BAB 9
“Dokter! Kembali!” Arra berteriak saat melihat ternyata pintu kamarnya dibiarkan terbuka oleh Andrew. Tepat setelah berteriak, dia segera berlari ke kamar mandi, takut Andrew tiba-tiba masuk seperti tadi. Benar saja, tak sampai sepuluh detik pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajahnya yang tampak bingung. “Dokter, kau lupa menutup pintu,” ucap Arra sembari menyembulkan kepala di pintu kamar mandi. “Astaga, maaf ... Aku tadi buru-buru,” ucap pria itu. “Maaf juga soal yang tadi.” Andrew tampak salah tingkah. Dia bahkan tak berani melihat ke arah dalam. “Hmm ... Tidak usah dibahas.” Jangankan membahas itu, mengingatnya saja, Arra sangat malu. “Aku tunggu di bawah. Kau cepatlah turun,” ucap Andrew kemudian. Pria itu berbalik pergi setelah menutup pintu kamar Arra. Selesai mandi, Arra tidak langsung turun. Dia malah mondar-mandir karena rasanya dia tak punya muka untuk bertatapan dengan Andrew. Sudah lima belas menit sejak dia selesai mandi dan berpakaian, Arra masih belum turun juga, hingga tak lama kemudian terdengar ketukan di pintu. Tok tok tok .... Arra tak bersuara, dia khawatir jikalau yang mengetuk adalah Andrew. Sumpah demi apapun, Arra masih tak mau bertemu dengannya. “Nona ....” Seketika Arra bernapas lega, setelah mendengar suara Bi Merry yang memanggilnya. Syukurlah ... cepat-cepat wanita itu membuka pintu. “Ada apa, Bi?” “Makanannya sudah siap, Nona. Ayo turun dan makan, agar tidak keburu dingin.” “I-iya. Tapi apa dia juga ada di sana?” Maksud Arra adalah Andrew, apakah pria itu juga ada di ruang makan? “Dia?” Bi Mery tak mengerti dengan pertanyaan Arra. “Dokter Andrew, apa dia juga ada di ruang makan?” Mengulang pertanyaannya, Arra membuatnya lebih jelas. “Oohh .... Tuan Andrew baru saja berangkat ke rumah sakit. Tapi beliau sudah berpesan agar saya membuatkan susu ibu hamil untuk Nona.” Rupanya sebelum berangkat ke rumah sakit, Andrew sudah memberitahukan perihal kehamilan Arra pada Bi Merry. Perhatian sekali ... Ya, baik dan perhatian, itulah kesan pertama yang Arra dapat saat bertemu dokter tampan itu. “Baiklah.” Kini tak ada alasan untuk Arra menolak turun dan makan, terlebih lagi perutnya memang sudah keroncongan minta diisi. Berjalan dengan diikuti oleh Bi Mery di belakangnya, Arra menuju meja makan yang di atasnya sudah tersedia berbagai macam menu. “Wah ... Makanannya banyak sekali, Bi,” ucap Arra, namun detik selanjutnya wajah sumringah itu berubah sendu. Arra teringat dengan kesusahan hidupnya selama ini. Dia tak pernah memanjakan diri sendiri. Setiap hendak membeli makanan enak, pasti akan teringat dengan hutang keluarganya yang menggunung. Sayang memakai uangnya, Arra batal beli makanan dan memilih menabung untuk membayar hutang. Tak disangka, hidupnya yang sudah sangat hemat pun masih tak bisa menyelamatkan sang ibu. Arra berkaca-kaca. “Semua ini salah ayahmu.” Arra memukul perutnya yang masih rata. Dan pada akhirnya pikirannya kembali tersangkut di Eiden. Entah karena terlalu benci atau karena bawaan bayi, tapi segala sesuatu yang terjadi di hidupnya seolah menarik pikirannya untuk mengingat pria itu. “Nona cobalah sop iga ini, dulu saat Nyonya mengandung Tuan Andrew, beliau selalu makan sop saat mual dan tidak nafsu makan,” ucap Bi Mery sembari menarik semangkok sup itu lebih dekat pada Arra. Tersentak dari lamunannya, seolah segala tentang Eiden menguap begitu saja dari pikirannya. Gadis itu tersenyum lalu menyendok sop iga buatan Bi Merry. “Oh ya, saya akan menyiapkan susu untuk Nona.” “Terima kasih, Bi.” Arra tersenyum memandang Bi Mery. Perhatian wanita itu mengingatkan Arra dengan sang ibu yang sudah tiada. Makin penuh saja air mata Arra mendapat perhatian setulus itu. “Ada apa, Non? Kalau Nona merasa tidak enak badan, saya akan menelepon Tuan Andrew agar segera pulang,” khawatir Bi Mery, tak jadi dia ke dapur begitu melihat air mata menggenang di pelupuk mata