“Kemarilah.”
Putri Kaya melambai dan mempersilahkan kami masuk ke perpustakaan tempat ia sedang menghabiskan waktu sore harinya dengan membaca. Kami mengangguk lalu masuk. Begitu berada di dalam ruangan, jiwa pustakawanku seakan terpanggil membuat aku tanpa sadar menoleh kesana kemari memperhatikan setiap sudut ruangan. Bagaimana rak dan lemari diletakkan dan bagaimana setiap buku dengan sampulnya yang berwarna-warni disusun pada tempatnya.
“Kau suka membaca?”
Pertanyaan Putri Kaya mengembalikanku dari kesibukanku mengagumi perpustakaan ini. Dengan salah tingkah aku menggeleng.
“Tidak juga, Putri.”
Meskipun aku suka membaca, aku tidak mungkin mengatakannya karena huruf-huruf yang sepintas lalu kulihat tertulis di buku adalah huruf dan kata-kata asing. Akan lucu rasanya kalau aku mengatakan aku suka membaca tapi saat aku harus membaca aku tidak tahu apa yang aku baca.
Bisa berbicara dengan peri di dunia ini saja aku masih merasa heran k
Kami baru saja melewati Celah Sunji saat perutku berbunyi. Aku meringis membalas tatapan Ashlyn. “Sepertinya kita memang harus berhenti. Aku lapar sekali.” “Kita makan setelah sampai di kaki bukit saja. Anginnya terlalu kencang di sini.” Kata Firroke yang duduk sambil berpegangan erat di pelana Misu. “Ya.” Ashlyn mengangguk setuju. Wajahnya tampak sedikit kesal karena rambutnya tidak bisa ia kendalikan. Angin terus menerus meniup tudung mantelnya sampai terbuka. “Aku ingin makan makanan apa adanya, tanpa tambahan topping pasir atau tanah.” Aku tertawa. “Sepertinya angin hari ini lebih kencang dibandingkan saat kita pertama datang, ya.” “Um.” Firroke mengangguk sambil menggumam. Wajahnya tampak serius menghadap ke depan. “Apa kamu perlu ku ikat di pelana agar tidak terbawa angin, Firroke?” Firroke melontarkan pandangan kesal padaku dengan mata besarnya. Aku terkekeh. Entah kenapa menggoda Firroke selalu membuatku senang.
Aku menggeliat saat panas matahari menyengat wajahku. Dengan enggan kubuka mataku dan aku disambut Ashlyn yang sedang berdiri sambil merapikan pakaiannya. “Mau kemana?” Tanyaku dengan malas. “Cuci muka.“ Kata Ashlyn. Aku mengangguk lalu menggeliat sambil merapatkan selimut berniat meneruskan tidur. Ashlyn memakai mantelnya saat sesuatu jatuh tepat di samping wajahku. Sebuah belati stiletto berwarna perak gelap dengan sarung yang dihiasi batu mulia berwarna biru dan ungu. “Hei, hati-hati.” Protesku sambil duduk. Kantukku mendadak hilang dan mataku langsung terbuka lebar karena kejadian yang hampir merenggut ketampanan wajahku tadi. Aku meraih stiletto itu dan menyerahkannya pada Ashlyn. Ashlyn meringis sambil menerima stilettonya lalu menyelipkannya di pinggang. “Maaf.” “Kamu melakukannya dengan sengaja.” “Tidak.” Ashlyn tertawa. “Tapi karena kamu sudah bangun, sekalian saja siapkan sarapan kita. Oke? “ Aku mendengus.
