Kelas Manajemen Bisnis, semester dua. Aku ingat sekali hari itu, bukan karena mata kuliahnya yang membosankan, tapi karena kekacauan yang tiba-tiba menimpa. Duduk di barisan ketiga dari belakang, di sudut paling ujung dekat jendela, adalah posisiku yang nyaman. Jauh dari pandangan dosen, jauh dari keramaian, dan yang terpenting, jauh dari Rina.
Rina, sahabatku satu-satunya di kampus, duduk di barisan depan, persis di tengah. "Tar, kamu kenapa sih nggak mau duduk sama aku aja?" gerutunya suatu pagi, suaranya melintasi jarak beberapa meja, walau seringnya kami hanya berkomunikasi lewat pesan singkat atau saat istirahat. "Aku kan butuh penyemangat biar nggak tidur di kelas!" Aku hanya mengangkat bahu, berpura-pura sibuk membaca rangkuman materi. "Aku di sini lebih fokus, Rin. Tidak ada yang ngajak ngobrol." Itu dalih andalanku, dan Rina cukup tahu diri untuk tidak memaksa. Lagipula, aku memang lebih suka menyendiri. Kampus megah ini, dengan segala kemewahan dan hiruk pikuk mahasiswa dari keluarga berada, selalu membuatku merasa canggung, seperti orang asing yang tak sengaja tersesat ke pesta topeng. Fokus adalah tamengku, nilai adalah senjataku, dan masa depan keluargaku adalah satu-satunya tujuan. Pagi itu, dosen Dr. Hadi baru saja memulai pembahasan tentang analisis SWOT, ketika pintu kelas terbuka perlahan. Suasana yang tadinya sedikit mengantuk, mendadak berubah. Seperti ada tombol jeda yang ditekan. Kepala-kepala menoleh serentak, bisikan-bisikan seperti riak air mulai menyebar. Aku, seperti biasa, hanya melirik sekilas. Mungkin mahasiswa telat, pikirku, tak layak mendapat perhatian khusus. Tapi bisikan itu tak kunjung reda. Malah makin kencang, diselingi desahan kagum dari para gadis. Rasa penasaranku sedikit terusik. Aku mengangkat pandangan dari buku, dan saat itu, duniaku—duniaku yang tenang dan tertata rapi—seperti baru saja diserbu badai. Berdiri di ambang pintu, seorang pria. Tingginya semampai, dengan proporsi tubuh yang sempurna, dibalut kemeja biru tua yang warnanya begitu pekat hingga hampir hitam, dipadukan celana bahan berwarna abu-abu. Rambutnya hitam legam, ditata rapi namun tetap terlihat natural, membingkai wajah tampan yang tajam, dengan rahang tegas dan hidung mancung. Matanya... sepasang mata abu-abu yang dingin, memancarkan aura misterius sekaligus angkuh. Ia memegang tas selempang kulit berwarna gelap di satu tangan, postur tubuhnya begitu tegak, seolah ia adalah patung pahatan yang baru saja turun dari pameran seni. "Selamat pagi, Dokter Hadi," sapanya, suaranya dalam dan berat, tapi terdengar tenang, sama sekali tak menunjukkan rasa canggung meski menjadi pusat perhatian. "Saya Azlan Sharim, mahasiswa pindahan yang akan bergabung di kelas ini." Nama itu. Azlan Sharim. Seperti mantra, menyebar dari satu bibir ke bibir lain, meninggalkan jejak kekaguman dan keterkejutan. Aku mengernyit. Sharim? Seperti Universitas Sharim? Tak mungkin. Itu terlalu klise, seperti cerita-cerita murahan di novel romansa yang pernah ku baca diam-diam di ponsel Rina. Rina di depan sudah memutar tubuhnya sedikit, memandang ke arahku dengan mata berbinar-binar, tangan menutupi mulutnya. Aku mengabaikannya. Ini hanya gangguan, gangguan yang sangat besar. Pria tampan, kaya, dan misterius. Tipe yang paling harus ku hindari. Dr. Hadi, yang biasanya selalu disiplin dan tegas, hari itu malah tersenyum ramah. "Oh, Tuan Muda Azlan. Silakan masuk, silakan. Kamu bisa duduk di mana saja yang kosong." 