Arra. Menggeleng berulang Arra jadinya. “Tidak! Jangan, Bi. Aku hanya teringat dengan mendiang ibuku.” “Ibu Nona pasti bahagia di pelukan Yang Maha kuasa.” Bi Mery tersenyum, menyeka air mata Arra yang sudah terjun di pipi. Memaksa tersenyum, Arra menganggukkan kepala. Kemudian gadis itu melanjutkan makan sop yang baru satu suap masuk ke lambungnya. “Wah ... Ini enak sekali, Bi,” komentarnya dengan sumringah. Sekalipun ada aroma rempah yang tercium, itu sama sekali tak membuat Arra mual. Justru rasa hangat dari sop itu seolah mengalir memanjakan lidah lalu ke tenggorokan dan menyebar di seluruh tubuhnya. “Ini sop terenak yang pernah aku makan,” jujur Arra, sebab meski ibunya juga sering membuatkannya sop, tapi buatan ibunya masih kalah dengan sop buatan Bi Mery ini. Kini, tidak hanya sop yang mendarat di lambung Arra. Hampir semua makanan di atas meja sudah Arra cicipi walau hanya sedikit. Tak ada lagi mual seperti kemaren, yang ada justru nafsu makannya yang bertambah. **** Sementara di Palhington, tepatnya di sebuah ruangan yang bernuansa gelap, Eiden duduk dengan gagah di kursi kebesarannya. Dia menyesap nikotin yang terselip diantara dua jemarinya. Satu orang bersujud dan memohon ampun kepadanya. Wajahnya tampak ketakutan sebab ada dua orang di kanan dan kiri yang menodongkan senjata. Di tangan kiri pria itu terdapat luka tembak yang darahnya mengalir membasahi lantai. Eiden sama sekali tak peduli dengan permintaan maaf dan pengampunan yang keluar dari mulut pria itu. Dia kemudian bangkit dari kursi kebesarannya. Dihirupnya nikotin yang terselip di jarinya, lalu dia berjalan ke arah orang tersebut. Dengan wajah dingin, Eiden duduk di hadapan pria itu, dan tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba Eiden menekan ujung rokoknya yang menyala ke dalam luka di tangan pria itu. “Aaa ... Ampun!”BAB 30 "Arra, bolehkah aku memelukmu?" Arra merasakan dejavu saat Andrew berbisik di telinganya dari arah belakang. Bukan tanpa alasan Andrew melakukan itu, semua perlakuan manisnya sejak tadi adalah ide Dokter Cindy yang menyuruh agar lebih memperhatikan Arra. "Kalau bisa, berperan lah sebagai ayah untuk anak itu, karena sesungguhnya aku tidak bisa menjamin bayi itu sehat jika ibunya tidak bisa mengelola emosi." Kalimat Dokter Cindy terngiang di telinga Andrew. Pria itu tak ingin Arra terluka hatinya. Beberapa hari bersama dengan Arra, di balik kemarahan dan dendamnya, wanita itu adalah gadis baik yang jika dia kehilangan bayinya, pasti akan sedih dan terguncang. 'Ahhh aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.' Lalu beginilah yang terjadi, tidak hanya mengusap punggung Arra, Andrew juga memeluk wanita hamil itu seolah dia adalah bapak dari anak yang ada di dalam kandungannya. "Andrew, aku-" "Sstt ... Sudah, jangan banyak bicara, ayo cepat tidur, aku tidak akan berbu
BAB 29 Di kediaman Storm. Arra tak kunjung bisa tidur. Dia sudah mencoba berbagai posisi untuk bisa membuatnya segera pergi ke dalam mimpi. Namun hal itu, sama sekali tak membuahkan hasil. Dan pada akhirnya, wanita itu memilih untuk keluar dari kamar. Berjalan menuju lantai bawah lalu kemudian ke teras. Duduk di kursi depan, Arra melihat suasana kampung yang gelap sebab dia depan sana adalah hamparan sawah yang luas. "Hei ... Kenapa belum tidur?" Andrew berdiri di sisinya, mengusap puncak kepala gadis itu layaknya adik yang paling dia sayang. "Eh ... Dokter, kau belum tidur?!" Bukannya menjawab pertanyaan Andrew, Arra justru berbalik memberi pertanyaan. Pria itu tersenyum kecil, lalu mengambil tempat di seberang meja, bersebalahan dengan kursi Arra. Sama-sama memandangi persawahan warga yang gelap, keduanya terdiam dengan isi kepala yang berbeda. "Tumben kau tidak ke rumah sakit, Dokter." Arra yang membuka pembicaraan, wanita itu tak bisa terlalu lama saling diam se