Dihadapan kami berdiri sesosok peri memakai baju berwarna perunggu sambil menenteng busur di tangan kiri dan menyandang tabung berisi anak panah di punggungnya. Di atas baju yang ia pakai itu ia mengenakan mantel berwarna hitam dengan tudung menutupi seluruh kepalanya. Namun yang membuat kami terkejut adalah, yang tadinya kami pikir wajah yang dingin tanpa ekspresi, ternyata sebenarnya adalah topeng yang senada dengan baju perunggu yang ia pakai.“Bagaimana keadaan kalian?” tanya peri itu lagi dengan nada lebih lembut sepertinya menyadari bahwa kami masih dalam keadaan terguncang. Aku dan Ashlyn saling pandang lalu tersenyum lega. Sadar bahwa peri asing ini tidak berniat buruk.“Kami sakit semua.” Kata Ashlyn dengan senyum lemah.Peri itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya memapah Ashlyn. Peri yang satu lagi mendekat lalu mengulurkan tangan berniat membantuku berjalan. Dengan ragu-ragu aku menerima bantuannya karena tubuhnya yang seaka
“Sudah berapa lama kalian berada di sini?” Pertanyaan Flaresh yang tiba-tiba saat kami makan malam membuatku hampir tersedak. Ini adalah hari kedua kami melakukan perjalanan bersama Flaresh dan Lynx. Biasanya ia tidak akan bicara bila tidak ditanya. Apalagi Lynx. Tapi hari ini tiba-tiba ia menanyakan hal tidak terduga. Meskipun aku tahu maksud sebenarnya dari pertanyaannya, tapi aku tidak mau gegabah. “Bukankah kita sama?” “Kalian tahu yang aku maksud.” Flaresh menatap kami. Bahkan dari balik topengnya aku bisa merasakan pandangan matanya yang menusuk. “Apa maksudmu?” “Sudah berapa lama kalian di dunia ini? “ “Apa? Dunia apa?” Arah pembicaraan ini seperti yang aku khawatirkan. Flaresh menghela nafas tidak sabar. “Untuk ukuran manusia, kau pembohong yang buruk Axel.” Aku melongo mendengar perkataan Flaresh. Hanya dalam waktu dua hari ia bisa mengungkapkan fakta bahwa aku adalah manusia dan terlebi
“Kapan kita sampai?” Ashlyn bertanya saat kami semua sedang menikmati sarapan. Flaresh memicingkan mata ke hamparan padang rumput di hadapan kami. “Sebelum siang kita akan sampai di perbatasan Anila.” “Syukurlah.” Aku mendesah lega. Perjalanan kami kali ini memakan waktu yang sangat lama karena letak Anala yang cukup jauh. Tapi aku bersyukur tidak ada halangan berarti yang menimpa kami selain kejadian Darkash terakhir kali. Luka dan lebam di tubuh kami hampir sembuh seluruhnya. Dan Firroke juga hampir pulih meski masih tidak bisa menggunakan sayapnya. “Apa kita akan melewati stepa ini?” Tanya Ashlyn lagi. “Ya.” Jawab Flaresh pendek. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru stepa di hadapan kami. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan rumput tanpa ada pepohonan yang bisa digunakan untuk tempat berteduh. Pasti akan panas sekali siang nanti. Aku menoleh ke belakang kami, ke sabana yang menjadi temp
Rasa kesal dan lelah yang kurasakan mau tidak mau menghilang. Pemandangan indah di hadapan kami membuatku merasa lebih santai. Angin sepoi yang hampir tak pernah berhenti berhembus berhasil menyegarkan baik tubuh dan pikiranku.“Apa kita nanti melewati danau itu?” Tanya Firroke.“Apa kau ingin lewat sana?” Flaresh balik bertanya. “Sepertinya akan menyenangkan.”Flaresh mengangguk.
“Lynx.” Lynx yang mendengar panggilan Flaresh segera berdiri menyambutnya. Tampak di belakangnya dua orang peri muda yang sedang duduk di sekeliling api unggun. Aku dan Ashlyn mendekatinya. “Kalian tidak apa-apa?” Tanyaku. Sepasang anak muda itu menatapku dengan tatapan waspada. Mereka jauh dari kesan lemah meski sebelumnya Flaresh berkata mereka terluka. Mereka hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaanku. “Apa yang terjadi?” Tanya Flaresh. “Kami tidak tahu. Kami tiba-tiba saja diserang saat kami baru saja beristirahat.” Jawab peri muda itu. Ia peri laki-laki dengan rambut ikal sebahu berwarna madu. Kulitnya terlihat putih bahkan dalam kegelapan. Flaresh menatapnya agak lama seakan meragukan perkataannya lalu berjalan pergi diikuti Lynx. “Kalian sudah makan?” Tanya Ashlyn yang mulai mengeluarkan barang-barang kami. Lagi-lagi kedua peri muda itu menggeleng. Ashlyn tanpa berkata-kata menyiapkan makanan dan memberikannya pada merek
Seperti yang dikatakan oleh Flaresh sebelumnya, meskipun kami menemukan banyak tumbuhan di sepanjang jalan Gunung Yamora, tanaman-tanaman itu tidak bisa dikonsumsi. Setidaknya untuk kami. Karena menurut Firroke sebenarnya tanaman-tanaman itu masih bisa dikonsumsi oleh Daunas tertentu. Sedangkan sumber air sama sekali tidak kami temui. Entah bagaimana tanaman di gunung ini bisa hidup tanpa adanya sumber air. Semakin tinggi perjalanan kami, udara yang kami hirup semakin tipis. Hijaunya tanaman pun semakin berkurang dan digantikan lapisan kristal putih seperti salju yang terasa sejuk saat disentuh. Dan pemandangan di sekeliling kami yang tadinya pemandangan lembah Anila berubah menjadi hamparan awan yang bergumpal bagai kapas. “Sebentar lagi kita sampai di distrik Kumo.” Kata Esen membuyarkan kesibukanku mengagumi pemandangan di hadapanku. Aku hanya mengangguk. Toh aku tidak tahu distrik Kumo itu apa. Kami berjalan selama beberapa menit saat akhirnya sampai di p