Share

Bab 4

"Kemarin aku diberi obat perangsang. Awalnya aku meneleponmu untuk minta dicarikan dokter, tapi kamu tidak menjawab teleponku. Saat kamu menghubungiku, aku sudah tidak tahan," Liam menjelaskan dengan enteng. Raut wajahnya bahkan tidak menunjukkan penyesalan.

Di saat Sofia masih berusaha mencerna ucapan Liam, Liam membuka laci yang ada di samping tempat tidur, lalu mengambil dompetnya untuk mengeluarkan sebuah kartu.

"Ini kartu unlimited, pakai sesukamu." Liam meletakkan kartunya ke tangan Sofia. "Anggap saja sebagai permintaan maaf."

Tanpa disadari, Liam berusaha menghindari tatapan Sofia. Ketika berbicara, jantung Liam berdegup sangat kencang. Sejujurnya dia juga penasaran, dia ingin mengetahui reaksi Sofia.

Namun "kebaikan" Liam malah membuat Sofia murka. Apa maksud Liam? Memangnya Sofia wanita panggilan?

"Pak Liam sangat murah hati, ya!" Sofia tersenyum sinis. "Tapi kita berdua sama-sama orang dewasa, yang terjadi ini bukanlah masalah besar. Apalagi, tidak sembarang wanita bisa tidur bersama Pak Liam. Kalau dihitung-hitung, sebenarnya aku malah untung."

Sofia mengembalikan kartu yang diberikan oleh Liam. "Simpan saja kartunya, aku tidak butuh."

Sembari menatap kedua mata Liam yang muram, Sofia membungkus dirinya dengan selimut dan beranjak untuk duduk. Sofia mengubah semua kemarahannya menjadi keberanian, lalu mengusap dagu Liam dan berkata, "Daripada dikasih kartu, aku lebih senang kalau Pak Liam sering-sering menemaniku."

Sofia kira Liam akan marah, paling-paling Sofia dipecat. Namun tidak disangka, Liam malah mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum menggoda. "Tidak masalah. Setiap kamu memerlukanku, aku akan menemanimu."

....

Sofia pergi dalam keadaan putus asa. Sofia salah perhitungan, dia terlalu meremehkan Liam.

Ketika beranjak keluar dari kamar 8888, Sofia tidak sengaja menabrak seseorang. Dia pun panik dan meminta maaf, "Ah, maaf, maaf ...."

Namun orang yang ditabrak malah terlihat senang dan penasaran. "Wah ...."

Sofia baru ingat, pria ini adalah pria yang membantu Liam check-in. Pria ini memiliki perawakan yang tak kalah tampan, bedanya wajah pria ini lebih lembut daripada Liam. Pria ini mengenakan sebuah kacamata berbingkai emas, dia terlihat alim dan berkelas.

"Kemarin aku buru-buru, kita belum sempat berkenalan." Pria ini mengulurkan tangannya. "Halo, aku Evano Yeca. Aku adalah seorang pengacara yang banyak menangani kasus perceraian."

Evano sengaja menekankan kata "perceraian" untuk menarik perhatian Sofia.

Jika bukan karena Sofia mengenakan kemeja Liam dan terdapat begitu bekas kecupan di lehernya, mungkin Sofia akan mengajak Evano untuk mengobrol lebih jauh.

"Halo, Pak Evano." Sofia menjabat tangan Evano. "Aku masih ada urusan. Aku pamit dulu."

"Sebentar ...." Evano mengeluarkan sebuah salep dari sakunya dan memberikannya kepada Sofia. "Ambil ini."

Sofia berhenti, lalu menoleh ke belakang. Dia heran melihat salep yang diberikan Evano. "Salep? Buat apa?"

Evano menunjuk ke arah kaki Sofia. "Kakimu sempat kecipratan air panas, 'kan? Salep ini bagus banget buat luka bakar."

Luka cipratan kuah hotpot sudah tidak sakit, hanya meninggalkan bekas kemerahan. Yang mengejutkan, Sofia tidak menyangka bahwa Evano akan memperhatikan luka di kakinya. Sewaktu bertegur sapa di lobi hotel, mereka bahkan mengobrol tak lebih dari 10 menit.

Sofia terharu melihat salep dan perhatian yang diberikan Evano. "Terima kasih."

"Kalau mau berterima kasih, terima kasih sama Pak Liam. Kemarin dia yang membeli salep ini, tapi ketinggalan di mobilku. Kebetulan aku mau menemuinya, jadi sekalian aku bawakan," Evano menjelaskan.

Sofia tertegun, Liam yang membelinya? Kenapa?

