Aku mengerang. Telepon genggamku berbunyi nyaring. Padahal aku baru saja bisa tidur. Kenapa telepon genggam yang biasanya hanya mode getar malam ini memilih untuk berubah jadi mode dering?
Kuraba di bawah bantal tanpa hasil. Aku mengerang lagi. Akhirnya menyerah dan bangkit. Kunyalakan lampu di meja lalu melongok ke bawah tempat tidur. Telepon gengamku tergeletak di bawah tempat tidur. Bunyinya terdengar lebih nyaring di tengah kegelapan malam dengan layar yang berkedip-kedip terang. Setengah tiarap aku meraih sumber bunyi yang berhasil menggagalkan tidurku. Aku berkedip cepat melihat nama penelpon di layar. Segera kutekan tombol terima.
“Ya Nek? “ tidak ada sahutan.
Tapi aku bisa mendengar bunyi beberapa orang yang sedang bercakap-cakap di seberang sana. aku mengerutkan kening.
“Halo, Nek? Nenek dimana? Ada apa?“
“Halo, Tuan Axel. “ Suara lelaki menjawab pertanyaanku. Aku mengerutkan kening lagi. Terkejut.
“Simon? “
Aku mengenali suara pelayan Noah di seberang sana. Beberapa pikiran buruk mulai berkelebat di benakku.
“Kenapa kamu yang menjawab telepon nenek? Mana Nenek? Apa dia tidak apa-apa?“
“Nenek anda tidak apa-apa. Tapi anda harus segera kemari. Tuan Noah akan menjemput anda dan Nona Ashlyn sebentar lagi. “
Belum sempat aku bicara lebih lanjut Simon sudah memutus sambungan. Kantuk yang tadi seakan tidak bisa ditahan langsung hilang seketika.
Telepon genggamku berbunyi lagi. Kali ini Noah.
“Lima belas menit lagi aku sampai. Bersiap-siaplah. “
Ia bicara bahkan saat aku belum mengatakan apapun dan langsung menutup teleponnya. Meski sedikit bingung, aku bergegas ke kamar Ashlyn yang tepat berada di samping kamarku dan langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Ashlyn tidak pernah mengunci pintu kamarnya. Seperti biasa, kamarnya terang benderang.
“Ash, bangun.” Kusentuh bahu Ashlyn yang berbaring menghadap tembok. Ia menggeliat dan berbalik menghadapku. Matanya terbuka lebar. Sepertinya ia bahkan belum tidur sama sekali.
“Ada apa?”
“Kita harus ke rumah Nenek. Bersiap-siaplah. Sebentar lagi Noah menjemput kita.” Ashlyn langsung bangkit.
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu. Tapi sebaiknya kita segera kesana. “
Ashlyn segera berdiri. Sementara Ashlyn bersiap aku kembali ke kamar untuk berganti pakaian.
Tidak sampai lima menit kami menunggu di ruang tamu saat terdengar klakson mobil yang berbunyi pendek di depan rumah. Aku mengintip melalui jendela. Mobil Noah. Kami bergegas keluar.
“Ada apa? “ tanyaku begitu kututup pintu mobil dan kupakai sabuk pengamanku. Noah tidak menjawab. Dia langsung memacu mobil dengan cepat.
“Apa terjadi sesuatu dengan Nenek?” tanya Ashlyn. Wajahnya diselimuti kekhawatiran.
“Kenapa Simon bisa bersama Nenek?” aku bertanya lagi.
“Kita akan tahu semua kalau kita sampai.”
Saat tiba di interstate yang berada di pinggir kota, Noah mengambil belokan ke kanan.
“Bukannya rumah Nenek belok ke kiri? Kenapa kamu belok ke kanan? “
Noah diam saja. Dia fokus menyetir tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Mungkin kami berkendara selama lima menit dari pertigaan interstate saat kami melihat dua mobil polisi dan sebuah ambulance diparkir di bahu jalan bersama beberapa mobil lain. Firasatku semakin tidak enak. Dan saat Noah berbelok dan menghentikan mobil di dekat mobil-mobil yang terparkir itu, perutku rasanya seperti diaduk.
“Axe. “
Ashlyn bergumam lirih. Aku mengangguk ingin meyakinkan dia bahwa semua baik-baik saja tapi aku yakin aku gagal total.
“Ayo. “ ucap Noah dan langsung keluar mobil. Tampak dari kejauhan Simon mendekati kami.
“Mana Nenek?” tanyaku tanpa b**a-basi. “Apa yang terjadi? “
“Nenek anda sedang istirahat di mobil. Mari. “
Kami mengikuti Simon yang berjalan mendahului kami dengan cepat. Di mobil Simon kulihat Nenek sedang duduk bersandar dengan mata terpejam di kursi samping pengemudi.
