“Ayah, Ayah!”
Di tengah jalan raya, di samping mobil yang sudah hancur remuk, seorang laki-laki berteriak sambil menekan luka pada bagian perut seorang laki-laki paruh baya di depannya dengan kedua tangannya.
Pria tua yang terbaring di jalanan itu meringis kesakitan. Dengan tangan bersimbah darah, dia memegang tangan laki-laki tersebut dan mulai berbicara dengan suara yang serak.
“Cukup Di!. Simpan tenagamu, tidak ada gunanya!”
“Maafkan Ardi, Yah. Seharusnya Ardi mendengarkan kata-kata Ayah sejak awal!”
Ardi yang merasa tidak rela harus kehilangan Ayahnya seperti ini, hanya bisa meminta maaf terus menerus. Air matanya mengucur deras. Yang bisa dilakukannya hanyalah menekan perut ayahnya yang terluka parah sekuat tenaga.
“Ingat Di!. Jangan pernah menaruh kepercayaanmu kepada orang lain sepenuhnya,” Angin malam yang dingin tampak membuat pria tua itu mengigil dan tidak bisa melanjutkan perkataannya.
Tidak berselang lama, sebuah mobil SUV hitam datang. Beberapa pria bersetelan hitam turun dari mobil tersebut dan berlari menghampiri Ardi dan ayahnya.
“Tuan,” ujar salah satu pria tersebut yang langsung berlutut di samping Ardi. Orang itu tampak kebingungan harus melakukan apa.
“Hold this!”
Ardi memerintahkan pria yang berlutut tersebut untuk menggantikannya menahan luka Sang Ayah sekuat mungkin. “Ambulans akan segera datang, jaga Ayah terus dan laporkan keadaannya, apapun yang terjadi!”
Dia lalu bangkit berdiri, “Tenang saja Dad. Aku tidak akan melepaskan orang yang sudah merencanakan ini semua,” ucapnya sebelum berjalan pergi dari tempat dia berdiri sekarang ini.
Dia juga sempat menyeka air matanya sebelum masuk ke dalam mobilnya. Dia juga sempat melirik ke belakang, sebelum menutup pintu dan pergi meninggalkan Ayahnya bersama para bodyguardnya.
Tanpa berpikir panjang, karena emosi yang menguasai dirinya. Dia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi sambil berusaha menelepon seseorang. Dalam pikirannya sekarang hanyalah satu, menghabisi orang yang sudah menyebabkan Ayahnya kecelakaan. Dan dia sudah tahu siapa orang tersebut.
“Di mana kalian?!” karena emosi, nada suaranya terdengar seperti sedang membentak lawan bicaranya.
“...”
Setelah mendapatkan sebuah alamat, dia langsung menutup telepon; menginjak gas sedalam mungkin dan bermanuver dengan cukup berbahaya di tengah jalanan yang agak ramai.
Setibanya di basemen apartemen yang dia tuju, kedua orang teman Ardi, Jeremy dan Devan sudah menunggunya di depan pintu masuk menuju area lift.
Keluar dari dalam mobil. Dia berjalan ke bagian belakang mobilnya untuk mengambil tongkat golf yang selalu ada dalam bagasi mobilnya.
Pikirannya sekarang sudah tidak karuan. Dia sudah tidak peduli lagi jika hari ini akan masuk kantor polisi atau ada media akan meliput dirinya, dan memasang wajahnya di halaman paling depan esoknya.
“Orang itu tidak lari kemana-mana kan?” Dia bertanya kepada Devan dan juga Jeremy.
Sebab semenjak sehari yang lalu, dia menugaskan keduanya untuk mengawasi Mr. Salim; orang yang sudah dia curigai mempunyai rencana busuk terhadap keluarganya dan juga perusahaan ayahnya.
“Tidak sih, tapi lu yakin mau melakukan ini? Ini ilegal loh.” Jeremy sempat memperingatkannya, namun dia tersenyum sinis.
Sedari awal dia memang sudah merencanakan semuanya dengan sempurna, termasuk memasang bypass di server bagian keamanan apartemen tempat dia berada sekarang.
Sehingga kapan pun dia harus keluar masuk tanpa ketahuan, dia bisa melakukannya tanpa terlalu banyak berpikir. Hanya dengan menekan satu tombol kecil, maka CCTV yang ada akan menampilkan playback kejadian sejam yang lalu.
Ding Dong....
Ardi menekan tombol bel unit 3006. Dia mengulangnya hingga beberapa kali karena begitu emosi. Dirinya sudah tidak sabar menghajar orang yang sudah mengkhianati dan mencelakai ayahnya.
Begitu pintu baru terbuka sedikit saja, dia memanfaatkan celah itu dengan menendang pintu tersebut hingga membuat hidung Mr. Salim mengeluarkan darah layaknya orang mimisan.
