Share

Bab 1

Aku meletakkan beberapa buku terakhir di rak paling atas. Kupandangi deretan-deretan buku yang baru saja kutata dengan rasa puas. Kusapu satu persatu punggung buku yang berwarna warni dengan jari-jariku. Kutelusuri huruf-hurufnya yang membentuk kata dan kalimat.

Buku selalu memberiku kedamaian. Dengan buku aku tidak perlu khawatir tahu terlalu banyak saat menyentuhnya. Dengan buku aku tidak perlu takut mengetahui hal yang tidak perlu aku ketahui. Buku tidak akan membisikkan satu katapun kedalam benakku tanpa seizinku.

Itulah kenapa, saat aku lulus kuliah, aku memilih bekerja di perpustakaan terbesar di kota ini. Bekerja di perpustakaan membuatku bertemu lebih sedikit orang daripada jika harus bekerja di tempat lain.

Lagipula, kalau aku tidak sengaja mendengar pikiran orang lain di tempat ini, apa yang ada di pikiran mereka tidak pernah jauh dari buku yang mereka baca. Jadi hal itu membuatku merasa sedikit lebih nyaman dan mengurangi rasa bersalahku.

Sudah empat belas tahun berlalu sejak pertama kali aku mendengar pikiran orang lain tapi aku tidak pernah terbiasa dengannya. Mendengarkan apa yang mereka pikirkan, mengetahui pikiran rahasia mereka, menemukan hal-hal yang tidak seharusnya kuketahui bukanlah suatu hal yang menyenangkan.

 

Dulu, aku hanya medengar pikiran mereka jika aku memegang tangan mereka. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, hanya dengan bersentuhan dengan mereka aku bisa mendengar semuanya.

Aku sempat menggunakan kemampunku untuk mengetahui pikiran orang tentangku. Menggunakannya sebagai acuan membawa diri di lingkungan sekitarku. Tapi lama kelamaan aku merasa kehilangan jati diri karena berusaha mengikuti tuntutan mereka terhadapku. Karena setiap kali mendengar keinginan mereka, aku merubah diriku seperti apa yang mereka harapkan dan menjadi pribadi yang berbeda.

“Melamun lagi. “

Aku menoleh ke arah datangnya suara. Ren, teman kerjaku yang berbadan kurus dan rambut coklat ikal sebahu berdiri di ujung lorong sambil berkacak pinggang.

“Siapa yang melamun?” Sanggahku. Ren berdecak.

“Setiap pagi setelah menata buku kamu pasti melamun.”

Ren menatap deretan buku yang telah kutata rapi. Ia paham benar dengan kebiasaanku.

“Caramu memperlakukan buku lebih baik daripada caramu memperlakukan wanita. Aku tidak pernah melihatmu memegang atau membelai wanita selembut itu. “

Aku bisa merasakan wajahku memerah.  Ren menepuk keningnya seperti baru teringat sesuatu.

“Oh, tapi kamu kan tidak punya teman wanita yang bisa kamu perlakukan dengan lembut.”

“Apa kamu tidak punya kesibukan lain selain meledekku? “ Tanyaku sedikit kesal.

Ren mengulurkan tangannya dan menarik sebuah troli berisi buku-buku yang baru saja dibetulkan sampulnya.

“Aku lebih sibuk darimu, tahu.”

“Ya sudah. Selesaikan pekerjaanmu sana. “

“Ya, ya. Aku tidak akan mengganggu quality time- mu dengan kekasih-kekasihmu. “

Ren menjauh sambil mendorong troli. Seringai puas tergambar jelas di wajahnya. Kali ini giliranku mendecakkan lidah. Gemas dengan kegemaran Ren meledekku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status