“Oh, sudah sadar rupanya?”
Suara itu membuyarkan lamunan Aleeta. Ia segera menoleh dan menemukan Sonya yang sedang berdiri di dekat pintu. “Aku kira kamu akan mati dalam kecelakaan tadi?” Lagi-lagi Sonya kembali bersuara. Aleeta memejamkan mata sebelum kemudian ia berkata. “Ya. Jika bisa memilih aku memang lebih baik memilih untuk mati dalam kecelakaan tadi,” desisnya tajam. Sonya memicing. “Lalu kenapa kamu tidak mati saja, heh? Dari pada membuatku repot begini. Kamu tahu berapa banyak waktuku yang terbuang hanya untuk menunggumu di sini?” Aleeta tidak habis pikir. Ia baru saja terbangun beberapa menit yang lalu. Tapi kenapa Sonya sudah tega mengatakan hal seperti itu pada dirinya? Apa tidak ada hal lain yang bisa Ibunya katakan selain mengatakan tentang kematiannya? Apa memang sebegitu tidak berharganya Aleeta di mata Ibunya, hingga wanita itu mengharapkan kematiannya? “Ma ...” Aleeta menatap Sonya. “Kalau Mama ingin aku mati, kenapa Mama nggak membiarkan aku tergeletak di jalanan saja tadi? Kenapa malah membawaku ke sini?!” Teriaknya marah. “Kamu pikir aku yang membawamu ke sini?! Cuih!” Sonya membuang ludahnya ke samping. “Orang-orang itu yang membawamu ke sini, Aleeta. Aku terpaksa ikut hanya gara-gara aku tidak ingin repot jika ada orang yang menghubungiku nomorku.” Aleeta berteriak histeris. “Jika aku mati Mama memang nggak akan merasa repot lagi, kan?! Harusnya biarkan aku mati saja, Ma.” “Kamu—“ “Kenapa?! Mama ingin menamparku?” Aleeta memicing ke arah Sonya yang sudah mengangkat tangan kanannya. “Tampar, Ma. Aku—“ Mata Aleeta terpejam saat satu tamparan itu benar-benar mendarat secara cepat di pipinya. Apakah perih? Tentu saja iya. Tapi Aleeta mencoba untuk tidak merasakannya, karena rasa perih di pipinya itu tetap tak akan sebanding dengan perih yang di rasakan hatinya. “Masih ingin mencoba untuk melawanku?” Aleeta hanya bisa diam saat Sonya mulai mencengkeram kuat dagunya. “Jangan pernah berani untuk melawanku lagi. Ingat itu! Membuang-buang tenagaku saja.” Aleeta tetap terdiam. Sebisa mungkin untuk menahan rasa sakit, kekecewaan dan desakan untuk menangis. Aleeta yakin ia masih bisa menahan semua ini. *** Sonya kembali masuk ke ruang perawatan yang di tempati Aleeta, setelah suster yang mengecek kondisi putrinya tadi sudah keluar dari sana. Aleeta berjalan tertatih, mendekati Sonya. “Apa Mama tahu keadaan orang yang kecelakaan denganku tadi? Apa dia juga di rawat di rumah sakit ini?” “Ck! Itu bukanlah urusanku!” ketus Sonya. Aleeta hanya mampu terdiam, ia kembali berjalan tertatih di belakang Sonya yang sudah lebih dulu melangkah di depannya. Bahkan dalam keadaan seperti ini saja Ibunya tetap tidak mau membantunya. Aleeta tidak ingin meminta lebih, hanya sedikit saja kasih sayang dari Sonya, setidaknya Ibunya mau membantunya berjalan itu sudah lebih dari cukup. Tapi percuma saja. Ibarat Aleeta mengharapkan salju turun di negara tempat tinggalnya. “Aleeta, cepatlah! Lama sekali sih kamu seperti siput!” Sonya berseru jengkel karena Aleeta masih tertinggal jauh di belakangnya. Sebisa mungkin Aleeta mencoba untuk menahan rasa sakit yang sedang ia rasakan. Sakit karena lukanya, juga dengan sakit atas perkataan Ibunya. Samar-samar Aleeta mendengar suara orang menangis di lorong sebelah kiri. Ia menoleh dan ternyata suara itu berasal dari orang-orang yang sedang berdiri