“Wowowo, tahan sebentar.” Devan berdiri di antara Ardi dan Mr. Salim. “Lu ngak bilang kalau kita akan menyiksa dia,”
“Si brengsek ini sudah mencelakai ayah gue, dan lu masih berharap gue kasih dia keringanan? Minggir!” Ardi mendorong Devan ke arah samping.
Tanpa memedulikan apa yang akan terjadi atau jebakan yang mungkin di siapkan oleh Mr. Salim. Dia meraih kerah baju Mr. Salim, memaksanya berdiri, lalu menyikut lehernya sambil mendorongnya hingga membanting orang ini ke tembok di belakangnya.
Tatapannya begitu beringas. Sambil mencekik, dia membayangkan menghajar Mr. Salim dalam kepalanya saat ini.
“Pl ... Please,” Mr. Salim yang tampak sudah mulai kehabisan nafas. Memohon sambil menepuk-nepuk lengan Ardi.
Walau sebenarnya ingin sekali membunuh Mr. Salim, Ardi tetap berusaha mengendalikan dirinya. Dia melepas tangannya dari leher Mr. Salim, membuat orang ini terjatuh berlutut di depannya.
“Sungguh menakjubkan,” kata Ardi. “Sekarang kau bisa minta tolong ya di momen seperti ini? Kemana orang yang berani mengancam akan membunuhku 2 hari yang lalu?” Ardi tertawa sinis sambil berjalan menuju sofa terdekat yang ada di ruang tengah.
“I— Itu semua cuma perintah. K— Kau tahu sendiri kan bagaimana para tetua sangat menginginkan perusahaan ayahmu.” Mr. Salim tampak ketakutan. Dia bahkan sampai berbicara dengan gelagapan.
Maklum saja. Sebab sangat jarang Ardi menunjukkan sisi monsternya seperti sekarang ini di depan orang lain.
“Ah, begitu? Rupanya kalian tidak ada takut-takutnya setelah di ancam dengan baik-baik waktu itu?” Ardi menghela nafas sambil mengelus keningnya dengan tangan kirinya. “Begini saja, bagaimana kalau kau kasih saya nama bosmu,”
Mimik wajah Mr. Salim yang awalnya terlihat takut tiba-tiba berubah menjadi lebih santai. Bahkan sampai berani tersenyum sinis, seolah sedang meremehkan Ardi.
“Nama?” Mr. Salim sempat meludah ke lantai. “Tidak akan pernah! Lebih baik mati di tangan mereka dari pada harus berkhianat!”
“Begitu? Baiklah.” Ardi mengeluarkan handphone-nya dan berlagak seperti akan menelepon seseorang. “Mari kita lihat apa yang terjadi ke keluarga yang sangat kau cintai itu. Darah di balas dengan darah, sudah tidak asing lagi kan dengan ungkapan itu?” Dia melanjutkan sambil tersenyum jahat kepada Mr. Salim.
“WAIT!” Mr. Salim berseru dengan nyaring. “O— Oke, tapi tolong lepaskan keluargaku dari ini semua.”
“Well. Tergantung dari seberapa berharganya informasi yang kau berikan.” Ardi mengangkat kedua bahunya.
Mengancam menggunakan keluarga—walau dia tidak benar-benar berniat menggunakan cara itu—tidak disangkanya akan betul-betul berhasil. Padahal, tadi itu merupakan tindakan putus asanya karena tidak mendapatkan informasi apapun.
“Hanya ini yang saya tahu,” ucap Mr. Salim. Dia memberikan secarik kertas bertuliskan sebuah nama dan nomor telepon asing kepada Ardi; karena awalan depannya bukan +62.
“Kalau ini bohong, awas saja. Kau akan menyesal karena berani macam-macam dengan orang yang salah,” ancam Ardi kembali. Dia sudah tidak memedulikan lagi kalau Mr. Salim lebih tua darinya. Baginya, orang itu tidak lebih dari seonggok sampah.
Setelah mendapatkan informasi tersebut. Dia berjalan pergi, keluar dari unit apartemen yang dihuni Mr. Salim. Akan tetapi, saat sedang menunggu lift, teleponnya bergetar. Melihat yang meneleponnya adalah pengawal yang dia suruh untuk menemani Ayahnya tadi, dia langsung menjawab panggilan tersebut.
“Bagaimana den ...”
“...”
