Hari ini sudah genap tiga bulan sejak kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang membuat seorang wanita yang tidak tahu apa-apa harus rela kehilangan nyawa demi Aleeta. Jujur, jika boleh mengakui sampai detik ini Aleeta juga masih merasa begitu bersalah. Wanita itu begitu baik, seharusnya dia tidak perlu menolongnya. Biarkan saja dirinya yang mati dalam kecelakaan itu.
Aleeta mendesah, bagaimanapun juga ia tidak bisa memutar waktu. Memangnya ia siapa? Mungkin saja semua itu memang sudah menjadi takdir dari Tuhan. Tapi keluarga wanita itu .... Aleeta menggeleng. Ia tidak ingin mengingat tentang keluarga wanita itu. Terutama pada pria yang dengan terang-terangan mengatainya seorang pembunuh. Aleeta kembali menggeleng. Aleeta takut. Meski Ibu Nicholas maupun pria satunya yang tidak Aleeta ketahui namanya itu tidak ikut menuduhnya sebagai pembunuh. Tapi tetap saja, Aleeta merasa ketakutan saat mengingat tatapan mematikan yang penuh kebencian dari kedua bola mata Nicholas. Nicholas Axel Frederick. Ternyata pria itu adalah CEO dari perusahaan Nordstrom. Putra dari Javier Frederick yang merupakan salah satu orang terkaya di negara tempatnya tinggal. Bahkan gedung-gedung yang berjajar di sekitar Cafe dan klub tempat Aleeta bekerja juga merupakan gedung milik keluarga Frederick. Aleeta baru mengetahui fakta tersebut setelah melihat berita heboh pasca kecelakaan yang menimpa Sesilia—calon istri Nicholas. Aleeta tahu dirinya memang bersalah. Ia yang harusnya mati saat itu. Tapi bagaimanapun juga Aleeta tidak bisa menyalahkan apa yang sudah menjadi takdir Tuhan. Dan Aleeta berharap pria bernama Nicholas itu juga paham dengan hal tersebut. Aleeta baru memejamkan mata satu jam yang lalu ketika ponselnya terus berbunyi. Sial. Siapa yang mengganggu waktu istirahatnya? Tidak tahu apa kalau Aleeta hanya memiliki waktu istirahat yang sedikit, bisa-bisanya mengganggu saja. Aleeta menatap nomor asing yang tidak di kenal. Matanya memicing. Nomor siapa ini? “Halo. Siapa, ya?” “Aleeta!” Aleeta seketika mendesah ketika mendengar suara Sonya dari seberang telepon tersebut. “Kenapa, Ma? Aku baru saja ingin tidur.” “Ke sini sekarang juga. Aku sedang terkena masalah.” “Urus saja masalah Mama sendiri. Aku capek!” Ketus Aleeta. Aleeta ingat, kejadian kecelakaan itu terjadi juga saat ia harus menjemput ibunya. Ck! Lagi-lagi Aleeta harus kembali mengingatnya. “Apa katamu?!” Sonya menjerit di seberang sana. “Kamu tahu semua masalah ini terjadi juga gara-gara kamu!” Bukan hal baru kalau Sonya akan menyalahkannya. Setiap masalah yang di hadapi wanita itu pasti adalah salah Aleeta. Sampai Aleeta sendiri heran kenapa sih Ibunya itu suka sekali menyalahkan dirinya? “Masalah apa lagi yang Mama buat kali ini?” Aleeta bertanya sembari menguap. “Datang ke alamat ini, sekarang!” Sonya menyebutkan alamat yang harus Aleeta tuju. Lagi-lagi alamat sebuah klub malam. Aleeta menghela napas. Ingin sekali ia menjerit dan mengatakan kepada Ibunya, bahwa bukan tanggung jawabnya untuk menyelesaikan semua masalah yang wanita itu perbuat. Sejak dulu kebiasaan buruk Sonya tidak pernah berubah. Hampir setiap minggu, wanita itu membuat masalah dan Aleeta yang harus menyelesaikan semua masalah itu. Aleeta mengerang, bangkit dari ranjang dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di luar kamarnya. Mencuci wajahnya. Lalu menyambar tas dan juga jaket, setelah itu melangkah keluar dari kontrakkan. Hari sudah pukul lima pagi. Sebentar lagi matahari akan segera terbit. *** Aleeta turun dari taksi dengan langkah pelan, ia terpaksa menggunakan taksi karena Sonya terus menghubunginya dengan tidak sabar. Lagi pula Aleeta heran, kenapa