Share

Bab 5

Penulis: Merry
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-22 10:14:19

Aku selalu berpikir, ada tiga tempat di dunia yang menjadi benteng pertahananku. Pertama, rumah mungil orang tuaku di desa, dengan aroma tanah basah setelah hujan. Kedua, kamarku yang sempit di rumah kos, tempat aku bisa menjadi diriku sendiri. Dan ketiga, sudut paling terpencil di lantai tiga perpustakaan pusat, di antara rak-rak Sastra Klasik yang berdebu. Tempat yang sunyi, sakral, dan yang terpenting, anonim.

Hari itu, benteng ketiga ku runtuh.

“Ssst,” desis ku, menyikut lengan Rina tanpa mengalihkan pandangan dari buku teks di hadapanku.

“Apaan sih, Tar? Aku lagi fokus,” balasnya, suaranya berbisik namun terdengar kesal.

“Jangan lihat sekarang, tapi di barisan rak Sejarah Eropa, dekat jendela.”

Aku bisa merasakan Rina memutar bola matanya. “Tara, kalau kamu mau ngajak main tebak-tebakan, mending kita ke kantin saja. Di sini orang mau belajar.”

“Aku serius, Rin. Ada yang aneh.”

Hening sejenak, hanya diisi suara halaman buku yang dibalik dan dengung samar pendingin ruangan. Aku tahu Rina tidak akan tahan. Rasa penasarannya selalu lebih besar dari niat belajarnya. Benar saja, beberapa detik kemudian, ia pura-pura meregangkan badan, kepalanya menoleh santai ke arah yang ku tunjuk.

“Oke, aku lihat. Cuma ada beberapa mahasiswa, dan … oh.” Suara Rina melirih. “Pangeran Pindahan.”

“Sudah dua puluh menit ia di sana,” kataku, masih menatap lurus ke buku, seolah kalimat-kalimat tentang teori ekonomi makro bisa menyerap semua kegelisahanku. “Dia tidak membaca. Hanya berdiri. Membolak-balik satu buku yang sama.”

“Mungkin dia lagi cari inspirasi? Atau mungkin buku sejarah Eropa memang semembosankan itu.”

“Bukan, Rin. Dia … melihat ke arah sini.”

“Ke arah kita? Tara, di barisan ini ada sekitar lima belas orang. Mungkin dia lagi lihat cewek cantik yang duduk di ujung sana. Yang rambutnya kayak iklan sampo.”

Logika Rina masuk akal. Selalu masuk akal. Tapi perasaan di tengkukku mengatakan hal lain. Perasaan seperti sedang diawasi oleh seekor predator yang sabar. Aku memaksa diriku fokus, tapi bayangan siluet tinggi Azlan Sharim yang berdiri di antara celah rak buku terus membekas di sudut mataku.

*

Dua hari kemudian, di kantin yang riuh, benteng keduaku—ruang publik yang ramai di mana aku bisa menghilang di antara kerumunan—mulai menunjukkan retakan.

“Jadi, aku pikir kalau kita pakai studi kasus dari perusahaan X, argumen kita di paper itu bakal lebih kuat,” ujarku sambil menyendok mi ayam ke dalam mulut.

Rina mengangguk setuju. “Boleh juga. Nanti sore kita cari bahannya, ya. Eh, tapi aku mau tanya .…”

“Apa?”

“Kenapa dari tadi kamu makan kayak dikejar setan? Pelan-pelan saja, Tar. Nanti tersedak.”

Aku menelan ludah, berusaha membersihkan tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. “Lapar saja.”

Sebuah kebohongan. Aku tidak lapar. Nafsu makanku menguap begitu aku melihatnya masuk ke kantin lima menit yang lalu. Azlan. Ia datang sendiri, memesan sebotol air mineral, lalu duduk di sebuah meja kosong di sudut terjauh. Tepat di posisi yang memberinya pemandangan paling jelas ke meja kami.

“Dia lagi,” bisikku.

