Share

Penguasa Dibalik Bayangan
Penguasa Dibalik Bayangan
Penulis: FIDÉLITÉ

Ch 1. Kehilangan

---DISCLAIMER---

Semua Tokoh, Lokasi, dan Kejadian yang ada di dalam cerita ini hanyalah fiksi dan tidak berhubungan sama sekali dengan dunia nyata.

Have Fun :)

BAB 1

“Ayah, Ayah!”

Di tengah jalan raya, di samping mobil yang sudah hancur remuk, seorang laki-laki berteriak sambil menekan luka pada bagian perut seorang laki-laki paruh baya di depannya dengan kedua tangannya.

Pria tua yang terbaring di jalanan itu meringis kesakitan. Dengan tangan bersimbah darah, dia memegang tangan laki-laki tersebut dan mulai berbicara dengan suara yang serak.

“Cukup Di!. Simpan tenagamu, tidak ada gunanya!”

“Maafkan Ardi, Yah. Seharusnya Ardi mendengarkan kata-kata Ayah sejak awal!”

Ardi yang merasa tidak rela harus kehilangan Ayahnya seperti ini, hanya bisa meminta maaf terus menerus. Air matanya mengucur deras. Yang bisa dilakukannya hanyalah menekan perut ayahnya yang terluka parah sekuat tenaga.

“Ingat Di!. Jangan pernah menaruh kepercayaanmu kepada orang lain sepenuhnya,” Angin malam yang dingin tampak membuat pria tua itu mengigil dan tidak bisa melanjutkan perkataannya.

Tidak berselang lama, sebuah mobil SUV hitam datang. Beberapa pria bersetelan hitam turun dari mobil tersebut dan berlari menghampiri Ardi dan ayahnya.

“Tuan,” ujar salah satu pria tersebut yang langsung berlutut di samping Ardi. Orang itu tampak kebingungan harus melakukan apa.

“Hold this!”

Ardi memerintahkan pria yang berlutut tersebut untuk menggantikannya menahan luka Sang Ayah sekuat mungkin. “Ambulans akan segera datang, jaga Ayah terus dan laporkan keadaannya, apapun yang terjadi!”

Dia lalu bangkit berdiri, “Tenang saja Dad. Aku tidak akan melepaskan orang yang sudah merencanakan ini semua,” ucapnya sebelum berjalan pergi dari tempat dia berdiri sekarang ini.

Dia juga sempat menyeka air matanya sebelum masuk ke dalam mobilnya. Dia juga sempat melirik ke belakang, sebelum menutup pintu dan pergi meninggalkan Ayahnya bersama para bodyguardnya.

Tanpa berpikir panjang, karena emosi yang menguasai dirinya. Dia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi sambil berusaha menelepon seseorang. Dalam pikirannya sekarang hanyalah satu, menghabisi orang yang sudah menyebabkan Ayahnya kecelakaan. Dan dia sudah tahu siapa orang tersebut.

“Di mana kalian?!” karena emosi, nada suaranya terdengar seperti sedang membentak lawan bicaranya.

“...”

Setelah mendapatkan sebuah alamat, dia langsung menutup telepon; menginjak gas sedalam mungkin dan bermanuver dengan cukup berbahaya di tengah jalanan yang agak ramai.

Setibanya di basemen apartemen yang dia tuju, kedua orang teman Ardi, Jeremy dan Devan sudah menunggunya di depan pintu masuk menuju area lift.

Keluar dari dalam mobil. Dia berjalan ke bagian belakang mobilnya untuk mengambil tongkat golf yang selalu ada dalam bagasi mobilnya.

Pikirannya sekarang sudah tidak karuan. Dia sudah tidak peduli lagi jika hari ini akan masuk kantor polisi atau ada media akan meliput dirinya, dan memasang wajahnya di halaman paling depan esoknya.

“Orang itu tidak lari kemana-mana kan?” Dia bertanya kepada Devan dan juga Jeremy.

Sebab semenjak sehari yang lalu, dia menugaskan keduanya untuk mengawasi Mr. Salim; orang yang sudah dia curigai mempunyai rencana busuk terhadap keluarganya dan juga perusahaan ayahnya.

“Tidak sih, tapi lu yakin mau melakukan ini? Ini ilegal loh.” Jeremy sempat memperingatkannya, namun dia tersenyum sinis.

Sedari awal dia memang sudah merencanakan semuanya dengan sempurna, termasuk memasang bypass di server bagian keamanan apartemen tempat dia berada sekarang.

Sehingga kapan pun dia harus keluar masuk tanpa ketahuan, dia bisa melakukannya tanpa terlalu banyak berpikir. Hanya dengan menekan satu tombol kecil, maka CCTV yang ada akan menampilkan playback kejadian sejam yang lalu.

Ding Dong....

