Share

Penjara Dendam Suami Konglomerat
Penjara Dendam Suami Konglomerat
Penulis: SweetWater

Jual Saja Dirimu!

Penulis: SweetWater
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-06 11:08:15

Aleeta turun di halte bus sembari merapatkan jaket. Ia melangkah lunglai menuju gang kecil yang akan membawanya ke kontrakan yang selama bertahun-tahun ini menjadi tempat tinggalnya. Rasanya lelah luar biasa. Aleeta melangkah pelan, bahkan sesekali berhenti, menatap ujung sepatunya dengan pikiran kosong. Kemudian Aleeta kembali melangkah menuju kontrakannya.

Dalam satu hari ia harus bekerja di dua tempat sekaligus. Mulai dari pagi hingga menjelang pagi lagi. Tubuh Aleeta bahkan sampai terlihat begitu kurus dan pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang setiap hari semakin bertambah kentara. Terkadang tubuhnya juga terasa lemah karena kekurangan jam istirahat. Tapi Aleeta tidak boleh mengeluh.

Aleeta menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu rumah. Belum sempat pintu itu tertutup, dia sudah mendengar seruan yang memekakkan telinganya.

“Mana uangku?!”

Aleeta mendesah lelah. Ia tidak kaget lagi mendapati Sonya menunggu kepulangannya di balik pintu.

Bukan, bukan kepulangannya. Melainkan, uang hasil kerja kerasnya.

“Ma, aku capek,” ujarnya pelan sambil merasakan kakinya yang berdenyut karena terlalu banyak berjalan karena bekerja di kafe.

Aleeta mencoba untuk mengabaikan Ibunya dan berjalan menuju kamar tidur. Namun, tepat saat kaki Aleeta baru melangkah, Sonya menahan tangannya.

“Cepat berikan uangnya sekarang. Setelah itu kamu bisa tidur.” Sonya menarik tas di bahu Aleeta. Mengobrak-abrik seluruh isi tas itu dan menemukan sebuah amplop yang tadi diberikan oleh Thomas, bos di tempat Aleeta bekerja. Sonya segera merobek dan menghitung isinya. Hanya beberapa lembar kertas. “Hanya segini?!”

Ya, mungkin Ibunya berharap bisa menemukan segepok uang.

“Untuk apa uang sedikit begini?”

“Memangnya Mama pikir berapa gajiku menjadi pelayan? Dua puluh juta?” Aleeta bertanya sinis.

“Aku sudah bilang, jual saja dirimu!” Bentak Sonya marah. Dia mengambil seluruh uang yang sedikit itu, kemudian membuang amplopnya ke lantai. “Badanmu bagus, pasti banyak yang bersedia membayar mahal untuk itu.”

Refleks, telapak tangan Aleeta mengusap lengannya, menahan diri yang sedang merinding. Kata-kata itu sangat menyakitkan.

Aleeta terdiam di tengah-tengah ruang tamu yang nyaris kosong melompong. Aleeta menahan isak tangisnya.

Sejak dulu, Aleeta memang hanya di anggap sapi perah oleh Ibunya. Ia di paksa untuk bekerja siang malam, menghasilkan uang hanya demi memenuhi kebutuhan Ibunya yang tidak pernah ada habisnya. Bahkan, selama ini, Aleeta tidak pernah mencicipi hasil kerja kerasnya.

Namun, sekalipun Aleeta tidak pernah membayangkan kalau sosok wanita yang ia anggap sebagai Ibu selama ini ternyata tega menyuruhnya untuk menjual diri.

Apa masih kurang semua yang sudah Aleeta lakukan pada Ibunya selama ini? Hampir sepuluh tahun Aleeta bekerja, selama itu juga semua uang hasil kerja kerasnya selalu di nikmati oleh Ibunya. Meski Aleeta tahu uang-uang itu hanya untuk Sonya habiskan untuk berfoya-foya, berjudi dengan para geng sosialitanya, dan bersenang-senang dengan pria yang ada di klub judinya. Aleeta tidak pernah mempermasalahkan itu semua. Aleeta selalu diam dan sabar.

