Home / Romansa / Penjara Hati Bos Arogan / BAB 2. Berbagi Cerita

Share

BAB 2. Berbagi Cerita

Author: Wijaya Kusuma
last update Last Updated: 2024-03-15 12:29:26

Alya kembali ke ruang kerjanya dengan mata sembab dan langkahnya yang gontai. Banyak pasang mata yang menatap penuh tanya saat melihat kondisi yang terjadi kepada Alya. 

Tentu saja semua orang yang melihat keadaan Alya tidak seperti biasanya itu saling bertanya satu sama lain. Dan mereka hanya mengira jika sesuatu buruk terjadi pada ibu gadis tersebut.

Tiba di ruang kerjanya, sambutan pertama yang Alya dapatkan adalah tatapan cemas dari Vira, rekan kerja satu profesi dengannya yang menjadi desain tiap pakaian yang diproduksi oleh pabrik tekstil tersebut.

Vira yang mendapati keadaan temannya yang sedang tidak baik-baik saja itupun tidak tinggal diam. Dia segera mendekat, menatap penuh tanya kepada wanita yang terbiasa ceria itu masuk dengan mata sembab yang masih memerah.

“Apa yang terjadi?”  Vira yang mendapati sang teman sedang tak baik-baik saja itu pun menjadi panik. 

Setelah mereka melakukan absensi masuk bekerja,  Vira sudah tidak mendapati temannya kembali masuk ke ruang kerjanya. Dan kini di jam yang sudah menunjukkan keterlambatan setengah jam dari jam masuk bekerja mereka, dia mendapati Alya yang datang dengan keadaan mata sembab. Vira yakin, jika Alya habis menangis sehingga keadaannya menjadi seperti ini.

“Apa ibumu baik-baik saja? Atau ada sesuatu yang terjadi?”

Vira yang belum mendapat jawaban dari sang teman itu pun mendesak dengan berbagai pertanyaan. Dia tahu, jika kemarin Ibu Alya masuk ke rumah sakit dan yang dia tahu jika kondisi Ibu dari temannya itu masih dalam keadaan kritis.

Alya menatap pada Vira, Gadis itu tidak langsung menjawab. Akan tetapi, dia langsung memeluk Vira yang berada tepat di hadapannya. Alya menumpahkan tangisnya kembali, dipelukan salah satu rekan kerjanya yang sangat tahu bagaimana kondisi kehidupan keluarganya.

Vira tidak bertanya kembali, Dia membiarkan Alya menangis tersedu dalam pelukannya itu dengan harapan temannya itu mendapat kelegaan. Mungkin, dia akan kembali bertanya di saat kondisi Alya sudah mulai membaik.

Beberapa saat setelah menumpahkan tangisnya, atas segala kesulitan yang sedang dihadapinya. Tangis Alya mulai mereda dan dia merasa lega itu pun melepas diri dari pelukan yang dilakukannya bersama Vira.

“Terima kasih,” ucap Alya, setelah keadaan dirinya merasa jauh lebih baik dari sebelumnya.

Vira mengulas senyum ceramahnya, dia mengangguk dan mengusap pundak Alya naik turun dengan penuh perhatian.

“Tidak masalah. Apa kondisimu sudah jauh lebih baik? Jika memang ingin menangis lagi, menangislah. Aku akan selalu bersedia meminjamkan Bahuku untukmu jika ingin kau menumpahkan tangismu,” kata wanita tersebut yang usianya berbeda 4 tahun dari Alya 

Vira yang sangat baik kepada Alya itu, sudah seperti seorang kakak bagi gadis berusia 20 tahun itu.

Alya yang mendengar kalimat dari Vira itu pun terkekeh, dia menjadi malu saat wanita yang menjadi teman baiknya itu selalu tahu apa yang terjadi dalam dirinya. 

“Terima kasih, Mbak. Mbak selalu menjadi orang yang tahu sisi lemahku,” kata Alya pada Vira. 

Vira tersenyum lembut kepada Alya. Dia menggenggam tangan Alya untuk menyalurkan kekuatan kepada gadis malang yang dikenalnya itu.