Ardi menekan tombol bel unit 3006. Dia mengulangnya hingga beberapa kali karena begitu emosi. Dirinya sudah tidak sabar menghajar orang yang sudah mengkhianati dan mencelakai ayahnya.

Begitu pintu baru terbuka sedikit saja, dia memanfaatkan celah itu dengan menendang pintu tersebut hingga membuat hidung Mr. Salim mengeluarkan darah layaknya orang mimisan.

“Wowowo, tahan sebentar.” Devan berdiri di antara Ardi dan Mr. Salim. “Lu ngak bilang kalau kita akan menyiksa dia,”

“Si brengsek ini sudah mencelakai ayah gue, dan lu masih berharap gue kasih dia keringanan? Minggir!” Ardi mendorong Devan ke arah samping.

Tanpa memedulikan apa yang akan terjadi atau jebakan yang mungkin di siapkan oleh Mr. Salim. Dia meraih kerah baju Mr. Salim, memaksanya berdiri, lalu menyikut lehernya sambil mendorongnya hingga membanting orang ini ke tembok di belakangnya.

Tatapannya begitu beringas. Sambil mencekik, dia membayangkan menghajar Mr. Salim dalam kepalanya saat ini.

“Pl ... Please,” Mr. Salim yang tampak sudah mulai kehabisan nafas. Memohon sambil menepuk-nepuk lengan Ardi.

Walau sebenarnya ingin sekali membunuh Mr. Salim, Ardi tetap berusaha mengendalikan dirinya. Dia melepas tangannya dari leher Mr. Salim, membuat orang ini terjatuh berlutut di depannya.

“Sungguh menakjubkan,” kata Ardi. “Sekarang kau bisa minta tolong ya di momen seperti ini? Kemana orang yang berani mengancam akan membunuhku 2 hari yang lalu?” Ardi tertawa sinis sambil berjalan menuju sofa terdekat yang ada di ruang tengah.

“I— Itu semua cuma perintah. K— Kau tahu sendiri kan bagaimana para tetua sangat menginginkan perusahaan ayahmu.” Mr. Salim tampak ketakutan. Dia bahkan sampai berbicara dengan gelagapan.

Maklum saja. Sebab sangat jarang Ardi menunjukkan sisi monsternya seperti sekarang ini di depan orang lain.

“Ah, begitu? Rupanya kalian tidak ada takut-takutnya setelah di ancam dengan baik-baik waktu itu?” Ardi menghela nafas sambil mengelus keningnya dengan tangan kirinya. “Begini saja, bagaimana kalau kau kasih saya nama bosmu,”

Mimik wajah Mr. Salim yang awalnya terlihat takut tiba-tiba berubah menjadi lebih santai. Bahkan sampai berani tersenyum sinis, seolah sedang meremehkan Ardi.

“Nama?” Mr. Salim sempat meludah ke lantai. “Tidak akan pernah! Lebih baik mati di tangan mereka dari pada harus berkhianat!”

“Begitu? Baiklah.” Ardi mengeluarkan handphone-nya dan berlagak seperti akan menelepon seseorang. “Mari kita lihat apa yang terjadi ke keluarga yang sangat kau cintai itu. Darah di balas dengan darah, sudah tidak asing lagi kan dengan ungkapan itu?” Dia melanjutkan sambil tersenyum jahat kepada Mr. Salim.

“WAIT!” Mr. Salim berseru dengan nyaring. “O— Oke, tapi tolong lepaskan keluargaku dari ini semua.”

“Well. Tergantung dari seberapa berharganya informasi yang kau berikan.” Ardi mengangkat kedua bahunya.

Mengancam menggunakan keluarga—walau dia tidak benar-benar berniat menggunakan cara itu—tidak disangkanya akan betul-betul berhasil. Padahal, tadi itu merupakan tindakan putus asanya karena tidak mendapatkan informasi apapun.

“Hanya ini yang saya tahu,” ucap Mr. Salim. Dia memberikan secarik kertas bertuliskan sebuah nama dan nomor telepon asing kepada Ardi; karena awalan depannya bukan +62.

“Kalau ini bohong, awas saja. Kau akan menyesal karena berani macam-macam dengan orang yang salah,” ancam Ardi kembali. Dia sudah tidak memedulikan lagi kalau Mr. Salim lebih tua darinya. Baginya, orang itu tidak lebih dari seonggok sampah.

Setelah mendapatkan informasi tersebut. Dia berjalan pergi, keluar dari unit apartemen yang dihuni Mr. Salim. Akan tetapi, saat sedang menunggu lift, teleponnya bergetar. Melihat yang meneleponnya adalah pengawal yang dia suruh untuk menemani Ayahnya tadi, dia langsung menjawab panggilan tersebut.

“Bagaimana den ...”

“...”

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status