Share

Bab 4

Pintu kelas yang tadinya tertutup, terbuka seketika. Kedua wajah yang semakin dekat itu menoleh ke arah pintu, dan di sana ada seorang gadis yang berdiri mematung. Refleks Anis menjauhkan wajahnya dari Azlan dan memusatkan penglihatannya ke arah pintu masuk. Matanya langsung membola begitu tahu sosok yang sudah merusak moment indahnya bersama Azlan adalah orang yang sudah merusak harinya tadi. Siapa lagi kalau bukan Tara Nadira. 

Sejak awal kuliah Anis memang tak begitu peduli dengan si 'Gadis Beasiswa', begitu sebutannya untuk Tara selama ini. Anis tak suka harus berada di urutan ke dua dalam nilai akademik  dari gadis yang penampilannya seadanya itu di kelasnya. Tapi rasa tak suka itu tak cukup untuk menjadi alasan bagi Anis untuk membencinya. Karena ia tak ingin bersaing dengan orang yang sudah jelas jauh di bawahnya dari berbagai segi. Tapi hari ini berbeda, mau tidak mau Anis merasa harus buat perhitungan dengan Tara. 

"Sedang apa Kau di situ?' tanya Anis dengan suara lantang. Jelas ia tak suka dengan kehadiran Tara yang sudah merusak semuanya. Ya, bagi Anis, gadis itulah yang harus disalahkan atas semua hal memalukan yang harus ia tanggung hari ini.

Tara beranjak dari pintu ke arah mereka berdua alih-alih langsung menjawab pertanyaan Anis barusan. Sebuah tindakan yang membuat Anis bertambah geram dibuatnya. Namun, Anis mencoba meredam kemarahannya, karena di sampingnya ada Azlan yang memperhatikan dalam diam. Entah apa yang dipikirkan pria itu, tapi satu hal yang pasti Anis tak ingin Azlan menilainya buruk jika harus meluapkan emosinya pada Tara sekarang.

"Maaf, Aku tak ingin mengganggu kalian berdua. Aku ke sini untuk mengambil buku tugasku yang tertinggal di meja. Bisa tolong ambilkan Anis?" ucap Tara tampak buru-buru kepada Anis, ia bahkan tak melihat ke arah Azlan yang sedang memperhatikannya.

Anis ingin memaki Tara sekarang, tapi tetap ia serahkan juga buku yang sejak tadi teronggok di atas meja dan tak diperhatikannya begitu ia duduk di kursi itu. Karena perhatiannya sepenuhnya teralihkan kepada Azlan.

"Terima kasih Anis," ucap Tara pada Anis setelah buku tugasnya telah berpindah tangan. Ia pun segera berbalik dan keluar dari kelas. Tara berharap mereka tak merasakan kegugupannya tadi.

Setelah merasa aman dari jangkauan Anis dan Azlan, ia pun mengembuskan nafasnya yang sejak tadi tertahan di dadanya. "Hampir saja ...." ujar Tara pada dirinya sendiri. 

Sejujurnya ia merasa malu saat tak sengaja masuk ke kelas tadi dan melihat apa yang berlaku di dalam. Jika tahu ada mereka berdua di sana, Tara lebih baik beralasan saja ketinggalan buku tugasnya, tapi apalah daya ia sudah terlanjur masuk ke kelas dan harus melihat apa yang seharusnya tak ia lihat dan selama ini Tara hindari.

Tak ada kisah cinta dalam kamus kehidupan Tara. Sebuah keinginan yang sudah ia kubur dalam-dalam. Alasan yang cukup untuk membuatnya seperti sekarang ini, berpenampilan buruk diantara para gadis cantik nan modis. Selain hemat, tentu cukup untuk menjauhkannya dari para pria yang mencoba untuk menarik perhatian lawan jenisnya. 

Masih dengan debaran jantung yang cukup mengusik perasaannya, Tara melangkahkan kakinya ke lantai dua. Karena itu adalah pertama kalinya ia melihat seorang gadis dan pria duduk sedekat itu. Walaupun Tara tidak melihat dengan jelas yang mereka lakukan, karena ia langsung membuang wajahnya tadi, tapi tetap saja semua itu tak bisa menetralkan jantungnya yang terlanjur berdebar. Tak pernah pacaran, bukan berarti ia bodoh dengan samua tindakan absurd itu, sedang apa lagi mereka jika bukan ... Tara langsung menggelengkan kepalanya berulang kali, dan menepuk wajahnya yang terasa panas. "Ada apa denganku? Kenapa Aku yang merasa malu? Sadar Tara!"

Sebelum masuk ke dalam, Tara mengambil waktu untuk menenangkan dirinya sebentar di luar kelas. Setelah merasa lebih baik, ia pun masuk dan langsung menyerahkan buku tugasnya pada Buk Siska sambil berkata, "Maaf Buk, agak lama Saya mengambil bukunya, tadi masih ke toilet sebentar ...." ucap Tara setenang mungkin, walau ia terus berkata maaf dalam hati karena telah berdusta.

