LOGIN
"Emmph..."
Sebuah desah halus pecah di udara, seperti hembusan angin yang nyaris tak terdengar, saat bibir Kirana menyentuh bibir Raka yang sedang tertidur.
Ia menunduk perlahan, ragu, seakan takut gerakannya akan membangunkan dunia. Jantungnya berdebar tak karuan—bukan karena cinta yang bersemi, tapi karena luka yang menganga.
Sudah tiga tahun ia menjadi istri Raka Pradana, pria dengan sorot mata sedingin musim dingin yang tak pernah menyambutnya dengan hangat.
Tiga tahun berlalu, dan tidak sekalipun Raka menyentuhnya, bahkan sekadar menatapnya dengan pandangan seorang suami.
Bayangan Zelina Pratama—sang mantan kekasih—masih tinggal di mata Raka. Dan Kirana tahu, ia tak pernah benar-benar hadir di hati pria itu.
Tapi malam ini, Kirana ingin menjadi egois. Untuk pertama kalinya. Dan mungkin... yang terakhir.
Ia mengecup bibir Raka dengan penuh perasaan yang terpendam, menggigit isak yang ingin meledak dari dadanya.
Hangat bibir itu tak menyambut, tapi Kirana terus mencium, mengukir kenangan yang kelak akan ia simpan dalam diam.
Lalu tiba-tiba—
"Kirana! Apa yang kau lakukan?!"
Raka terbangun dengan kasar. Rahangnya mengeras, matanya menyorot seperti bara yang baru tersulut.
Kirana terperanjat, matanya membulat. "Aku..."
Tapi sebelum sempat menjelaskan, dunia mendadak berubah. Tatapan Raka menggelap, dan entah apa yang terjadi, atmosfer di kamar itu mendadak berubah.
Seperti api yang membakar tiba-tiba, dingin antara mereka lenyap, digantikan badai hasrat yang liar dan membingungkan.
Rintihan dan desah napas memenuhi ruang kamar yang temaram, seperti simfoni asing yang selama ini tak pernah mereka kenal.
Tubuh mereka menyatu, bukan karena cinta, melainkan ledakan rasa yang selama ini terpendam, tak pernah tersentuh.
Dan saat fajar mulai menyingsing, Kirana membuka mata dalam keheningan.
Ia beringsut pelan dari tempat tidur, menyibak selimut yang masih hangat dengan hati-hati, seakan takut membangunkan kembali mimpi yang baru saja mereka lalui.
Kakinya melangkah perlahan ke meja kecil di sudut kamar. Lampu tidur berwarna lembut memantulkan bayangannya di dinding.
Tangannya gemetar saat menarik laci. Sebuah map putih terselip di sana, isinya: dokumen perceraian.
Sudah ditandatangani sejak lama, disimpan rapi, menunggu momen yang tepat.
Hari ini, momen itu datang.
Kirana menaruh map itu di atas meja, tepat di samping tempat tidur. Pandangannya terarah pada sosok Raka yang masih terlelap, wajahnya damai untuk pertama kalinya.
Namun di hati Kirana, badai tak berhenti.
"Raka..." gumamnya nyaris tanpa suara, tapi gemanya terasa keras di dalam hatinya sendiri. "Mulai hari ini, aku akan membebaskanmu. Tidak ada lagi ikatan di antara kita."
Ia melangkah keluar dari kamar itu dengan kepala tegak, meski hatinya terjatuh berkeping-keping. Cahaya matahari pagi mulai menyelinap dari balik tirai, menyinari jejak langkah terakhirnya sebagai istri Raka Pradana.
Tujuh tahun. Itulah lamanya Kirana mencintai pria itu. Dari masa putih abu-abu, hingga bangku kuliah yang mempertemukan mereka kembali.
Cintanya tumbuh tenang, tapi tak pernah padam—seperti akar pohon yang terus merayap dalam diam, kuat, dalam, tak terlihat.
Namun hidup bukan cerita dongeng.
Raka menikahinya bukan karena cinta, melainkan karena permintaan terakhir sang kakek yang sekarat.
Permintaan yang disambut bahagia oleh ibu tiri Kirana dan suaminya—ayah tiri Kirana—yang lebih tertarik pada status dan gengsi ketimbang kebahagiaan anak mereka.
Kirana masih mengingat malam sebelum pernikahan itu. Masih teringat jelas denting gelas, gelak tawa, harapan yang berputar seperti tarian lampu gantung.
Sebelum satu kalimat menghancurkan segalanya.