“Nenek. “ panggil Ashlyn yang segera berlari mendekati Nenek. Nenek membuka mata dan menatap kami.
“Apa yang terjadi? Nenek tidak apa-apa? “
Nenek mengangguk lemah.
“Kenapa Nenek bisa ada disini? Apa yang terjadi? Kenapa Nenek dengan Simon? Mana Ayah dan Ibu? “
Lalu aku terdiam. Aku bisa merasakan tubuh Ashlyn yang berdiri disampingku menegang. Kalimat terakhirku seperti sebuah kunci dari semua pertanyaan kami. Kenapa Nenek tidak bersama Ayah dan Ibu kami, dan kenapa justru bersama Simon.
“Apa terjadi sesuatu pada Ayah dan Ibu?”
Sekarang aku ingat. Waktu aku menelepon Nenek saat di apartemen Noah tadi mereka sedang pergi.
Bibir Nenek bergetar. Pandangannya beralih ke belakang kami. Serentak kami menoleh ke arah yang sama dan melihat beberapa polisi yang tadi kami lewati dan menyadari bahwa mobil yang sedang mereka periksa adalah mobil orang tua kami.
“Ya Tuhan. Ya Tuhan.”
Aku mendesis tidak percaya. Ashlyn mencengkeram lenganku erat-erat. Aku bisa merasakan tubuhnya yang gemetaran. Aku bergegas mendekat tapi Simon menahanku.
“Jangan. Anda dilarang mendekat.”
“Tapi, itu mobil orang tuaku!” aku setengah berteriak.
“Anda harus menyerahkan semuanya kepada polisi. Mereka sedang mencarinya.“
“Mencari? Memangnya apa yang terjadi dengan orang tuaku?”
Aku mulai histeris. Aku menepis tangan Simon dan hendak berlari saat sebuah tangan yang lebih kuat mencengkeram lenganku.
“Axel!” Aku menoleh dan melihat Noah yang menatapku dingin. “Kendalikan dirimu!”
Aku melotot padanya. Diantara semua orang, kenapa justru dia yang menghalangiku.
“Kamu bisa apa disana? Biarkan polisi yang mencari.”
Emosiku menggelegak. Aku sungguh ingin memukul wajahnya saat ini untuk melampiaskan frustasiku.
“Apa kamu tidak lihat nenek dan adikmu lebih membutuhkanmu? Disana kamu hanya akan jadi pengganggu!”
Aku menatap Nenek yang tampak terguncang dan lelah. Lalu menatap Ashlyn yang terlihat jelas sedang menahan tangis walaupun sedang menenangkan Nenek.
“Biarkan Simon yang mencari informasi. Polisi akan lebih mempercayai dia daripada kita. “ kali ini Noah berbicara sedikit lebih lembut. Perlahan emosiku mereda.
“Oke. “ jawabku akhirnya. Menyerah. Kami berdua berjalan ke mobil Simon.
"Apa yang terjadi Nek?"
Nenek menarik nafas dalam-dalam.
"Seperti yang Nenek katakan tadi di telepon, tadi sore Ayah dan Ibumu pergi. Nenek tidak tahu kemana. Sampai Nenek tidur mereka belum pulang. Nenek pikir itu wajar saja. Ayah dan Ibumu kadang memang suka pulang larut malam, bukan?"
Nenek memandangku dan Ashlyn. Aku mengangguk. Nenek menarik nafas dan melanjutkan ceritanya.
"Lalu tadi saat tidur Nenek mendapat telepon dari polisi yang mengatakan bahwa mereka menemukan mobil orang tua kalian disini. Tapi mereka tidak ada di dalamnya. Jadi polisi meminta Nenek melakukan verifikasi. Dan karena Nenek tidak bisa menyetir sendiri, Nenek meminta bantuan Simon."
"Setelah anda pulang tadi, saya juga pulang." Kata Simon kepadaku. Aku mengangguk mulai memahami.
Rumah Nenek dan rumah keluarga Noah bisa dikatakan tidak terlalu jauh. Hanya dipisahkan oleh Danau Emrys. Simon yang rajin memeriksa keadaan nenek setiap dia jogging pagi atau jalan-jalan sore sewaktu nenek masih tinggal sendirian.
Tapi setelah Nenek jatuh dari tangga beberapa bulan lalu dan kesehatannya agak menurun, Ayah dan Ibu memutuskan untuk menemani Nenek di rumahnya sementara aku dan Ashlyn tetap tinggal di rumah kami.
"Apa kata polisi?" Tanya Noah.
"Tidak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi mobil mereka sepertinya menghindari sesuatu yang menyebabkan mobil menabrak pohon."
"Apa mobilnya rusak parah?"
