Share

Penjelajah Benak
Penjelajah Benak
Author: Dew Miller

Prolog

“Huh, dasar Ibu.” Gerutuku.

Aku berjalan cepat sambil menghentakkan kaki di setiap langkah. Tanganku menyingkirkan dahan, ranting dan daun yang sesekali menutupi jalanku dengan kesal. Kususuri jalan setapak di hutan kecil di belakang rumah Nenek dan berjalan menuju danau yang ada di sisi lain hutan.

Ibu menyembunyikan komikku. Lagi. Kata ibu aku harus melakukan kegiatan di luar rumah daripada membaca komik.  Padahal aku baru saja membeli komik edisi terbaru. 

Apa ibu tidak tahu hari ini panas sekali? Kenapa aku harus bermain di luar sih.

Aku terus menggerutu sambil berjalan tak tentu arah. Langkahku terhenti saat tiba-tiba aku mencapai ujung tanah yang kupijak. Di bawah sana, terhampar danau Emrys yang airnya terlihat biru, tenang dan berkilaun.

Kesal, kutendang keras-keras batu di dekat kakiku sampai terlontar jauh. Batu-batu kerikil di sekitarnya ikut bergulir jatuh. Kuhentakkan kakiku dan berbalik hendak pergi saat terdengar teriakan.

“Hei!”

Aku menoleh kesana kemari tapi tidak menemukan asal suara.

“Disini!” Tambah suara itu lagi. Kali ini terdengar lebih jelas. Dari arah bawah.

Aku melongok ke bawah mencari arah datangnya suara. Di bawahku, seorang anak lelaki sebayaku menatapku dengan kesal sambil berkacak pinggang.

“Salah apa batunya sampai kamu tendang?”

Tanpa menunggu aku menjawab pertanyaannya ia menunduk sambil mengacak-acak rambutnya dengan tangan. Aku menyadari apa yang baru saja ku perbuat.

“Maaf, kamu kena ya? “

“Kamu tidak bisa melihat sekitarmu dulu sebelum melakukan sesuatu?”

Dia balik bertanya dengan nada memarahi.

“Maaf, maaf. Aku tidak sengaja. “

Aku memperhatikan tempat anak lelaki itu berada. Dia berdiri di sebuah tempat semacam ceruk yang  tidak terlihat dari tempatku berdiri.

“Aku tidak mengira akan ada orang di bawah sana.”

“Lalu apakah kamu mengira dengan tidak ada orang kamu bisa bertindak seenaknya? “

Anak itu masih memarahiku. Aku mulai sedikit kesal. Kenapa di rumah diomeli ibu disini aku diomeli anak ini?

“Iya, iya. Aku kan sudah minta maaf. “

“Oke. “ Jawab anak itu sambil lalu seakan tidak terjadi apa-apa. Mau tidak mau aku sedikit terkejut dengan mudahnya suasana hatinya berubah. Ia lalu kembali menghilang di dalam ceruk.

“Hei, kamu kok bisa sampai disitu? “ teriak ku. Anak laki-laki itu keluar lagi dari ceruk.

“Ada jalan di sebelah sana. “ ia menunjuk arah sebelah kananku. Aku menatapnya tidak percaya.

“Disana tanah milik orang kan? “

“Iya. “

“Apa tidak apa-apa? “

“Aku tidak apa-apa tuh.” Jawabnya enteng. Aku kembali sedikit kesal dengan cara bicaranya yang agak sedikit cuek.

“Kamu mau turun atau tidak?” Tanyanya lagi. Aku memandang berkeliling dengan sedikit sangsi.

“Sudah turun saja. Ada tanah yang cukup aman tidak jauh dari sini. Kamu bisa lewat situ “

Kali ini ia menunjuk arah sebelah kiriku. Aku mengangguk dan mengikuti arah yang tadi ia tunjukkan. Tidak jauh dari tempat tadi, aku menemukan jalan yang dimaksud.

“Oke, ini aman.”