'Tuan Muda Azlan'? Bahkan dosen pun terkesan? Aku mencibir dalam hati. Semakin jelas, pria ini adalah masalah. Aku kembali menunduk, mencoba fokus pada analisis SWOT yang kini terasa seperti kerikil di antara lautan. Namun, indra ku terlalu peka untuk benar-benar mengabaikan. Aku bisa merasakan tatapan mata, bisikan-bisikan tertahan. Semua mata tertuju pada Azlan, yang kini melangkah masuk. Langkahnya pelan, setiap gerakannya terkesan anggun, seolah ia sedang berjalan di karpet merah, bukan di antara deretan meja kuliah. [Lihat itu, Tar,] Rina mengirim pesan. Ponselku bergetar pelan di bawah meja. [Dia... dia Azlan Sharim. Putra pemilik yayasan ini! Ya ampun! Kenapa dia tiba-tiba pindah ke sini?!] Aku menghela napas, tak membalas pesan Rina. Apa peduliku? Ia hanya mahasiswa pindahan. Fokus, Tara, fokus. Ingat tujuanmu. Aku mengangkat pandangan lagi, sedikit mengintip dari balik rambut yang menutupi wajahku. Azlan berjalan menyusuri barisan tengah, matanya menyapu seisi ruangan. Ada dua kursi kosong yang cukup menonjol. Satunya di barisan depan, di sebelah Clara. Clara, si primadona kampus, sudah tersenyum semanis mungkin, mengibaskan rambutnya yang pirang, mengundang Azlan dengan gestur seolah-olah kursi di sebelahnya adalah singgasana. Satunya lagi … kursi kosong di sebelahku. Jantungku berdebar tak nyaman. Bukan debaran kagum, tapi debaran ketakutan. Ketakutan akan perhatian, akan drama. Aku menunduk lagi, pura-pura membaca intens, berharap menjadi tak terlihat, seperti udara. Aku bahkan menahan napas. Langkah Azlan terdengar semakin dekat. Bisikan-bisikan mereda, digantikan ketegangan yang menyesakkan. Semua mata di kelas, aku yakin, kini menatapnya. Dan entah kenapa, aku merasa tatapan itu kini terarah ke arahku. Tidak mungkin. Aku hanya gadis biasa, dengan pakaian paling sederhana di antara semua mahasiswa di sini. [Clara sudah siap sedia menyambut,] Rina kembali mengirim pesan. [Pasti dia duduk sama Clara.] Aku mengamini dalam hati. Pasti. Siapa yang tidak mau duduk di sebelah Clara, si cantik, si kaya, si populer? Bukan di sebelahku, si kutu buku yang terlihat kusam. Tapi langkah Azlan terus berlanjut. Melewati barisan depan. Melewati Clara yang senyumnya mulai memudar, berubah menjadi ekspresi kaget bercampur kecewa. Aku bisa merasakan atmosfer dingin yang tiba-tiba mengelilingi Clara. Langkah itu berhenti. Jantungku seperti ingin meloncat keluar dari rusuk. Suara derit kursi terdengar. Samar-samar aroma maskulin, samar-samar wangi jeruk dan kayu, memenuhi indra ku. Aku tahu, ia duduk. Persis di sebelahku. Aku masih menunduk. Tidak, ini tidak mungkin. Ini pasti mimpi buruk. Aku tidak boleh menunjukkan reaksi apa pun. Aku harus tetap acuh tak acuh. "Selamat pagi," sebuah suara rendah, sedikit serak, terdengar persis di samping telingaku. Aku bisa merasakan hembusan napasnya. Aku bergeming. Tidak. Aku tidak mendengar apa-apa. "Aku Azlan," katanya lagi, suaranya seperti bisikan yang menuntut perhatian. "Dan kamu?" Aku memejamkan mata sesaat. Ini bukan drama yang kuinginkan. Ini bukan bagian dari rencana hidupku. Aku membuka mata perlahan, menatap buku di depanku seolah itu adalah harta paling berharga. "Aku Tara," kataku tanpa mengangkat kepala, suaraku kaku dan dingin, berusaha keras menunjukkan bahwa aku tidak terkesan sedikit pun. "Tara Nadira." Aku tidak menambahkan embel-embel "salam kenal" atau "senang bertemu", karena sungguh, aku sama sekali tidak senang. Aku hanya ingin ia pergi. Keheningan sesaat menyelimuti kami. Aku bisa merasakan tatapan Azlan masih tertuju padaku, menembus pertahanan yang ku bangun