LOGIN"Damian, aku akan pergi menemui dokter kandungan hari ini. Kau akan ikut?" tanya Carol dari balik pintu kamar mandi. Damian yang baru saja bangun langsung mengangguk. Carol tersenyum senang. Menjelang hari kelahiran anak pertamanya, tentunya berada di sisi Damian adalah hal paling dia nantikan. "Aku akan izin dulu pada Ken." Carol menepuk bahu suaminya lalu mencium pipinya sekilas. "Aku tunggu di bawah. Kau ingin makan apa?" "Sandwich," sahut Damian yang diangguki oleh Carol. Sementara menunggu Damian, Carol duduk di kursi makan sambil menyiapkan makan pagi sang suami. Erik turun lebih awal. Hari ini dirinya hendak pergi ke suatu tempat untuk meninjau ulang projek terbarunya. "Ke mana Damian?" tanya Erik. "Mandi." Carol melirik dari ujung matanya lalu bertanya pada Erik yang terlihat rapi di pagi hari. Seingatnya, hari ini Erik seharusnya pergi ke Airymont untuk bertemu dengan rekan bisnisnya, sesuai dengan perbincangan mereka kemarin malam. "Kau pergi sendiri? Tidak bersama Dam
Tak ada yang tahu apa yang dirasakan oleh Billy Easton selama berada di keluarga Easton yang terlihat megah dan mewah di luar sana. Rasa tersiksa dan ingin membalas dendam atas kehancuran keluarga ibunya, membuatnya nekat melakukan hal aneh dan tak masuk akal. Sejak ia remaja, hari-harinya selalu diwarnai dengan kejadian menyayat hati dan perasaannya. Terpikir untuk pergi dari keluarga itu, tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam tak membolehkannya. Billy harus membalas rasa sakit hati itu dengan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Walaupun Damian tak pernah menganggap Billy seperti hama, tapi membiarkannya terpuruk sendiri tetap saja memiliki andil dalam membentuk dendam yang selama ini menumpuk. Untuk Billy, dosa Damian tak akan terlalu banyak. "Kau mau ke mana?" tegur Marco. Matanya yang tajam melihat pergerakan Billy di ruang tengah. Pria itu hanya terdiam, melirik halus pada Marco di ujung sana. "Aku dapat informasi, Damian tengah memata-matai kita berdua. Cepat beres
Pria bernama Frenco masih duduk di sekitar lobby sambil memainkan ponselnya. Tangannya gelisah melirik arloji di tangan kirinya dan sering kali berdecak kesal menunggu kedua pria yang tengah diintainya. Di sudut dekat lift, berdiri dua pria berbadan kekar tengah memakai topi hitam dan kacamata dengan setengah wajahnya tertutup masker debu. Itu adalah pria yang sama yang ada di coffee shop tadi siang. Frenco menelan ludahnya kasar. Inikah yang mereka maksud dengan eksekusi? Tak lama kemudian, dari lantai atas turunlah dua orang yang selama ini jadi incaran para penjahat kelas atas. Bersama empat pengawalnya, mereka berjalan menyusuri lantai lobby menuju mobilnya yang terparkir di depan pintu masuk. Frenco mengikuti langkah mereka. Begitu juga dengan dua pria kekar itu. Langkah Frenco sengaja dipercepat hingga mendekati Damian dan Erik yang telah lebih dulu tiba di depan pintu masuk. Untuk mengalihkan perhatian, Frenco sengaja menabrak kedua pengawal dan terjadilah keributan yang cuku
Selama satu minggu ini, suasana di sekitar Damian terasa sunyi seperti biasanya. Erik bekerja sesuai dengan tugasnya dan juga Henry yang akhir-akhir ini entah pergi kemana. Sosok itu jarang terlihat berada di Harold Times selama dua hari ke belakang. Damian hanya menggedikkan bahunya. Ia sesungguhnya tak peduli. Tak masalah baginya, hanya saja dirinya tak bisa memantau seluruh kegiatan yang tengah dilakukan oleh pria itu. Pintu ruangan terbuka. Erik masuk sambil mengusap peluh di pelipisnya. Damian hanya meliriknya sesaat lalu kembali menekuri pekerjaannya. "Ada apa?" tanya Damian dengan nada dingin. Erik menyeruput segelas americano dingin di tangannya. Tadi sebelum naik ke lantai atas, ia menyempatkan diri untuk membelinya di bawah. "Kau dikejar oleh seseorang?" tanya Damian lagi. "Ya. Aku seperti mengenalnya, tapi aku lupa. Dia mengejarku saat hendak berjalan menuju lift. Lalu asistenku mengejarnya dan tiba-tiba menghilang begitu saja. Damian, aku rasa mereka mulai bergerak sek
Henry memulai pergerakannya menelusuri masa lalu keluarga Dustin dan Erik. Langkah pertama, ia menyewa detektif swasta kelas atas untuk menyelidiki kasus kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Ivana dan Elena. Bukti di lokasi kejadian hanya sedikit, polisi telah menutup kasus ini dikarenakan tak ada yang bisa ditemukan lagi di tempat kejadian. Lalu ia mulai mencari asal-usul keluarga Erik yang katanya ada hubungannya dengan kematian ayahnya. Jika memang itu benar, Erik adalah target pembunuhan pertama untuk melampiaskan dendamnya. Hal yang paling mengejutkan adalah adanya bukti kuat yang mengarah pada ibunya. Malam sebelum kejadian, Ivana sempat bersitegang dengan ibunya di sebuah pesta para pengusaha sukses di Amberfest. Saat itu, ibunya mengancam akan membunuh Ivana karena telah mempermalukan dirinya. "Bagaimana bisa?" gumamnya. Henry menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia terus menyangkal dalam hatinya yang menyebutkan nama ibunya dalam keterangan dan bukti. "Semua pasti hanya
"Damian, aku ingin pergi ke tempat teman lamaku besok." Damian hanya diam tak memberikan reaksi. Ia sibuk membolak-balik halaman sebuah dokumen yang terlihat penting. Matanya yang dibingkai oleh kacamata berlapis emas tak mengurangi ketampanannya sama sekali. Carol berdecak kesal. "Damian, aku bicara denganmu!" Carol berteriak. Setelah makan malam, Damian memberikan Carol sebuah peringatan untuk tidak keluar rumah sementara waktu hingga batas yang ditentukan. Carol tidak akan diizinkan pergi untuk sesuatu di luar jadwalnnya. Damian beralasan ada seseorang yang mengincar nyawanya di luar sana. Namun Carol membantahnya. Ia ingin pergi menemui temannya untuk membicarakan hal penting. "Kau akan membicarakan apa?" tanya Damian dengan suara pelan. Carol menarik napas panjang perlahan. "Suruh dia ke paviliun. Kau boleh bertemu dengannya di sana." "Aku akan mengajaknya ke sebuah butik dan restoran. Aku akan mengajaknya berbelanja," tolak Carol. Ia tak menyukai usulan Damian yang menyuruh







