“Lepaskan wanita itu.”
Baik kedua pria yang sedang menyeret Aleeta maupun wanita glamor tadi seketika langsung berhenti melangkah. Mereka menatap Nicholas yang saat ini sudah berdiri di belakang mereka. Tatapannya dingin dan siap untuk membunuh. “Ada apa, tampan? Kenapa tiba-tiba kamu ingin aku melepaskan anak manis ini? Bukankah tadi kamu bilang tidak ingin menolongnya?” Cibir wanita glamor tersebut. “Aku bilang lepaskan!” Nicholas menarik lengan Aleeta secara kasar hingga berhasil terlepas dari genggaman salah satu bodyguard tersebut. “Heh, apa-apaan kamu?! Anak itu milikku. Kembalikan dia padaku!” Teriak wanita glamor itu. Nicholas bisa melihat Aleeta menggeleng dengan tangan yang gemetar. Dan lagi-lagi perasaan itu kembali mengacaukan pikiran Nicholas. Terlebih saat melihat Aleeta meneteskan air matanya lagi. Sial. Selama ini Nicholas memang tidak suka melihat seorang wanita menangis. Nicholas hanya merasa tidak tega melihatnya. Tapi itu hanya berlaku untuk orang-orang yang di cintainya saja. Tidak untuk seorang pembunuh calon istri dan juga anaknya. Seharusnya Nicholas tidak boleh seperti ini. Tapi kenapa justru perasaannya merasakan hal yang sebaliknya? “Kamu ingin kembali kepada mereka?” Tanya Nicholas dingin. Aleeta menggeleng. “Jangan. Aku mohon bantu aku.” “Bagaimana jika aku tidak ingin membantumu?” Nicholas menatap tajam ke arah Aleeta. “Cepat kembalikan anak itu padaku!” Wanita glamor itu hendak menarik Aleeta, tapi untungnya Julian berhasil menahannya. “Lepaskan tanganku! Anak ini punya hutang padaku. Dia tidak bisa membayarnya jadi dia harus ikut denganku.” “Nggak! Aku nggak punya hutang apapun padamu. Aku sudah bilang itu perbuatan Ibuku. Aku sanggup untuk mengganti rugi tasmu. Tapi bukan hari ini!” Teriak Aleeta. “Bisa jelaskan apa maksud kalian?” Tanya Nicholas penasaran. “Dia berjanji akan mengganti rugi tasku yang telah di rusak oleh Ibunya. Dia berjanji akan membawa uang delapan ratus juta malam ini, tapi ternyata anak ini tidak membawakannya sama sekali.” Wanita glamor itu menjelaskan. “Aku kan sudah bilang, hari ini aku belum bisa. Besok akan aku usahakan,” sahut Aleeta. “Ya dan besok kamu akan bilang kalau kamu belum bisa menggantinya, dan akan meminta waktu lagi besoknya, dan besoknya lagi. Begitu?! Aku ini bukan Ibu peri yang bisa dengan mudah mengabulkan permintaanmu, anak manis!” Desis wanita glamor tersebut. Nicholas tersenyum tipis ketika mendengar perdebatan dua wanita beda usia tersebut. Cukup menarik. “Aku setuju dengan ucapanmu, Nyonya. Setiap orang yang berhutang memang tidak pantas untuk di beri kesempatan. Mereka hanya akan membuat kita rugi,” ujarnya sembari melirik Aleeta. “Nich—“ Julian hendak mendekat tapi kembali berhenti saat Nicholas memberi tatapan penuh peringatan ke arahnya. “Nggak itu nggak benar. Aku nggak berhutang padanya. Aku hanya mencoba membantu Ibuku untuk mengganti rugi tas yang sudah di rusak olehnya. Apa salahnya jika aku meminta waktu kalau hari ini aku memang benar-benar belum bisa mendapatkan uang itu?” Aleeta menatap Nicholas. “Itu bukan urusanku,” desis Nicholas tajam. Aleeta menggeleng. Ia pikir Nicholas akan menolongnya tapi ternyata ia salah. “Bagus. Kalau begitu berikan anak ini padaku.” Wanita glamor itu kembali bersuara. “Jangan. Aku mohon tolong aku.” Nicholas sedikit terkejut saat tiba-tiba Aleeta bersujud begitu saja di hadapan kakinya. “Tolong ... Aku berjanji akan melakukan apapun yang kamu minta jika kamu bersedia untuk menolongku.” “Apapun?” Tanya Nicholas sembari menaikkan sebelah alisnya. “Ya, apapun itu. Asalkan kamu bersedia menolongku,” jawab Aleeta yang masih bersujud di hadapan Nicholas. “Baiklah. Aku akan menolongmu,” ujar Nicholas tanpa pikir panjang. “Tapi itu tidak gratis. Ada syarat yang harus kamu penuhi,” sambungnya seraya bersedekap. “Iya. Aku akan melakukan syarat apapun yang akan kamu berikan. Asal kamu menolongku.” Nicholas mengangguk. Ia menganggap itu sebagai bentuk kesepakatan dari Aleeta. Nicholas lalu memanggil Julian. “Berapa uang yang harus di bayar wanita ini tadi?” Tanyanya pada wanita