Ibunya suka sekali sih pergi ke klub yang jauh dari tempat tinggalnya? Hanya membuatnya repot saja. Aleeta memasuki klub mewah yang di buka dua puluh empat jam, ia mencari-cari keberadaan Sonya. “Kenapa lama sekali, sih?!” Sonya menariknya kesal. Sedangkan Aleeta hanya bisa pasrah mengikuti langkah wanita itu. “Masalah apa lagi kali ini, Ma?” Aleeta bertanya pelan. Sonya menarik Aleeta masuk ke dalam sebuah ruangan. “Dia yang akan mengganti rugi,” ujar Sonya tanpa aba-aba yang membuat Aleeta menoleh bingung. “Kalau begitu, bayar sekarang juga!” Seorang wanita bergaya glamor itu membentak Aleeta. “Tunggu dulu, sebenarnya ada apa ini?” Aleeta menatap Ibunya bingung. “Wanita ini telah merusak tas mahalku.” Wanita glamor itu menatap Aleeta. “Dan dia harus mengganti rugi!” “Sudah aku bilang! Aku tidak sengaja!” Bentak Sonya. “Tetap saja kamu harus mengganti rugi, wanita murahan!” Wanita glamor itu balas membentak. “Siapa yang kamu bilang murahan?!” “Kamu! Kamu wanita murahan!” “Sialan!” Sonya mengumpat kasar. “Hei, tutup mulutmu! Aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni wanita murahan sepertimu. Cepat ganti rugi tasku sekarang juga!” Wanita glamor itu lagi-lagi membentak Sonya. “Aku akan mengganti rugi, memangnya kamu pikir aku tidak mampu untuk menggantinya?!” Balas Sonya tak ingin kalah. Ia tidak akan rela di rendahkan oleh wanita sialan itu. “Kalau begitu, berikan uangnya padaku, sekarang!” Aleeta tersentak saat tiba-tiba Sonya mendorong bahunya. “Cepat berikan uang ke wanita itu!” Aleeta menoleh sengit. “Memangnya Mama pikir, aku ini punya uang?!” Bentaknya kesal. “Lalu, kenapa kamu datang kalau kamu tidak punya uang?!” “Memangnya siapa yang sejak tadi memaksaku untuk datang ke sini?! Mama lupa?! Semua uangku sudah Mama ambil!” “Aku tidak mau tahu, kamu harus menggantinya, Aleeta. Kalau tidak, aku akan masuk ke dalam penjara.” Kali ini suara Sonya terdengar melemah. “Aku tidak mau masuk penjara. Kamu harus membantuku. Aku ini Ibumu!” Baru sekarang wanita itu mengaku sebagai ibu? Kemana saja wanita itu selama ini? “Heh, cepat kamu harus menggantinya! Jika tidak, aku akan menghubungi polisi,” ujar wanita glamor tersebut. “Aleeta, bantu aku!” Desak Sonya. Aleeta menjambak rambutnya karena merasa pusing yang luar biasa. Ia lalu menatap tas wanita itu yang terlihat rusak di beberapa bagian. Sial. Sebenarnya dengan apa Sonya merusak tas itu? “Berapa harga tas itu?” Tanya Aleeta. “Delapan ratus juta.” “Delapan ratus—apa?!“ Aleeta terbelalak. Begitu juga dengan Sonya yang ada di sampingnya. “Kamu bilang delapan ratus juta?!” Aleeta menjerit kaget. “Ya,” jawab wanita glamor itu sambil melipat kedua tangannya. “Tidak mungkin tas jelek dan murahan itu seharga delapan ratus juta!” Tampik Sonya. “Kamu tidak percaya? Baiklah kalau begitu ayo kita pergi ke gerainya, dan belikan aku tas yang sama dengan tas yang kamu rusak. Dan kamu yang harus membayarnya!” Desis wanita glamor tersebut. Aleeta ternganga di tempatnya. Delapan ratus juta? Apa semua itu adalah uang? Darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Selama ini saja ia sudah bekerja dari pagi hingga pagi tapi uang yang terkumpul masih terbilang sangat jauh dari angka seratus juta. Apalagi delapan ratus juta? Kepala Aleeta kembali berdenyut nyeri saat memikirkan jumlah nominal tersebut. “Bagaimana? Kamu mau membayarnya atau tidak?! Kalau tidak aku siap menghubungi polisi dan kamu akan di penjara,” ancam wanita glamor tersebut. “Aleeta, bagaimana ini?!” Sonya menjerit panik. “Mana aku tahu!” Balas Aleeta kasar. “Kenapa sih Mama harus merusak tas itu?” Ia menatap ibunya sengit. “Karena wanita itu merebut pria yang selama ini aku incar,” jawab Sonya santai. Aleeta kembali ternganga. Rasa ingin menjerit, menangis dan tertawa histeris menjadi satu. Aleeta mengepalkan erat kedua tangannya. “Ma ...” Ia kesulitan bicara. Bisa-bisanya Ibunya merusak tas seseorang hanya karena seorang pria?! Lelucon macam apa itu? Rasanya Aleeta ingin menghantamkan kepalanya ke dinding. “Kalian bisa cepat atau tidak?! Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu kalian.” Wanita glamor itu mendesak. “Beri aku sedikit waktu untuk berpikir.” Aleeta hendak berlari keluar dari ruangan itu, tapi wanita glamor itu berhasil mencengkeram tangannya. Sial! Sepertinya Aleeta memang benar-benar tidak bisa lari dari situasi ini. Ia benar-benar terjebak. “Dengarkan aku anak manis, aku tidak pernah main-main, jika kamu tidak menggantinya hari ini. Aku bersumpah akan menjebloskan wanita murahan itu ke dalam penjara,” tudingnya ke arah Sonya. Masukkan saja! Ingin sekali Aleeta berteriak seperti itu. Melihat Sonya masuk penjara dan menyesali semua perbuatannya. Tetapi ketika ia menoleh ke arah Sonya, wanita itu menatapnya dengan mata memelas. Aleeta berpaling. Ck! Wanita itu pandai sekali memanipulasinya. “Aku nggak punya uang sebanyak itu,” jawab Aleeta pelan. “Kalau begitu, kamu memilih opsi yang kedua. Aku akan menghubungi polisi sekarang.” Wanita glamor itu sudah bersiap untuk mengambil ponselnya. “Aleeta! Bantu Mama!” Sonya menjerit, terus mendesak Aleeta sampai Aleeta merasa pusing dengan suara Ibunya. “Harusnya Mama berpikir sebelum bertindak!” Bentak Aleeta nyaris menangis. “Kenapa Mama nggak pernah berubah?! Kenapa Mama selalu menyusahkan aku?!” “Kalau kamu lupa, kamu yang membuatku seperti ini! Kalau bukan karena melahirkanmu, aku tidak akan hidup sesusah ini!” Kenapa selalu Aleeta yang salah? Apakah ia hadir di dunia ini hanya untuk di salahkan? Aleeta berusaha menahan letupan emosi itu kuat-kuat. “Kamu mau membayar ganti ruginya atau tidak?!” Wanita glamor itu sudah tidak sabar. “Kalau kamu tidak mau, kita selesaikan saja sekarang di kantor polisi.” “Beri aku waktu,” pinta Aleeta memohon. Wanita glamor itu tampaknya memang tidak main-main. “Aku berjanji akan membayarnya. Tapi tidak sekarang.” Ya, terpaksa Aleeta harus mengatakan hal itu. Meski sejujurnya Aleeta juga masih bingung dengan cara apa ia akan membayarnya. Seharusnya tadi Aleeta memang tidak usah datang ke tempat ini. Seharusnya Aleeta biarkan saja Ibunya menyelesaikan masalahnya sendiri. Seharusnya ... ya seharusnya .... “Apa yang akan kamu berikan padaku sebagai jaminannya, kamu pikir aku bisa semudah itu percaya dengan ucapanmu?” Wanita glamor itu menatapnya penuh selidik. Aleeta mengernyit. Ia merasa bingung harus memberi jaminan berupa apa? Ia saja tidak punya apa-apa. “Percayalah. Aku berjanji akan melunasinya,” ujar Aleeta. Wanita glamor itu berdecak. “Berikan tanda pengenalmu.” “Ha?” “Berikan tanda pengenalmu. Aku akan memberimu waktu sampai nanti malam. Segera bayar hari ini juga. Kalau kamu ingkar janji, siap-siap saja polisi akan menangkapmu malam ini juga. Cepat, berikan tanda pengenalmu!” Aleeta hanya bisa pasrah. Ia segera membuka dompet dan memberikan tanda pengenalnya ke wanita glamor tersebut. “Malam ini, sebelum pukul sebelas malam, kamu sudah harus memberikan uang itu padaku. Jika tidak, aku akan menyerahkan tanda pengenalmu ini ke kantor polisi. Kamu paham?” Aleeta mengangguk lemah. Wanita itu lalu beranjak pergi dari ruangan itu dengan membawa tanda pengenal Aleeta. Aleeta mendesah lunglai, lalu melangkah keluar dengan tergesa. Rasanya pengap jika ia harus berada lebih lama lagi di dalam ruangan tersebut. “Kamu harus membayarnya hari ini, Aleeta.” Sonya