Share

Bab 5

“Wah, deras sekali.” Gumamku.

Belum separuh jalan aku menuju perpustakaan dan Noah menuju tempat ia memarkir mobilnya saat hujan tiba-tiba turun dengan deras dan memaksa kami harus berteduh di teras sebuah toko. Kukibaskan rambutku dan kutepuk-tepuk bajuku yang basah. Noah disampingku melakukan hal yang sama dengan wajah masam. Kami lumayan basah walau hanya kehujanan sebentar. 

“Sepertinya langit punya dendam dengan kita. Setelah beberapa hari tidak hujan, air hujannya seperti ditumpahkan semuanya siang ini. “

Aku mengangguk setuju. Setelah beberapa hari terakhir kami dibuat terlena dengan sinar matahari yang memancar cerah dan hangat, hari ini langit sepertinya memang sedang melakukan aksi balas dendam. Kupandangi jalanan di depanku yang terlihat seperti lukisan surealis karena hampir tidak nampak bentuknya tertutup air hujan yang turun dengan deras.

“Meskipun pakai payung, kita tetap akan basah kuyup dengan hujan yang seperti ini. “

Noah mendecakkan lidah. “Dibayar sejutapun aku tidak akan mau memakai payung saat hujan. “

“Uang sejumlah itu memang tidak penting buatmu. “ Sergahku. “Semoga saja ini tidak lama. “

Sayangnya harapanku sia-sia. Bukannya mereda, hujan justru ditambah dengan angin kencang. Kami yang awalnya sedikit terlindung dari terpaan hujan pada akhirnya sedikit demi sedikit basah. Aku bisa merasakan air merembes ke dalam sneakers yang kupakai.

“Apa tidak ada toko pakaian di sekitar sini?” Tanya Noah. Aku menatapnya tidak mengerti. “Aku butuh ganti pakaian.”

Kuperhatikan celananya yang tampak berbeda warna karena bagian lutut ke bawah basah. Sama sepertiku. Kemejanya juga basah dari bahu sampai dibagian dada atas.

“Setahuku tidak ada.”

“Sial. “ maki Noah pelan.

Kuperhatikan lagi dia. Noah yang biasanya tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi pada diri atau lingkungan sekitarnya tampak gelisah dan berdiri tidak tenang.

“Ada apa denganmu? “ tanyaku masih heran.

Aku tahu ia tidak suka basah, tapi menurutku reaksinya cukup berlebihan. Toh dia tidak sebasah itu. Yah, setidaknya dia tidak basah kuyup.

“Sudah kubilang, aku tidak suka basah. “ sergah Noah kesal.

Tapi aku menangkap ada sedikit kekhawatiran dalam suaranya. Wajahnya tampak sedikit memerah.

“Kenapa bukan waktu di café tadi sih hujannya.”

Noah mengintip ke dalam toko tempat kami berteduh.

“Ini toko apa? Kita masuk saja sambil membeli sesuatu. “

Aku ikut mengintip ke dalam toko melalui jendela etalase yang sedikit berembun. Ternyata sebuah toko elektronik. Aku langsung ingat bahwa seminggu yang lalu memang ada toko elektronik yang baru buka di antara deretan café dan rumah makan di Jalan Maple ini. Tidak terlihat aktifitas di dalamnya.

“Sepertinya tutup. “aku menyuarakan pendapatku. Noah mengerang.

“Apa kita ke café sebelah? Jaraknya tidak terlalu jauh. Kita cuma akan kehujanan sebentar. “

Noah memandangku seperti meragukan kewarasanku.

“Disini atau pindah ke sebelah, kita sama-sama basah. Lebih baik kita basah lalu dapat kehangatan daripada disini tanpa melakukan apa-apa dan kedinginan. “

Aku tahu Noah sebetulnya menyetujui argumenku. Tapi kali ini pikiran Noah sepertinya benar-benar sedang tidak jernih. Dan ini adalah hal yang baru buatku. Karena baru detik ini aku tahu ketidak sukaan Noah pada hujan dan terutama pada basah sampai seekstrim ini.

“Ayo.”

Tanpa menunggu jawaban Noah aku lari ke café sebelah yang jaraknya sekitar empat meter. Air hujan langsung menerpa wajahku tanpa ampun. Aku sampai di teras café dengan sedikit terpeleset. Untung aku sempat berpegangan di salah satu meja dan membuatnya terseret mengikutiku.

Kemudian Noah sampai di sampingku dengan mulus tanpa satu insiden pun. Dia seperti berselancar di atas lantai yang licin. Tanpa berkata-kata dia langsung masuk café dan duduk di salah satu kursi yang berada jauh dari jendela.

“Aku yang memberi ide kenapa aku yang ditinggal? “

Aku duduk di hadapannya sambil protes. Noah hanya melambaikan tangannya tidak perduli. Seorang pramusaji datang meletakkan menu di meja kami. Noah melirik sekilas.

“Coklat panas. Dua.”

“Hei, aku tidak pesan coklat panas. “

“Aku tidak memesankamu.”

Mulutku menganga. Noah hari ini benar-benar penuh kejutan. Dia tidak biasanya minum minuman panas sedingin apapun cuacanya. Hari ini dia sampai memesan coklat panas dua cangkir, itu diluar dugaan. Hujan dan basah pasti benar-benar sudah membuat akal sehatnya terganggu.

“Kamu pesan apa?”

“Aku pesan lemon tea saja. Dengan cookies. “

“Ah, ya. Dua cookies dan cinnamon roll.“

“Kamu sehat?”

Kali ini aku benar-benar meragukan kewarasannya. Dia tidak terlalu suka cookies dan makanan manis. Dan sekarang dia memesan keduanya?

“Apa sel otakmu ada yang meleleh atau tercecer karena hujan? “

Bukannya menjawabku, Noah sibuk mengosongkan kotak tissue dan menggunakan isinya untuk mengeringkan rambut dan kepalanya. Aku memperhatikannya.

Dan saat itu baru kusadari bahwa wajah Noah lebih merah dari saat terakhir tadi kami berteduh di depan toko.

“Hei, kamu tidak apa-apa? “ Noah hanya menggumam sebagai jawabannya.

“Mukamu merah sekali.”

“Aku lupa hari ini blush on-ku terlalu banyak. “

“Yang benar saja. “

Kupegang lengannya.

“Kamu kok hangat. “

“Ya karena aku belum mati. “

Kupindahkan tanganku ke dahinya.

what the.. “seruku terkejut sambil menarik tanganku. Dahi Noah panas sekali.

“Kamu demam. “

I know. “ Jawab Noah pendek.

“Apa perlu kucarikan obat?”

Kali ini aku benar-benar khawatir.

Aku tidak pernah melihat Noah sakit. Dia juga tidak pernah mengeluh apapun di depanku. Dia adalah orang yang selalu sehat. Sekarang, untuk pertama kalinya aku melihat dia sakit. Hanya demam sih. Tapi sudah cukup membuatku panik. Sepertinya sifat ini kudapat dari Ibu.

Noah menggeleng.

“Aku hanya perlu pakaian kering, selimut hangat dan istirahat. “

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status