“Mama pikir aku ini wanita murahan?!” Bentak Aleeta sembari menatap Ibunya dengan mata memerah. “Apa Mama tega melihatku menjadi santapan pria-pria hidung belang?”

“Kenapa? Itu namanya kamu memanfaatkan badanmu yang bagus dan indah. Kalau dengan cara seperti itu bisa membuatmu menghasilkan uang, kenapa tidak kamu lakukan, hah?!” Sonya balas membentak.

“Ma!” Aleeta menatap marah pada Ibunya. “Aku ini anak Mama. Kenapa Mama sampai hati menyuruhku melakukan hal seperti itu?” Tanya Aleeta dengan suara tercekat. Sekarang, tenggorokannya terasa sakit dan matanya memanas. Dada Aleeta berdegup kencang, seolah-olah menggedor minta untuk keluar.

“Dengar, Aleeta. Aku membesarkanmu dengan perjuangan dan air mata. Apa kamu tidak bisa membalas jasa-jasaku itu, hah?!” Sonya semakin membentak marah.

Selama ini, Sonya memang menganggap Aleeta adalah investasinya. Jika Aleeta tidak bisa membalas apa yang telah dia berikan, Sonya merasa perjuangannya sangat sia-sia.

Sementara itu, Aleeta bertanya-tanya, apakah seorang anak harus membalas jasa atas semua hal yang telah ibunya lakukan karena merawat dan membesarkannya? Apakah hal itu wajib untuk dilakukan seorang anak? Bahkan Aleeta sendiri tidak pernah meminta di lahirkan ke dunia ini? Lalu kenapa kehadirannya selalu saja di salahkan?

“Memangnya aku pernah meminta untuk di lahirkan?” Tanya Aleeta pelan. “Apa aku pernah meminta Mama untuk terus mengurusku?”

“Kalau aku tidak memilih untuk mengurusmu, mungkin saat ini aku tidak akan hidup susah dan tinggal di kontrakan kecil seperti ini!” Sonya berteriak di telinga Aleeta hingga membuat telinganya berdengung. “Harusnya kamu berterima kasih, Aleeta! Karena berkatku, berkat belas kasihanku, kamu bisa hidup sampai detik ini!”

Belas kasihan. Bukan kasih sayang.

Kalau dulu bisa memilih, Aleeta lebih ingin di biarkan mati saja. Untuk apa hidup kalau setiap hari tersiksa? Bahkan Ibu yang seharusnya bisa menjadi tempat bersandar, hanya menginginkan uangnya saja.

“Ma …” Aleeta ingin balik berteriak, tapi dia tahu semuanya percuma. Aleeta memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat.

“Kamu tadi ingin melawan, hah?” Sonya mendekati Aleeta karena sedetik tadi, Sonya melihat kilatan di mata Aleeta. Dengan satu kali gerakan, Sonya mengangkat tangannya dan menarik rambut Aleeta hingga membuat gadis itu merintih kesakitan. “Jangan berani-berani seperti itu!” Jerit Sonya sambil melepas jambakannya.

Aleeta mundur beberapa langkah, membuat jarak dengan Ibunya.

“Kalau kamu tidak ingin bekerja dan mencarikan aku uang. Lebih baik kamu mati saja sana. Dasar anak tidak berguna!” Sonya melempar tas Aleeta tepat mengenai wajah anaknya. Tanpa menoleh ke arah anaknya, Sonya lalu pergi keluar dari rumah seraya membanting pintu dengan kuat.

Aleeta hanya mampu berdiri diam. Kepalanya sedikit sakit dan mungkin pipinya tergores resleting tas. Namun, ia tidak melakukan apa-apa. Pikirannya seperti kosong.

Sambil mencoba menenangkan diri, Aleeta hanya menatap sejenak pintu yang telah tertutup itu, kemudian berjongkok untuk mengambil tas beserta isinya. Hanya ponsel dan juga uang pecahan kecil yang selama ini menjadi penghuni tas Aleeta.

