BAB 8
Mendengar kata ‘ingin sendiri’, Andrew langsung panik. Bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya. Andrew khawatir kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. “Arra!” Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi koper, tanpa berbalut apapun. “Aaaa ....” Melihat seseorang mendobrak kamarnya, Arra reflek melemparkan barang yang dia pegang tepat mengenai kepala Andrew. “Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?” Arra seketika menutupi dadanya tapi sial, bagian tubuhnya yang lain terekspose di hadapan Andrew. “A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu –.” Arra berbalik badan membelakangi Andrew. “Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu. Aku serius dengan ucapanku di rumah sakit tadi, kalau aku tak akan mati sendirian, kecuali ayah anak ini ikut bersamaku! Jadi Dokter, kumohon tolong keluar! Kenapa kau tidak mengetuk pintu dulu????” protes Arra. Rasanya dia ingin memukul kepala Andrew sampai pria itu hilang ingatan. Dan si dokter baik hati malah hanya diam berdiri di sana. Arra sungguh ceroboh, padahal dia sedang menumpang di rumah orang, tapi bisa-bisanya tak mengenakan apapun. Tapi ini juga bukan salah dia sepenuhnya, kan dia ingin mandi. Jelas salah si dokter yang masuk kamar sembarangan. Andrew lalu menyadari ada benda yang tersangkut di kepalanya. “Arra ... Kau melempari aku dengan apa?” berteriak pria itu ketika sudah meraih benda tersebut. “Jangan dilihat, langsung tinggalkan saja!” Arra histeris begitu dia sadar kalau benda yang dilemparkannya asal tadi adalah kaca mata ultraman, alias pembungkus dadanya. Arkh ... rasanya Arra ingin menenggelamkan kepala di bathtub sekarang. Malunya bukan main. Andrew menurut. Dia meletakkan benda itu di lantai namun tetap berdiri di tempatnya. Bukan mesum! Dia tak memikirkan apa-apa sekarang, hanya fokus pada barang-barang Arra yang berserakan di lantai. “Kau cari apa? Kenapa pakaianmu sampai berantakan begini?” Masih dari tempatnya berdiri, Andrew bertanya. “Aku cari handuk, tapi tidak ada,” jawab Arra masih dengan membelakangi Andrew. “Ambil saja di lemari. Kau boleh pakai barang-barang di kamar ini jika butuh. Tapi kalau tidak mau juga tidak apa-apa, kau bisa minta pada Bi Mery untuk disiapkan yang baru,” ucap Andrew santai. Sungguh! Dia sama sekali tak berpikir kotor meski melihat Arra tanpa memakai apapun, karena baginya yang ada di depan matanya sekarang adalah adik kecilnya, Mia. “Tidak perlu. Aku akan pakai yang ada saja, Dokter,” jawab Arra. “Baiklah, tapi bisakah kau panggil aku nama saja. Aku bukan seorang dokter saat pulang ke rumah.” Arra menggeram, kesal dengan Andrew yang seperti orang bodoh, malah mengajaknya ngobrol ini itu. “Ah, gila! Bisa-bisanya dia membahas itu sekarang!” gerutu Arra. Saking malunya dia bahkan ingin masuk ke dalam koper. “Bisakah itu kita bahas nanti saja? Aku sudah pegal berjongkok seperti ini.” Mengesampingkan sedikit kemaluannya, eh rasa malunya, Arra bicara. “Kalau pegal, kau harusnya bangun.” Tanpa beban, Andrew menyahut. ‘Bangun kepalamu! Kalau aku bangun, kau akan melihat aku telanjang, Dokter?!’ Arra merapatkan giginya, meremas kedua tangannya yang kini berubah posisi memeluk kedua lutut. Sungguh gemas dengan tingkah Andrew. “Aku akan bangun, tapi kau keluar dulu, Dokter.” Barulah Andrew sadar bahwa yang dia lakukan adalah kebodohan setara Zeus. Jelas-jelas yang ada di depannya adalah wanita dewasa tanpa busana, tapi dia malah berdiri santai seolah itu pemandangan biasa. ‘Astaga ...! Pasti dia menganggap ku mesum sekarang!’ rutuk Andrew pada dirinya sendiri. Buru-buru dia berbalik badan. Namun bukannya keluar, dia justru menyuruh Arra untuk mengambil pakaian yang ada di dekat kakinya. “Arra. Aku tak bisa keluar sekarang, ada banyak barang di lantai.” Andrew berkata sambil memejamkan mata. Dia merasa kakinya sudah menginjak salah satu dari itu. ‘Tuhan ... Dia bodoh atau bagaimana?!’ Arra menggigit bibirnya. “Jangan khawatir, aku memejamkan mataku, jadi tak bisa melihat apa-apa.” Andrew kembali bicara sebab tak mendengar jawaban dari Arra. “Diinjak saja! Tidak usah dipikirkan,” jawab Arra menahan kesal. Kalau saja Andrew tidak berbaik hati memberi tempat tinggal, rasanya ingin dia cekik dokter bodoh itu. “Baiklah.” Andrew melangkah, menginjak pakaian Arra. Dan karena dia berjalan dengan mata terpejam, kakinya justru tersangkut baju yang membuatnya nyaris jatuh. Tapi Arra tak peduli. Netranya terus menanti langkah Andrew yang semakin dekat ke pintu. Arra akan berdiri setelah Andrew keluar, namun tiba-tiba ... “Oh iya.” Andrew berhenti melangkah. “Kalau sudah selesai mandi, kau langsung turun. Bi Mery pasti sudah selesai menyiapkan makan malam,” ujar Andrew dengan posisi menghadap keluar. “Hmmm ....” Arra hanya menjawab dengan derheman dengan ekor matanya melirik Andrew yang kini melangkah pergi. Setiba di luar, Andrew memukul dahinya berulang. “Dasar bodoh! Kenapa tidak mengetuk pintu dulu tadi?! Trus kenapa pula aku malah berdiri dengan santai di dalam?!” Andrew merutuki perbuatannya sambil berjalan menuju kamarnya. “Bodoh! Sangat bodoh!” Makinya pada diri sendiri. Saat Andrew sedang memegang handle pintu kamarnya. Suara Arra berteriak, “Dokter! Kembali!”BAB 30 "Arra, bolehkah aku memelukmu?" Arra merasakan dejavu saat Andrew berbisik di telinganya dari arah belakang. Bukan tanpa alasan Andrew melakukan itu, semua perlakuan manisnya sejak tadi adalah ide Dokter Cindy yang menyuruh agar lebih memperhatikan Arra. "Kalau bisa, berperan lah sebagai ayah untuk anak itu, karena sesungguhnya aku tidak bisa menjamin bayi itu sehat jika ibunya tidak bisa mengelola emosi." Kalimat Dokter Cindy terngiang di telinga Andrew. Pria itu tak ingin Arra terluka hatinya. Beberapa hari bersama dengan Arra, di balik kemarahan dan dendamnya, wanita itu adalah gadis baik yang jika dia kehilangan bayinya, pasti akan sedih dan terguncang. 'Ahhh aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.' Lalu beginilah yang terjadi, tidak hanya mengusap punggung Arra, Andrew juga memeluk wanita hamil itu seolah dia adalah bapak dari anak yang ada di dalam kandungannya. "Andrew, aku-" "Sstt ... Sudah, jangan banyak bicara, ayo cepat tidur, aku tidak akan berbu
BAB 29 Di kediaman Storm. Arra tak kunjung bisa tidur. Dia sudah mencoba berbagai posisi untuk bisa membuatnya segera pergi ke dalam mimpi. Namun hal itu, sama sekali tak membuahkan hasil. Dan pada akhirnya, wanita itu memilih untuk keluar dari kamar. Berjalan menuju lantai bawah lalu kemudian ke teras. Duduk di kursi depan, Arra melihat suasana kampung yang gelap sebab dia depan sana adalah hamparan sawah yang luas. "Hei ... Kenapa belum tidur?" Andrew berdiri di sisinya, mengusap puncak kepala gadis itu layaknya adik yang paling dia sayang. "Eh ... Dokter, kau belum tidur?!" Bukannya menjawab pertanyaan Andrew, Arra justru berbalik memberi pertanyaan. Pria itu tersenyum kecil, lalu mengambil tempat di seberang meja, bersebalahan dengan kursi Arra. Sama-sama memandangi persawahan warga yang gelap, keduanya terdiam dengan isi kepala yang berbeda. "Tumben kau tidak ke rumah sakit, Dokter." Arra yang membuka pembicaraan, wanita itu tak bisa terlalu lama saling diam se
