Nicholas menghentikan mobil tepat saat mobil yang ada di depannya berhenti. Hari ini ia ada janji dengan salah satu rekan bisnis dari perusahaannya. Rekan bisnisnya tersebut mengundang Nicholas datang ke sebuah klub untuk merayakan kerja sama yang sedang di jalani perusahaan mereka. Kali ini Nicholas datang bersama Julian—sepupunya, karena Lukas sedang tidak bisa menemaninya.
Saat Nicholas melangkah keluar mobil, tiba-tiba ponselnya berbunyi. “Ma ....” “Kamu sudah pulang ke apartemen?” “Belum, Ma. Aku sedang menghadiri acara yang di buat oleh salah satu rekan bisnisku di perusahaan.” “Ya sudah. Jangan pulang terlalu malam. Dan ingat, jangan sampai pulang dalam keadaan mabuk, Nicholas.” “Iya, Ma.” Nicholas tersenyum tipis saat panggilan dengan Ibunya—Karina terputus. Perlu di akui, sejak kematian Sesilia, hidup Nicholas memang mengalami banyak sekali perubahan. Ia jadi lebih sering pergi ke sebuah klub malam, mabuk-mabukan dan menghabiskan sisa malamnya di tempat itu sampai ia tak sadarkan diri. Ia seperti kembali lagi menjadi Nicholas yang dulu. Beruntung sekali Nicholas masih memiliki Karina. Ibunya itu yang selama ini selalu ada di sampingnya, memberinya dukungan, dan menyemangatinya untuk kembali menjalani hari dengan normal. Dan hal itu berhasil. Hampir dua bulan ini Nicholas sudah tidak pernah lagi pergi ke klub, maupun mabuk hingga ia tak sadarkan diri. Ia hanya akan pergi ke klub sesekali bersama dengan Lukas. Atau saat di undang oleh rekan bisnisnya seperti yang ia lakukan hari ini. Nicholas lalu melangkah masuk ke dalam klub bersama Julian. “Aku dengar mereka sengaja menyewa para gadis untuk perayaan kali ini, Nich,” ujar Julian. Pria itu merupakan sepupu Nicholas dari keluarga Ibunya. Julian yang bertugas menggantikan Lukas, jika Lukas sedang tidak bisa menghadiri acara bersama Nicholas. “Bukankah biasanya juga seperti itu?” Ucap Nicholas acuh. “Kali ini berbeda, Nich. Ayolah, kamu pasti tahu apa yang aku maksud.” “Terserah apapun itu, yang jelas aku nggak akan tertarik sama sekali. Dimana ruangannya?” “Belok ke kanan.” Julian menarik tangan Nicholas. “Ayolah, Nich. Sudah cukup kamu tenggelam dalam keterpurukkan yang kamu alami beberapa bulan belakangan ini. Sekarang saatnya untuk bersenang-senang. Aku akan memesankan satu yang spesial, khusus untuk dirimu.” Nicholas terkekeh. Meski bayang-bayang kecelakaan yang menewaskan calon istrinya masih begitu jelas. Tapi Nicholas akui, apa yang di katakan Julian itu memang benar. Sudah cukup Nicholas tenggelam dalam keterpurukan. Mungkin ini saatnya Nicholas untuk bersenang-senang. “Aku percayakan semuanya padamu,” balas Nicholas kemudian. “Baiklah kalau begitu. Kita bersenang-senang malam ini!” Julian berseru semangat. Nicholas hanya bisa terkekeh sembari mengikuti langkah Julian. “Sial ....” Nicholas terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang menabrak dirinya. Apa orang itu tidak punya mata sampai harus menabraknya segala? “Kamu baik-baik saja?” Tanya Julian. Nicholas mengangguk sembari menatap orang yang saat ini sedang terjatuh di hadapannya. Rupanya dia adalah seorang wanita. Ck! Apa wanita itu sengaja menabraknya tadi? Tapi setelah Nicholas mengamati sekilas tubuh wanita yang sedang menunduk sembari menepuk-nepuk tangannya itu, Nicholas jadi berpikiran kalau sepertinya wanita itu cukup lumayan. Apa harus ia meminta Julian agar membawakan wanita itu saja sebagai teman bersenang-senangnya malam ini? Perlahan wanita itu mendongak dan bersiap untuk berdiri. Dan betapa terkejutnya Nicholas saat mengetahui bahwa wanita yang ada di hadapannya itu adalah wanita yang selama ini sangat ia benci. Wanita pembunuh Sesilia dan juga calon anaknya. “Nicholas.” Kebencian itu kembali mencuat ketika wanita itu menyebut nama Nicholas. Berani sekali mulut pembunuh itu menyebut namanya. Kedua tangan Nicholas terkepal erat. Sebisa mungkin Nicholas mengendalikan diri untuk tidak mencekik leher wanita yang ada di hadapannya. “Heh, mau kemana