Sofia kembali ke kamarnya dengan kebingungan. Dia segera mandi, lalu berganti pakaian dan berdandan. Seperti karyawan hotel pada umumnya, Sofia menyanggul rambutnya ke belakang agar terlihat rapi. Dia juga tidak lupa menutupi bekas-bekas merah di lehernya dengan menggunakan alas bedak.

Setelah semua bekas "pergulatan" ditutupi, Sofia bangkit berdiri dan beranjak ke depan tempat tidur. Sofia menatap salep dan kemeja Liam, apa yang harus dilakukan dengan kedua barang ini?

Ketika Sofia sedang berpikir, tiba-tiba ponselnya berdering. Mengingat kejadian semalam, Sofia pun buru-buru menjawab panggilannya.

"Bu Sofia, tolong ke sini sebentar!" Suara Mita terdengar panik.

"Ada apa?" Jantung Sofia berdegup kencang.

"Ada orang yang mencarimu, katanya mereka adalah mertuamu. Bu Natania meminta mereka untuk menunggu, tapi mereka tidak mau dan memaksa untuk segera bertemu. Sekarang mereka lagi bertengkar dengan satpam," Mita menjelaskan.

Samar-samar, Sofia bisa mendengar suara teriakan dan bentakan di ujung telepon. Benar, mertuanya memang selalu bertindak sesuka hati.

Sofia menutup teleponnya dan bergegas turun ke lobi hotel.

Suasana di lobi hotel sangat kacau, beberapa orang terlibat di dalam perkelahian. Beberapa satpam hotel dipukuli oleh kedua mertuanya Sofia.

Mereka memukuli satpam sambil marah-marah, "Sialan, kalian buta, ya? Kalian nggak ngaca? Berani-beraninya menghalangi kami."

Natania selaku manajer lobi dan beberapa resepsionis berusaha melerai mereka. "Pak, Bu, tolong berhenti! Kami sudah menghubungi Bu Sofia, Beliau akan segera turun."

Sofia mempercepat langkahnya. Setibanya di lobi, dia langsung berteriak, "Ayah, Ibu ...."

Sesaat mendengar suara Sofia, kedua orang tuanya Glen baru berhenti memukul satpam.

Bu Hutomo memelototi beberapa satpam yang babak belur sambil bertanya, "Apa lihat-lihat? Masih nggak mau pergi? Nggak berpendidikan!"

Beberapa satpam ini masih muda. Begitu mendengar makian Bu Hutomo, emosi mereka pun melonjak. "Tua bangka, jaga mulutmu!"

"Kenapa? Nggak terima dimarahi?" Bu Hutomo maju sambil menunjuk mereka. "Kalian nggak ada bedanya sama anjing penjaga! Aku mau memaki kalian, kenapa? Nggak boleh?"

Satpam tersebut mengangkat tangannya dan hendak melayangkan tamparan.

"Mau pukul? Sini, coba!" Bu Hutomo menyodorkan wajahnya. "Ayo, kalau berani! Aku mau lihat seberapa hebat kalian."

Wajah satpam sontak memerah dan bibirnya terlihat gemetaran.

"Sudah, sudah. Jangan diperbesar masalahnya, kita masih butuh kerja." Salah seorang rekan berusaha menenangkan satpam ini.

Sofia langsung menyelip ke tengah dan bertanya, "Ayah, Ibu, ada apa?"

Tanpa basa-basi, Bu Hutomo langsung mengangkat tangannya dan menampar Sofia. "Kamu masih berani tanya?"

Bu Hutomo menampar Sofia dengan keras, tubuh mungil Sofia sampai terhuyung-huyung akibat pukulan yang dilayangkan. Kepala Sofia langsung terasa berdengung.

Lobi hotel yang tadinya ricuh pun menjadi senyap. Seketika, suasana terasa sangat canggung. Semua mata tertuju kepada Sofia ....

Setelah menenangkan diri, Sofia menjawab dengan sopan, "Bu, kita bicarakan di ruanganku."

Sofia menggandeng tangan Bu Hutomo, tetapi Bu Hutomo malah mengempaskan tangannya.

"Kenapa? Kamu takut kelakuan busukmu ketahuan?" Bu Hutomo tersenyum penuh kebencian. Setiap ucapan yang dilontarkannya bagaikan pisau yang menusuk jantung Sofia. "Aku mau bicara di sini! Aku mau semua orang mengetahui kebusukanmu."

Sebenarnya Sofia sudah marah sejak tadi, tetapi dia masih berusaha untuk menghormati kedua mertuanya. Di sisi lain, Sofia juga tidak ingin menjadi bahan lelucon orang-orang, makanya dia masih berusaha bersikap sopan.

Namun Bu Hutomo telah menantang batas kesabaran Sofia. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, ibu dan anak sama-sama tidak tahu malu.

"Baik, silakan. Biar semua orang dengar," jawab Sofia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status