Aleeta lalu menyeret kakinya menuju kamar. Berbaring di kasur kecil yang ada di sana dan mulai memejamkan mata. Kasur itu terasa agak keras dengan aroma sedikit apak. Biasanya, Aleeta tetap merasa nyaman. Namun, kali ini, kasur itu tidak mampu menopang semua beban yang ia tanggung.

Tubuhnya tetap terasa sakit dan berat.

Aleeta membuka mata, menatap langit-langit yang catnya sudah luntur. Perlahan, pandangannya bertambah kabur. Pikirannya mulai melantur. Ia mulai bertanya-tanya, kenapa harus dirinya yang mengalami hal seperti ini?

Apakah ada orang yang mau hidup seperti dirinya? Berulang kali Ibunya menyuruh untuk menjual diri. Apakah Aleeta benar-benar harus melakukan itu supaya Ibunya bisa puas? Apakah Aleeta harus merelakan tubuhnya?

Aleeta lalu berbaring miring, memeluk lututnya dan mulai menangis.

***

Aleeta merasa kedua matanya baru saja terpejam beberapa saat yang lalu, saat alarm ponselnya berbunyi. Ia segera meraih ponsel jadul itu dan melirik layarnya.

Sial, ternyata ini sudah jam delapan!

Aleeta dengan cepat bangkit dari tempat tidur. Ia meraih handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Celana jeans berwarna usang, kemeja dan sepatu buluk. Begitulah gaya berpakaian Aleeta setiap harinya.

Apa yang di kenakan Aleeta memanglah sangat berbanding terbalik dengan apa yang di kenakan Sonya. Aleeta hanya memiliki barang-barang dan pakaian seadanya. Aleeta jarang, bahkan hampir tidak pernah membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Semua uang hasil kerja kerasnya selalu saja di minta oleh Sonya. Tapi meskipun Aleeta hanya memiliki barang seadanya, Aleeta tidak pernah mengeluh. Lagi pula, memang hanya itu yang ia punya dan Aleeta pun tidak suka berpura-pura kaya. Toh, selama masih bisa dan pantas untuk di gunakan, bagi Aleeta itu sudah lebih dari cukup.

Lagi-lagi ponsel Aleeta kembali berbunyi ketika ia hendak melangkah keluar rumah. Dan kali ini panggilan dari Sonya.

“Halo.”

“Aleeta!”

Aleeta mendesah. Telinganya bahkan sampai terasa begitu berdengung akibat teriakan tersebut. Tidak bisakah, sekali saja, Ibunya menyapa dengan cara yang hangat?

“Kenapa, Ma? Aku ingin berangkat bekerja,” tanyanya sedikit malas.

Setelah kejadian semalam Aleeta berharap setidaknya ia bisa beristirahat, sehari saja dari gangguan Ibunya. Tapi sepertinya hal itu tidak akan pernah terjadi dalam hidup Aleeta.

“Ke sini sekarang juga. Jemput aku di dekat Venus.” Sonya memerintah dengan ketus di seberang telepon.

“Tapi aku harus bekerja, Ma. Aku bisa terlambat kalau harus ke sana terlebih dahulu.”

“Heh, anak kurang ajar! Aku bilang cepat datang ke sini. Aku kehabisan uang, jadi aku tidak memiliki ongkos untuk pulang!” Sonya mulai membentak.

Aleeta mendengus. Ia tahu Venus itu adalah salah satu klub yang sering di datangi Sonya. Klub itu terletak cukup dekat dengan pusat kota. Jadi memerlukan waktu cukup lama untuk sampai di sana. Dan Aleeta bisa terlambat bekerja jika harus menjemput Sonya lebih dulu.

Kali ini, sepertinya Aleeta harus menolak. Kalau ia terlambat bekerja dan gajinya di potong, Sonya pasti akan marah juga.

“Aku nggak punya uang untuk pergi ke sana, Ma. Bukanya semalam Mama sudah mengambil semua uangku. Kenapa Mama nggak pulang sendiri saja?”

“Dengarkan aku, jika kamu tidak mau menjemputku sekarang. Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu nanti. Apakah kamu ingin aku menghukummu, anak sialan?”