Aku berbicara sendiri dengan sinis. Tanah yang dia maksud mungkin memang cukup aman. Tapi masih cukup terjal sehingga aku harus turun dengan cara merambat perlahan dengan pantat menempel di tanah. Untunglah turun ke bawah tidak terlalu tinggi  jadi aku tidak perlu waktu lama untuk sampai ke bawah. Kutepuk-tepuk belakang celanaku.

“Wah, ibu bisa marah kalau aku sekotor ini. “

Tapi lalu kuhilangkan pikiran itu. Kan ibu sendiri yang memintaku menghabiskan waktu di alam.

“Akhirnya sampai juga.” Kata anak laki-laki itu padaku tanpa menoleh sedikitpun. Ia sibuk menggali tanah di hadapannya.

“Kamu sedang apa? “

“Namamu siapa? “

Ia balik bertanya tanpa perlu repot menoleh ke arahku dan tetap melakukan kegiatannya. Aku memutar bola mataku menghadapi keunikannya.

“Aku Axel. “

“Noah. “ jawabnya singkat tanpa perlu kutanya namanya.

Kudekati Noah dan mengintip apa yang sedang ia kerjakan dari balik bahunya.

“Kamu sedang apa? “

“Aku mencari barangku yang aku kubur disini. Tapi aku lupa letak pastinya. “

“Mau aku bantu? “

“Itu sekopnya. “ 

Aku meringis. Noah menunjuk satu buah sekop lain yang tergeletak di dekatku seakan sekop itu memang disiapkan untukku. 

“Apa yang kita cari?”

“Kalung dengan liontin berbentuk matahari. “

Aku menatapnya. “Kenapa kamu mengubur kalungnya? “

“Karena aku tidak punya gelang untuk dikubur.”

Aku menghela nafas sambil menahan diri untuk tidak membanting sekop di tanganku. Tapi rasa penasaranku mengalahkan rasa kesalku.

Entah berapa lama kami menggali tanpa berbicara. Aku hampir saja ingin beristirahat saat aku memindahkan sebuah batu yang terkubur di tanah dan melihat benda berkilau kemerahan diterpa sinar matahari. Rasa ingin tahu dan penasaranku membuat aku menggali lebih cepat.

“Ketemu!” Seruku saat kulihat sebuah kalung seperti yang digambarkan Noah. Noah menghentikan kesibukannya dan menatapku. Aku meraih kalung yang berhasil kugali dan kuacungkan ke hadapan Noah. Noah tersenyum lebar.

“Tuan Noah!”

Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kejauhan. Aku tersentak kaget dan menatap Noah.

“Tuan Noah!” Panggil suara itu lagi semakin mendekat. Mata Noah mencari asal suara dengan tatapan gelisah.

“Sembunyikan kalungnya.’ Desis Noah. Ada sedikit kepanikan dalam suaranya. Aku memandang dia bingung.

“Cepat.” Desaknya.

Aku buru-buru meraba kantongku tapi sialnya aku sedang memakai celana  pantai favoritku yang biasanya kupakai berenang dan tidak memiliki kantong satupun.

“Tuan Noah.”

Aku melonjak kaget dan secara refleks menggenggam erat-erat kalung tadi dan menyembunyikannya di belakang punggungku. Liontinnya yang berujung runcing menusuk tanganku. Aku memekik tertahan. Noah mendesis menyuruhku diam.

Seorang laki-laki setengah baya berbadan tinggi besar dan memakai pakaian rapi muncul dari balik semak-semak. Kutatap laki-laki yang kini berbicara dengan Noah itu.

“Anda kemana saja menghilang sejak pagi. Sekarang saatnya makan siang. Anda seharusnya sudah kembali.”

“Aku di sekitar sini saja dari tadi. “ jawab Noah dengan nada sedikit kesal.