“Apa kamu ingin bercerita denganku? Jika kamu tidak ingin bercerita denganku pun aku tak masalah. Asal kau tahu, aku akan selalu ada untukmu. Meski aku tidak bisa membantu banyak, setidaknya aku bisa meringankan beban yang tersimpan dalam benak dan dadamu. Mungkin dengan berbagi keresahanmu. Kamu akan jauh lebih baik dan merasakan kelegaan dalam dirimu.” 

Vira tidak ingin memaksa Alya untuk menceritakan Sebab Dia menumpahkan tangis pada bahunya tadi. Dia ingin memberikan ruang kepada sang teman. Dia yakin, saat temannya itu sudah siap berbagi keresahannya Alya pasti datang kepadanya.

“Aku yang jadi tidak enak dengan Mbak Vira. Aku sudah sering nyusahin Mbak. Malu sekali aku, Mbak. Bukan berbagi kebahagiaan kamu melainkan selalu berbagi kesedihan kepada Mbak Vira.” 

Alya mengungkapkan rasa tak nyamannya tersebut kepada Vira. Sejujurnya kepada Vira lah, Alya bisa menumpahkan segala keluh kesahnya. Wanita yang menjadi teman, rekan kerja, sekaligus Kakak angkatnya itu sudah terlalu baik kepada dirinya dan juga keluarganya. Jadi, kehidupan Alya bersama keluarganya. Vira sudah tahu banyak pastinya. 

Vira terkekeh, dia menatap Alya dengan sorot matanya yang begitu teduh dan berkata. 

“Kamu ini seperti sama siapa saja bicara seperti itu. Mbak tidak suka kamu berkata seperti itu, sudah berapa kali Mbak bilang jika kamu bisa menganggap Mbak ini kakakmu sendiri,” terang wanita itu. 

Alya terdiam sesaat, Dia terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu untuk menyampaikan kepada Vira atas perbuatan yang baru saja dia lakukan tanpa sepengetahuan dari temannya itu. Setelah merasa dia perlu menyampaikan kesulitan yang terjadi pada ada dirinya, akhirnya Alya pun kembali buka suara.

“Aku habis dari divisi keuangan, Mbak,” ucap Alya tiba-tiba. 

Sontak, kalimat yang baru saja disampaikan oleh Alya kepada Vira itu membuat wanita yang sejak tadi menunggu untuk temannya bercerita itu sangat terkejut.

Dia menatap tak percaya pada Alya, keberanian dan dorongan apa yang sedang membuat gadis itu mendatangi divisi keuangan selain masalah pinjam meminjam. 

Apakah Alya sedang kesulitan keuangan, atau sedang membutuhkan pinjaman? Apa yang membuat Alya melakukan semua itu?

“Kamu ke sana? Apa yang terjadi, hingga kamu mendatangi divisi keuangan?” Tanya Vira ingin tahu. 

Tentu saja dia merasa penasaran. Sebab apa yang membuat Alya yang pagi tadi terlihat baik-baik saja. Dan kini, keadaan yang terjadi jauh dari kata baik. 

“Dokter bilang, Ibu mengalami pembengkakan pada jantungnya. Dan harus segera dioperasi jika keadaannya sudah melewati masa kritisnya. Aku butuh uang banyak. Mbak tau sendiri jika kami tak punya jaminan untuk dapatkan pinjaman dari bank. Aku coba buat ajukan pada pihak accounting.”

Kalimat Alya mulai melemah, dia merasa ragu untuk menyampaikan penolakan mentah-mentah yang dilakukan oleh manajer baru di bagian keuangan. 

“Apa mereka memberikan pinjaman uang? Memang berapa jumlah uang yang kamu butuhkan?” 

Tanpa bertanya, Vira seharusnya tahu jika jumlah biaya operasi jantung sangatlah mahal.

“Pak Evan, manajer keuangan baru itu menolak permintaan Alya, Mbak,” jawab Alya dengan nada putus asanya. 

Cairan bening di balik kelopak mata yang semula sudah mengering itu kembali berkaca-kaca.

“Jumlah uang yang Alya butuhkan begitu besar, Mbak. Makanya Pak Evan menolak mentah-mentah. Dokter bilang, Alya harus menyiapkan biayanya kurang lebih 200 juta. Dari mana Alya harus mendapatkan uang sebanyak itu?” 