“Nggak, Ma,” ujar Aleeta lirih. Ia tidak mau di hukum Ibunya, apalagi sampai membuatnya tidak bisa pergi bekerja.

Memangnya apa sih yang bisa Aleeta lakukan? Bukankah seharusnya ia sudah tahu kalau melawan Sonya itu sama saja melakukan hal yang sia-sia.

“Kalau begitu jemput aku sekarang, bodoh!” Sonya langsung mematikan panggilannya begitu saja setelah puas berteriak dan memarahi Aleeta.

Tidak. Sonya belum puas. Ia nanti pasti masih akan kembali membentak dan memarahi Aleeta meski Aleeta sudah menuruti permintaannya.

Taksi yang di tumpangi Aleeta berhenti tepat di seberang Venus. Aleeta terpaksa harus menggunakan taksi seperti yang Sonya perintahkan, yang artinya ia harus mengeluarkan biaya lebih. Aleeta menatap sekeliling, tapi ia sama sekali tak melihat keberadaan Sonya.

“Mama ke mana, sih?” Gumam Aleeta.

Kedua mata Aleeta memicing saat berhasil menemukan keberadaan Ibunya yang tengah berdiri tak jauh dari Venus. Tidak hanya sendiri, wanita itu rupanya sedang berpelukan dengan seorang pria. Aleeta tidak ingin peduli tentang siapa pria tersebut. Yang jelas ia harus segera memanggil dan mengajak Ibunya pulang, supaya ia bisa segera pergi bekerja.

“Mama!” Aleeta berteriak dari seberang jalan.

Sialnya jalanan di sana jauh lebih ramai daripada jalanan yang ada di sekitar tempat tinggal Aleeta. Meski belum termasuk pusat kota tapi lalu lintasnya sudah cukup lumayan padat.

“Ma—“

Aleeta terkejut saat seseorang menabraknya dari belakang hingga membuat ponsel yang ia genggam terlempar jauh, hampir ke tengah jalanan.

“Maaf. Saya buru-buru.”

Aleeta menatap pria yang baru saja menabraknya. “Ya nggak apa-apa.”

Pria itu tampak menatap Aleeta sekilas, sebelum kemudian mengangguk dan berpamitan. “Sekali lagi saya minta maaf,” ujarnya yang langsung berlalu begitu saja meninggalkan Aleeta.

Aleeta tersenyum kemudian mendesah. Ya, ini memang bukanlah masalah baginya. Toh, ponsel jadulnya itu tidak akan mati meski terlempar, jatuh beberapa kali dan membentur aspal jalanan. Ponsel miliknya itu memang terbilang cukup tahan banting selama ini, padahal harganya tidak terlalu mahal. Aleeta merasa sedikit beruntung karena masih memiliki ponsel tersebut.

Ia segera bergegas melangkah ke tengah jalan untuk mengambil ponsel, sekaligus menemui ibunya.

Aleeta baru saja berjongkok ketika ia mendengar suara klakson mobil yang begitu dekat. Ia segera menoleh dan mengerjap kaget saat melihat sebuah mobil berwarna hitam tengah melaju kencang menuju ke arahnya.

“Kalau kamu tidak mau bekerja dan mencarikan aku uang. Lebih baik kamu mati saja sana. Dasar anak tidak berguna!”

Tiba-tiba ucapan Sonya semalam tergiang begitu saja di kepala Aleeta. Apakah yang di katakan Sonya itu benar akan terjadi hari ini? Aleeta tidak tahu. Yang ia tahu saat ini kematian itu jelas sudah ada di depan matanya.

‘Mungkin ini sudah saatnya,’ gumam Aleeta seraya memejamkan mata. Ia berharap, ini akan membawanya pada istirahat panjang. Tidak ada lagi Ibu yang membentak, tidak ada lagi hari-hari yang menyusahkan.

“AWAS!”

Kejadian kecelakaan tadi terjadi dengan begitu cepat. Bahkan Aleeta sendiri hampir tidak ingat bagaimana dan seperti apa kejadiannya. Ia hanya ingat saat mobil hitam tadi mendekat ada seorang wanita yang berteriak, lalu mendorong dirinya.

