Share

Ch 2. Era CEO yang Baru

---DISCLAIMER---

Semua Tokoh, Lokasi, dan Kejadian yang ada di dalam cerita ini hanyalah fiksi dan tidak berhubungan sama sekali dengan dunia nyata.

Have Fun :)

BAB 2

Di rumah sakit,

Saat berjalan di lorong menuju ruangan ICU tempat ayahnya di rawat. Ardi menatap ke depan dengan pikiran yang kosong. Hanya ada kesedihan dan amarah dalam hatinya. Momen pertengkaran kecil di pagi hari tadi dengan ayahnya masih terbenam jelas di pikirannya.

Dia bahkan menganggap Tuhan tidak adil karena membiarkan orang baik seperti ayahnya harus pergi dengan cara seperti ini.

Begitu mendengar tangisan bunya dan adiknya. Ardi jatuh tersimpuh di depan pintu masuk. Tangisnya kemudian pecah, begitu keras sampai beberapa perawat yang ada di situ menunduk atau mengalihkan pandangan mereka.

3 Hari setelahnya, berita kematian Ayahnya menjadi headline di mana-mana. Namun anehnya, kepolisian dengan cepat menyimpulkan itu sebagai murni kasus tabrak lari.

Rumah keluarganya yang begitu besar untuk ditinggali 10 orang—termasuk dengan pembantu—menjadi ramai hanya dalam semalam. Karangan bunga membanjiri halaman depan, bahkan sampai memakan jalan di depan rumah mereka.

Tamu-tamu penting banyak yang hadir. Mulai dari sosok wakil presiden; beberapa orang menteri; para pengusaha; hingga beberapa artis membanjiri acara layatan di rumahnya.

“Kamu sudah siap?”

Cynthia, tunangan Ardi bertanya kepada Ardi yang sedang melihat semua kumpulan orang-orang besar itu dari jendela di kamarnya—yang memang langsung menghadap ke halaman depan.

Ardi menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. “Oke, ayo,” dia memaksakan senyum tipis di wajahnya.

Pesan terakhir Ayahnya untuk tidak mempercayai siapapun begitu berbekas di ingatannya. Sekarang ini dia sadar sepenuhnya soal statusnya yang mulai malam ini, adalah Chairman baru dari ENS Group.

1 Minggu Kemudian

“Bagaimana kau akan mengatasi masalah ini?! Uang kami setiap detiknya lenyap karena harga saham yang mulai anjlok!” ujar salah satu anggota dewan Direksi.

2 Hari semenjak Ardi naik menjadi Chairman ENS Group yang baru—berkat wasiat dan semua saham ayahnya—suasana di perusahaan menjadi semakin panas. Harga saham yang merosot setiap harinya, di tambah lagi dengan tidak ada kemajuan dalam proyek yang sempat di kembangkan oleh ayahnya, membuat Dewan Direksi menganggapnya tidak kompeten dan ingin segera melengserkannya.

Namun bukan Ardi namanya jika tidak punya rencana cadangan. Apalagi, ayahnya mendidiknya cukup keras dalam hal manajemen perusahaan.

Dia menunggu dengan sabar sampai suasana ruangan rapat agak tenang.

“Bisa kita mulai atau kalian masih mau bergosip seperti ibu-ibu yang sedang ngerumpi?” ucapnya. Dia dengan santai memainkan pulpen dengan jemari tangan kanannya sambil menatap satu persatu semua orang dalam ruangan tersbeut.

“A— Apa? Ibu-ibu? Jaga mulutmu! Kau tidak tahu kami bisa mencopotmu dari jabatanmu sekarang hah?!” seru salah satu anggota dewan direksi yang tampak geram dengan sindiran Ardi barusan.

Ardi tersenyum tipis. Dia menutup laporan proyeksi pendapatan di depannya yang penuh dengan angka merah; pertanda kalau itu adalah hasil yang tidak bagus. “Dengan apa? Persekongkolan yang hanya ada dalam mimpi kalian?” Dia berbicara dengan gaya menantang.