Rina mengikuti arah pandanganku. Dia menghela napas panjang, hampir teatrikal. “Tara Nadira sayangku. Perlu aku ingatkan? Tempat ini namanya kantin. Sebuah fasilitas umum di mana mahasiswa—termasuk dia—datang untuk makan dan minum. Ini bukan konspirasi global untuk mengikuti mu.”

“Tapi ini sudah yang ketiga kalinya minggu ini, Rin. Di kelas tentu saja kita ketemu. Tapi perpustakaan? Kantin? Rasanya aneh.”

“Aneh bagaimana? Kita semua punya jadwal yang kurang lebih sama. Wajar kalau sering ketemu di tempat yang sama. Namanya juga satu jurusan.”

“Dia tidak sedang makan. Cuma minum air mineral sambil main ponsel. Tapi aku yakin, sesekali matanya melirik ke sini.”

Rina meletakkan sendoknya. Wajahnya berubah serius. “Tar, dengar. Aku tahu kamu nggak 0biasa jadi pusat perhatian. Tapi lihat dia. Lihat sekelilingnya. Semua gadis di kantin ini meliriknya. Mungkin kamu cuma salah satu dari sekian banyak orang yang kebetulan tertangkap pandangannya. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti kamu gila sendiri.”

Aku ingin memercayai Rina. Sungguh. Aku ingin percaya bahwa semua hanya kebetulan. Bahwa aku, Tara Nadira yang tidak terlihat, hanya terlalu banyak berpikir. Tapi lagi-lagi, instingku berteriak. Ada sesuatu yang salah. Sangat salah.

*

Malam harinya, saat berjalan pulang dari kafe tempatku kerja paruh waktu, udara dingin terasa lebih menggigit dari biasanya. Aku mengeratkan jaket usangku, mempercepat langkah di trotoar yang remang-remang. Aku baru saja selesai telepon dengan Rina, menceritakan betapa melelahkannya hari itu.

“... dan si bos menyuruhku membersihkan mesin kopi padahal bukan jadwalku. Menyebalkan sekali,” keluhku.

“Sabar, pahlawan devisa keluarga,” canda Rina dari seberang. “Anggap saja latihan kesabaran. Kamu sudah di mana?”

“Baru keluar dari jalan utama. Sebentar lagi sampai kos.”

“Oke. Hati-hati, ya. Jangan melamun di jalan.”

“Iya, bawel.”

Aku menutup telepon, memasukkannya ke dalam saku. Suasana hatiku sedikit membaik setelah mendengar suara ceria Rina. Mungkin Rina benar. Mungkin aku memang terlalu paranoid. Azlan Sharim adalah anomali, sebuah gangguan kecil dalam duniaku yang tertata. Aku hanya perlu mengabaikannya, dan ia akan hilang dengan sendirinya. Seperti tren mode yang datang dan pergi.

Aku berbelok ke gang kecil yang lebih sepi menuju rumah kos ku. Hanya ada satu lampu jalan yang berfungsi di ujung gang, menciptakan bayang-bayang panjang dan menakutkan dari tempat sampah dan sepeda-sepeda tua yang terparkir. Aku menunduk, fokus pada langkah kakiku. Satu, dua, tiga .…

Lalu, aku berhenti.

Jantungku seakan berhenti berdetak selama sepersekian detik sebelum berpacu menggila.

Di bawah kerucut cahaya kuning dari lampu jalan yang berkedip, sebuah siluet berdiri. Siluet yang familier. Terlalu familier.

Ia bersandar santai di dinding bata, kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Asap tipis mengepul dari bibirnya, menghilang ditelan udara malam. Bukan perpustakaan. Bukan kantin. Bukan koridor kampus yang ramai.

Ia ada di sini. Di gang sepi menuju kos ku. Tempat yang seharusnya tidak ia ketahui.

Awalnya, aku berpikir mungkin ia hanya kebetulan lewat. Mungkin ia tinggal di sekitar sini. Sebuah pemikiran bodoh yang langsung kubuang jauh-jauh. Orang sepertinya tidak mungkin tinggal di lingkungan seperti ini.

Aku membeku di tempat, terperangkap di antara keinginan untuk lari dan ketakutan untuk bergerak. Waktu terasa melambat. Aku bisa mendengar deru napas ku sendiri yang memburu.

