Alya kembali ke ruang kerjanya dengan mata sembab dan langkahnya yang gontai. Banyak pasang mata yang menatap penuh tanya saat melihat kondisi yang terjadi kepada Alya.
Tentu saja semua orang yang melihat keadaan Alya tidak seperti biasanya itu saling bertanya satu sama lain. Dan mereka hanya mengira jika sesuatu buruk terjadi pada ibu gadis tersebut.
Tiba di ruang kerjanya, sambutan pertama yang Alya dapatkan adalah tatapan cemas dari Vira, rekan kerja satu profesi dengannya yang menjadi desain tiap pakaian yang diproduksi oleh pabrik tekstil tersebut.
Vira yang mendapati keadaan temannya yang sedang tidak baik-baik saja itupun tidak tinggal diam. Dia segera mendekat, menatap penuh tanya kepada wanita yang terbiasa ceria itu masuk dengan mata sembab yang masih memerah.
“Apa yang terjadi?” Vira yang mendapati sang teman sedang tak baik-baik saja itu pun menjadi panik.
Setelah mereka melakukan absensi masuk bekerja, Vira sudah tidak mendapati temannya kembali masuk ke ruang kerjanya. Dan kini di jam yang sudah menunjukkan keterlambatan setengah jam dari jam masuk bekerja mereka, dia mendapati Alya yang datang dengan keadaan mata sembab. Vira yakin, jika Alya habis menangis sehingga keadaannya menjadi seperti ini.
“Apa ibumu baik-baik saja? Atau ada sesuatu yang terjadi?”
Vira yang belum mendapat jawaban dari sang teman itu pun mendesak dengan berbagai pertanyaan. Dia tahu, jika kemarin Ibu Alya masuk ke rumah sakit dan yang dia tahu jika kondisi Ibu dari temannya itu masih dalam keadaan kritis.
Alya menatap pada Vira, Gadis itu tidak langsung menjawab. Akan tetapi, dia langsung memeluk Vira yang berada tepat di hadapannya. Alya menumpahkan tangisnya kembali, dipelukan salah satu rekan kerjanya yang sangat tahu bagaimana kondisi kehidupan keluarganya.
Vira tidak bertanya kembali, Dia membiarkan Alya menangis tersedu dalam pelukannya itu dengan harapan temannya itu mendapat kelegaan. Mungkin, dia akan kembali bertanya di saat kondisi Alya sudah mulai membaik.
Beberapa saat setelah menumpahkan tangisnya, atas segala kesulitan yang sedang dihadapinya. Tangis Alya mulai mereda dan dia merasa lega itu pun melepas diri dari pelukan yang dilakukannya bersama Vira.
“Terima kasih,” ucap Alya, setelah keadaan dirinya merasa jauh lebih baik dari sebelumnya.
Vira mengulas senyum ceramahnya, dia mengangguk dan mengusap pundak Alya naik turun dengan penuh perhatian.
“Tidak masalah. Apa kondisimu sudah jauh lebih baik? Jika memang ingin menangis lagi, menangislah. Aku akan selalu bersedia meminjamkan Bahuku untukmu jika ingin kau menumpahkan tangismu,” kata wanita tersebut yang usianya berbeda 4 tahun dari Alya
Vira yang sangat baik kepada Alya itu, sudah seperti seorang kakak bagi gadis berusia 20 tahun itu.
Alya yang mendengar kalimat dari Vira itu pun terkekeh, dia menjadi malu saat wanita yang menjadi teman baiknya itu selalu tahu apa yang terjadi dalam dirinya.
“Terima kasih, Mbak. Mbak selalu menjadi orang yang tahu sisi lemahku,” kata Alya pada Vira.
Vira tersenyum lembut kepada Alya. Dia menggenggam tangan Alya untuk menyalurkan kekuatan kepada gadis malang yang dikenalnya itu.