BAB 28 Eiden memejamkan mata, perutnya lapar sejak tadi, dia sudah mencoba untuk makan di beberapa restoran saat dalam perjalanan pulang dari desa Werdho. Namun begitulah ... Tak satupun dari menu yang dia pesan bisa masuk dengan aman ke lambungnya. Semuanya dia muntahkan baru dalam suapan pertama. "Ini makanan yang anda minta, Tuan." Bi Hana sangat cekatan untuk soal makanan. Dia bisa memasak tiga kali lebih cepat dari orang pada umumnya. Selain karena dibantu oleh dua orang bawahannya, Bi Hana memang memiliki keterampilan khusus dalam mengolah sebuah masakan agar lebih cepat. Membuka mata, Eiden memperbaiki posisi duduknya. Melihat asap mengepul dari kuah sop yang Bi Hana bawa, Eiden merasa pasti aromanya akan penuh satu ruangan. "Kenapa kau membawanya ke sini?" Seketika pria itu menutupi hidungnya yang sudah memakai masker dengan tangannya. Trauma betul Eiden dengan masakan yang baru matang sebab aromanya selalu membuatnya ingin muntah. "Bukankah biasanya makanan an
BAB 27 Mobil sudah tiba di rumah sakit, namun begitu Andrew akan turun, rupanya wanita yang ada di sampingnya sedang tertidur pulas. Sibuk berkirim pesan dengan Dokter Mulan, Andrew lupa mengajak Arra mengobrol dan bahkan pria itu juga tak sadar bahwa Arra tertidur dengan kepala miring ke jendela. Membenarkan posisi kepala Arra, Andrew lantas menatap wajah yang terlelap itu. 'Kasihan kamu.' Menyelipkan anak rambut Arra ke telinga, Andrew tak tega jika harus membangunkan wanita itu. "Kembali ke rumah," ucapnya pada sopir. Tak lupa dia mengirim pesan pada Dokter Mulan, mengabari bahwa dia tak jadi ke rumah sakit. Selesai memberitahu Dokter Mulan, Andrew meletakkan kembali ponselnya. Dan saat dia menoleh ke samping, rupanya kepala Arra sudah miring lagi ke kaca. "Sebenarnya sudah berapa banyak hal yang kamu lewati? Bahkan dengan posisi begitu pun kau bisa tidur dengan nyenyak." Melihat kepala Arra yang miring dan bergerak akibat guncangan mobil, membuat Andrew merasa b
Arra 26 "Dokter, kau sekarang melamun." Kembali memberi pukulan, Arra sungguh gemas dengan Andrew yang sejak tadi bertingkah aneh dan menyebalkan. Entah sejak kapan, tapi sebelumnya pria ini tidak begitu. Lupakan kebodohan Andrew saat masuk kamar Arra dan melihatnya telanjang. "Oh astagaa ... Aku tidak melamun, Arra." Mengusap lengan yang tadi dipukul Arra. Sungguh! Mulai sekarang, Andrew harus mempekerjakan orang baru yang ahli mengurut badan di rumah. Bisa kaku otot-otot lengannya kalau Arra terus-terusan memukulnya seperti ini. "Kau melamun tadi," berkeras Arra. Jelas-jelas dia melihat Andrew tersenyum, meskipun samar dan singkat, tapi Arra melihatnya sekilas. "Iya, Arra sayang .., aku melamun. Maaf ya." Lagi dan lagi, Andrew seolah menjadi si pembuat onar yang setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyalah permintaan maaf akibat perbuatannya. 'Sayang? Dia memanggil sayang?' Arra memerah wajahnya. Namun karena tak ingin ketahuan oleh pria itu, dia buru-buru berbalik dan
Bab 25Sigap, sang dokter tampan berusaha menangkap tubuh Arra yang hampir terjatuh. Tapi respon cepatnya justru tak memperkirakan keseimbangannya sendiri. Alhasil keduanya jatuh dengan Arra yang menimpa tubuh Dokter Andrew.“Kau tidak apa-apa?” khawatir Andrew, matanya menatap Arra yang berada tepat di atasnya. 'Astaga, pose apa ini? dan kenapa pula jantungku jadi berisik? semoga Arra tidak mendengarnya.' Bukannya menjawab, Arra justru jadi salah tingkah. Langsung dia bangkit dan membelakangi sang dokter.‘Aataga! Bodohnya ... Kenapa aku bisa menimpa dia?!’ Arra menyesali kecerobohannya sendiri.“Arra, kau tidak apa-apa kan?” Sekarang Andrew sudah berdiri tepat di belakang Arra. Dia sungguh-sungguh khawatir dengan wanita itu. Maksud hati ingin membuat Arra bahagia, malah terjadi kecelakaan seperti ini.“Perutmu sakit? Atau ada bagian lain yang sakit?” tanya Andrew lagi.Namun Arra masih malu. Kecelakaan tadi sungguh membuat dia salah tingkah, menimpa tubuh Andrew yang artinya dada