glamor itu. “Delapan ratus juta.” “Dia yang akan mengurus uangnya. Dengan begini masalah selesai dan wanita ini akan ikut denganku.” Kata Nicholas kemudian. “Baiklah. Tidak masalah. Yang terpenting cepat kirim uangnya padaku,” desak wanita glamor itu. “Urus wanita itu, dan satu lagi ... tolong sampaikan maafku ke rekan bisnis kita kalau hari ini aku nggak bisa datang. Ada sesuatu yang perlu aku urus terlebih dahulu,” ujar Nicholas kepada Julian. Julian hanya bisa mendesah. Ia tidak bisa melalukan apapun selain menuruti permintaan Nicholas. Setidaknya Aleeta kini sudah selamat, meski Julian tidak yakin apakah nantinya dia benar-benar akan selamat setelah berada di tangan Nicholas? Julian bisa melihat kebencian yang di pancarkan dari kedua mata Nicholas saat menatap wanita itu. Semoga saja Nicholas tidak melakukan hal aneh, meski Aleeta adalah orang yang di bencinya selama ini. “Ikut aku.” Nicholas langsung menyeret tangan Aleeta keluar dari dalam klub tersebut. “K-kita mau kemana?” Tanya Aleeta. Nicholas tidak menjawab. Ia hanya terus menyeret Aleeta secara kasar, tidak peduli meski wanita itu tersandung dan hampir terjatuh beberapa kali. Aleeta hanya berharap semoga Nicholas tidak akan membunuhnya malam ini. *** Aleeta hanya bisa menelan ludah susah payah saat menyadari kalau ternyata Nicholas mengajaknya pergi ke sebuah hotel. Nicholas terus menyeretnya secara kasar, memasuki sebuah kamar yang tadi pria itu pesan di meja resepsionist. “K-kenapa kita ada di sini?” Aleeta bertanya gugup saat Nicholas melepaskan pergelangan tangannya. Pergelangan tangan itu tampak merah karena Nicholas tadi benar-benar mencengkeramnya dengan begitu kuat. “Tutup pintunya.” Suara dingin tersebut membuat Aleeta yang masih berdiri dengan tatapan kosong terperanjat. Tubuhnya mulai gemetar dan keringat dingin mulai mengalir di punggungnya. Apa yang sebenarnya ingin dilakukan Nicholas? Aleeta tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah tersebut. Tangan Aleeta perlahan menutup pintu kamar dan ia berdiri kaku di dekat pintu. Nicholas bersedekap santai, duduk di sofa sembari menuangkan sebotol Whisky ke dalam gelasnya. Tatapan matanya yang tajam tertuju kepada Aleeta yang masih berdiri dengan tubuh kaku. “Apa kamu ingin tahu syarat apa yang harus kamu lakukan?” Tanya Nicholas sembari menyesap Whisky-nya secara perlahan. Aleeta segera mengangguk cepat. “Ya, katakan padaku. Syarat apa yang harus aku lakukan?” Nicholas tersenyum, meletakkan gelasnya ke atas meja lalu menatap Aleeta. “Temani aku malam ini.” Temani? Aleeta mengerjap bingung. Apa maksud dari ucapan Nicholas? “M-maksudnya a-aku harus menemanimu seperti apa?” Aleeta bertanya gugup. Nicholas kembali tersenyum. “Temani aku tidur malam ini. Dan berikan servis sesuai dengan uang yang sudah aku keluarkan untukmu.”Sudah tiga hari ini Aleeta terus saja merasakan mual setiap kali ia bangun dari tidur. Tidak hanya itu. Bahkan setiap kali Aleeta selesai muntah, Aleeta pasti akan merasa lemas, dan pusing seperti yang pernah ia rasakan beberapa waktu yang lalu. Tentu saja hal itu membuat Nicholas panik dan khawatir. Tetapi setiap kali Nicholas hendak membawa Aleeta pergi ke dokter, wanita itu pasti akan menolaknya. “Kita ke dokter, ya,” bujuk Nicholas yang saat ini sedang duduk di sebelah Aleeta. Aleeta yang sedang duduk di atas tempat tidur itu langsung menggeleng. “Nggak, Nicho. Aku sudah bilang berkali-kali kalau aku nggak mau pergi ke dokter. Kenapa kamu nggak mengerti juga?” Aleeta menatap sebal pada Nicholas. “Tapi kamu sakit, Aleeta.” “Aku yang lebih tahu keadaan diriku sendiri. Dan aku merasa, aku sedang nggak sakit.” “Aleeta, kamu—“ “Jangan pernah paksa aku lagi untuk pergi ke