Alya sangat putus asa, dia tidak tahu lagi ke mana harus mencari sejumlah uang yang begitu besar tersebut. 

Bukan hanya Alya. Vira yang sebelumnya penasaran dengan jumlah uang yang dibutuhkan oleh Alya itu pun terdiam. Sudah pasti dia pun tidak mampu membantu temannya itu. Karena uang yang Alya butuhkan tidaklah sedikit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
pantesan pinjaman Alya ditolak Evan. lah gede banget loh 200jt. mau dicicil brp tahun itu?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 116. Kembali Merajut

    Alya kembali ke kamarnya. Niat hati ingin menenangkan diri, tapi justru ia kembali dibuat berdebar dengan setiap kalimat pernyataan yang Evan beri pada kedua orang tuanya. Nada dering pesan masuk membuatnya menoleh cepat ke arah meja rias, tempat ponselnya diletakkan. Sebuah pesan dari Vira.Vira: Lihat ini sekarang. Kamu harus tahu.Tautan video menyertai pesan singkat itu. Tanpa pikir panjang, Alya mengetuk layar. Jantungnya hampir berhenti ketika wajah Evan muncul dalam video. Konferensi pers. Mikrofon berjejer di hadapan pria yang pernah ia cintai begitu dalam, dan kini...“Nama saya Evan Ibrahim Sanders,” suara Evan terdengar tegas, namun ada getaran kecil dalam intonasinya. “Saya berdiri di sini bukan sebagai CEO perusahaan keluarga saya, tapi sebagai seorang pria... yang selama ini menyembunyikan bagian terpenting dalam hidupnya. Saya telah menikah. Lima tahun lalu.”Gemetar tangan Alya menggenggam ponselnya. Ia mundur selangkah, lalu terduduk di tepi ranjang.“Nama istri saya

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 115. Ketegangan Ayah dan Anak

    Suasana rumah itu sunyi, terlalu tenang untuk pagi yang seharusnya ramai oleh hiruk pikuk aktivitas. Udara dingin yang merembes dari celah jendela membuat ruangan tampak membeku, seolah waktu ikut berhenti menunggu ledakan yang akan segera terjadi.“Rumahmu terlalu sepi untuk orang yang sedang merayakan kemenangan besar,” suara itu dalam, tegas, dan penuh nada ejekan samar.Evan menoleh pelan. Pria yang berdiri di ambang pintu itu tinggi, dengan jas hitam rapi dan sepatu mengilap. Wajahnya menua, tapi masih menyimpan pesona yang dulu membuat banyak orang tunduk di dunia bisnis. Ibrahim.Ayahnya.“Kalau datang untuk memuji diri sendiri atas kemenangan perusahaan, kau bisa pulang sekarang,” kata Evan datar, lalu menyesap kopinya.Ibrahim tersenyum kecil dan duduk di sofa panjang tanpa diminta. Ia mengambil sikap seperti seseorang yang memiliki tempat itu.“Tidak, aku datang bukan untuk membahas perusahaan. Kita sudah lewat fase itu.”“Ayah bangga. Kamu bisa selesaikan masalah besar deng

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 114. Kehadiran Ibrahim, Ayah Evan

    Matahari pagi menyelinap pelan dari balik tirai jendela ruang makan yang luas dan penuh cahaya hangat. Aroma roti panggang dan telur orak-arik menggoda indra penciuman, menyatu dengan wangi lembut dari teh melati yang mengepul dalam cangkir porselen di atas meja.Alya duduk di salah satu sisi meja panjang, mengenakan blus putih santai dan celana linen abu-abu. Pasmina santai menghias wajah cantiknya, meski sederhana tetap membingkai indah wajahnya. Wajahnya masih menyisakan rona merah muda yang tak bisa ia sembunyikan, terutama saat matanya melirik ke arah pintu kamar yang tertutup rapat di lantai atas. Di sampingnya, duduk seorang anak laki-laki yang begitu ia sayang, dengan rambut ikal cokelat gelap dan mata besar penuh rasa ingin tahu."Mommy... Ayah Evan belum pulang, ya?" tanya Cale pelan, sembari menggigit roti panggangnya yang dioles mentega keju kesukaannya.Alya sedikit terkejut. Tangannya yang hendak meraih sendok berhenti di udara. Ia mengalihkan pandangan ke arah putranya