Seolah merasakan kehadiranku, kepalanya perlahan terangkat. Asap terakhir diembuskan. Dalam remang cahaya, aku tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas, tapi aku bisa merasakan tatapannya. Tajam. Intens. Menembus kegelapan dan mengunciku di tempat.

Bayangan itu melepaskan diri dari dinding, mengambil satu langkah maju keluar dari kegelapan, memperlihatkan wajahnya dengan lebih jelas di bawah cahaya lampu.

Azlan Sharim.

Bibirnya tidak tersenyum. Matanya tidak berkedip. Dia hanya menatapku, seolah-olah telah menungguku sepanjang malam.

Dan di tengah keheningan yang memekakkan telinga, satu pertanyaan berputar-putar di kepalaku, menenggelamkan semua logika dan penjelasan rasional yang pernah Rina berikan.

Untuk apa dia di sini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penguasa Hati   Bab 33

    Ada semacam keajaiban dalam keheningan yang kami bagi di bangku taman sore itu. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah sisa gerimis sore yang baru saja reda—aroma yang selalu kusebut sebagai petrichor, dan Azlan selalu tersenyum setiap kali aku mengucapkannya. Lampu-lampu taman baru saja menyala, memantulkan cahaya keemasan di atas dedaunan yang basah, menciptakan permadani berkelip di sekeliling kami. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, merasakan tekstur kain kemejanya yang lembut di pipiku. Napasnya teratur, dalam, sebuah melodi damai yang beberapa tahun lalu hanyalah sebuah angan-angan baginya. “Kamu tahu,” suaraku memecah keheningan, lebih pelan dari bisikan. “Aku masih ingat betul bagaimana canggungnya momen pertama kita di bawah payung, tidak jauh dari tempat kita duduk sekarang.” Azlan terkekeh pelan, getaran di dadanya menjalar ke seluruh tubuhku. “Canggung? Menurutku kamu lebih terlihat seperti kucing liar yang siap mencakar siapa pun yang mendekat.” Aku mencubi

  • Penguasa Hati   Bab 32

    Hari itu, semuanya terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang dulu kupikir terlalu muluk untuk digapai, kini terbentang nyata di depan mata. Jubah toga hitam itu terasa berat namun memancarkan kebanggaan, lencana cum laude di dadaku berkilau di bawah lampu aula. Aku berdiri di panggung, menatap lautan wajah bangga di depanku, mencari-cari mereka. "Lihat, Tara! Orang tua kita!" Rina berbisik di sampingku, suaranya tercekat. Ia meraih lenganku, menguatkan ku. Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca. Tangan Ibu melambai, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit. Ayah tersenyum kecil, namun di matanya terpancar keharuan yang tak terhingga. Orang tua Rina juga ada di sana. Di samping mereka, Azlan berdiri tegak, tatapannya lekat padaku. Senyum tipisnya adalah sebuah janji, sebuah dukungan yang tak pernah goyah. Setelah upacara, keramaian memenuhi lobi. Aku nyaris tenggelam dalam pelukan Ibu yang erat. "Anak Ibu pintar sekali," bisiknya, suaranya bergetar. "Terima kasih, Nak. Terima k

  • Penguasa Hati   Bab 31

    Aku ingat dengan jelas bagaimana deru mesin sedan mewah yang Azlan kendarai perlahan meredup, digantikan oleh orkestra alam yang selama bertahun-tahun menjadi lagu pengantarku. Suara jangkrik, gemericik air dari selokan kecil, dan desau angin yang menyapu pucuk-pucuk padi. Perjalanan berjam-jam dari gemerlap kota berakhir di sebuah jalan setapak yang hanya muat untuk satu mobil. Di sinilah duniaku dimulai, dan aku gemetar memikirkan bagaimana dunia Azlan akan bertabrakan dengannya. “Kita sudah sampai,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Azlan mematikan mesin. Hening sejenak. Aku melihatnya menatap lurus ke depan, ke hamparan sawah hijau yang membentang seperti permadani raksasa di bawah langit sore. Aroma tanah basah sehabis hujan kemarin sore merembes masuk ke dalam mobil, aroma yang bagiku adalah rumah. Aku bertanya-tanya, aroma apa yang tercium olehnya? Asing? Atau menenangkan? “Jadi … tempat magis-mu ada di sini?” suaranya memecah keheningan, lembut dan penuh kekaguman. A