“Anda harus berhati-hati. Tanah di daerah sini rawan longsor karena gempa minggu lalu. “

Kata-katanya membuatku memandang sekitarku dengan gelisah. Kugenggam erat kalung di tanganku sambil berusaha menenangkan diri tapi kalung ditanganku manusukku sehingga aku memekik tertahan.

Laki-laki itu mengalihkan pandangannya padaku. Noah melotot sambil menggelengkan kepalanya.

“ini siapa?”

Tanya laki-laki itu ke Noah setelah memperhatikan aku sekilas.

“Temanku. Axel. “

Laki-laki itu kembali memandangku tidak percaya. Tapi kali ini dengan mata berbinar.

“Anda punya teman? Wah bagus sekali.” Ia menoleh ke Noah,

“Bagaimana kalau teman anda kita ajak makan siang sekalian? “

Noah memandangku sebentar. Belum sempat aku memberikan tanggapan dia sudah menganggukkan kepalanya.

“Ayo, Axe.” Kata Noah lalu berbalik pergi. Bimbang sesaat aku lalu menyusulnya. Di belakangku lelaki tadi mengikuti kami tanpa berkata apa-apa.

Kami berjalan mengikuti sebuah setapak di balik semak tempat lelaki td pertama muncul.

Sepanjang jalan kami hanya diam. Walaupun aku ingin bertanya beberapa hal, mengingat kami tidak hanya berdua, aku mengurungkan niatku. Aku hanya bisa bertanya dalam hati ke arah mana jalan ini dan dimanakah letak rumah Noah.

Tidak butuh waktu terlalu lama saat kami akhirnya tiba. Noah tiba-tiba menghilang dibalik segerombolan pohon. Saat aku mempercepat langkahku menyusulnya dan ikut berbelok di tempat yang sama, sebuah rumah besar berdinding bata merah dengan halaman indah menjulang di hadapanku. Aku berhenti di tempat dengan rasa terkejut.

Noah yang sepertinya menyadari aku tidak lagi mengikutinya berbalik dan menatapku dengan pandangan bertanya.

“Ayo.”

Aku mengangguk dan mengejarnya walau masih dengan ragu-ragu.

Rumah ini adalah sebuah rumah tua namun sangat terawat, luas dan indah dengan dihiasi jendela-jendela besar di hampir semua sisinya. Aku menatap berkeliling melihat berbagai hiasan yang menurut ku adalah barang tua tapi pasti kalau nenek melihat ini semua akan berkata kalau ini adalah barang antik. Untuk sesaat aku merasa seperti sedang memasuki sebuah kastil atau istana kecil.

“Kami mau makan di luar. “ Kata Noah tanpa menoleh dan terus berjalan lurus ke arah belakang rumah. Aku mengangguk ke arah lelaki itu lalu setengah berlari mengikuti Noah.

 

Aku sampai di teras belakang rumah Noah. Di belakang teras terdapat sebuah kebun yang cukup luas dengan sebuah meja piknik dari kayu berada di tengah-tengahnya. Di samping kiri dan kanan kebun dihiasi pepohonan kecil dan bebungaan. Ujung kebun ditutup dengan pagar putih yang tertutup semak mawar yang bunganya sedang bermekaran.

Tapi yang membuatku ternganga adalah dibalik pagar yang setinggi bahuku, aku bisa melihat Danau Emrys yang berkilau ditimpa cahaya matahari siang.

“Axel. “

Aku menoleh ke arah datangnya suara, Noah sedang duduk di salah satu kursi yang ada di teras yang menghadap ke arah kebun dan Danau Emrys. Aku segera mendekatinya.

“Ini rumahmu?”

Axel mengangguk.

“jadi tanah disekitar sini milikmu?”

Axel mengangguk lagi.

Aku duduk sambil menghela nafas. Pantas saja dia tidak bermasalah saat harus melewati tanah milik pribadi. Ternyata memang tanah yang dilewati miliknya sendiri.

Aku memandang sekitarku. Cerobong asap berwarna merah dengan ujung berwarna coklat membuatku mengenali rumah ini. Ini adalah rumah yang biasanya kulihat dari loteng rumah nenek.