di depan ruang operasi. Hal itu tiba-tiba saja mengingatkan Aleeta akan sesuatu. “Suster.” Aleeta segera menghentikan seorang suster yang baru saja melintas. “Ya, ada yang bisa saya bantu?” Sebenarnya Aleeta tidak yakin dengan hal ini, tapi demi membuktikan kebenarannya Aleeta harus bertanya untuk mendapat jawaban. “Em, saya ingin bertanya, apa mereka keluarga dari korban kecelakaan lalu lintas yang terjadi beberapa saat yang lalu?” Tanya Aleeta sembari menunjuk ke arah ruang operasi. “Betul sekali, Nona. Saat ini korban sedang menjalani operasi karena korban mendapat luka yang cukup serius dari kecelakaan tadi.” Apa? Luka yang cukup serius? Bagaimana bisa? Aleeta memilih untuk mengabaikan semua pertanyaan itu. Ia segera mengucapkan terima kasih kepada suster tersebut, lalu menatap kosong ke arah ruang operasi. Sonya sudah tidak terlihat, mungkin wanita itu memang sudah benar-benar meninggalkan Aleeta. Dan Aleeta sama sekali tidak peduli. Saat ini Aleeta lebih peduli dengan keadaan dari keluarga korban atau lebih tepatnya orang yang telah menyelamatkannya tadi. Tiba-tiba Aleeta merasa begitu bersalah. Seandainya wanita yang sedang berada di ruang operasi tadi tidak menyelamatkannya, mungkin ia tidak perlu mengalami hal seperti ini. Bukankah seharusnya Aleeta lah yang saat ini ada di ruang operasi? Atau bahkan mungkin saat ini seharusnya Aleeta sudah mati. Ya, seharusnya memang dirinya mati saja. Aleeta tidak tahu harus berbuat apa. Ia benar-benar bingung sekarang. Akhirnya Aleeta memutuskan untuk mendekati ruang operasi. Berniat menemui keluarga wanita yang menolongnya tadi. Ada dua orang pria berpenampilan rapi lengkap dengan setelan jas mahalnya, dan satu wanita paruh baya yang sedang berusaha menenangkan salah satu pria yang sedang menangis di sana. “Ma, Sesilia, Ma ...” Aleeta mendengar isak tangis pria berjas hitam itu saat langkahnya kian mendekat. Aleeta terus melangkah pelan, sembari berpegangan pada dinding rumah sakit. “Tenanglah, Nicholas. Semuanya pasti akan baik-baik saja.” “Bagaimana aku bisa tenang, Ma. Di sana ...” Nicholas tak sanggup melanjutkan perkataan. Aleeta ikut meringis saat mendengar nada ketakutan dari pria tersebut. Entah apa hubungan wanita bernama Sesilia dan pria tersebut, yang bisa Aleeta simpulkan, bahwa pria itu terlihat sangat mengkhawatirkan Sesilia. Langkah Aleeta terhenti saat melihat pintu ruang operasi terbuka, dan seorang dokter keluar dari sana. Pria yang sedang menangis tadi segera mendekati sang dokter. “B-bagaimana keadaannya, Dok? Bagaimana keadaan calon istri saya?” Aleeta langsung membungkam mulutnya saat mengetahui bahwa wanita bernama Sesilia itu ternyata adalah calon istri dari pria tersebut. Ya Tuhan, Aleeta semakin merasa bersalah atas kejadian kecelakaan tadi. “Aleeta!” Aleeta terkejut ketika mendengar suara teriakan di ikuti dengan jambakan pada rambutnya. “Bagus sekali. Aku sudah repot-repot menunggumu di luar sana, ternyata kamu malah sibuk bengong di sini!” Ketus Sonya. “M-ma, sakit. Mama bisa pelankan suara sedikit. Ini rumah sakit jadi jangan berteriak kalau nggak ingin di tegur oleh pihak rumah sakit,” jawab Aleeta sembari berusaha melepaskan jambakan Ibunya. “Sebentar, Ma. Aku ingin menemui mereka,” ujar Aleeta sembari menunjuk ruang operasi. Sial, gara-gara kedatangan Sonya, Aleeta jadi tidak bisa mendengar