kamu?! Kembali!” Sementara itu Aleeta kembali panik saat suara wanita dan kedua pria yang mengejarnya tadi terdengar kian mendekat. Ia harus segera pergi. “Mau pergi kemana kamu anak sialan!” Wanita glamor tadi berhasil menangkap tangan Aleeta. “Lepaskan aku!” Teriak Aleeta. “Tidak semudah itu, anak manis. Cepat bawa dia kembali.” Wanita glamor itu menyuruh dua bodyguardnya untuk kembali menyeret Aleeta. Tidak. Aleeta tidak boleh kembali ke ruangan itu. Wanita licik itu pasti benar-benar akan menjualnya ke pria tua yang buncit tadi. “Jangan sentuh aku! Lepas!” Aleeta berhasil memberontak dan tanpa berpikir panjang langsung berlari mendekati Nicholas. “Tolong aku,” pintanya pada Nicholas. Nicholas hanya bisa berdecih saat mendengar permintaan tolong dari Aleeta. Memangnya dia siapa? Apa pembunuh sepertinya pantas untuk ia beri pertolongan? “Kembali ke sini!” Wanita glamor itu berusaha menarik Aleeta, tapi Aleeta berhasil menghindarinya. “Aku mohon tolong aku. Selamatkan aku dari mereka.” Aleeta kembali memohon kepada Nicholas, yang sampai saat ini masih belum memberikan respon apa-apa. “Nicholas, sepertinya kita harus menolong—“ “Nggak perlu. Itu bukan urusan kita,” sahut Nicholas. Ia berniat untuk kembali melangkah dan mengabaikan permintaan tolong dari Aleeta. “Aku mohon. Tolong aku.” Aleeta kembali memohon kali ini sembari menggenggam tangan Nicholas. “Lepaskan tangan kotormu dari tubuhku!” Desis Nicholas tajam. Aleeta menggeleng. “Kamu harus menolongku. Aku nggak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa lagi. Kamu, maksudku kalian, aku mohon tolong aku.” “Cepat bawa anak sialan itu ke sini!” “Siap, Bos.” Kedua bodyguard itu hendak mendekati Aleeta, tapi Aleeta segera menghindar. Ia berlindung ke belakang tubuh tegap Nicholas. “Menyingkir sekarang juga atau aku akan berbuat kasar padamu,” desis Nicholas. “Tolong ....” Aleeta berujar lirih dan penuh pasrah. Nicholas menggeram kesal. Mana mungkin ia sudi menolong wanita pembunuh itu? Rasa bencinya sudah terlanjur mendarah daging. Nicholas terlanjur dendam dengan wanita yang telah membuat Sesilia dan calon anaknya itu meninggal. Sampai kapanpun Nicholas tidak akan pernah bisa melupakannya. Tidak dengan kenangan itu. “Nicholas, kita harus menolongnya. Sepertinya wanita tua itu berniat jahat pada wanita ini,” ujar Julian. “Itu bukan urusan kita,” sahut Nicholas, lalu beralih menatap Aleeta. “Sekarang juga menjauhlah dari tubuhku, sialan!” Bentaknya pada Aleeta. Aleeta hanya bisa diam. Kilat kebencian itu masih tercetak begitu jelas di kedua mata Nicholas. Meski kejadian itu sudah berlalu tiga bulan lamanya, tapi tatapan penuh kebencian dari Nicholas itu nyatanya masih tetap sama. Tidak ada yang berubah sedikitpun. Bahkan Aleeta rasa kebencian itu justru semakin bertambah dari sebelumnya. “Ayo ikut kami!” Salah satu bodyguard itu berhasil menarik tangan Aleeta. “Nggak sudi! Lepaskan aku!” Teriak Aleeta, berusaha untuk memberontak. “Heh, diam jangan berteriak kalau tidak ingin aku melukaimu!” “Aku nggak peduli! Lepaskan aku!” Aleeta masih berusaha untuk memberontak. Aleeta tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dalam keadaan seperti ini apakah Sonya masih bisa memikirkannya? Semua ini adalah kesalahan Ibunya. Tapi kenapa Aleeta yang harus menanggung ini semua? “Nicholas, apa kamu nggak merasa kasihan pada wanita itu?” Julian menatap Nicholas dengan heran. “Untuk apa aku merasa kasihan dengan seorang pembunuh.” “Pembunuh? Maksudmu?” “Wanita itu yang menyebabkan Sesilia meninggal dalam kecelakaan tiga bulan yang lalu. Seharusnya dia yang mati. Tapi lihat, dia masih hidup. Dan aku nggak akan peduli apapun yang terjadi dengan wanita pembunuh itu,” jelas Nicholas. “Astaga, Nicholas.” Julian mengusap wajahnya kasar. “Itu kecelakaan. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?” Julian menatap Aleeta yang sampai saat ini masih berusaha melawan, ketika kedua pria tadi hendak menyeretnya. Terlihat sangat menyedihkan. Itu yang ada di pikiran Julian. “Ayo kita pergi,” ujar Nicholas kemudian. Julian melongo. “Nich? Kamu benar-benar nggak ingin menolong wanita itu? Kalau kamu nggak ingin menolongnya maka aku sendiri yang akan menolong wanita itu.” “Apa yang ingin kamu lakukan?” Nicholas menahan bahu Julian. “Aku ingin menolongnya!” Teriak Julian. “Lihat dia, Nich. Dia benar-benar membutuhkan pertolongan.” Nicholas hanya diam sembari mengamati Aleeta. Wanita itu memang terlihat membutuhkan pertolongan. Wanita itu pasti sangat ketakutan tapi Nicholas tak melihat satupun air mata yang keluar dari kedua mata wanita itu. Bukankah seharusnya dia menangis jika dia benar-benar ketakutan dan membutuhkan pertolongan sekarang? “Kalau kamu nggak ingin menolong wanita itu. Maka lepaskan tanganmu dari bakuku, Nich. Aku yang akan menolongnya.” Julian kembali membuka suaranya. Sial. Apa yang harus di lakukan Nicholas? Jujur, ia benar-benar tidak peduli dengan apa yang di alami Aleeta. Nicholas tidak peduli meski wanita tua dan kedua pria itu akan menyakiti Aleeta sekalipun. Sampai matipun Nicholas tidak akan pernah sudi peduli dengan wanita itu. Nicholas membencinya. Sangat amat membencinya. “Aku mohon, tolong aku,” lirih Aleeta sembari menatap Nicholas. Nicholas mengerjap saat menyadari setetes air mata itu jatuh membasahi wajah Aleeta. Tidak. Nicholas menggeleng. Apa yang baru saja ia rasakan? Kenapa perasaannya tiba-tiba berubah begitu saja saat melihat air mata wanita itu. Bukankah wanita itu tadinya baik-baik saja? Kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan air mata seperti itu? “Aku mohon ....” Aleeta menatap penuh belas kasihan ke arah Nicholas dan juga Julian. Sial! Nicholas mengumpat dalam hati saat perasaan itu tiba-tiba datang lagi. “Lepaskan tanganmu, Nich! Aku ingin menolongnya!” Teriak Julian. Nicholas tidak bergeming. Cengkeraman pada bahu Julian terasa semakin kuat. Dan napasnya tiba-tiba saja berubah kian memburu. “Berengsek!” Nicholas berteriak sembari memukul dinding yang ada di sampingnya. Entah apa yang ada di pikirannya, setelah melampiaskan amarahnya dengan dinding tersebut, Nicholas langsung melangkah mengejar pria yang tengah menyeret Aleeta masuk ke sebuah ruangan. “Lepaskan wanita itu.”Nicholas menatap jalanan kota yang sudah empat tahun lamanya tidak pernah ia lihat lagi. Padahal dulu setiap hari Nicholas pasti selalu melewati jalan tersebut. Setiap berangkat maupun pergi ke kantor. Atau setiap ia hendak pergi berkunjung ke rumah orang tuanya. Nicholas tersenyum tipis seraya bersandar di jendela kaca mobil yang ia tumpangi. Sementara Mark—anak buahnya tengah fokus mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang.Ternyata sudah ada banyak sekali hal yang berubah selama Nicholas tidak tinggal di sini. Bangunan-bangunan baru, taman dan beberapa hal lainnya yang semuanya tampak asing di mata Nicholas.Pria itu lalu menghela napas, dan memilih untuk memejamkan mata di sisa perjalanan menuju rumahnya.Ya, Nicholas memang memilih untuk mampir ke rumahnya terlebih dahulu. Ia sengaja tidak memberitahu keluarganya soal kepulangannya ini. Ck! Lagipula untuk apa Nicholas memberitahu keluarganya? Mereka pasti juga tidak akan memed
Empat tahun kemudian …..Alarm berbunyi, Nicholas melenguh dengan mata terpejam. Ia meraba nakas lalu mematikan alarm, membuka mata dan berbaring tengkurap, memeluk bantal lebih erat.Sial. Rasanya ia baru tertidur selama dua jam. Ia menenggelamkan wajah di bantal. Dan beberapa saat kemudian Nicholas mendengar ponselnya berbunyi.Ah, sial!Ia meraba nakas dan memicing, menatap nama Emily yang melakukan panggilan video call.“Hm.” Nicholas menjawab seraya berbaring tengkurap di ranjang, kepalanya berbaring miring, sebelah wajahnya tenggelam di atas bantal.“Kamu masih tidur, kak?”“Menurut kamu?”Emily langsung tertawa. “Di sana sudah jam sembilan, kan?”“Entahlah,” jawab Nicholas sekenanya.“Kak Nicholas akan pulang untuk ulang tahun Freyya dan Arcelio, kan?” “Hm, nanti akan aku pikirkan.”