“Apa kamu ingin bercerita denganku? Jika kamu tidak ingin bercerita denganku pun aku tak masalah. Asal kau tahu, aku akan selalu ada untukmu. Meski aku tidak bisa membantu banyak, setidaknya aku bisa meringankan beban yang tersimpan dalam benak dan dadamu. Mungkin dengan berbagi keresahanmu. Kamu akan jauh lebih baik dan merasakan kelegaan dalam dirimu.”
Vira tidak ingin memaksa Alya untuk menceritakan Sebab Dia menumpahkan tangis pada bahunya tadi. Dia ingin memberikan ruang kepada sang teman. Dia yakin, saat temannya itu sudah siap berbagi keresahannya Alya pasti datang kepadanya.
“Aku yang jadi tidak enak dengan Mbak Vira. Aku sudah sering nyusahin Mbak. Malu sekali aku, Mbak. Bukan berbagi kebahagiaan kamu melainkan selalu berbagi kesedihan kepada Mbak Vira.”
Alya mengungkapkan rasa tak nyamannya tersebut kepada Vira. Sejujurnya kepada Vira lah, Alya bisa menumpahkan segala keluh kesahnya. Wanita yang menjadi teman, rekan kerja, sekaligus Kakak angkatnya itu sudah terlalu baik kepada dirinya dan juga keluarganya. Jadi, kehidupan Alya bersama keluarganya. Vira sudah tahu banyak pastinya.
Vira terkekeh, dia menatap Alya dengan sorot matanya yang begitu teduh dan berkata.
“Kamu ini seperti sama siapa saja bicara seperti itu. Mbak tidak suka kamu berkata seperti itu, sudah berapa kali Mbak bilang jika kamu bisa menganggap Mbak ini kakakmu sendiri,” terang wanita itu.
Alya terdiam sesaat, Dia terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu untuk menyampaikan kepada Vira atas perbuatan yang baru saja dia lakukan tanpa sepengetahuan dari temannya itu. Setelah merasa dia perlu menyampaikan kesulitan yang terjadi pada ada dirinya, akhirnya Alya pun kembali buka suara.
“Aku habis dari divisi keuangan, Mbak,” ucap Alya tiba-tiba.
Sontak, kalimat yang baru saja disampaikan oleh Alya kepada Vira itu membuat wanita yang sejak tadi menunggu untuk temannya bercerita itu sangat terkejut.
Dia menatap tak percaya pada Alya, keberanian dan dorongan apa yang sedang membuat gadis itu mendatangi divisi keuangan selain masalah pinjam meminjam.
Apakah Alya sedang kesulitan keuangan, atau sedang membutuhkan pinjaman? Apa yang membuat Alya melakukan semua itu?
“Kamu ke sana? Apa yang terjadi, hingga kamu mendatangi divisi keuangan?” Tanya Vira ingin tahu.
Tentu saja dia merasa penasaran. Sebab apa yang membuat Alya yang pagi tadi terlihat baik-baik saja. Dan kini, keadaan yang terjadi jauh dari kata baik.
“Dokter bilang, Ibu mengalami pembengkakan pada jantungnya. Dan harus segera dioperasi jika keadaannya sudah melewati masa kritisnya. Aku butuh uang banyak. Mbak tau sendiri jika kami tak punya jaminan untuk dapatkan pinjaman dari bank. Aku coba buat ajukan pada pihak accounting.”
Kalimat Alya mulai melemah, dia merasa ragu untuk menyampaikan penolakan mentah-mentah yang dilakukan oleh manajer baru di bagian keuangan.
“Apa mereka memberikan pinjaman uang? Memang berapa jumlah uang yang kamu butuhkan?”
Tanpa bertanya, Vira seharusnya tahu jika jumlah biaya operasi jantung sangatlah mahal.
“Pak Evan, manajer keuangan baru itu menolak permintaan Alya, Mbak,” jawab Alya dengan nada putus asanya.
Cairan bening di balik kelopak mata yang semula sudah mengering itu kembali berkaca-kaca.