susah payah. Aku bisa mendengar dengusan frustrasi dari Clara di depan, disusul bisikan-bisikan marah dari gengnya. Ini semua salahku. Sekarang aku akan jadi target mereka. Azlan mendesah pelan, suara itu terdengar samar, hampir tak terdengar di antara gumaman di kelas. "Baiklah, Tara Nadira," bisiknya, nadanya entah kenapa terdengar sedikit geli. "Semoga kita betah duduk berdampingan." Betah? Aku ingin sekali membantah, mengatakan bahwa aku sama sekali tidak akan betah. Ini adalah bencana. Azlan Sharim, pangeran kampus yang misterius dan dingin, kini duduk persis di sebelahku. Duniaku yang tenang, yang sudah ku bangun dengan susah payah, kini resmi diguncang. Aku tahu, dari cara Clara memelototi ku dari kursi depan, bahwa kedatangan pria itu bukan hanya akan mengganggu fokusku, tapi juga membawa masalah yang jauh lebih besar dari sekadar nilai mata kuliah. Dan aku, Tara Nadira, tidak siap untuk drama apa pun. Tapi drama itu, sepertinya, sudah datang menjemput ku.Ada semacam keajaiban dalam keheningan yang kami bagi di bangku taman sore itu. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah sisa gerimis sore yang baru saja reda—aroma yang selalu kusebut sebagai petrichor, dan Azlan selalu tersenyum setiap kali aku mengucapkannya. Lampu-lampu taman baru saja menyala, memantulkan cahaya keemasan di atas dedaunan yang basah, menciptakan permadani berkelip di sekeliling kami. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, merasakan tekstur kain kemejanya yang lembut di pipiku. Napasnya teratur, dalam, sebuah melodi damai yang beberapa tahun lalu hanyalah sebuah angan-angan baginya. “Kamu tahu,” suaraku memecah keheningan, lebih pelan dari bisikan. “Aku masih ingat betul bagaimana canggungnya momen pertama kita di bawah payung, tidak jauh dari tempat kita duduk sekarang.” Azlan terkekeh pelan, getaran di dadanya menjalar ke seluruh tubuhku. “Canggung? Menurutku kamu lebih terlihat seperti kucing liar yang siap mencakar siapa pun yang mendekat.” Aku mencubi
Hari itu, semuanya terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang dulu kupikir terlalu muluk untuk digapai, kini terbentang nyata di depan mata. Jubah toga hitam itu terasa berat namun memancarkan kebanggaan, lencana cum laude di dadaku berkilau di bawah lampu aula. Aku berdiri di panggung, menatap lautan wajah bangga di depanku, mencari-cari mereka. "Lihat, Tara! Orang tua kita!" Rina berbisik di sampingku, suaranya tercekat. Ia meraih lenganku, menguatkan ku. Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca. Tangan Ibu melambai, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit. Ayah tersenyum kecil, namun di matanya terpancar keharuan yang tak terhingga. Orang tua Rina juga ada di sana. Di samping mereka, Azlan berdiri tegak, tatapannya lekat padaku. Senyum tipisnya adalah sebuah janji, sebuah dukungan yang tak pernah goyah. Setelah upacara, keramaian memenuhi lobi. Aku nyaris tenggelam dalam pelukan Ibu yang erat. "Anak Ibu pintar sekali," bisiknya, suaranya bergetar. "Terima kasih, Nak. Terima k
