“Bukankah perusahaan ini menyediakan pinjaman untuk karyawannya yang membutuhkan, yang nanti akan dipotong langsung dari gaji bulanan sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan pada perusahaan ini, Pak?” Tanya Alya.
Gadis berusia 20 tahun yang saat ini sedang menjadi tulang punggung keluarganya mencoba berargumen pada manajer akunting baru yang tak lain adalah anak dari pemilik pabrik konveksi tempatnya bekerja.
Wanita yang sejak beberapa tahun terakhir ini menjadi lemah keadaannya, karena harus mendapati fakta jika sang ibu yang selama ini bekerja keras untuknya dan Safa, adiknya itu harus mengidap penyakit jantung koroner.
Pria yang berada di balik meja kerjanya itu menatap tak suka pada Alya yang berusaha mencari simpati kepadanya. Kebijakan baru saja dia buat, tentu saja dia tak akan melakukan pelanggaran atas apa yang sudah diputuskan olehnya.
Bagi Evan, permintaan karyawannya itu tak masuk akal. Jumlah yang akan dipinjam bukanlah jumlah sedikit. Melainkan jumlah uang ratusan juta, dan pria itu tidak akan pernah mengabulkan keinginan karyawannya tersebut.
Dia adalah Evan, Evan Ibrahim Sanders anak sulung keluarga Sanders yang memiliki perusahaan tekstil raksasa di berbagai wilayah Indonesia yang bernama Sanders Textile.
“Apa kamu tuli? Apa pun yang menjadi alasanmu saat ini, saya tidak akan memberikan pinjaman yang terlalu besar itu terhadapmu.”
Pria itu menatap tajam ke arah Alya, meski wanita yang ada di hadapannya itu menunjukkan wajah memelasnya sama sekali tidak membuat Evan terketuk pintu hatinya.
“Pak, saya mohon … saya tidak tahu lagi harus mencari uang itu ke mana. Harapan satu-satunya yang saya punya hanya meminjam pada perusahaan. Saya tidak masalah perusahaan akan memotong gaji saya sampai kapanpun, yang penting saat ini bisa mendapatkan pinjaman itu segera untuk biaya operasi ibu saya.”
Alya, gadis pekerja keras yang bekerja sebagai desainer di perusahaan tersebut itu tidak menyerah begitu saja. Harapan satu-satunya yang dia punya adalah meminjam uang pada bagian accounting. Karena setahunnya memang perusahaan menyediakan pinjaman bagi semua karyawan yang membutuhkan dengan melakukan potong gaji langsung setiap bulannya.
“Saya tidak bisa melakukannya. Asal kamu tahu. Peraturan itu sudah berubah. Banyaknya penyelewengan dana di perusahaan ini membuat saya harus mengambil kebijakan segera. Jika dana yang digelapkan semakin banyak, maka perusahaan akan mengalami pailit dan merugikan Kalian juga.”
Dengan tegas, pria itu menyampaikan masalah yang terjadi dalam perusahaan yang menjadi tempat Alya bekerja.
Tidak secara cuma-cuma Evan menempati posisi manajer keuangan di perusahaan milik keluarganya itu sendiri. Dia saat ini sedang menjalani proses uji coba untuk mendapatkan kedudukan menjadi seorang CEO.
Maka, jika usaha untuk menstabilkan suasana keuangan atas penggelapan dana yang dilakukan oleh manajer sebelumnya itu berhasil dilakukan oleh Evan. Maka, pria itu akan mendapatkan promosi jabatan di perusahaan ini.
“Pak. Jika saya tidak bisa mendapatkan pinjaman dari perusahaan ini. Bagaimana dengan nasib ibu saya, Pak. Lagi pula saya baru pertama kali melakukan pinjaman di perusahaan ini. Sebelumnya saya tidak pernah melakukannya. Demi nyawa ibu saya, Pak. Saya melakukan ini semua. Saya harap, Bapak memiliki harus nurani pada saya. Karena saya tahu, Bapak juga memiliki seorang ibu. Jika nyawa ibu Bapak menjadi taruhannya. Saya yakin, Bapak akan melakukan hal yang sama juga seperti saya.”
Alya masih tak menyerah, meski dirinya sudah merasa sangat putus asa akan mendapatkan pinjaman dari perusahaan. Pemimpin baru yang berada di depannya saat ini terasa begitu sulit dibujuknya. Alya semakin berada dalam kebimbangana.
Lalu, jika dia menyerah. Ke mana lagi dia akan mendapati uang.
Pria itu semakin tak suka, saat harus menerima kenyataan menghadapi karyawan yang menurutnya itu sangat keras kepala.