“Jumlah uang yang Alya butuhkan begitu besar, Mbak. Makanya Pak Evan menolak mentah-mentah. Dokter bilang, Alya harus menyiapkan biayanya kurang lebih 200 juta. Dari mana Alya harus mendapatkan uang sebanyak itu?”
Alya sangat putus asa, dia tidak tahu lagi ke mana harus mencari sejumlah uang yang begitu besar tersebut.
Bukan hanya Alya. Vira yang sebelumnya penasaran dengan jumlah uang yang dibutuhkan oleh Alya itu pun terdiam. Sudah pasti dia pun tidak mampu membantu temannya itu. Karena uang yang Alya butuhkan tidaklah sedikit.
Di rumah Evan, Alya sudah seminggu kembali dari rumah ibunya, suasana mencekam. Alya duduk di depan TV, menatap layar dengan wajah pucat. Vira ada di sampingnya, menggenggam tangan sahabatnya erat.“Kenapa mereka sejahat itu, Mbak? Aku… aku tidak pernah minta apa pun. Tidak pernah cari sensasi…” suara Alya gemetar. Jujur, ia tak pernah berpikir hingga sejauh ini sebab kembali masuk ke kehidupan Evan yang bahkan tidak ia inginkan. “Kamu harus tenang. Jangan berpikir macam-macam. Pak Evan pasti tidak akan tinggal diam.” Vira meyakinkan Alya dan menguatkan jika Evan pasti akan selalu berada di pihaknya. “Aku tak yakin, Mbak. Yang dihadapinya bukan hanya keluarga wanita itu. Tapi keluarganya juga.” Alya sungguh putus asa dan bingung di situasi seperti ini. “Pak Evan sudah berjanji. Dan dia tidak akan mengingkari. Kamu yakin itu,” tegas Vira meyakinkan Alya yang lemah saat ini. Ponsel Alya bergetar. Nama Evan muncul.“Alya…” suara Evan terdengar berat. “Aku minta maaf. Aku tidak bisa m
Langit sore itu menggantung kelabu di atas gedung yang menujlang tinggi di ibu kota. Dari balik jendela lantai ruangan presdir yang berkuasa. Evan Mahardika memandangi awan yang mulai menebal, seakan menjadi pertanda akan datangnya badai. Namun badai itu bukan hanya milik langit—ia telah memasuki ruang kantornya lebih dulu.Pintu ruang direktur utama terbuka perlahan. Sosok tinggi tegap masuk dengan langkah pasti. Ibrahim Sandres, ayah Evan sekaligus pendiri bisnis yang kini Evan kendalikan, membawa serta aura tekanan yang membuat ruangan seketika mencekam. Setelan jasnya rapi, rambut peraknya disisir ke belakang, dan matanya—dingin dan tajam seperti belati."Kita perlu bicara," ujar Ibrahim tanpa basa-basi saat memasuki ruangan mewah sang pemimpin yang tak lain adalah anaknya sendiri. Evan berdiri dari balik mejanya. “Silakan, Ayah. Duduklah.”Namun Ibrahim tak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Evan dari seberang meja seperti seorang hakim menatap terdakwa. Tatapan yang menghujam bak
Evan menyalakan mesin mobil, jendela setengah terbuka. Dari kaca spion, ia bisa melihat Alya memeluk Cale, berdiri di tepi jalan makam. Mereka melambai pelan, dan Evan membalasnya sebelum akhirnya melajukan mobil keluar dari kompleks pemakaman.Di dalam mobil, Evan menghela nafas panjang. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Ada desakan tanggung jawab di Jakarta, ada rasa bersalah karena meninggalkan Alya di saat seperti ini. Tapi lebih dari itu, ada kekhawatiran yang tak bisa ia tolak—tentang bagaimana kelanjutan hubungan mereka.Perjalanan kembali ke ibu kota terasa lebih panjang dari biasanya. Angin yang meniupkan kenangan, suara isak Alya, tatapan kosong Cale… semuanya melekat di pikirannya.Sementara itu, di rumah duka, Alya menutup pintu kamar ibunya dengan pelan. Ia baru saja merapikan barang-barang pribadi ibunya. Sepotong syal coklat muda yang masih tersimpan rapi, surat-surat lama, dan sebuah album foto yang sudah menguning di sudut halaman.Ia membuka album itu, sa