Buk Siska mengambil buku tugas Tara sambil tersenyum dan berucap, "Iya, nggak apa-apa Tara. Ibu percaya kok, Kamu menyelesaikan tugasnya dengan baik seperti sebelumnya." Tara bernafas lega atas respon dari Buk Siska. Tak lupa ia mengucapkan rasa terima kasihnya sebelum kembali duduk ke kursinya.

Beruntung Buk Siska hanya memberikan pengantar untuk materi kuliah Bisnis hari ini dan memberikan mereka tugas kelompok untuk mewawancarai pebisnis atau pengusaha pemula dalam bentuk video, layaknya wawancara yang dilakukan oleh reporter di televisi. Tentu tak harus sama persis, setidaknya harus menarik untuk ditonton dan ada hal yang bisa dipelajari dari wawancara tersebut. 

"Sampai sini ada pertanyaan?" tanya Buk Siska usai menjelaskan semua materi termasuk tugas kelompoknya. 

"Ada Buk, apakah ada standar khusus pebisnis seperti apa yang harus diwawancarai?" tanya Reinhard, sang ketua tingkat di kelas itu. 

"Seorang Pengusaha yang merintis bisnisnya dari awal, bukan karena warisan orang tuanya. Ada lagi?"

"Pembagian kelompoknya bagaimana Buk?" tanya mahasiswa yang lain.

"Sudah Ibu bagi dan Nama-namanya bisa di lihat di forum kelas ini ya ... ada lagi?"

"Tenggat waktunya kapan Buk?" tanya Tara agar ia bisa menyesuaikan dengan jam kerja dan kuliah yang lain.

"Dua minggu, jadi Saya tidak akan masuk minggu depan. Silahkan kalian pergunakan untuk menyelesaikan tugas ini dengan kelompok masing-masing. Dua minggu lagi presentasi. Tak ada alasan tidak menyelesaikan tugas ini, jika masih ada yang mangkir, maka bisa di pastikan seluruh anggota kelompok itu tidak akan bisa mengikuti ujian semester. Dengan kata lain akan bertemu Saya semester berikutnya di mata kuliah yang sama! Mengerti?"

"Iya Buk ...."

"Sampai bertemu dua minggu lagi dan untuk modulnya, silahkan dibagikan Reinhard ... Selamat sore ...."

"Sore Buk ...."

Begitu Buk Siska keluar, seketika kelas yang tadinya cukup tenang langsung bising karena mereka sibuk mengecek anggota masing-masing di forum online kelas mereka untuk mata kuliah bisnis. 

"Rei, Aku sama Kamu nggak?" suara manja Sesil langsung terdengar begitu Reinhard membagikan modulnya. 

"Silahkan cek sendiri Sil, AKu belum tahu karena masih sibuk membagikan modul ini," jawab Reinhard tanpa menatap sesil yang memandangnya penuh harap dan hanya berlalu begitu saja ke temannya yang lain. 

"Senyum dong Sil, Kamu nggak suka satu kelompok sama Aku?" tanya Tara sambil pura-pura cemberut pada Sesil. 

Ya, Sesilia adalah satu-satunya sahabat Tara. Meski Sesil kakak setahun dari Tara namun sikapnya yang terkesan manja membuat Tara terlihat lebih dewasa darinya. Hanya Sesil yang tetap peduli pada Tara yang dijauhi banyak gadis karena penampilannya. Sesil merasa nyaman dengan Tara karena hanya gadis itu yang tak pernah merasa risih dengan sikap Sesil yang terlalu jelas begitu menyukai ketua tingkat mereka. 

"Beneran Tar? Kita satu kelompok?" wajah suram Sesil langsung sumringah mendengar ucapan Tara barusan.

"Iya dong, kapan sih Aku pernah bohong? Kalo nggak percaya, cek saja langsung di forumnya."

"Rei gimana?"

"Malah nanya lagi, buru di cek langsung ...."

"Iya, nih di cek ... kelompok berapa Tar?" 

"Dasar pengennya cepet, lihat saja semuanya ... hanya ada lima kelompok ini ...."

"Males nyarinya Tara ...." sambil memasang wajah mengiba yang terlihat lucu di matara Tara.

"Kelompok empat."

"Reinhard, Syila, Sesil, Tara ...."

"Yeeeeees!" Sesil melonjak kegirangan karena begitu bahagia melihat namanya ada di deretan sahabatnya dan orang yang ia cintai.

Tara hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sahabatnya itu begitu bahagia hanya karena hal yang sangat sepele. Apakah cinta bisa membuat orang terlihat aneh? Tidak, Tara jelas tak ingin terlihat aneh sekarang. Hatinya semakin mantap untuk tak akan jatuh cinta, apa pun yang terjadi. Setidaknya, sampai ia lulus kuliah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status