apa yang sedang dokter itu katakan. “Memangnya mereka siapa?! Apa pentingnya untukmu?!” “Mereka keluarga dari wanita yang menolongku tadi, Ma.” Sonya memelotot. “Dasar bodoh! Kalau begitu, seharusnya kamu jangan temui mereka. Biarkan saja mereka, kita pergi sekarang.” Aleeta menggeleng. “Nggak, Ma. Aku harus minta maaf.” Aleeta sedikit bingung ketika melihat pria yang menangis tadi sudah tidak ada di tempatnya. Di sana hanya tersisa wanita paruh baya tadi, dan pria yang satunya. Mereka tampak bersedih. “Permisi.” Wanita paruh baya dan pria yang memiliki wajah datar itu segera menoleh. “Ya?” Meski sedang bersedih, wanita paruh baya itu tetap berusaha bersikap ramah kepada Aleeta. “S-saya ... Saya, Aleeta. Wanita yang hampir mengalami kecelakaan tadi,” ujarnya dengan jantung berdegup kencang. Entah kenapa tiba-tiba Aleeta merasa takut, terlebih saat pria berwajah datar di depannya langsung berubah menatapnya tajam. “S-saya ingin—“ “Apa yang kamu lakukan di sini?” Aleeta terkejut ketika mendengar suara dingin yang begitu menusuk telinganya tersebut. Ia segera menoleh dan mendapati pria berjas hitam tadi berjalan keluar dari ruang operasi. “S-saya—“ “Pembunuh!”“Lihatlah siapa yang telah kembali.” Emily langsung mencibir begitu Aleeta masuk ke dalam butik.Aleeta menaikkan sebelah alis. “Siapa?”“Siapa lagi kalau bukan pasangan suami istri favorit kita semua,” ucap Emily seraya menatap keluar jendela. Memerhatikan mobil Nicholas yang sudah melaju.Aleeta langsung terkekeh. “Jangan menggodaku, Emily,” ujarnya malu.Aleeta segera melangkah masuk ke dalam ruangan seraya membalas sapaan dari rekan-rekannya, sedangkan Emily mengikuti di belakangnya.“Jadi …,” Emily bersedekap seraya bersandar pada dinding kaca ruangannya. “Apa kalian sudah bersenang-senang kemarin?” Tanya Emily menatap Aleeta.“A-apa maksudmu? Aku nggak mengerti.”“Ck! Kamu ini, kak. Kamu pikir bisa membohongiku.”Emily melangkah, mendekati Aleeta yang sedang berdiri di depan mejanya. Sedangkan Aleeta hanya diam memikirkan maksud dari ucapan adik iparnya. Apa jangan-jangan Emily tahu kalau kema
“Kemana Mary?” Aleeta bertanya ketika ia dan Nicholas memasuki dapur. Nicholas hanya mengangkat bahu. “Apa mungkin dia sedang pergi?” Aleeta kembali bersuara. “Mungkin.” Nicholas menjawab singkat. Ia mengikuti Aleeta yang berjalan menuju lemari tempat penyimpanan makanan. “Apa Mary lupa untuk memasak hari ini?” Tanya Aleeta yang kini berjalan menuju kulkas. “Oh, sepertinya Mary sedang pergi berbelanja sekarang. Lihat, nggak ada apapun yang tersisa di sini,” ujarnya menatap Nicholas. “Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanya Nicholas. Aleeta diam sejenak. “Mungkin kita bisa membuat sarapan seadanya terlebih dahulu.” Aleeta segera mengeluarkan telur yang hanya tinggal satu butir itu beserta dua bungkus mie instan. Dan untungnya Aleeta juga masih menemukan sedikit sayuran yang bisa ia gunakan sebagai pelengkap mienya nanti. “Mie instan?” Nicholas mena