bersuara di belakang Aleeta. Aleeta hanya diam saja, dan terus melangkah. Rasa marah, kesal, benci dan sedih menjadi satu di dadanya. Membuatnya sesak dan ingin berteriak histeris saat ini juga. “Kamu dengar aku—“ “Aku dengar!” Bentak Aleeta kasar. “Aku dengar apa yang Mama katakan. Aku harus membereskan semua masalah yang Mama lakukan. Kenapa aku harus mengalami semua ini?! Apa Mama memang sengaja melahirkanku untuk menyelesaikan semua masalah yang Mama perbuat?!” “Kamu yang lebih dulu membuatku susah—“ “Kenapa dulu Mama nggak membunuhku saja?! Kenapa Mama memilih untuk melahirkanku?!” Teriak Aleeta dengan wajah penuh air mata. Sonya hanya diam, menatap putrinya dengan tajam. “Dan aku menyesal telah memilih untuk melahirkanmu. Seharusnya memang aku bunuh saja kamu sejak dulu. Atau seharusnya memang lebih baik kamu mati saja saat kecelakaan tiga bulan yang lalu.” Aleeta memejamkan mata. Mengusap kasar kedua pipinya yang sudah penuh dengan air mata. Sial. Seharusnya Aleeta tidak perlu menangisi hal yang tidak penting seperti ini. Tapi entahlah air matanya yang memilih untuk menetes dengan sendirinya. Sungguh, Aleeta sudah bosan menangis. Rasanya lelah dan kesal. Hal menyakitkan yang selama ini ia rasakan benar-benar berhasil membuatnya capek. Mungkin sebentar lagi Aleeta benar-benar akan mati rasa. Aleeta memilih untuk membalikkan tubuh, melangkah pergi meninggalkan Sonya yang masih berdiri di tempatnya. “Mau kemana kamu?!” Sonya mengejarnya. “Mencari uang!” Jawab Aleeta ketus, sembari terus melangkah. “Bagaimana bisa kamu mendapatkan uang sebanyak delapan ratus juta dalam sehari?” Aleeta berhenti melangkah, menoleh sengit pada Ibunya. “Dengan menjual diri. Bukankah selama ini Mama selalu menyuruhku untuk melakukan hal itu?” Desis Aleeta tajam. Sementara Sonya hanya diam sambil menatapnya datar. “Hari ini aku akan melakukannya. Aku akan menjual diri. Apa Mama sudah puas?!”Nicholas menatap jalanan kota yang sudah empat tahun lamanya tidak pernah ia lihat lagi. Padahal dulu setiap hari Nicholas pasti selalu melewati jalan tersebut. Setiap berangkat maupun pergi ke kantor. Atau setiap ia hendak pergi berkunjung ke rumah orang tuanya. Nicholas tersenyum tipis seraya bersandar di jendela kaca mobil yang ia tumpangi. Sementara Mark—anak buahnya tengah fokus mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang.Ternyata sudah ada banyak sekali hal yang berubah selama Nicholas tidak tinggal di sini. Bangunan-bangunan baru, taman dan beberapa hal lainnya yang semuanya tampak asing di mata Nicholas.Pria itu lalu menghela napas, dan memilih untuk memejamkan mata di sisa perjalanan menuju rumahnya.Ya, Nicholas memang memilih untuk mampir ke rumahnya terlebih dahulu. Ia sengaja tidak memberitahu keluarganya soal kepulangannya ini. Ck! Lagipula untuk apa Nicholas memberitahu keluarganya? Mereka pasti juga tidak akan memed
Empat tahun kemudian …..Alarm berbunyi, Nicholas melenguh dengan mata terpejam. Ia meraba nakas lalu mematikan alarm, membuka mata dan berbaring tengkurap, memeluk bantal lebih erat.Sial. Rasanya ia baru tertidur selama dua jam. Ia menenggelamkan wajah di bantal. Dan beberapa saat kemudian Nicholas mendengar ponselnya berbunyi.Ah, sial!Ia meraba nakas dan memicing, menatap nama Emily yang melakukan panggilan video call.“Hm.” Nicholas menjawab seraya berbaring tengkurap di ranjang, kepalanya berbaring miring, sebelah wajahnya tenggelam di atas bantal.“Kamu masih tidur, kak?”“Menurut kamu?”Emily langsung tertawa. “Di sana sudah jam sembilan, kan?”“Entahlah,” jawab Nicholas sekenanya.“Kak Nicholas akan pulang untuk ulang tahun Freyya dan Arcelio, kan?” “Hm, nanti akan aku pikirkan.”