Aleeta terbangun saat merasakan mual yang tiba-tiba saja terasa mengaduk perutnya. Awalnya Aleeta ingin mengabaikan rasa mual tersebut. Namun, semakin lama mual itu semakin terasa mendesak dan naik ke tenggorokannya. Ia pun segera beranjak duduk seraya membekap mulut. Aneh. Tidak biasanya Aleeta merasa mual di pagi hari seperti ini. Apa jangan-jangan mual itu karena efek obat yang sedang ia konsumsi? Saat Aleeta sedang sibuk menerka-nerka tiba-tiba saja mual itu datang lagi. Kali ini Aleeta sudah tidak bisa menahannya. Ia segera turun dari atas tempat tidur, kemudian berlari cepat menuju kamar mandi. Begitu sampai di depan toilet, Aleeta pun langsung menumpahkan semua isi perutnya di sana. “Hooeeek!” Aleeta tidak hanya muntah sekali. Tetapi berkali-kali hingga rasanya tubuhnya menjadi lemas dan mulutnya terasa begitu pahit. Sementara itu, Nicholas yang masih terlelap ti
Saat ini Nicholas sedang membantu Aleeta untuk mengemas barang-barangnya. Karena malam ini juga Aleeta sudah di perbolehkan untuk pulang ke rumah. “Apa sudah semuanya?” Tanya Nicholas memastikan. Aleeta yang sedang duduk di hadapannya hanya bisa mengangguk pelan. “Sudah,” jawabnya singkat. Nicholas menatap Aleeta lekat. Ada sesuatu yang terasa menusuk dadanya setiap kali Aleeta bersikap seperti itu. Nicholas merindukan Aleeta yang seperti biasanya. Ia merindukan perhatian Aleeta, senyum Aleeta dan semuanya tentang Aleeta. Tapi, Nicholas juga cukup sadar dengan apa yang sedang terjadi di antara mereka. Jadi Nicholas juga tidak bisa berharap lebih. Tapi meskipun begitu. Ia tidak akan menyerah. Ia akan tetap berusaha membuat Aleeta percaya padanya, agar istrinya itu bisa kembali lagi seperti biasanya. Saat Nicholas hendak memindahkan tas Aleeta ke atas meja. Tiba-tiba saja ia mendengar ponselnya berdering. Ia s
“Apa yang sedang kalian lakukan?!” Baik Aleeta maupun Lukas langsung sama-sama menjauhkan diri saat mendengar suara Nicholas yang menggelegar di dalam kamar perawatan Aleeta. “N-Nicho …,” Aleeta tertegun menatap kedatangan Nicholas. Memangnya pukul berapa sekarang? Kenapa Nicholas bisa berada di sini? Bukankah pria itu sedang ada meeting penting hari ini? Aleeta bertanya-tanya dalam hati. Sementara itu, Nicholas langsung melangkah mendekati Aleeta dan Lukas. Tidak. Lebih tepatnya mendekat ke arah Lukas. Tanpa mengatakan apapun, Nicholas langsung meraih kerah kemeja yang di kenakan Lukas, lalu menariknya berdiri hingga menjauhi ranjang tempat tidur Aleeta. “Apa yang kamu lakukan?!” Bentak Nicholas marah. Sedangkan Lukas hanya menanggapinya dengan tersenyum santai. “Pelankan suaramu, Nich. Kamu ingat kan kalau kita sedang berada di—“ “Jangan banyak bicar
“Kamu benar-benar nggak mau bercerita padaku, Luke?” Tanya Aleeta saat Lukas datang untuk menggantikan Karina. Kebetulan hari ini Karina sedang ada urusan. Sedangkan Nicholas juga ada meeting penting yang tidak bisa pria itu tinggalkan. Maka dari itu tidak ada pilihan lain selain menyuruh Lukas untuk menemani Aleeta. Apalagi hari ini adalah hari terakhir Aleeta di rumah sakit. Jadi harus tetap ada orang lain yang mendampingi Aleeta. “Cerita soal apa?” Lukas balik bertanya. Aleeta memutar bola mata. “Luka di wajahmu itu. Kamu belum mengatakan darimana kamu mendapatkan luka itu?” Sejak kemarin memang Lukas tidak pernah mau mengaku darimana pria itu mendapatkan luka memar di wajahnya. Bahkan meskipun Karina mendesaknya, dan menuduh Lukas mendapatkan luka itu dari hasil berkelahi dengan Nicholas pun, tetap saja Lukas tidak ingin mengakuinya. Dan hal itu tentu saja membuat Aleeta turut merasa p
“Sudah Selesai?” Nicholas masih terpaku pada sosok yang kini sedang berdiri di hadapannya. Pria itu mengumpat dalam hati. Apa yang harus Nicholas lakukan sekarang? “Aku kira kamu sudah nggak ingin menemuinya lagi.” Nicholas mengeram saat mendengar nada penuh cibiran tersebut. Ia tidak boleh membuat keributan di sini. Apalagi kalau sampai Selena mengetahuinya. Nicholas harus segera mencari tempat lain. “Ikut aku!” “Kemana? Padahal aku rasa di sini tempat yang bagus.” Nicholas langsung mengumpat kesal. “Luke, jangan memancing emosiku! Sekarang juga ikut aku!” Nicholas langsung menarik tangan Lukas untuk menjauhi kamar perawatan Selena. Ia membawa Lukas berjalan menuju ke arah halaman belakang rumah sakit. Karena hanya di sanalah satu-satunya tempat yang cukup sepi untuk Nicholas gunakan berbicara dengan Lukas. Atau lebih tepatnya beradu mulut dengan Luka