Nicholas menghela napas saat mobil yang ia kendarai berhenti di halaman depan rumahnya. Ia menatap rumah megah yang berdiri kokoh di depan matanya tersebut. Nicholas sudah terbiasa dengan adanya kehangatan dan kehidupan di dalam rumahnya. Dan di saat dua hal itu menghilang, kini rumahnya kembali lagi terlihat gelap dan sunyi. Meski dulu keadaan itu adalah hal yang biasa bagi Nicholas. Tapi tidak untuk beberapa bulan terakhir ini.Menunduk sejenak sebelum kemudian Nicholas melangkah keluar mobil. Melangkah pelan memasuki rumahnya. Dan lagi-lagi setiap kali Nicholas menginjakkan kaki di rumahnya, ingatan akan Aleeta pasti akan langsung kembali menyeruak. Nicholas terus melangkah menuju ke dalam kamar. Satu-satunya ruangan yang selama ini ia tempati bersama dengan Aleeta. Namun, beberapa waktu belakangan ini hanya tinggal Nicholas sendiri yang menempati kamar itu, karena kini Aleeta sudah pergi dan Nicholas tidak tahu ia kemana. Lukas membawa Aleeta p
“Bagaimana kabarmu, Nich?”Nicholas mengerjap, lalu menatap Selena yang saat ini masih berdiri di hadapannya.“Kabarku …,” Buruk, Selena. Sangat buruk. “Baik. Kamu sendiri?” Kata Nicholas menatap Selena.“Seperti yang kamu lihat. Aku juga baik-baik saja. Oh iya, kamu sedang nggak terburu-buru kan, Nich?”Nicholas menggeleng pelan. “Nggak. Memangnya kenapa?”“Nggak apa-apa, sih. Hanya saja tadi kamu terlihat ingin kembali keluar. Jadi aku pikir kamu sedang terburu-buru ingin pergi.” Kata Selena. Sementara Nicholas hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. “Kalau kamu sedang nggak ingin pergi. Bagaimana kalau kamu duduk terlebih dahulu? Sudah lama sekali kan kamu nggak pernah minum Americano buatanku?” Imbuh Selena yang kali ini langsung membuat Nicholas terkekeh.“Baiklah. Sepertinya idemu cukup menarik. Buatkan satu Americano untukku,” ujar Nicholas kemudian.Selen
Nicholas mengerang pelan entah untuk yang keberapa kalinya. Setiap ia berusaha untuk fokus, pasti selalu gagal. Pekerjaannya yang menumpuk tidak bisa terselesaikan dengan baik. Padahal ada banyak sekali laporan yang harus segera ia selesaikan hari ini. “Sial!” Umpat Nicholas. Pria itu memijat pelipisnya. Berusaha mengendalikan diri agar bisa kembali fokus bekerja. Tapi tetap saja. Nicholas tidak bisa melakukannya. Mata Nicholas lalu beralih pada sofa yang ada di ruang kerjanya. Berpikir sejenak, sebelum kemudian Nicholas berdiri dan berpindah duduk di sofa tersebut. Merebahkan dirinya di sana. Mata Nicholas menatap nyalang pada langit-langit ruang kerjanya. Ia benar-benar lelah dengan keadaan ini. Ia sangat capek dan ingin istirahat. “Ya Tuhan …,” gumam Nicholas seraya mengusap wajahnya kasar. “Bolehkah aku beristirahat sebentar saja?” Dengan perlahan, Nicholas mulai memejamkan m
Nicholas hanya terdiam seraya menatap Karina yang tengah menangis sedih di hadapannya. Meski cerita Karina terdengar begitu meyakinkan. Tapi entah kenapa hati Nicholas terasa enggan untuk menerimanya. Nicholas enggan mempercayainya. “Mama pasti berbohong, kan?” Tanya Nicholas datar. “Mama tidak berbohong, Nich. Semua yang Mama ceritakan adalah kebenaran bahwa anak yang di kandung Sesilia itu bukanlah anak kamu, melainkan anak dari pria lain,” terang Karina menatap putranya lekat. Nicholas menggeleng. “Nggak. Nggak. Nggak mungkin. Mama pasti berbohong.” “Untuk apa Mama berbohong padamu, Nich? Sesilia sendiri yang mengatakan hal itu kepada Mama.” “Aku masih nggak percaya.” Karina menunduk, menangis. “Lalu, kepada siapa kamu akan percaya? Jika tidak ada satu pun kejujuran yang kamu percayai, pada siapa kamu akan percaya?” Nicholas hanya diam