Aku melotot ke arah Noah yang justru menanyakan keadaan mobil, bukan orang tuaku. Noah tidak memperdulikanku.
"Tidak. Tidak terlalu."
"Jadi seharusnya mereka tidak apa-apa walaupun terjadi tabrakan. Kalaupun cedera, seharusnya mereka hanya akan cedera ringan."
Aku mulai memahami arah pembicaraan Noah. Simon mengangguk. "Seharusnya begitu."
"Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka?"
Simon menangguk lagi. "Tidak ada satupun."
Raut wajah Noah tidak berubah. Tapi aku bisa melihat rahangnya mengencang.
"Menurut yang saya dengar tadi tambahan regu pencari dengan anjing pelacak akan segera datang."
"Seharusnya itu bisa membantu."
Simon mengangguk setuju.
Seorang polisi mendekati kami.
"Kalian keluarga pemilik mobil?"
Kami mengangguk.
"Apa ini milik salah satu dari penumpang mobil?"
Ia menunjukkan sebuah telepon genggam. Kami langsung mengenalinya.
"Ya. Itu milik ayah."
"Baiklah. Akan kami bawa dahulu sebagai barang bukti."
"Orang tua kami?"
Polisi tadi menggeleng.
"Kami sedang memperluas area pencarian. Bersabarlah."
Polisi itu berbalik hendak pergi saat Nenek berbicara dengan suara bergetar
"Maaf, pak."
Polisi tadi berhenti dan berbalik menghadap kami lagi.
"Dimana telepon genggamnya ditemukan?"
Petugas polisi tadi bimbang sesaat.
"Di pinggir hutan."
Nenek menutup mulutnya dengan ekspresi terguncang.
Aku merasa seluruh energi dalam tubuhku terhisap. Ashlyn akhirnya benar-benar terisak. Kupeluk dia erat-erat.
Hal terakhir yang kuingat tentang malam itu adalah Noah yang sedang berlutut di hadapan nenek berusaha menenangkannya.
“Apakah Lord Enki sudah kembali?”Hari ini kami ditemui penjaga yang sama seperti di hari pertama kami tiba.“Ya. Tapi hari ini ia tidak bersedia menemui siapapun karena masih ada urusan yang belum terselesaikan dari perjalanan kemarin. Jadi kalian kembalilah besok.”Aku mendesah tak senang.“Tapi beliau tahu bahwa kami datang kan?”“Ya. Karena itu kalian besok akan kami beri kabar saat Lord Enki siap menerima kalian.”“Tapi benar-benar besok kan?” Aku mulai kehilangan kesabaranku. Selalu begini setiap kali kami ingin bertamu di Dharana. Padahal kali ini bukan kami yang ingin datang. Tapi masih saja kami dipersulit.Penjaga itu mengangguk.Mau tak mau kami pun beranjak pergi. Bagaimanapun kami tidak punya pilihan lain.Dan panggilan ke istana itu benar-benar datang keesokan harinya. Tepat disaat hidangan makan siang Pratvi baru saja disajikan di meja. Pikiran dan perutku berseteru. Kedongkolanku semakin memuncak jadinya.Tapi mau tak mau kami harus segera berangkat ke istana. Takut ji
“Kapan sebaiknya kita ke istana?” Tanya Ashlyn setelah kami selesai makan.“Jika dilihat dari mendesaknya pesan yang diterima Raja Narawana harusnya kita sewaktu-waktu bisa langsung ke istana bukan?” Jawabku. “Bagaimana kalau nanti sore setelah kita isirahat?”“Apa kau pikir pesan itu masih bisa kita jadikan acuan jika kita datang hampir tujuh hari terlambat dari waktu yang seharusnya?” Kata-kata Lynx membuat kami semua langsung menyadari posisi tidak menguntungkan yang kami hadapi.“Lalu?”“Lebih baik kita kesana besok. Malam ini beristirahatlah sebaik mungkin. Hemat tenaga kalian. Kita tidak tahu apa yang menunggu kita di istana.”“Kita menginap disini saja kalau begitu.”“Ya. Itu pilihan terbaik yang kita punya.”Keesokan harinya kami berangkat ke istana setelah menghabiskan semua masakan Pratvi. Matahari bersinar hangat saat kami berhenti di pos penjagaan. Melaporkan maksud kedatangan kami.“Kami ingin bertemu Lord Enki.” Kataku. Penjaga di hadapanku melihatku dari atas ke bawah l