Bunyi rem mobil hitam tadi masih terdengar begitu jelas dalam ingatannya. Aleeta ingat ada sebuah benturan, tapi itu bukan antara dirinya dan mobil hitam tersebut. Aleeta hanya terpental dan membentur aspal jalanan sebelum kemudian ia kehilangan kesadaran.

Wanita tadi?

Seketika Aleeta langsung tersadar. Ia kembali menatap sekeliling dan menyadari kalau dirinya tengah berada di sebuah kamar rumah sakit.

“Aw ....” Aleeta merintih saat hendak beranjak bangun.

Kepalanya terasa berdenyut, kakinya terasa kaku, dan tangan kanannya juga terasa sakit. Aleeta terdiam sembari mengusap perban pada kepalanya. Jadi, apakah ia masih hidup?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penjara Dendam Suami Konglomerat   Nasi Goreng Buatan Nicholas

    “Kemana Mary?” Aleeta bertanya ketika ia dan Nicholas memasuki dapur. Nicholas hanya mengangkat bahu. “Apa mungkin dia sedang pergi?” Aleeta kembali bersuara. “Mungkin.” Nicholas menjawab singkat. Ia mengikuti Aleeta yang berjalan menuju lemari tempat penyimpanan makanan. “Apa Mary lupa untuk memasak hari ini?” Tanya Aleeta yang kini berjalan menuju kulkas. “Oh, sepertinya Mary sedang pergi berbelanja sekarang. Lihat, nggak ada apapun yang tersisa di sini,” ujarnya menatap Nicholas. “Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanya Nicholas. Aleeta diam sejenak. “Mungkin kita bisa membuat sarapan seadanya terlebih dahulu.” Aleeta segera mengeluarkan telur yang hanya tinggal satu butir itu beserta dua bungkus mie instan. Dan untungnya Aleeta juga masih menemukan sedikit sayuran yang bisa ia gunakan sebagai pelengkap mienya nanti. “Mie instan?” Nicholas mena

  • Penjara Dendam Suami Konglomerat   Hadiah Dari Nicholas

    Aleeta perlahan mulai membuka matanya. Ia pikir semuanya sudah berakhir. Tapi ternyata ia salah. Begitu Aleeta membuka mata Nicholas segera menurunkan sandaran kursinya dan langsung menyerang bibirnya. “Nicho—“ Aleeta tidak bisa memprotes karena bibir Nicholas langsung membungkam bibirnya begitu saja. Aleeta mencengkeram tangan Nicholas saat jari yang masih terbenam di dalamnya itu perlahan kembali bergerak, keluar masuk di miliknya yang sudah semakin basah oleh cairan pelepasannya tadi. Ia mendesah saat tangan Nicholas yang lainnya langsung menangkup salah satu dadanya, kemudian meremasnya pelan. “Nich …,” Aleeta merintih saat bibir Nicholas mulai mengecupi lehernya, menjilatinya dengan sensual. “Aku sudah nggak bisa menahannya, Aleeta,” bisik Nicholas di leher Aleeta. Aleeta baru ingin menjawab tetapi suara jeritannyalah yang lebih dulu keluar. Terkesiap karena mulut Nicholas yang langs

  • Penjara Dendam Suami Konglomerat   Aku Hanya Peduli Padamu

    Lagu yang mengiringi dansa Nicholas dan Aleeta sudah berhenti beberapa menit yang lalu. Tapi mereka masih tetap berdiri, saling memeluk dan mendekap satu sama lain. “Masih belum puas memelukku?” Aleeta mendongak, menatap Nicholas yang tengah menunduk ke arahnya. Dan karena Nicholas yang menunduk seperti itu membuat wajahnya dan wajah suaminya itu tampak begitu dekat. Bahkan Aleeta bisa merasakan hidung Nicholas menggesek hidungnya saat ia bergerak tadi.“Kalau aku bilang belum?” Aleeta berujar polos.Nicholas terkekeh pelan. “Baiklah. Terserah kamu ingin memelukku sampai kamu puas pun aku nggak akan masalah. Hanya saja mungkin lebih baik kalau kamu melanjutkannya nanti saja,” terang Nicholas.“Nanti kapan?”“Nanti kalau sudah berada di rumah,” bisik Nicholas menggoda.Aleeta merasa pipinya seketika memanas karena bisikan tersebut. Ia menatap Nicholas yang kini mulai tersenyum ganjil. Apa yang sedang Nicho

