatnya. “Yes, berhasil.” Suara Kelly membuat Bruce menoleh, melihat sang istri sudah berhasil membuka ikatan di tangannya. Tapi Bruce tak berniat melakukan hal yang sama. “Kau ini mau terus di sini? Kenapa hanya melamun dan tidak melakukan apa-apa?” protes Kelly pada suaminya. Wanita itu kemudian bangkit dan membantu Bruce lepas dari ikatan. “Kau pergilah, Honey ... Aku akan menahan mereka.” Setelah semua tali terlepas, Bruce bukannya berdiri, dia justru menyuruh Kelly untuk kabur sendirian. Kelly menyatukan kedua alisnya, heran. Bruce tampak pasrah dengan keadaan, wajahnya murung, tidak seperti biasanya. “Tidak! Kita harus pergi bersama. Ayo! Sebelum mereka menyadari kalau kita berhasil melepas ikatan talinya.” Kelly membantu Bruce untuk berdiri. Ternyata kaki Bruce mengalami kram hingga sulit untuk digerakkan. Pria itu memilih diam sebab tak mau menyulitkan istrinya. Dibantu oleh Kelly, Bruce kini bisa berdiri. “Ayo! Aku yakin mereka berpikir kita tidak akan bisa lepas. Dan selagi mereka lengah, kita harus cepat lari dari sini.” Keduanya lantas mengendap-endap keluar, kendati tempat itu gelap, tapi pergerakan mereka akan terlihat jika tidak hati-hati. Cahaya bulan masuk dari sebagian kaca jendela gedung yang sudah pecah. Tiba di pintu, Kelly lagi-lagi menyuruh Bruce untuk menunggu. Dia membuka pintu sedikit lalu mengintip keluar. Tidak ada tiga orang yang seharusnya berjaga, suasana di luar lengang. Sepertinya dewa Fortuna benar-benar berpihak pada mereka. Senyum Kelly mengembang saat di halaman sana dia melihat sebuah mobil yang terparkir dengan pintu kemudi yang dibiarkan terbuka. Dari tempatnya, Kelly melihat kunci mobil itu tergantung di tempatnya. “Ayo, Bruce. Kurasa mereka hanya berotot tapi tidak berotak.” Kelly berseru lirih kepada suaminya. Wanita itu kemudian menggandeng tangan suaminya untuk keluar bersama. Meski agaknya posisinya terbalik, tapi memang begitulah adanya. Dibandingkan Bruce yang cukup penakut, Kelly jauh lebih bisa diandalkan saat suasana genting seperti ini. Sayang ... Begitu mereka keluar dari pintu, salah seorang memergoki mereka. “Hei! Mau kabur kemana kalian?” Pria itu berteriak dan berlari mengejar. Suara kerasnya membangunkan si boss yang sebelumnya tertidur di kursi panjang yang tertutup tumpukan kardus di sebelah pintu. Mendengar teriakan anak buahnya, si bos bangkit dan langsung menodongkan senjatanya. “Dor!” Letusan senjata tanda peringatan. “Jangan berani-berani melangkah atau peluru ini akan tembus di kepala kalian.” Bruce seketika berhenti, dan tangannya yang bergandengan dengan Kelly otomatis membuat langkah istrinya itu ikut berhenti. Mendengar suara tembakan, Arra meminta sopir untuk berhenti agak jauh dari tempat penyekapan demi keamanan dirinya dan Pak sopir. Setelahnya dia berjalan mengendap untuk melihat lebih dekat. Sementara anak buah Eiden, mematikan lampu mobilnya, menggerakkan kuda besi beroda empat itu mengikuti Arra. Arra bersembunyi dibalik body mobil yang sebelumnya diincar Kelly untuk dipakai melarikan diri. Dan gerakannya terlihat oleh Kelly yang sejak tadi tak henti memandang ke arah mobil tersebut. "Oh, Tuhan ... Arra." Kelly yang melihat bahwa itu adalah anaknya, reflek langsung melepaskan tangan Bruce, wanita itu melangkah untuk menyuruh Arra pergi. Tapi tiba-tiba ... sebuah peluru mengenai kepalanya. Dan suara tembakan itu membuat Arra mengintip dari persembunyiannya. Alangkah terkejutnya Arra saat melihat bahwa ternyata ibunya lah yang ditembak. Kepala Kelly mengeluarkan