Padahal yang Alya lakukan saat ini bukan karena kekerasan kepala-annya. Melainkan memang Alya yang memang selalu gigih dalam berusaha untuk mendapatkan segala sesuatu yang menjadi tujuannya.
Alya akan terus berusaha mendapatkan pinjaman uang dari perusahaan. Karena itu adalah satu-satunya cara yang dia miliki saat ini. Karena untuk mendapatkan pinjaman dari bank pun tidak akan mungkin dirinya mendapatkan.
Tak adanya agunan yang bisa ia jaminkan. Membuat Alya berada dalam situasi yang sangat sulit. Paling tidak, dia harus memiliki sertifikat rumah agar bisa menjadi agunan untuk ia jaminkan dan mendapatkan uang. Jangan sertifikat, rumah yang menjadi tempat tinggalnya beserta adik dan ibunya itu masih rumah kontrak. Dan Alya-lah yang berusaha memenuhi kebutuhan selama beberapa tahun belakangan ini.
“Keluar dari sini, saya tak mau mendengar alasan apa pun lagi. Keputusan sudah bulat, dan saya tetap tidak akan memberikan sepeserpun uang pinjaman untukmu,” kata pria itu tak ingin terbatahkan lagi.
“Pak, saya mohon …”
“Keluar segera, atau saya panggil Security sekarang juga!”
Pria itu tidak main-main lagi dengan kalimatnya. Dia sudah mengambil gagang telepon yang akan digunakanannya untuk menghubungi bagian keamanan.
Alya yang melihat pergerakan yang dilakukan oleh Evan yang tak lain adalah Bos barunya di bagian divisi keuangan itu tidak tinggal diam. Dengan cepat, dia yang semula berdiri dengan tatapan membalasnya itu segera beranjak tepat di samping kursi kebesaran yang Evan duduki.
“Segera ke ruang saya!” Perintah tegas yang dilakukan oleh Evan pada salah satu security yang bertugas.
Pria itu langsung menutup panggilannya dengan cepat menatap tajam kepada Alya yang berada tepat di sampingnya.
“Pak, saya mohon … Sekali saja kasih kesempatan untuk mendapatkan pinjaman uang dari perusahaan. Saya tidak masalah perusahaan akan memotong gaji saya tiap bulannya untuk beberapa tahun ke depan. Saya hanya seorang anak yang memperjuangkan nyawa ibu saya agar bisa tertolong, Pak.”
Dengan tatapan wajah yang memelas, Alya bahkan bersimpuh tepat di bawah kursi kebesaran Evan. Air mata wanita itu sudah mengalir deras membasahi kedua pipi mulusnya.
“Kau keras kepala sekali. Sekali saya tidak memberi. Maka tidak akan saya berikan.”
Pria itu sama sekali tidak memiliki belas kasih. Dengan sikap jumawa yang dia punya dia tetap bersikeras dengan keputusan yang sudah ditetapkan beberapa hari setelah dia menjabat menjadi manajer accounting..
Bersamaan dengan itu cuma pintu ruang kerja Evan itu pun terbuka yang menampilkan seseorang security berseragam hitam itu sudah masuk ke dalam ruang kerjanya.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Tanya security yang bertugas tersebut.
“Bawa dia keluar. Jika tetap menolak. Tarik dan bawa keluar.” Perintah itu Evan. Erikan, agar menarik Alya segera dari ruang kerjanya.
Dia sangat muat, saat melihat sikap mengemis yang dilakukan oleh karyawati Yang Bahkan dia sendiri tidak mengenalnya.
“Siap, Pak.”
Security yang bertugas itu dengan Sigap menjawab perintah yang akan beri. Dia pun segera maju, dengan tetapan yang ketiga harus membawa Alya salah satu karyawati ramah yang dikenalnya.
“Saya bisa pergi sendiri, Pak,” kata Alya.
Wanita itu terlihat begitu putus asa. Tetapi, Dia tidak memiliki pilihan lain dengan melangkah gontai meninggalkan ruang kerja Evan.