Aku ingat dengan jelas bagaimana deru mesin sedan mewah yang Azlan kendarai perlahan meredup, digantikan oleh orkestra alam yang selama bertahun-tahun menjadi lagu pengantarku. Suara jangkrik, gemericik air dari selokan kecil, dan desau angin yang menyapu pucuk-pucuk padi. Perjalanan berjam-jam dari gemerlap kota berakhir di sebuah jalan setapak yang hanya muat untuk satu mobil. Di sinilah duniaku dimulai, dan aku gemetar memikirkan bagaimana dunia Azlan akan bertabrakan dengannya. “Kita sudah sampai,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Azlan mematikan mesin. Hening sejenak. Aku melihatnya menatap lurus ke depan, ke hamparan sawah hijau yang membentang seperti permadani raksasa di bawah langit sore. Aroma tanah basah sehabis hujan kemarin sore merembes masuk ke dalam mobil, aroma yang bagiku adalah rumah. Aku bertanya-tanya, aroma apa yang tercium olehnya? Asing? Atau menenangkan? “Jadi … tempat magis-mu ada di sini?” suaranya memecah keheningan, lembut dan penuh kekaguman. A
Aku ingat hari itu sejelas kristal. Udara di perpustakaan terasa pekat dengan aroma kertas tua dan janji masa depan, sebuah kontras yang ironis dengan awan gelap yang selama berbulan-bulan menggantung di atasku. Kami duduk di sudut terpencil, hanya diterangi oleh lampu baca berwarna kuning hangat yang membuat wajah Azlan terlihat lembut. "Sudah selesai." Suaranya memecah keheningan yang nyaman di antara kami. Aku mendongak dari buku yang bahkan tidak ku baca. "Selesai? Apanya yang selesai?" "Clara. Dan semua masalahnya." Aku meletakkan buku. Seluruh tubuhku menegang. "Apa maksudmu?" "Aku sudah melaporkannya ke komite disiplin. Dengan semua bukti yang ku kumpulkan. Insiden laboratorium, kesaksian beberapa mahasiswa yang melihatnya, rekaman cctv yang menangkap apa yang terjadi di gudang, semuanya." Napas yang tak kusadari ku tahan, akhirnya terlepas dalam satu embusan panjang. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menekan pundakku akhirnya terangkat. Tapi ada rasa lain yang
Ponselku bergetar di atas tumpukan buku catatan, memecah keheningan kamar kos yang selama berbulan-bulan menjadi salah satu tempat ternyaman ku. Sebuah notifikasi singkat dari nomor yang kini kusimpan dengan nama aslinya, bukan lagi ‘Pria Misterius’ atau ‘Pengganggu’. [Azlan: Kencan?] Satu kata. Hanya satu kata tanpa basa-basi, namun cukup untuk membuat jantungku melakukan maraton di dalam rongga dada. Aku menatap layar, membaca ulang kata sederhana tersebut seolah mengandung sandi rahasia. Setelah semua kebenaran yang terungkap, setelah permintaan maaf dan pengampunan yang hening di taman kampus hari sebelumnya, kami berdiri di titik nol. Dan kata tersebut adalah langkah pertama. [Aku: Kencan seperti apa?] Balasanku terasa kaku, pragmatis. Bagian diriku yang lama masih berusaha mengambil alih, menuntut kejelasan dan rencana yang logis. [Azlan: Seperti yang kamu mau. Aturannya, kamu yang tentukan tempatnya. Aku hanya akan mengikuti.] Aku tersenyum tipis. Dia menyerahkan kendal
Dengan napas tersengal, aku berlari. Bukan lagi lari dari Azlan, tapi lari menuju dirinya. Koridor kampus yang ramai terasa sunyi, suara tawa mahasiswa lain terdengar seperti dengungan jauh. Hanya ada derap langkahku dan detak jantungku yang memukul-mukul tulang rusuk, menuntut sebuah pertanggungjawaban. Aku tidak tahu di mana harus mencarinya, tapi kakiku seolah punya pikiran sendiri. Mereka membawaku melewati gedung fakultas, melintasi pelataran, menuju satu-satunya tempat di kampus yang menawarkan sedikit kedamaian: taman di tepi danau. Dan di sanalah ia. Duduk sendirian di bangku kayu yang menghadap ke air yang tenang. Dari belakang, punggungnya terlihat tegap namun sarat akan kesepian. Bahunya yang lebar tampak menanggung beban yang tak seharusnya. Beban pencarian selama tiga tahun. Beban penolakan demi penolakan dariku. Aku berhenti beberapa meter di belakangnya, mencoba mengatur napas yang tak mau diatur. Suara apa yang harus ku keluarkan? Kata apa yang pantas untuk memulai