Seorang wanita bertubuh kecil datang sambil membawa satu teko jus jeruk yang terdapat irisan tipis jeruk dan daun mint di dalamnya. Titik-titik air yang menempel di luar teko kaca membuat jus terlihat lebih segar dan mau tak mau membuatku menelan ludah. Aku baru sadar bahwa aku sangat haus.

Setelah menuangkan jus ke gelas kami, wanita itu pergi. Kuulurkan tanganku dan aku baru sadar kalau aku masih menggenggam kalung Noah.

“Kalungmu.”

“Bawa saja dulu.” Kata Noah lirih.

“Tapi aku tidak punya kantong.”

“Pakai saja. “

Aku menurut apa katanya. Kupakai kalung itu di leherku dan kusembunyikan dibalik kaos yang aku pakai.

Aku melihat tanganku yang terasa sedikit sakit dan panas. Karena tadi aku sempat menggenggam kalung itu kuat-kuat, bentuknya liontinnya yang seperti matahari membekas di telapak tanganku. Kugosok-gosok tanganku dengan harapan aku bisa merasa lebih baik.

Setelah semua makanan terhidang di meja kami mulai makan.

*  *  *

Sepanjang siang aku menghabiskan waktuku di rumah Noah, baru saat menjelang sore aku pulang. Setengah berlari aku memasuki kebun depan rumah nenek, takut kalau ibu menegurku karena pulang terlalu sore. Dari kejauhan terlihat nenek yang duduk di kursi teras. Kunaiki tangga teras yang rendah dengan satu kali lompat.

“Nenek. “ sapaku riang.

Tapi tidak ada jawaban. Kudekati nenek yang memejamkan matanya dan kusentuh tangannya.

“Nek, Nenek. “

“Ah, ada Axel. Aku pura-pura tidur saja. “

Aku tertawa.

“Nenek kalau pura-pura tidur jangan mengatakannya padaku. Aku jadi tahu, kan. “

Mata nenek tiba-tiba terbuka. Ia menatapku terkejut.

“Kamu mendengar kata-kata nenek? “ tanya nenek kepadaku.

Aku mengangguk. “Tentu saja. Nenek bicaranya keras. “

Nenek menatapku lagi lalu menundukkan kepalanya.

“Apa kamu masih mendengar suara nenek? “

Aku mengerutkan alisku dan memandang nenek dengan kesal.

“Tentu saja masih, nek. Kan nenek tidak diam.”

Nenek mengangkat kepalanya lalu memandangku dari atas ke bawah.

“Haze!”

Tiba-tiba Nenek memanggil Ibu. Aku panik karena takut ditegur ibu lagi karena pulang terlalu sore dan buru-buru melepas tangan nenek hendak kabur. Tapi Nenek memegang lenganku dan berdiri dari kursinya.

“ikut Nenek.” Nenek setengah menyeretku memasuki rumah.

“Haze. “ panggil Nenek lebih keras. Ibu buru-buru turun dari lantai atas.

“Ada apa, Bu?” Matanya bergantian melihatku dan nenek.

Untuk sesaat Nenek terdiam. Aku berdiri di tempatku dengan gelisah sementara ibu memandang kami penasaran.

“Dia bisa mendengar lagi. “

Mata ibu melebar mendengar kata-kata Nenek. Aku menundukkan kepalaku. Meskipun aku tidak paham apa maksud kata-kata Nenek tapi reaksi Ibu mau tidak mau membuatku gelisah.

Ibu orang yang biasanya tidak terlalu banyak bicara. Saat dimana ibu mengeluarkan kalimat panjang dengan ekspresi terusik, seperti saat menegurku atau saat seperti ini, selalu membuatku gelisah dan khawatir.

Ada masalah apa dengan pendengaranku yang membuat Ibu dan Nenek terlihat begitu terkejut? Bukankah selama ini pendengaranku baik-baik saja. Kenapa kali ini Ibu dan Nenek begitu mempermasalahkannya.