Bersambung...---DISCLAIMER--- Semua Tokoh, Lokasi, dan Kejadian yang ada di dalam cerita ini hanyalah fiksi dan tidak berhubungan sama sekali dengan dunia nyata. Have Fun :) BAB 2 Di rumah sakit, Saat berjalan di lorong menuju ruangan ICU tempat ayahnya di rawat. Ardi menatap ke depan dengan pikiran yang kosong. Hanya ada kesedihan dan amarah dalam hatinya. Momen pertengkaran kecil di pagi hari tadi dengan ayahnya masih terbenam jelas di pikirannya. Dia bahkan menganggap Tuhan tidak adil karena membiarkan orang baik seperti ayahnya harus pergi dengan cara seperti ini. Begitu mendengar tangisan bunya dan adiknya. Ardi jatuh tersimpuh di depan pintu masuk. Tangisnya kemudian pecah, begitu keras sampai beberapa perawat yang ada di situ menunduk atau mengalihkan pandangan mereka. 3 Hari setelahnya, berita kematian Ayahnya menjadi headline di mana-mana. Namun anehnya, kepolisian dengan cepat menyimpulkan itu sebagai murni kasus tabrak lari. Rumah keluarganya yang begitu besar untuk ditinggali 1
---DISCLAIMER---Semua Tokoh, Lokasi, dan Kejadian yang ada di dalam cerita ini hanyalah fiksi dan tidak berhubungan sama sekali dengan dunia nyata.Have Fun :)BAB 3“A.. Ardi?” Pak Gunawan tampak gugup,Memang sih, apalagi mengingat kharisma Ardi yang memang tidak main-main ketika sudah masuk dalam mode serius.Namun menariknya, perempuan yang ada di depan Pak Gunawan tampak tidak bergeming sedikit pun, wajahnya sangat tenang, seolah sudah memperkirakan kedatangan Ardi saat ini.“Tampaknya anda akan sibuk, kalau begitu saya permisi dulu,” saat perempuan tersebut berbicara sambil berdiri untuk mohon pamit, Ardi terus memperhatikannya.“Ardi kan? Perkenalkan, Mrs. Jennifer,” wanita tersebut memperkenalkan diri saat berpapasan dengan Ardi di jalan masuk.Tentu saja, sebagai bentuk sopan santun, Ardi membalas dengan ramah,“Ardi,” walau semenjak kecelakaan ayahnya, dia menjadi curigaan terhadap semua orang asing yang di temuinya untuk pertama kali. Namun, akal sehatnya tentu masih jalan
Sesuai perintah Ardi, perwakilan dari Bagian Keuangan dan Marketing sudah menunggunya di salah satu ruangan rapat yang ada.“Maaf karena saya meminta kalian bertemu seperti ini,” begitu duduk, dia sengaja langsung meminta maaf. Karena setelah melihat salah satu survei internal soal kelayakan gaji lembur sekarang ini, ternyata banyak yang kurang puas.Dan permasalahan kali ini sudah pasti akan membuat banyak orang yang akan lembur demi mengatur ulang rencana ke depannya. Ayu memang pernah menyarankannya untuk segera menaikkan uang lembur sekitar 25 – 50%. Namun kondisi keuangan perusahaan sekarang ini sangat tidak memungkinkan hal itu.“Silahkan,” dia mengangkat lengannya, mempersilahkan masing-masing tim untuk menyampaikan proyeksi rencana mereka ke depannya.Baru 10 menit berjalan, dia sudah menemukan ‘cacat’ dalam rencana tim pemasaran yang menurutnya kurang sesuai dengan target pasar mereka kali ini. Akan tetapi, dia memilih untuk tetap diam dulu hingga rapat selesai. Apalagi ini m
Walau tertarik, dia tidak langsung membuka pesan yang ternyata berisikan sebuah file yang di kompresi. Dia mengirim file tersebut ke emailnya terlebih dahulu, lalu membuka email tersebut di Virtual Machinenya—berjaga-jaga kalau itu mungkin adalah sebuah jebakan yang akan meretas data-data perusahaannya.Setelah merasa semuanya aman, baru dia membuka file tersebut secara langsung. Hasilnya sangat membuatnya terkejut ketika melihat sekumpulan video CCTV yang tidak bisa di dapatkan polisi, yang menutup kasus Ayahnya sebagai murni sebuah kecelakaan.Namun, ketika sampai di video terakhir, dia tidak kuasa untuk meneteskan air matanya.“ Tes.. 1, 2, 3.. Sudah merekam kan?” saat mendengar suara Ayahnya dan melihat wajahnya lagi, air matanya mengalir begitu saja, di tambah lagi saat melihat Ayahnya yang begitu gugup di depan kamera.“Ardi, kalau kamu melihat video ini, itu berarti perjuangan Ayah untuk melindungi apa yang akan Ayah sampaikan sudah gagal. Dan sudah waktunya bagi kamu untuk mel