  • Penjara Dendam Suami Konglomerat   Makan Malam Romantis

    Mobil yang di kendarai Nicholas berhenti di pelataran parkir sebuah restoran mewah bintang lima yang ada di pusat kota. Pria itu segera keluar mobil, lalu membukakan pintu mobil untuk Aleeta. Bahkan Nicholas tak segan mengulurkan tangan saat Aleeta hendak turun dari mobilnya. Seperti layaknya seorang pangeran yang sedang membantu permaisurinya turun dari kereta kuda. Hanya saja bedanya Aleeta tidak menaiki kereta kuda, melainkan sebuah mobil mewah.Nicholas terus membimbing Aleeta memasuki restoran. Seorang pelayan langsung menyambut kedatangan Nicholas dan mengarahkannya ke sebuah ruangan VIP yang sudah di pesan secara khusus oleh Nicholas tadi. Nicholas menarik sebuah kursi lalu menyuruh Aleeta duduk di kursi tersebut, sedangkan ia duduk di depan Aleeta. Aleeta menatap sekeliling, restoran itu sangat mewah, semua orang datang dengan mengenakan pakaian yang rapi, gaun dan jas. Sementara dirinya? Aleeta menunduk. Ia hanya mengenakan sebuah dress se

  • Penjara Dendam Suami Konglomerat   Merayakan Ulang Tahun Aleeta

    Aleeta melangkah ke teras rumah. Sudah dua hari ini Aleeta selalu pulang lebih awal, setelah selama seminggu kemarin ia selalu pulang di atas pukul delapan.Aleeta lalu membuka pintu rumahnya. Ia ingin segera mandi dan mengistirahatkan diri sejenak, supaya nanti Aleeta tidak akan ketiduran saat menunggu kepulangan Nicholas yang entah akan sampai di rumah pada pukul berapa.Namun, saat langkah Aleeta memasuki pintu tiba-tiba ia langsung terkejut begitu saja ketika melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu sudah lebih dulu pulang, dan tengah duduk di ruang tamu.Dia benar Nicholas, kan? Pikir Aleeta.Aleeta kembali melangkah dan menutup pintu rumah dengan berhati-hati. Sebisa mungkin agar pintu itu tidak mengeluarkan suara. Ia lalu berdiri, menatap suaminya yang hanya duduk dengan wajah datar.Menarik napas sejenak sebelum kemudian Aleeta tersenyum dan menyapa suaminya. “Hai, tumben sudah pulang. Apa—““Selamat u

  • Penjara Dendam Suami Konglomerat   Dua Pria Yang Mengawasi Aleeta

    Lukas yang baru saja sampai di apartemennya segera membuka pintu, dan melangkah masuk ke dalam kamar. Pria itu dengan cepat melepas jas, dasi, kemeja dan juga sepatunya lalu merebahkan dirinya ke atas ranjang tempat tidur. Ia berbaring tanpa mengenakan atasan, meletakkan kedua tangannya di bawah kepala dan menatap langit-langit kamarnya dalam diam.Sejak tadi Lukas tak bisa berhenti memikirkan tentang kejadian yang baru terjadi siang tadi. Tepatnya setelah ia selesai makan siang bersama Aleeta.Lukas sadar betul, bahwa sejak ia dan Aleeta keluar dari butik Emily, sudah ada orang yang mengawasi mereka. Lukas menghela napas, mengingat kejadian yang terjadi siang tadi. “Kamu ingin makan di mana kali ini?” Lukas bertanya saat ia dan Aleeta keluar butik.Aleeta tampak berpikir sejenak. “Yang dekat saja, Luke. Bagaimana kalau Cafe yang ada di ujung jalan sana? Aku dan Emily pernah makan di sana, dan rasanya lumayan enak.”“Baiklah. A

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status