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 113. Teh Jahe Hangat

    Langkah-langkah pelan Alya menyusuri lorong rumah besar itu, sunyi diiringi suara detak jarum jam dinding yang bergema lembut. Di tangannya, sebuah cangkir keramik putih berisi teh jahe hangat beraroma kuat yang baru saja ia buat di dapur. Aroma rempahnya semerbak, seolah ingin menyembuhkan udara yang tegang beberapa waktu lalu.Sesampainya di depan pintu kamar Evan, Alya mengetuk pelan."Evan?" panggilnya, suaranya lirih.Tak ada jawaban.Ia mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras. "Aku hanya membawakan teh jahe. Untukmu."Masih sunyi. Tak ada sahutan dari dalam.Alya menghela napas kecil. Dalam hatinya, ia ragu. Tapi udara dingin malam yang masih menggantung dan bayangan wajah lelah Evan saat baru datang tadi membuatnya mantap untuk masuk. Ia mendorong pintu perlahan, memastikan tidak membuat suara gaduh.Saat pintu terbuka sepenuhnya, pemandangan yang menyambutnya membuat detak jantung Alya seketika melonjak.Evan baru saja keluar dari walk-in closetnya. Tubuh tegapnya terbuka ta

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 112. Usaha Evan

    Di rumah Evan, Alya sudah seminggu kembali dari rumah ibunya, suasana mencekam. Alya duduk di depan TV, menatap layar dengan wajah pucat. Vira ada di sampingnya, menggenggam tangan sahabatnya erat.“Kenapa mereka sejahat itu, Mbak? Aku… aku tidak pernah minta apa pun. Tidak pernah cari sensasi…” suara Alya gemetar. Jujur, ia tak pernah berpikir hingga sejauh ini sebab kembali masuk ke kehidupan Evan yang bahkan tidak ia inginkan. “Kamu harus tenang. Jangan berpikir macam-macam. Pak Evan pasti tidak akan tinggal diam.” Vira meyakinkan Alya dan menguatkan jika Evan pasti akan selalu berada di pihaknya. “Aku tak yakin, Mbak. Yang dihadapinya bukan hanya keluarga wanita itu. Tapi keluarganya juga.” Alya sungguh putus asa dan bingung di situasi seperti ini. “Pak Evan sudah berjanji. Dan dia tidak akan mengingkari. Kamu yakin itu,” tegas Vira meyakinkan Alya yang lemah saat ini. Ponsel Alya bergetar. Nama Evan muncul.“Alya…” suara Evan terdengar berat. “Aku minta maaf. Aku tidak bisa m

  • Penjara Hati Bos Arogan   Bab 111. Konflik Bisnis dan Cinta

    Langit sore itu menggantung kelabu di atas gedung yang menujlang tinggi di ibu kota. Dari balik jendela lantai ruangan presdir yang berkuasa. Evan Mahardika memandangi awan yang mulai menebal, seakan menjadi pertanda akan datangnya badai. Namun badai itu bukan hanya milik langit—ia telah memasuki ruang kantornya lebih dulu.Pintu ruang direktur utama terbuka perlahan. Sosok tinggi tegap masuk dengan langkah pasti. Ibrahim Sandres, ayah Evan sekaligus pendiri bisnis yang kini Evan kendalikan, membawa serta aura tekanan yang membuat ruangan seketika mencekam. Setelan jasnya rapi, rambut peraknya disisir ke belakang, dan matanya—dingin dan tajam seperti belati."Kita perlu bicara," ujar Ibrahim tanpa basa-basi saat memasuki ruangan mewah sang pemimpin yang tak lain adalah anaknya sendiri. Evan berdiri dari balik mejanya. “Silakan, Ayah. Duduklah.”Namun Ibrahim tak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Evan dari seberang meja seperti seorang hakim menatap terdakwa. Tatapan yang menghujam bak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status