BAB 28 Eiden memejamkan mata, perutnya lapar sejak tadi, dia sudah mencoba untuk makan di beberapa restoran saat dalam perjalanan pulang dari desa Werdho. Namun begitulah ... Tak satupun dari menu yang dia pesan bisa masuk dengan aman ke lambungnya. Semuanya dia muntahkan baru dalam suapan pertama. "Ini makanan yang anda minta, Tuan." Bi Hana sangat cekatan untuk soal makanan. Dia bisa memasak tiga kali lebih cepat dari orang pada umumnya. Selain karena dibantu oleh dua orang bawahannya, Bi Hana memang memiliki keterampilan khusus dalam mengolah sebuah masakan agar lebih cepat. Membuka mata, Eiden memperbaiki posisi duduknya. Melihat asap mengepul dari kuah sop yang Bi Hana bawa, Eiden merasa pasti aromanya akan penuh satu ruangan. "Kenapa kau membawanya ke sini?" Seketika pria itu menutupi hidungnya yang sudah memakai masker dengan tangannya. Trauma betul Eiden dengan masakan yang baru matang sebab aromanya selalu membuatnya ingin muntah. "Bukankah biasanya makanan an
BAB 27 Mobil sudah tiba di rumah sakit, namun begitu Andrew akan turun, rupanya wanita yang ada di sampingnya sedang tertidur pulas. Sibuk berkirim pesan dengan Dokter Mulan, Andrew lupa mengajak Arra mengobrol dan bahkan pria itu juga tak sadar bahwa Arra tertidur dengan kepala miring ke jendela. Membenarkan posisi kepala Arra, Andrew lantas menatap wajah yang terlelap itu. 'Kasihan kamu.' Menyelipkan anak rambut Arra ke telinga, Andrew tak tega jika harus membangunkan wanita itu. "Kembali ke rumah," ucapnya pada sopir. Tak lupa dia mengirim pesan pada Dokter Mulan, mengabari bahwa dia tak jadi ke rumah sakit. Selesai memberitahu Dokter Mulan, Andrew meletakkan kembali ponselnya. Dan saat dia menoleh ke samping, rupanya kepala Arra sudah miring lagi ke kaca. "Sebenarnya sudah berapa banyak hal yang kamu lewati? Bahkan dengan posisi begitu pun kau bisa tidur dengan nyenyak." Melihat kepala Arra yang miring dan bergerak akibat guncangan mobil, membuat Andrew merasa b
Arra 26 "Dokter, kau sekarang melamun." Kembali memberi pukulan, Arra sungguh gemas dengan Andrew yang sejak tadi bertingkah aneh dan menyebalkan. Entah sejak kapan, tapi sebelumnya pria ini tidak begitu. Lupakan kebodohan Andrew saat masuk kamar Arra dan melihatnya telanjang. "Oh astagaa ... Aku tidak melamun, Arra." Mengusap lengan yang tadi dipukul Arra. Sungguh! Mulai sekarang, Andrew harus mempekerjakan orang baru yang ahli mengurut badan di rumah. Bisa kaku otot-otot lengannya kalau Arra terus-terusan memukulnya seperti ini. "Kau melamun tadi," berkeras Arra. Jelas-jelas dia melihat Andrew tersenyum, meskipun samar dan singkat, tapi Arra melihatnya sekilas. "Iya, Arra sayang .., aku melamun. Maaf ya." Lagi dan lagi, Andrew seolah menjadi si pembuat onar yang setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyalah permintaan maaf akibat perbuatannya. 'Sayang? Dia memanggil sayang?' Arra memerah wajahnya. Namun karena tak ingin ketahuan oleh pria itu, dia buru-buru berbalik dan
Bab 25Sigap, sang dokter tampan berusaha menangkap tubuh Arra yang hampir terjatuh. Tapi respon cepatnya justru tak memperkirakan keseimbangannya sendiri. Alhasil keduanya jatuh dengan Arra yang menimpa tubuh Dokter Andrew.“Kau tidak apa-apa?” khawatir Andrew, matanya menatap Arra yang berada tepat di atasnya. 'Astaga, pose apa ini? dan kenapa pula jantungku jadi berisik? semoga Arra tidak mendengarnya.' Bukannya menjawab, Arra justru jadi salah tingkah. Langsung dia bangkit dan membelakangi sang dokter.‘Aataga! Bodohnya ... Kenapa aku bisa menimpa dia?!’ Arra menyesali kecerobohannya sendiri.“Arra, kau tidak apa-apa kan?” Sekarang Andrew sudah berdiri tepat di belakang Arra. Dia sungguh-sungguh khawatir dengan wanita itu. Maksud hati ingin membuat Arra bahagia, malah terjadi kecelakaan seperti ini.“Perutmu sakit? Atau ada bagian lain yang sakit?” tanya Andrew lagi.Namun Arra masih malu. Kecelakaan tadi sungguh membuat dia salah tingkah, menimpa tubuh Andrew yang artinya dada