Alya kembali ke ruang kerjanya dengan mata sembab dan langkahnya yang gontai. Banyak pasang mata yang menatap penuh tanya saat melihat kondisi yang terjadi kepada Alya. Tentu saja semua orang yang melihat keadaan Alya tidak seperti biasanya itu saling bertanya satu sama lain. Dan mereka hanya mengira jika sesuatu buruk terjadi pada ibu gadis tersebut.Tiba di ruang kerjanya, sambutan pertama yang Alya dapatkan adalah tatapan cemas dari Vira, rekan kerja satu profesi dengannya yang menjadi desain tiap pakaian yang diproduksi oleh pabrik tekstil tersebut.Vira yang mendapati keadaan temannya yang sedang tidak baik-baik saja itupun tidak tinggal diam. Dia segera mendekat, menatap penuh tanya kepada wanita yang terbiasa ceria itu masuk dengan mata sembab yang masih memerah.“Apa yang terjadi?” Vira yang mendapati sang teman sedang tak baik-baik saja itu pun menjadi panik. Setelah mereka melakukan absensi masuk bekerja, Vira sudah tidak mendapati temannya kembali masuk ke ruang kerjany
“Maaf.” Vira yang sebelumnya terlihat antusias mendengar keluhan dari Alya itu tiba-tiba meminta maaf pada temannya. Dia menatap sendu pada Alya, setelah mendengar cerita yang disampaikan oleh rekan kerjanya tersebut. Vira tidak mampu berbuat banyak. Sebagai teman yang baik dia hanya mampu mendoakan semoga kalian bisa melewati ujian hidup yang terjadi pada dirinya dan keluarganya tersebut.“Kenapa Mbak minta maaf. Mbak ga salah apa pun loh,” kata Alya. Wanita yang semula sudah bersiap menumpahkan cairan kristal di balik kelopak matanya itu tiba-tiba terkekeh pelan. Dia mengulas senyum cantiknya, menatap pada sang teman karena Vira yang sama sekali tidak melakukan kesalahan malah meminta maaf kepadanya.“Al.” Wanita yang menetap sendu kepada Alya itu bukan suara, masih dengan tatapan nanarnya. Dia berucap, “mbak minta maaf. Kali ini habis tidak bisa membantu lebih untukmu dan keluargamu. Jujur saja Mbak juga habis memberikan pinjaman kepada Mas Emir untuk biaya pendidikannya. Jad
Alya merasa lemas seketika, saat harus menyadari panggilan untuk datang ke sekolah Safa, adiknya. Selain tak bisa mengabaikan masalah biaya yang harus ia dapatkan untuk pengobatan ibunya. Alya juga tidak bisa membiarkan Safa mengalami kesulitan di ujung kelulusan yang sudah di depan mata.Ternyata seperti ini rasanya sekolah di swasta. Semua harus serba dengan uang. Bahkan, saat harus mengikuti ujian akhir pun. Uang masih harus menjadi prioritas yang harus diselesaikan. “Ada apa lagi?” Tanya Mbak Vira pada Alya. Alya menoleh pada sang teman, menghela nafas beratnya, sebelum akhirnya membuangnya dengan perlahan.Dia menatap pada Vira sekilas, sebelum akhirnya mengalihkan tatapan pada jalanan menuju ke ruang kerja mereka.“Panggilan dari sekolah Safa, Mbak. Sebentar lagi Safa akan ujian akhir, wali kelasnya meminta Alya untuk datang ke sekolah mengenai perihal uang akhir tahun Safa yang belum terbayar lunas.” Alya sama sekali tidak menutupi gambar yang baru saja ia dapatkan dari wal
“Woi! Lo bisa nggak naik motor!” Teriak seorang pejalan kaki yang hampir saja tertabrak oleh Alya yang tidak menyadari lampu merah menyala di perempatan jalan yang sedang dilaluinya.“Maaf, maaf. Saya tidak sengaja. Saya kurang berhati-hati,” ujar Alya yang hampir saja menabrak pejalan kaki yang hendak menyerang jalan yang ia lalui untuk kembali pulang menuju ke rumah sakit. “Al. Kamu tidak apa-apa kan? Kamu harus hati-hati mengendarai sepeda motor. Kamu pasti sedang ngelamun, makanya hampir saja menabrak orang.” Alya menoleh, dia mengangguk pelan. Membenarkan kalimat Mbak Vira akan fakta yang terjadi pada dirinya. “Iya, Mbak. Alya minta maaf,” jawab Alya. “Apa ganti mbak saja yang bawa motornya?” Tawar Mbak Vira untuk berganti membawa sepeda motornya. Alya menggeleng, “Tidak perlu Mbak. Alya akan lebih berhati-hati lagi.” Tanpa mereka sadari, kejadian yang baru saja mereka alami tersebut tak luput dari sepasang mata yang memperhatikan mereka dari dalam mobil mewah yang dikendar