Nicholas menghela napas saat mobil yang ia kendarai berhenti di halaman depan rumahnya. Ia menatap rumah megah yang berdiri kokoh di depan matanya tersebut. Nicholas sudah terbiasa dengan adanya kehangatan dan kehidupan di dalam rumahnya. Dan di saat dua hal itu menghilang, kini rumahnya kembali lagi terlihat gelap dan sunyi. Meski dulu keadaan itu adalah hal yang biasa bagi Nicholas. Tapi tidak untuk beberapa bulan terakhir ini.Menunduk sejenak sebelum kemudian Nicholas melangkah keluar mobil. Melangkah pelan memasuki rumahnya. Dan lagi-lagi setiap kali Nicholas menginjakkan kaki di rumahnya, ingatan akan Aleeta pasti akan langsung kembali menyeruak. Nicholas terus melangkah menuju ke dalam kamar. Satu-satunya ruangan yang selama ini ia tempati bersama dengan Aleeta. Namun, beberapa waktu belakangan ini hanya tinggal Nicholas sendiri yang menempati kamar itu, karena kini Aleeta sudah pergi dan Nicholas tidak tahu ia kemana. Lukas membawa Aleeta p
“Bagaimana kabarmu, Nich?”Nicholas mengerjap, lalu menatap Selena yang saat ini masih berdiri di hadapannya.“Kabarku …,” Buruk, Selena. Sangat buruk. “Baik. Kamu sendiri?” Kata Nicholas menatap Selena.“Seperti yang kamu lihat. Aku juga baik-baik saja. Oh iya, kamu sedang nggak terburu-buru kan, Nich?”Nicholas menggeleng pelan. “Nggak. Memangnya kenapa?”“Nggak apa-apa, sih. Hanya saja tadi kamu terlihat ingin kembali keluar. Jadi aku pikir kamu sedang terburu-buru ingin pergi.” Kata Selena. Sementara Nicholas hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. “Kalau kamu sedang nggak ingin pergi. Bagaimana kalau kamu duduk terlebih dahulu? Sudah lama sekali kan kamu nggak pernah minum Americano buatanku?” Imbuh Selena yang kali ini langsung membuat Nicholas terkekeh.“Baiklah. Sepertinya idemu cukup menarik. Buatkan satu Americano untukku,” ujar Nicholas kemudian.Selen
Nicholas mengerang pelan entah untuk yang keberapa kalinya. Setiap ia berusaha untuk fokus, pasti selalu gagal. Pekerjaannya yang menumpuk tidak bisa terselesaikan dengan baik. Padahal ada banyak sekali laporan yang harus segera ia selesaikan hari ini. “Sial!” Umpat Nicholas. Pria itu memijat pelipisnya. Berusaha mengendalikan diri agar bisa kembali fokus bekerja. Tapi tetap saja. Nicholas tidak bisa melakukannya. Mata Nicholas lalu beralih pada sofa yang ada di ruang kerjanya. Berpikir sejenak, sebelum kemudian Nicholas berdiri dan berpindah duduk di sofa tersebut. Merebahkan dirinya di sana. Mata Nicholas menatap nyalang pada langit-langit ruang kerjanya. Ia benar-benar lelah dengan keadaan ini. Ia sangat capek dan ingin istirahat. “Ya Tuhan …,” gumam Nicholas seraya mengusap wajahnya kasar. “Bolehkah aku beristirahat sebentar saja?” Dengan perlahan, Nicholas mulai memejamkan m
Nicholas hanya terdiam seraya menatap Karina yang tengah menangis sedih di hadapannya. Meski cerita Karina terdengar begitu meyakinkan. Tapi entah kenapa hati Nicholas terasa enggan untuk menerimanya. Nicholas enggan mempercayainya. “Mama pasti berbohong, kan?” Tanya Nicholas datar. “Mama tidak berbohong, Nich. Semua yang Mama ceritakan adalah kebenaran bahwa anak yang di kandung Sesilia itu bukanlah anak kamu, melainkan anak dari pria lain,” terang Karina menatap putranya lekat. Nicholas menggeleng. “Nggak. Nggak. Nggak mungkin. Mama pasti berbohong.” “Untuk apa Mama berbohong padamu, Nich? Sesilia sendiri yang mengatakan hal itu kepada Mama.” “Aku masih nggak percaya.” Karina menunduk, menangis. “Lalu, kepada siapa kamu akan percaya? Jika tidak ada satu pun kejujuran yang kamu percayai, pada siapa kamu akan percaya?” Nicholas hanya diam