darah lalu kemudian ambruk ke tanah. "I-ibu." Arra memanggil ibunya, namun yang keluar hanyalah suara lirih nyaris tak terdengar, kakinya melangkah keluar dari persembunyian dengan berbagai perasaan yang tak bisa dideskripsikan seperti apapun juga. Syok, kaget dan berbagai perasaan memenuhi kepalanya. Netra birunya tak henti memandang tubuh sang ibu yang sudah tak bergerak, lalu atensinya beralih pada lelaki yang kini tertawa seolah kematian Kelly adalah hiburan untuknya. Pria dengan luka menyamping di pipi kiri serta tato naga di pergelangan tangannya itu tertawa. "Itulah akibatnya kalau melawan." Lelaki itu masih tak menyadari keberadaan Arra, dia berjalan ke arah Bruce lalu mengarahkan pistolnya ke kepala Bruce yang wajahnya sudah penuh luka. Pria tua itu sama syoknya dengan Arra, tak bergerak saking terkejutnya. Arra yang kini melihat penjahat itu menodongkan pistol ke kepala ayahnya, menggelengkan kepala dengan berderai air mata. Tak ingin jika sampai ayahnya juga ditembak seperti ibunya. "St-op." Arra berteriak untuk menghentikan aksi brutal penjahat itu, namun belum sempat suaranya keluar, tiba-tiba seseorang membekap mulutnya dengan sapu tangan. Obat bius dengan dosis yang cukup tinggi yang terdapat pada sapu tangan itu, membuat Arra langsung kehilangan kesadarannya. Pria berpakaian hitam itu buru-buru menggendong Arra dan memasukkannya ke dalam mobil. Pria yang tak lain adalah anak buah Eiden itu tak mau ambil resiko, jadi dia langsung membawa Arra pergi tanpa berniat menyelamatkan Bruce terlebih dahulu. Benar saja, pergerakan mobilnya terlihat dan seketika suara tembakan terdengar, tentu saja itu tembakan itu diarahkan pada ban mobilnya. Namun pria itu dengan lihai membawa mobilnya menghindari tembakan itu. Selain itu dia juga menambah kecepatan, melesat meninggalkan tempat berbahaya itu. “Kejar mobil yang membawa anak si tua bangka itu.”BAB 29Di kediaman Storm. Arra tak kunjung bisa tidur. Dia sudah mencoba berbagai posisi untuk bisa membuatnya segera pergi ke dalam mimpi. Namun hal itu, sama sekali tak membuahkan hasil. Dan pada akhirnya, wanita itu memilih untuk keluar dari kamar. Berjalan menuju lantai bawah lalu kemudian ke teras. Duduk di kursi depan, Arra melihat suasana kampung yang gelap sebab dia depan sana adalah hamparan sawah yang luas. "Hei ... Kenapa belum tidur?" Andrew berdiri di sisinya, mengusap puncak kepala gadis itu layaknya adik yang paling dia sayang. "Eh ... Dokter, kau belum tidur?!" Bukannya menjawab pertanyaan Andrew, Arra justru berbalik memberi pertanyaan. Pria itu tersenyum kecil, lalu mengambil tempat di seberang meja, bersebalahan dengan kursi Arra. Sama-sama memandangi persawahan warga yang gelap, keduanya terdiam dengan isi kepala yang berbeda. "Tumben kau tidak ke rumah sakit, Dokter." Arra yang membuka pembicaraan, wanita itu tak bisa terlalu lama saling diam sementara merek
BAB 28 Eiden memejamkan mata, perutnya lapar sejak tadi, dia sudah mencoba untuk makan di beberapa restoran saat dalam perjalanan pulang dari desa Werdho. Namun begitulah ... Tak satupun dari menu yang dia pesan bisa masuk dengan aman ke lambungnya. Semuanya dia muntahkan baru dalam suapan pertama. "Ini makanan yang anda minta, Tuan." Bi Hana sangat cekatan untuk soal makanan. Dia bisa memasak tiga kali lebih cepat dari orang pada umumnya. Selain karena dibantu oleh dua orang bawahannya, Bi Hana memang memiliki keterampilan khusus dalam mengolah sebuah masakan agar lebih cepat. Membuka mata, Eiden memperbaiki posisi duduknya. Melihat asap mengepul dari kuah sop yang Bi Hana bawa, Eiden merasa pasti aromanya akan penuh satu ruangan. "Kenapa kau membawanya ke sini?" Seketika pria itu menutupi hidungnya yang sudah memakai masker dengan tangannya. Trauma betul Eiden dengan masakan yang baru matang sebab aromanya selalu membuatnya ingin muntah. "Bukankah biasanya makanan an