  • Penguasa Hati   Bab 30

    Aku ingat hari itu sejelas kristal. Udara di perpustakaan terasa pekat dengan aroma kertas tua dan janji masa depan, sebuah kontras yang ironis dengan awan gelap yang selama berbulan-bulan menggantung di atasku. Kami duduk di sudut terpencil, hanya diterangi oleh lampu baca berwarna kuning hangat yang membuat wajah Azlan terlihat lembut. "Sudah selesai." Suaranya memecah keheningan yang nyaman di antara kami. Aku mendongak dari buku yang bahkan tidak ku baca. "Selesai? Apanya yang selesai?" "Clara. Dan semua masalahnya." Aku meletakkan buku. Seluruh tubuhku menegang. "Apa maksudmu?" "Aku sudah melaporkannya ke komite disiplin. Dengan semua bukti yang ku kumpulkan. Insiden laboratorium, kesaksian beberapa mahasiswa yang melihatnya, rekaman cctv yang menangkap apa yang terjadi di gudang, semuanya." Napas yang tak kusadari ku tahan, akhirnya terlepas dalam satu embusan panjang. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menekan pundakku akhirnya terangkat. Tapi ada rasa lain yang

  • Penguasa Hati   Bab 29

    Ponselku bergetar di atas tumpukan buku catatan, memecah keheningan kamar kos yang selama berbulan-bulan menjadi salah satu tempat ternyaman ku. Sebuah notifikasi singkat dari nomor yang kini kusimpan dengan nama aslinya, bukan lagi ‘Pria Misterius’ atau ‘Pengganggu’. [Azlan: Kencan?] Satu kata. Hanya satu kata tanpa basa-basi, namun cukup untuk membuat jantungku melakukan maraton di dalam rongga dada. Aku menatap layar, membaca ulang kata sederhana tersebut seolah mengandung sandi rahasia. Setelah semua kebenaran yang terungkap, setelah permintaan maaf dan pengampunan yang hening di taman kampus hari sebelumnya, kami berdiri di titik nol. Dan kata tersebut adalah langkah pertama. [Aku: Kencan seperti apa?] Balasanku terasa kaku, pragmatis. Bagian diriku yang lama masih berusaha mengambil alih, menuntut kejelasan dan rencana yang logis. [Azlan: Seperti yang kamu mau. Aturannya, kamu yang tentukan tempatnya. Aku hanya akan mengikuti.] Aku tersenyum tipis. Dia menyerahkan kendal

  • Penguasa Hati   Bab 28

    Dengan napas tersengal, aku berlari. Bukan lagi lari dari Azlan, tapi lari menuju dirinya. Koridor kampus yang ramai terasa sunyi, suara tawa mahasiswa lain terdengar seperti dengungan jauh. Hanya ada derap langkahku dan detak jantungku yang memukul-mukul tulang rusuk, menuntut sebuah pertanggungjawaban. Aku tidak tahu di mana harus mencarinya, tapi kakiku seolah punya pikiran sendiri. Mereka membawaku melewati gedung fakultas, melintasi pelataran, menuju satu-satunya tempat di kampus yang menawarkan sedikit kedamaian: taman di tepi danau. Dan di sanalah ia. Duduk sendirian di bangku kayu yang menghadap ke air yang tenang. Dari belakang, punggungnya terlihat tegap namun sarat akan kesepian. Bahunya yang lebar tampak menanggung beban yang tak seharusnya. Beban pencarian selama tiga tahun. Beban penolakan demi penolakan dariku. Aku berhenti beberapa meter di belakangnya, mencoba mengatur napas yang tak mau diatur. Suara apa yang harus ku keluarkan? Kata apa yang pantas untuk memulai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status