*  *  *

Kami makan dengan tenang. Setelah makan malam selesai aku dan Ashlyn adik perempuanku biasanya naik ke kamar kami di atas atau menonton televisi. Tapi kali ini aku tidak ke kamar atau ke ruang tengah. Aku duduk di tangga memperhatikan kesibukan di ruang makan.

Ayah berbicara sebentar dengan nenek di ruang makan lalu duduk di ruang tengah. Kuperhatikan ayah yang tampak biasa, tidak seperti Ibu dan nenek yang sedikit gelisah.

Ayah memang orang yang selalu tenang. Dibalik badannya yang tinggi besar dan kesannya menakutkan, ayah adalah orang yang sangat humoris dan ramah. Seperti Nenek. Dan sama seperti nenek, ayah juga memiliki kulit agak gelap. Karena nenek memiliki keturunan suku asli daerah ini.

Dengan badan yang tinggi besar, ia selalu membuat aku merasa aman dan terlindungi. Adik perempuanku yang dua tahun lebih muda dariku, Ashlyn, lebih suka memanggilnya papa beruang.

Ibuku adalah orang yang agak penyendiri dan tidak terlalu banyak bicara. Ia orang yang sangat berhati-hati dalam bersikap dan berbicara dan sedikit pencemas. Tapi ia sebenarnya adalah ibu yang asyik.

Ibu tidak banyak aturan, ibu tidak cerewet. Yah, kadang-kadang sih. Tapi kecerewetan ibu tidak seperti ibu teman-temanku yang mengomel panjang lebar dan lama.

Ibu hanya akan mengatakan beberapa kalimat yang pasti sangat mengesalkan tapi mau tidak mau kami pasti menurutinya. Tapi hal itu sangat jarang terjadi karena ibu tidak banyak menuntut kami. Kami bebas melakukan apapun yang kami mau. Ibu sangat mempercayai kami.

Sedangkan Nenek, mungkin Nenek adalah nenek yang sangat gaul. Nenek tau hal-hal terbaru yang sedang tren.

Kadang-kadang Nenek ikut membaca komikku. Dia juga mengikuti pertandingan olahraga di televisi. Tapi seperti orang tua yang lain, nenek juga suka hal-hal yang memang disukai orang tua. Seperti barang antik. Di rumah nenek ada banyak sekali barang antik.

Oh ya, kata Nenek, keluarga Nenek adalah keturunan Shaman. Jadi Nenek bisa mengetahui hal-hal yang tidak diketahui orang lain. Aku sih tidak terlalu percaya. Tapi yang pasti, kami tidak pernah bisa berbohong ke nenek. Ia selalu tahu kapan kami berkata jujur atau tidak.

Aku mendengar suara langkah kaki dari tangga atasku. Lalu Ashlyn, adikku yang berambut hitam panjang duduk di sampingku.

“Kenapa kamu duduk disini?”

Tanyanya setengah berbisik. Entah kenapa dia berbisik. Mungkin dia merasakan ada yang tidak beres dengan kami. Karena tidak biasanya aku duduk diam di tangga seperti ini.

Aku mengangkat bahuku sebagai jawaban pertanyaannya. Aku sendiri bingung harus menjawab apa.A shlyn ikut memperhatikan dalam diam disampingku.

Tidak seperti adik perempuan teman-temanku yang kata mereka cerewet, mengganggu dan selalu ingin tahu urusan mereka, Ashlyn adalah adik perempuan yang tenang dan sangat tidak merepotkan. Ia seperti Ibu. Cantik dan pendiam. Saking tenang dan tidak merepotkannya dia, kadang aku lupa kalau aku punya adik perempuan.

“Axel. “

Akhirnya suara ayah terdengar.

“Ya? “ jawabku segera.

Aku tidak mungkin tidak segera menjawab karena ayah tahu kalau aku sepanjang waktu duduk disini memperhatikan mereka.