BAB 27 Mobil sudah tiba di rumah sakit, namun begitu Andrew akan turun, rupanya wanita yang ada di sampingnya sedang tertidur pulas. Sibuk berkirim pesan dengan Dokter Mulan, Andrew lupa mengajak Arra mengobrol dan bahkan pria itu juga tak sadar bahwa Arra tertidur dengan kepala miring ke jendela. Membenarkan posisi kepala Arra, Andrew lantas menatap wajah yang terlelap itu. 'Kasihan kamu.' Menyelipkan anak rambut Arra ke telinga, Andrew tak tega jika harus membangunkan wanita itu. "Kembali ke rumah," ucapnya pada sopir. Tak lupa dia mengirim pesan pada Dokter Mulan, mengabari bahwa dia tak jadi ke rumah sakit. Selesai memberitahu Dokter Mulan, Andrew meletakkan kembali ponselnya. Dan saat dia menoleh ke samping, rupanya kepala Arra sudah miring lagi ke kaca. "Sebenarnya sudah berapa banyak hal yang kamu lewati? Bahkan dengan posisi begitu pun kau bisa tidur dengan nyenyak." Melihat kepala Arra yang miring dan bergerak akibat guncangan mobil, membuat Andrew merasa b
Arra 26 "Dokter, kau sekarang melamun." Kembali memberi pukulan, Arra sungguh gemas dengan Andrew yang sejak tadi bertingkah aneh dan menyebalkan. Entah sejak kapan, tapi sebelumnya pria ini tidak begitu. Lupakan kebodohan Andrew saat masuk kamar Arra dan melihatnya telanjang. "Oh astagaa ... Aku tidak melamun, Arra." Mengusap lengan yang tadi dipukul Arra. Sungguh! Mulai sekarang, Andrew harus mempekerjakan orang baru yang ahli mengurut badan di rumah. Bisa kaku otot-otot lengannya kalau Arra terus-terusan memukulnya seperti ini. "Kau melamun tadi," berkeras Arra. Jelas-jelas dia melihat Andrew tersenyum, meskipun samar dan singkat, tapi Arra melihatnya sekilas. "Iya, Arra sayang .., aku melamun. Maaf ya." Lagi dan lagi, Andrew seolah menjadi si pembuat onar yang setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyalah permintaan maaf akibat perbuatannya. 'Sayang? Dia memanggil sayang?' Arra memerah wajahnya. Namun karena tak ingin ketahuan oleh pria itu, dia buru-buru berbalik dan
Bab 25Sigap, sang dokter tampan berusaha menangkap tubuh Arra yang hampir terjatuh. Tapi respon cepatnya justru tak memperkirakan keseimbangannya sendiri. Alhasil keduanya jatuh dengan Arra yang menimpa tubuh Dokter Andrew.“Kau tidak apa-apa?” khawatir Andrew, matanya menatap Arra yang berada tepat di atasnya. 'Astaga, pose apa ini? dan kenapa pula jantungku jadi berisik? semoga Arra tidak mendengarnya.' Bukannya menjawab, Arra justru jadi salah tingkah. Langsung dia bangkit dan membelakangi sang dokter.‘Aataga! Bodohnya ... Kenapa aku bisa menimpa dia?!’ Arra menyesali kecerobohannya sendiri.“Arra, kau tidak apa-apa kan?” Sekarang Andrew sudah berdiri tepat di belakang Arra. Dia sungguh-sungguh khawatir dengan wanita itu. Maksud hati ingin membuat Arra bahagia, malah terjadi kecelakaan seperti ini.“Perutmu sakit? Atau ada bagian lain yang sakit?” tanya Andrew lagi.Namun Arra masih malu. Kecelakaan tadi sungguh membuat dia salah tingkah, menimpa tubuh Andrew yang artinya dada