Kami sedang bersiap saat Flaresh datang. Hanya beberapa menit setelah gerimis benar-benar berhenti. Hujan turun semalaman membuat kami tidur sangat nyenyak dan bangun lebih siang.“Ayo.”Aku memandangnya dengan kesal. Kemana saja dia. Kenapa datang-datang main perintah seenaknya.Tapi tak urung kami mempercepat pekerjaan kami dan dalam sesaat sudah berada di atas kuda, siap memulai kembali perjalanan. Dengan kecepatan penuh kami memacu kuda dan lewat tengah hari kami sudah memasuki Dharana.Pemandangan serba putih yang familiar menyambut kami.“Bagaimana kalau kita makan siang di tempat Pratvi? Kita bisa sekalian istirahat sebelum ke istana.” usul Ashlyn.“Ayo, ayo. Aku ingin menikmati kue berlapis madunya yang lezat.” Kata Firroke.“Hmmm.. Sepertinya menarik. Memang sudah waktunya kita makan siang.” Kata Esen. “Bagaimana, Lynx?”Lynx mengangguk.“Tentu saja.”“Tunjukkan jalannya Ash.”Ashlyn mengangguk lalu memacu Tashi sedikit lebih cepat, memimpin rombongan.“Kalian pasti akan suka
Kami memasuki hamparan perbukitan berwarna coklat muda dan krem. Angin dari atas bukit berhembus sejuk menyambut kami.Disini sangat berbeda dengan Deruta yang sebelumnya kami singgahi meskipun masih ada beberapa kontur alam yang mirip. Di beberapa tempat terlihat gerombolan pohon seperti di Deruta namun berwarna lebih muda bahkan memutih. Tepat di tengah-tengah, memotong perbukitan, sebuah sungai mengalir tenang hampir tanpa arus seperti sebuah danau. Airnya yang kecoklatan mengingatkanku pada susu coklat.“Sepertinya di atas hujan.” Kata Flaresh. Aku menangkap nada tidak senang dalam perkataannya.“Ya. Semalam.” Kata Lynx setelah memperhatikan dengan seksama aliran air sungai.“Ini Eresfodir?” Tanya Esen yang melihat perbedaan kontur wilayah ini dengan Deruta yang sebelumnya kami singgahi.“Ya.”“Sangat berbeda dengan Deruta tapi sekaligus mirip ya.”Lynx terdiam sebentar lalu mengangguk.“Kau bisa bilang begitu."“Aku pikir tidak akan jauh berbeda dengan Dharana. Ternyata pikirank
“Lynx!” Seru Era. Lynx berbalik dan langsung disergap Era yang memeluknya erat-erat.“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Lynx sambil memegang bahu Era dengan kedua tangannya dan memandangnya dari atas ke bawah, memeriksanya dengan seksama.“Aku baik-baik saja.”Lynx menganggguk dengan mata berbinar.“Aku bisa mellihatnya.” Ia mengalihkan pandangannya ke Gaja. “Terima kasih sudah membantu dan menjaga mereka.”Gaja mengangguk.“Sudah tugasku.”Lynx mengangguk pada penjaga teman Gaja yang pernah kami temui saat pertama kali sampai di sini dan berjalan pergi.“Kalau begitu kami pamit. Kami akan meneruskan perjalanan. Terima kasih untuk semuanya, Gaja.” Kata Esen. kami melakukan hal yang sama.“Hati-hati.”“Terima kasih.” Kata Esen pada penjaga satunya untuk terakhir kalinya lalu kami segera menusu Lynx yang telah mendahului kami.Kami sampai di Deruta disambut matahari yang bersinar hangat.Dan seraut wajah tanpa ekspresi berwarna perunggu.“Flaresh.” Seru Era. Flaresh mengangguk. Tidak ada kali
“Bagaimana keadaan Era?” Esen bertanya kepada Bibbat yang baru saja memeriksa Era.“Semuanya normal. Ia sangat sehat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Syukurlah.” Esen menghembuskan nafas lega.“Berarti kami sudah boleh pulang bukan?” Tanya Era.“Kau sudah ingin pulang?”“Ya. Kami sudah terlalu lama disini. Kami harus segera menyelesaikan tugas kami yang tertunda.”Ashlyn menatapnya.“Kau yakin?”Era mengangguk.“Kita harus segera pergi.”Bibbat memandang Era sebentar lalu memandang kami yang berdiri di sekeliliing tempat tidur.“Bagaimana dengan kalian”“Kami mengikuti keinginan Era. Jika ia bilang berangkat, kami akan berangkat. Tapi kami akan mendengarkan pertimbanganmu.”“Baiklah jika itu keputusan kalian. Dengan keadaan Putri Era saat ini kalian bisa memulai kembali perjalanan kalian kapanpun yang kalian mau.”“Baiklah, kalau begitu kami akan berangkat besok.”“Jika itu mau kalian.”“Terima kasih atas pengertian dan bantuanmu.”“Aku akan memberi pesan Gaja agar ia bisa mem