“Dasar—”

BRAK!!

Ardi menggebrak meja dengan tinjunya. Emosinya yang sedari dia tahan akhirnya meluap karena dia sudah tidak tahan lagi. Semua orang di dalam ruangan itu terdiam. Beberapa pria bahkan ada yang melonggarkan dasinya.

Juga, semua orang sampai menelan ludah saat menyadari satu hal tentang Ardi, ‘orang ini tidak bisa digertak’.

“APA?! Masih mau berceloteh lagi?!” Ardi menatap tajam bapak-bapak yang dari tadi terlihat hendak membalasnya kembali. “Saya ingatkan dari sekarang. Jangan samakan saya dengan Chairman sebelumnya. Dan—”

Dia menghela nafas, menahan dirinya untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang terbilang kasar.

 “Apa kalian tidak punya hati sama sekali? Baru seminggu semenjak CEO sebelumnya meninggal dan kalian malah sibuk membahas soal uang kalian yang hilang? Dasar s—” dia langsung merem mulutnya yang hendak mengatakan kata ‘sialan’. “Pokoknya, camkan kata-kata saya tadi. Kalau tidak. Well, silahkan coba sendiri dan lihat bagaimana endingnya,”

Di belakang Ardi. Ayu, sekretaris Ardi semenjak Ardi menjadi Direktur, tersenyum puas melihat raut wajah dewan direksi yang pucat pasi. Dia sebenarnya juga ingin melampiaskan emosinya saat mengingat bagaimana orang-orang busuk ini terus komplain kepadanya soal Ardi.

“Dasar sekumpulan lintah itu! Yang ada di otak mereka hanya uang, uang, dan uang saja!” Ardi langsung mengumpat saat dia dan Ayu berada dalam lift. Tentunya, hanya ada mereka berdua saja di dalam lift tersebut.

“Tapi seharusnya lu tidak melakukan itu sih. Lu tahu sendiri kan bagaimana Ayah lu saja tidak mau mencari masalah dengan mereka?”

“Bagaimana dengan orang yang gua suruh lu cari itu? Sudah ketemu?” Dia menanyakan kepada Ayu soal informasi yang dia dapatkan dari Mr. Salim.

“On progress, katanya butuh waktu 1 atau 2 minggu,”

“Tidak bisa di percepat?”

“Indonesia itu luas bapak, belum lagi kalau dia ada di luar negeri sekarang. Lebih baik sekarang lu fokus dulu untuk mengatur masalah internal di perusahaan. Banyak hal yang harus kita benahi,”

Ardi kembali menghela nafas. Dia bersyukur memilik sekretaris dan teman seperti Ayu yang setia membantunya selama ini.

Saat tiba di lantai 44; di mana kantor Chairman berada. Ardi dan Ayu di sambut dengan hiruk pikuk karyawan yang mondar-mandir dengan hebohnya—yang biasanya hanya terjadi kalo ada event penting yang sudah dekat, atau sedang ada masalah yang gawat.

“Memangnya ada jadwal penting ya dalam waktu dekat?” Ardi bertanya kepada Ayu sambil terus menengok ke sekelilingnya.

“Nope,”

Begitu Ayu menjawab, Ardi menghentikan salah satu karyawannya dan bertanya. “Ada masalah apa?”

“Ehm, anu pak. Sekarang ini..”

“ARDI!” Haryono, salah satu orang yang Ardi percaya. Menyahut dari kejauhan sambil berjalan dengan langkah panjang menghampiri Ardi. “Dari mana saja lu?”

Ardi mempersilahkan karyawan wanita yang sempat dia cegat untuk pergi.

“Kenapa? Ada masalah apa sampai kantor heboh gini?”

“Suplier bahan baku untuk produksi produk terbaru kita, mereka menaikkan harga bahan baku sampai 50% secara tiba-tiba dan menolak untuk mengirimkan bahan bakunya sampai selisih biayanya di lunasi.”