“Kemarilah. “

Aku berpandangan dengan Ashlyn. Saat ayah memanggil kami dengan cara seperti itu, biasanya ada hal besar yang akan terjadi.

“Ya.”

Aku buru-buru turun.

“Turunlah juga, Ash.”

Kata ayah lagi. Aku menoleh ke Ashlyn yang menatapku dengan pandangan bertanya.

Kami berlima duduk di ruang keluarga. Ayah duduk berdampingan dengan ibu. Sedang nenek duduk di kursi besar favoritnya.

“Coba pegang tangan Ayah. “

Ayah mengulurkan tangannya tiba-tiba. Ini bukan kata-kata yang aku kira akan keluar dari mulut ayah.

“Ayo. “

Aku ragu ragu tapi akhirnya melakukan apa yang disuruh Ayah.

“Apa kamu mendengar suara Ayah? “

Aku mengangguk mekipun bingung.

“Tutup matamu. “

aku melakukan apa yang dikatakan ayah.

Aku mendengar dengung samar.

“Apa kamu masih bisa mendengar suara Ayah?”

Aku mengangguk. “Ya. “

“Seberapa jelas kamu mendengar suara ayah? “

“Jelas sekali. “

“Tunggu sebentar. Jangan buka matamu.”

Aku menuruti perkataan Ayah. Ia melepas tanganku. Lalu tak lama kemudian aku merasakan Ayah memegang tanganku lagi dan memindahkan tanganku ke tangan yang lebih kecil. Tangan Ashlyn. Tak lama dia berbicara padaku.

“Semoga nanti Axel tidak marah kalau tahu aku tidak sengaja menumpahkan air minum ke komiknya yang disimpan Ibu“

Aku terkejut dan langsung membuka mata dan menatap Ashlyn,

“Apa komikku rusak? “

Ashlyn balik menatapku dengan mata terbelalak dan buru-buru ingin melepas tanganku. Tapi aku tidak ingin meloloskannya begitu saja setelah ia berkata kalau dia telah menumpahkan air minum ke komikku yang baru.

“Jangan kabur setelah bilang kalau kamu telah merusak komikku.”

“Tapi aku tadi tidak bilang apa-apa. “

“Tapi kamu tadi bilang kamu menumpahkan air ke komikku. “

“Tapi aku tidak bicara apa-apa. Tadi ayah hanya menyuruhku untuk,”

Ashlyn menutup mulutnya dengan satu tangan dengan ekspresi terkejut

“Memikirkan apa saja saat memegang tanganmu. “

“Memangnya tadi apa yang kamu pikirkan? “

Aku masih tidak memahaminya walaupun aku agak terkejut Ashlyn bisa bicara walaupun bibirnya tertutup. Keren sekali. Dia pasti sedang belajar ventriloquist untuk pentas akhir tahun.

“aku memikirkan komikmu. “

“Nah, kamu bicara soal komikku. “

Ashlyn menatapku sedikit kesal dan menyingkirkan tangannya dari mulutnya. Dia menutup mulutmya rapat-rapat.

“Harus berapa kali sih aku bilang padanya kalau aku tadi tidak bicara apa-apa! Aku tadi cuma memikirkannya.”

Suaranya menggema dengan jelas dalam kepalaku meskipun Ashlyn tidak mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya.

Dengan terkejut kusentakkan tangan Ashlyn lalu kupandang kedua orang tua dan Nenekku dengan bingung.

“Apakah kamu masih bisa mendengar suara Ashlyn sekarang? “Tanya Ayah.

Aku menatap Ashlyn sesaat lalu menggeleng.

Sekarang Ibu yang memegang tanganku.

“Kalau sekarang, apa kamu mendengar suara Ibu?”

Aku masih dapat mendengar suara Ibu walau Ibu menutup bibirnya rapat-rapat.

“Ya.” Jawabku.