Mendadak detak jantung Aliya berhenti seketika, saat harus mendapatkan penawaran yang semula ia pikir berupa angin segar untuknya itu nyatanya salah. Harapan yang semula ia pikir jika Evan akan berubah pikiran dan akan membantunya dengan sukarela untuk meminjamkan uang perusahaan padanya itu salah. Melainkan yang Alya dapatkan adalah sebuah penawaran gila yang tak akan pernah dia lakukan sebagai seorang wanita yang memegang penuh prinsip untuk selalu menjaga harga diri dan mahkota berharga yang dia miliki sebagai seorang wanita. Di zaman yang sudah sangat maju, dengan banyaknya kebebasan yang sering dilihatnya di depan mata. Alya semakin tidak ingin mengikuti pergaulan bebas yang terjadi di kehidupan yang ada di sekitarnya. Biarlah, dia dianggap norak dengan tidak pernah memiliki seorang kekasih. Dari pada harus kehilangan mahkota berharga yang selalu menjadi kebanggaan seorang wanita yang dia punya. Tidak mengapa bagi Alya harus miskin harta. Tetapi dia tidak akan miskin h
Langkah kaki Alya yang sudah sangat siap meninggalkan ruang kerja Evan itu kembali terhenti. Kalimat yang baru dia dengar dari Evan berhasil mengusir indera pendengarannya. Dan apa yang dimaksudkan oleh pria itu, tentu berhasil membuat hati Alya sangat tersinggung oleh setiap kalimat yang berhasil menyentil hati nuraninya sebagai seorang anak. Alya membalikkan tubuhnya, menatap datar ke arah pria yang sudah berhasil mengusik perasaannya tentang bakti seorang anak yang baru saja dikatakan oleh pria yang saat ini masih memberikan tatapan sinis ke arahnya. “Apa yang anda bilang? Anda mengingatkanku untuk bakti dengan orang tua,” kata Alya dengan perasaan yang sangat geram. Tetapi gadis itu berusaha menahan diri agar tidak meledakkan emosi yang saat ini tengah dia tahan. Setelah berkata hal demikian pada Evan, pria argina menurutnya itu. Dia pun kembali membuka suara. “Justru karena saya sangat berbakti pada wanita yang sangat berjasa bagi saya itu saya rela melakukan apa pun untu
“Kamu baik-baik saja?” tanya salah satu karyawan pria yang wajahnya cukup familiar bagi Alya. Tapi Alya lupa, siapa pria yang saat ini tengah menyapanya.Alya dengan mata sembabnya itu pun berusaha memberikan senyum terbaiknya pada pria yang ia tahu adalah karyawan pabrik juga sama seperti dengannya. Ya, itu yang Alya bisa pikirkan saat ini. “Saya baik-baik saja,” jawab Alya berusaha ramah, meski hatinya masih merasakan sesak.Pria yang berusia beberapa tahun lebih tua dari Alya itu pun memberikan anggukan pada Alya. Tetapi, dia masih berusaha menelisik sesuatu yang terjadi kepada wanita yang baru keluar dari dalam toilet tersebut.“Bagaimana kabar ibumu, sayadengar beliau masuk ke rumah sakit?” Tanya pria yang bahkan namanya pun Alya tidak mengetahuinya.Tetapi pria yang ada di hadapannya itu bisa tahu, jika ibunya masuk ke rumah sakit.Alya yang mendapati pertanyaan itu pun terdiam, dia berusaha mengingat siapa pria yang ada di hadapannya tersebut. Alya merasa familiar dengan waj
Mata sembab yang terjadi pada ayat Antum menarik perhatian bagi siapa saja yang menatap gadis yang tampak terlihat lesu dalam melangkah menuju ke ruang kerjanya tersebut.Putus sudah harapan yang Alya miliki, entah bagaimana caranya lagi dia harus mendapatkan uang untuk membiayai ibunya lagi. “Kamu kenapa lagi, Al? Apa kamu dari ruang Pak Evan lagi? Apa kamu berusaha membujuk beliau lagi, untuk bisa mendapatkan uang pinjaman?” Pertanyaan beruntun itu pun Vira berikan kepada Alya kembali saat mendapati gadis yang baru tiba di ruang kerjanya itu tampak terlihat lesu dan sembab pada kedua matanya. Dia yang sudah tiba lebih dulu, karena tahu jika Alya semalam menginap di rumah sakit itu sebelumnya berpikir jika rekan kerjanya itu kurang beristirahat saat berjaga. Tetapi setelah diamati olehnya, dia yakin jika mata sembab yang terjadi pada ayah itu bukan karena kurang beristirahat melainkan habis menangis.Alya membalas tatapan sendu dari wanita yang sedang mencecar dirinya pertanyaan b