“Berhenti,” dia memberi perintah untuk menghentikan cuplikan gambar di depannya sekarang, “Apa hubungannya dia dengan organisasi tadi?” dia langsung bertanya saat ada foto Mrs. Jennie dalam bagan orang-orang yang berkaitan erat dengan Mrs, Jennie.“Untuk sekarang kami mencurigai dia adalah salah satu dari 7 perwakilan The Collector’s di Indonesia sekarang ini,”Dia akhirnya paham maksud dari 7 gambar besar yang bertengger di paling atas. Melihat hanya wajah Mrs. Jennie saja yang di tampilkan dan 6 lainnya hanya gambar hitam dengan tanda tanya, dia bisa menebak kalau hanya Mrs. Jennie saja yang identitasnya sudah terbongkar.“Jadi, hanya Mrs. Jennie saya yang sudah ketahuan?” dia iseng bertanya untuk memastikan dugaannya,“Begitulah, saking misteriusnya mereka, 3 tahun dengan semua teknologi canggih ini hanya bisa membongkar satu orang saja. Itupun karena Mr. Salim yang ceroboh sehingga kami bisa yakin kalau orang ini adalah salah satu perwakilan,”“Lalu bagaimana dengan Mr. Salim, sej
“Bagaimana dengan penyelidikan lu soal Mrs, Jennie?” dia bertanya kepada Ayu saat mereka sedang menunggu Cynthia berganti pakaian dalam toilet.“Tidak terlalu banyak kemajuan,”“Selidiki semua orang yang terlibat dengan dia, jangan ada satupun yang terlewatkan. Kalau perlu bentuk tim lapangan untuk memantau langsung, dan juga...” dia berhenti sejenak, “Nevermind, pokoknya selidiki semua orang yang berhubungan dengan Mrs. Jennie, siapapun itu,” Walaupun memang Ayu sudah menjadi salah satu orang kepercayaannya selama ini. Tetap saja gambar hitam dengan tanda tanda tanya yang dia lihat lab Project X waktu itu mengganggu mentalnya soal menilai seseorang.“Oke, terserah lu saja kalau begitu,” walau begitu, Ayu tiba-tiba melirik ke arahnya, “Lu ngak menyembunyikan sesuatu dari gua kan?”“Apa? Ngak ada lah,” dia mencoba untuk menunjukkan untuk tidak terlihat gugup di depan Ayu yang anehnya selalu saja bisa menemukan celah ketika dirinya sedang ada masalah.“F
‘Luar biasa!’ itulah reaksi yang tepat untuk menggambarkan bagaimana terkejutnya dia saat melihat X-Files yang didapatkan oleh Ayu.Walau dirinya sudah menduga bagaimana permainan kucing-kucingan yang di lakukan oleh Mrs. Jennie, dia tidak menduga kalau orang-ornag yang berada dalam circle Mrs. Jennie ternyata banyak berasal dari pejabat kelas atas dan orang-orang penting di pemerintahan.“Kirimkan semua ini ke email dan private server kita, sebagai jaga-jaga saja,” dia langsung memerintahkan Ayu untuk mengantisipasi kehilangan data penting yang bisa menjadi kunci untuk membalikkan permainan Mrs. Jennie ke depannya.“Tidak mau langsung digunakan saja? Ini bisa jadi gamechanger loh,”“Resikonya tidak sepadan, lebih baik kita simpan saja dulu. Itu akan menjadi kartu terakhir kita kalau sedang terpojok. Dan lagipula, perusahaan kita masih bisa kok mengatasi kalo cuma masalah peluncuran produk kaya begini,” jelasnya. Walau perkataan Ayu memang ada benarnya. Dia tidak mau membuang ka
Perkataan Ayu membuat Ardi terdiam untuk sejenak.“Putar mobilnya, kita kembali ke perusahaan sekarang,” perintah Ardi. Dia memutar otaknya, apa yang harus dia lakukan di momen seperti ini? Begitu sampai di ENS Electronics, dia langsung menuju ruangan server untuk memeriksanya secara langsung. Tidak lupa, dia menghubungi Pak Dwi untuk membantunya secara diam-diam saat di perjalanan tadi.“Kami tidak tahu masalahnya Pak, tiba-tiba saja semua data backup maupun yang aslinya hilang dari server begitu saja,” keluh salah satu petugas di ruang control server.“Apa ada trafik mencurigakan yang masuk secara tiba-tiba?” Ardi bertanya, dia berusaha untuk tetap tenang dan tidak memarahi pegawai di depannya ini yang sudah keringat dingin.“Apa bisa sebuah semua file yang sudah di simpan hilang begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya? Bahkan sampai file aslinya?!” Lain halnya dengan Ardi, Ayu malah langsung meninggikan suaranya saat berbicara ke semua orang yang ada di ruangan bersama merek