Ibu melepaskan tanganku. Dia memandangku seakan sedang berbicara denganku. Lalu dia bertanya

“Sekarang tidak? “

Aku mengangguk. Ibu kembali meraih tanganku.

“Jadi Kamu bisa mendengarkan pikiran ibu dengan jelas hanya jika memegang tangan Ibu, Axel? “

Aku tersentak dan memandang sekelilingku. Suara ibu terdengar jelas di kepalaku. Bukan di telingaku.

“Tadi ayah dan Ashlyn juga melakukan hal yang sama seperti Ibu? “

Ayah mengangguk. Nenek tersenyum.

“Jadi?”

Perasaanku bercampur antara terkejut, senang dan khawatir.

“Ya, kamu bisa mendengarkan pikiran kami, Axel. “ kata ibu singkat.

Suaranya menggaung di kepala dan di telingaku.

Aku menatap Ashlyn yang balik menatapku dengan mata membelalak kagum.

*   *  *

Aku baru saja merapatkan selimutku sampai ke dagu ketika terdengar ketukan di pintu kamar. Kemudian menyusul suara Nenek.

“Boleh nenek masuk?”

Aku bangkit dari tidurku dan menyalakan lampu di samping tempat tidur.

“Masuklah, Nek. “

Nenek masuk dengan senyum di bibir. Ia lalu duduk di pinggir tempat tidurku.

“Hari ini kamu menemukan kemampuan yang keren, ya?”

Mau tidak mau aku tertawa mendengar cara nenek bicara.

“Bagaimana perasaanmu, Axel? “

Aku diam sebentar lalu menatap nenek,

“Aku tidak tahu. “ jawabku terus terang.

Nenek mengangguk.

“Itu wajar. Ini hari pertamamu mengalaminya. Kamu masih belum tahu apa dan bagaimana kemampuan ini akan mempengaruhimu kedepannya.”

Nenek memegang punggung tanganku lalu terdiam sesaat.

“Apakah kamu tidak bisa mendengar pikiran nenek jika nenek memegangmu seperti ini? “

Aku terdiam sebentar mendengarkan. Aku tidak mendengar apapun.

“Tidak. “

Kali ini nenek membalik tanganku dan menggenggam telapak tanganku.

“Apa sekarang terdengar?”

Aku langsung mengangguk. Suara nenek terdengar lebih jelas. Karena tidak hanya telingaku yang mendengar, tapi juga benakku. Nenek melepaskan genggamannya.

“Sekarang kamu tahu bukan bagaimana kamu bisa mendengar pikiran seseorang?”

Aku memikirkan kembali saat dimana aku bisa mendengar suara Nenek dan tidak.  Aku mengangguk.

“Karena kamu mengetahui saat kamu bisa mendengar dan tidak, berarti kamu bisa berusaha untuk mengontrol kemampuanmu dan menggunakannya hanya disaat yang tepat. Ini adalah pemberian Tuhan. Dan kamu harus menyikapinya dengan bijak. “

Nenek menatap mataku.

“Semakin besar pemberian Tuhan, semakin besar pula tanggung jawab kita.”

Nenek berhenti. Matanya menatapku lekat-lekat. Ia memberiku waktu agar kata-katanya dapat kuserap.

“Kita tidak tahu sampai seperti apakah kemampuanmu nantinya. Tapi Nenek hanya berharap, kemampuan ini tidak akan terlalu mempengaruhimu dan akan membantumu menjadi lebih baik. Kamu mengerti? “

Aku mengangguk.

“Sekarang tidurlah. “

Nenek menepuk kepalaku. Aku membetulkan posisi tubuhku dan bersiap berbaring ketika sebuah pikiran terlintas dalam pikiranku.

“Kenapa aku bisa memiliki kemampuan seperti ini, Nek? “ aku bertanya padanya. Nenek memandangku dengan mata bersinar.

“Bukankah nenek sudah sering bercerita, keluarga kita adalah keluarga yang istimewa? “

Aku tersenyum. Kali ini aku benar-benar mempercayainya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status