Aleeta perlahan mulai membuka matanya. Ia pikir semuanya sudah berakhir. Tapi ternyata ia salah. Begitu Aleeta membuka mata Nicholas segera menurunkan sandaran kursinya dan langsung menyerang bibirnya. “Nicho—“ Aleeta tidak bisa memprotes karena bibir Nicholas langsung membungkam bibirnya begitu saja. Aleeta mencengkeram tangan Nicholas saat jari yang masih terbenam di dalamnya itu perlahan kembali bergerak, keluar masuk di miliknya yang sudah semakin basah oleh cairan pelepasannya tadi. Ia mendesah saat tangan Nicholas yang lainnya langsung menangkup salah satu dadanya, kemudian meremasnya pelan. “Nich …,” Aleeta merintih saat bibir Nicholas mulai mengecupi lehernya, menjilatinya dengan sensual. “Aku sudah nggak bisa menahannya, Aleeta,” bisik Nicholas di leher Aleeta. Aleeta baru ingin menjawab tetapi suara jeritannyalah yang lebih dulu keluar. Terkesiap karena mulut Nicholas yang langs
Lagu yang mengiringi dansa Nicholas dan Aleeta sudah berhenti beberapa menit yang lalu. Tapi mereka masih tetap berdiri, saling memeluk dan mendekap satu sama lain. “Masih belum puas memelukku?” Aleeta mendongak, menatap Nicholas yang tengah menunduk ke arahnya. Dan karena Nicholas yang menunduk seperti itu membuat wajahnya dan wajah suaminya itu tampak begitu dekat. Bahkan Aleeta bisa merasakan hidung Nicholas menggesek hidungnya saat ia bergerak tadi.“Kalau aku bilang belum?” Aleeta berujar polos.Nicholas terkekeh pelan. “Baiklah. Terserah kamu ingin memelukku sampai kamu puas pun aku nggak akan masalah. Hanya saja mungkin lebih baik kalau kamu melanjutkannya nanti saja,” terang Nicholas.“Nanti kapan?”“Nanti kalau sudah berada di rumah,” bisik Nicholas menggoda.Aleeta merasa pipinya seketika memanas karena bisikan tersebut. Ia menatap Nicholas yang kini mulai tersenyum ganjil. Apa yang sedang Nicho
Mobil yang di kendarai Nicholas berhenti di pelataran parkir sebuah restoran mewah bintang lima yang ada di pusat kota. Pria itu segera keluar mobil, lalu membukakan pintu mobil untuk Aleeta. Bahkan Nicholas tak segan mengulurkan tangan saat Aleeta hendak turun dari mobilnya. Seperti layaknya seorang pangeran yang sedang membantu permaisurinya turun dari kereta kuda. Hanya saja bedanya Aleeta tidak menaiki kereta kuda, melainkan sebuah mobil mewah.Nicholas terus membimbing Aleeta memasuki restoran. Seorang pelayan langsung menyambut kedatangan Nicholas dan mengarahkannya ke sebuah ruangan VIP yang sudah di pesan secara khusus oleh Nicholas tadi. Nicholas menarik sebuah kursi lalu menyuruh Aleeta duduk di kursi tersebut, sedangkan ia duduk di depan Aleeta. Aleeta menatap sekeliling, restoran itu sangat mewah, semua orang datang dengan mengenakan pakaian yang rapi, gaun dan jas. Sementara dirinya? Aleeta menunduk. Ia hanya mengenakan sebuah dress se
Aleeta melangkah ke teras rumah. Sudah dua hari ini Aleeta selalu pulang lebih awal, setelah selama seminggu kemarin ia selalu pulang di atas pukul delapan.Aleeta lalu membuka pintu rumahnya. Ia ingin segera mandi dan mengistirahatkan diri sejenak, supaya nanti Aleeta tidak akan ketiduran saat menunggu kepulangan Nicholas yang entah akan sampai di rumah pada pukul berapa.Namun, saat langkah Aleeta memasuki pintu tiba-tiba ia langsung terkejut begitu saja ketika melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu sudah lebih dulu pulang, dan tengah duduk di ruang tamu.Dia benar Nicholas, kan? Pikir Aleeta.Aleeta kembali melangkah dan menutup pintu rumah dengan berhati-hati. Sebisa mungkin agar pintu itu tidak mengeluarkan suara. Ia lalu berdiri, menatap suaminya yang hanya duduk dengan wajah datar.Menarik napas sejenak sebelum kemudian Aleeta tersenyum dan menyapa suaminya. “Hai, tumben sudah pulang. Apa—““Selamat u