Ardi diam di tempatnya, dia memutar otak bagaimana menyelesaikan permasalahan kali ini. Sebab produk terbaru mereka memang akan di rilis dalam bulan ini. Dan dengan permasalahan seperti ini, maka stok barang untuk flash sale bisa saja terganggu.

“Ayu, hubungi Pak Danu, bilang siapkan mobil di loby sekarang. Sedangkan lu (menunjuk Haryono) stay di sini, kabari terus update permasalahannya. Cari juga suplier baru kalo ada yang lebih murah, tapi ingat, kualitas tetap jadi perhatian utama,”

Di dalam lift, Ardi memikirkan banyak hal. Ada satu pemikiran dalam kepalanya mengenai kenapa hal ini mungkin terjadi. Yaitu, orang-orang yang mencelakai Ayahnya juga berada di balik masalah kali ini.

Sambil mereka berjalan di lobi, Ardi meminta Ayu untuk mengecek beberapa suplier yang bisa mereka percaya, dan mencari informasi mengenai gerakan yang di lakukan oleh pesaing mereka.

“Ke HQ PT. JCorp, pak,” pinta Ardi kepada Pak Danu begitu dia dan Ayu masuk ke dalam mobil.

“Aneh, kenaikan harga barang tidak ada hubungannya dengan standar global saat ini ataupun persaingan dari pesaing kita,” ucap Ayu.

“Berarti hanya ada satu kemungkinan, ada orang yang sengaja mempermainkan kita. Entah ini trick dari pesaing kita atau ulah para ‘tetua’ itu yang ingin mempersulit kita.” Ardi langsung menyimpulkan tanpa perlu berpikir panjang.

“Itu tuduhan yang cukup berbahaya loh,”

“Kalo mereka bisa sampai merekayasa kematian ayahku sebagai sebuah kecelakaan, sudah pasti hal seperti ini adalah hal mudah bagi mereka,”

“Kau tidak akan mengatakan kalau itu adalah pembunuhan berencana?” Ayu bertanya.

“And who’s gonna believe that shit? Kita tidak punya bukti yang cukup kuat untuk mengubah status kasusnya. Dan kalaupun betul-betul di ubah menjadi kasus pembunuhan, para ‘tetua’ itu akan sangat sulit di tangkap karena minimnya informasi,”

“Tapi—”

“Sudahlah, lebih baik kita lakukan ini dengan diam-diam. Kalo sudah menjadi lebih gawat, baru kita lapor ke polisi,” Ardi menyela perkataan Ayu.

Begitu tiba di kantor PT. JCorp, Ardi langsung berjalan memasuki gedung utama di mana kantor dari Presdir berada. Pernah beberapa kali mengunjungi tempat ini bersama dengan Ayahnya dulu, dia tidak perlu bertanya kepada siapa pun untuk mengetahui di mana kantor Presdir.

“Pak Gunawannya ada kan? Bilang saya ingin bertemu dengan beliau.” Ardi berbicara dengan salah satu Sekretaris yang ada di depan pintu masuk ke ruangan kerja Presdir.

“Maaf pak, beliau sedang ada tamu.”

Cukup mengetahui kalo Pak Gunawan ada di kantornya, tanpa menghiraukan soal ada tamu atau tidak. Ardi langsung berjalan menuju pintu dan menerobos masuk.

Dia sudah tidak peduli jika dirinya dibilang tidak sopan atau kurang ajar, sebab nasib peluncuran produknya sangat bergantung dengan permasalahan sekarang.

“Siapa yang berani-berani—” Pak Gunawan sempat hendak membentak. Namun terpaku di tempat duduknya begitu melihat Ardi dengan wajah seriusnya berdiri di jalan masuk saat ini.

Tapi, yang menarik perhatian Ardi adalah sosok perempuan—yang mungkin berumur 40-an jika dia menebak—yang sedang duduk di depan Pak Gunawan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status