Langit Kota Bogor memayungi bumi dengan awan-awan kelabu. Hujan belum turun, tetapi aroma tanah basah yang menggantung di udara seakan menjadi pengantar duka yang tak terucap. Angin berhembus pelan, menyusup di antara pohon-pohon kamboja yang berdiri bisu di kompleks pemakaman itu.Langkah kaki menyusuri tanah merah yang baru tergali. Di antara para pelayat berpakaian hitam dan putih, Alya berdiri paling depan, tubuhnya gemetar dalam balutan kebaya hitam sederhana. Kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, menahan segala perasaan yang nyaris meledak sejak semalam.Di sebelahnya, Evan berdiri dalam diam. Matanya tertuju pada liang lahat yang sudah menelan peti kayu coklat tua, tempat peristirahatan terakhir ibu Alya, wanita yang telah mempertemukan kembali takdir mereka. Pria itu mengenakan jas hitam, dasinya berwarna abu gelap, senada dengan duka yang mengelilingi mereka.Doa-doa mengalun lirih. Suara pengajian dari ustaz yang memimpin prosesi terdengar lembut namun dalam. Setia
Evan menatap sosok lemah di balik dinding kaca ICU dengan mata yang dipenuhi keraguan. Tangannya mengepal, kemudian mengendur ketika ia melirik ke arah Alya yang tengah duduk bersandar di bangku lorong rumah sakit, memangku Cale yang sudah tertidur.Safa berdiri tak jauh dari mereka, matanya mengamati situasi dengan kewaspadaan dan keresahan yang sama dengan sang kakak. Evan melangkah mendekat. Detik itu juga, Alya membuka mata, seperti bisa merasakan kehadirannya. Ia melihat Evan sudah berdiri tak jauh darinya. "Alya," panggil Evan pelan.Alya menatapnya lelah, namun tetap tegar."Boleh aku bicara sebentar dengan Ibu?" tanyanya dengan nada hati-hati, menahan emosi yang bergulat di dadanya.Alya mengerutkan kening. “Untuk apa?” Tentu saja Alya tak tahu apa yang hendak dilakukan oleh pria pada sang ibunya d dalam sana. “Bukan untuk hal yang membuatmu tak nyaman. Aku hanya ingin... meminta maaf padanya. Atas semua yang terjadi padamu dan Cale selama ini. Terutama denganmu,” jawab Eva
Udara pagi masih menyisakan embun di kaca-kaca rumah sakit. Aroma antiseptik menguar tajam saat pintu utama terbuka, menyambut kedatangan Evan yang menggendong Cale dalam dekapan eratnya. Anak kecil itu masih mengenakan jaket tebal berwarna biru laut, kepalanya bersandar di bahu sang ayah, sesekali menguap kecil, menggosok matanya yang masih mengantuk.Evan melangkah cepat menyusuri koridor menuju lantai tiga, tempat Alya menunggunya. Wajah pria itu penuh ketegasan, namun sorot matanya menunjukkan kekhawatiran. Ia menatap layar ponsel sekali lagi, membaca pesan terakhir dari Alya."Tolong bawa Cale ke rumah sakit, Evan. Ibu ingin melihatnya. Mungkin... ini bisa jadi pertemuan terakhir mereka."Ia menghela nafas panjang, dada sesak oleh kemungkinan-kemungkinan buruk yang belum sempat ia cerna sepenuhnya.Saat lift terbuka, Alya sudah berdiri di sana, menunggu mereka dengan mata sembab dan raut lelah. Tatapannya langsung jatuh pada putranya yang kini sudah terlelap di pelukan Evan.“Mom