BAB 24“Lalu apakah harus menginap di rumah sakit atau?” Andrew memandang dokter spesialis kandungan yang ada di hadapannya.Tersenyum, dokter itu menggeleng. “Tidak perlu. Bawa dia ke tempat yang bisa membuatnya tenang dan nyaman.”Andrew mengangguk.“Yang paling penting, jangan sampai dia stres berlebihan,” lanjut dokter itu.Andrew jadi bingung harus membawa Arra kemana sekarang. Tempat paling aman adalah rumahnya tapi kemungkinan untuk Eiden kembali muncul sangat besar, sebab belum ada kabar pasti apakah pria arogan itu sudah meninggalkan desa werdho atau belum.Mondar mandir Andrew di kamar rawat menunggu Arra siuman, sembari otaknya memikirkan tempat yang cocok untuk wanita itu bermalam. Dan tak berapa lama, Arra membuka matanya.“Dokter Andrew ...,” ucapnya lirih.“Arra ... Akhirnya sudah sadar.” Andrew mendekat.“Aku_” Belum selesai Arra bicara, Andrew meletakkan telunjuknya di depan bibir wanita itu.“Sesuai janjiku, kau aman bersamaku. Jangan takut.”“Lalu dia?” Maksud Arrr
BAB 23 "Fuck! Kau menipuku." Eiden berteriak, sudah dari tadi dia kesal dan tak menemukan pelampiasan, sekarang dia merasa mendapatkan samsak bernyawa untuk melampiaskan emosi. Plak ... Tamparan keras Eiden berikan di pipi kiri wanita itu. Hardy yang melihat itu seketika menyemburkan es krim yang baru masuk ke mulutnya. 'Dasar lonte! Pantas saja dari tadi dia menolak untuk melepas maskernya.' Eiden tak memedulikan gigi wanita itu yang copot satu. "T-tuan ... Ampuni saya! Saya tak tahu bahwa anda adalah Tuan Eiden." Wanita itu menangis, kalau saja dia tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah pemimpin D'trask, dia tak akan berani bermain-main dengannya. 'Sungguh sial! Aku pikir dia pria miskin tampan, aku tidak mengenalinya karena memakai masker,' ratap wanita itu. Namun tangisan wanita itu sama sekali tak membuat Eiden iba, pria itu justru mengabaikannya. Memberi tamparan sampai gigi wanita itu copot satu, adalah hukuman yang setimpal. Eiden bukan laki-laki pengecut yang suka be
Bab 22 "Kau bercanda? Aku sedang mengejar Arra sekarang!" Eiden berteriak, marah. "Kalau hanya mirip, tidak usah lapor. Buang-buang waktu!" tambahnya dengan nada dingin, dia lalu mematikan telepon itu secara sepihak. Bisa gila dia kalau semua orang yang berbeda tempat melapor bahwa mereka melihat Arra. Ditambah lagi aroma di mobil membuatnya serasa ingin muntah. Eiden menutup hidung sembari tangan satunya mencari-cari masker. Hardy melirik lewat kaca spion. Bossnya sungguh sudah berubah, Hardy seperti tidak bisa mengenali. Bajunya lusuh seperti tak pernah disetrika, wajahnya kusut seperti tidak menyentuh air berhari-hari. 'Kasihan sekali Tuan Eiden, dia seperti boss muda yang stres karena kena tipu triliunan dolar.' "Kau! Lihatlah jalan di depan kosong, kenapa kau malah bergerak seperti keong?" Eiden menyadari bahwa asistennya sejak tadi memperhatikannya. "M
BAB 21"Kau yakin?" "Yakin, Tuan. Tapi ...." "Kalau begitu, kejar dia. Kenapa kau malah meneleponku?!" Suara Eiden meninggi, bahkan dia tak memberi Hardy kesempatan untuk melanjutkan ucapannya. Sungguh kesal pria itu dengan tingkah asistennya, bisa-bisanya dia melapor di saat seharusnya dia langsung ambil tindakan. "Maaf, Tuan. Tapi anda sendiri yang bilang agar saya tidak perlu membawa mobil, jadi saya sekarang tidak punya kendaraan untuk mengejar." "Shit! Bodoh! Arkh ...." Kesal, Eiden mengepalkan tangannya dan memukul udara. 'Siapa yang bodoh, Tuan? Tentu bukan saya.' ingin rasanya Hardy menjawab. "Kau tunggu aku! Jangan sampai dia hilang dari pandanganmu." Eiden menutup sambungan teleponnya. "T-tapi, Tuan ...." Hardy ingin mengatakan bahwa wanita itu naik ker