“Kirana, yang ingin kunikahi itu Zelina Pratama. Bukan kamu. Aku nggak pernah mencintaimu. Hanya Zelina yang pantas jadi istriku. Kamu… tidak cukup untukku.”
Duri itu tertanam dalam. Tapi Kirana memilih mengubur luka dan menjalani peran sebagai istri. Kini, ia memilih jalan keluar—jalan yang mungkin menyakitkan, tapi memberi kebebasan.
“Semoga pilihanku tidak salah…”
Raka terbangun saat matahari sudah tinggi. Sinar pagi menyusup lewat celah gorden, menari di wajahnya.
Tapi bukan sinar yang membangunkannya—melainkan kekosongan.
Kepalanya berat, seperti dihantam palu berkali-kali. Ia mengerjap, lalu memutar tubuh. Tangannya menyentuh sisi tempat tidur yang dingin.
Kirana tak ada di sana.
Selimut tergulung seadanya, seolah ditinggalkan terburu-buru. Pandangannya menyapu kamar, dan berhenti pada meja di sudut.
Di atasnya, sebuah map cokelat mencolok menanti. Jantung Raka mencelos.
Ia bangkit, meraih map itu. Matanya menajam, membacanya sekilas—Surat Perceraian.
“Pertama dia… memaksaku semalam… lalu sekarang dia mau pergi? Cerai?” gumamnya, suara menggema penuh amarah.
“Apa dia pikir aku bisa dipermainkan sesuka hati?”
Ia mengenakan jaket dengan kasar, celana panjang ditarik cepat, lalu menuruni tangga tanpa peduli kancing yang belum tertutup rapat.
Langit, kepala pelayan tua yang setia, sudah berdiri di kaki tangga, seperti biasa. Tapi kali ini, ia tak menyambut dengan senyum.
“Kamu lihat Kirana?” tanya Raka, suaranya tajam, hampir menggonggong.
Langit menunduk sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Tuan Raka... Nyonya Kirana pergi sebelum matahari terbit. Dia membawa satu koper besar.”
Seketika, waktu seperti berhenti. Raka terdiam. Dunia, yang selalu ia kontrol dengan tangan besinya, kini goyah.
Ia ditinggalkan oleh perempuan yang selama ini nyaris tak ia perhitungkan.
"Sial..." desisnya pelan, wajahnya mengeras, rahangnya menegang. "Jika aku menemukannya, dia harus membayar semua... dengan mahal."
Namun jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang lain yang tak ingin ia akui. Bukan kemarahan. Bukan harga diri.
Tapi... ketakutan.
“Kamu nggak kayak ibu-ibu deh. Biasanya kan yang panik soal beginian justru ibunya,” Mahira menggoda sambil menepuk ringan bahu Kirana. Senyum nakalnya muncul, seolah ingin menguji reaksi sahabatnya.Kirana hanya terkekeh, tawa kecilnya seperti angin tipis yang menenangkan. Dari sudut mata, ia melirik Bara yang tengah sibuk mengganti pakaian bayi. Gerakannya kaku, tapi penuh kehati-hatian, seperti sedang memegang kaca rapuh.Sesekali ia mengernyit, kebingungan dengan kancing mungil yang seakan enggan masuk ke lubang. Kirana menahan senyum, enggan membuatnya makin gugup.Begitu selesai, Mahira cepat mengangkat ponselnya. Klik! Satu momen berharga terekam: Bara dengan mata berbinar menatap bayinya yang kini berbalut baju hangat. Ada kebanggaan dan kebahagiaan di wajah itu, meski pipinya tampak sedikit lelah.Mahira lalu duduk di samping Kirana, tubuhnya terjatuh ke sofa seakan ditarik gravitasi rindu. “Tadi malam aku mimpi ketemu dewi, Kir
Tak lama setelah Mahira melangkah masuk ke lorong rumah sakit, sebuah suara pecah dari balik pintu ruang bersalin. Tangisan bayi, nyaring sekaligus rapuh, bergema dan memantul di dinding putih. Getarnya menembus dada semua orang yang menunggu.Sesaat, waktu serasa berhenti.Hening menjerat.Lalu, seperti air yang tiba-tiba menemukan jalan keluar, wajah-wajah di lorong itu merekah. Senyum lebar, mata berkaca-kaca, doa yang terucap terbata.“Syukurlah! Semoga Kirana dan bayi-bayinya sehat,” bisik Sekar, suaranya lirih, seolah takut menyinggung udara.Bara, dengan tawa yang nyaris tak bisa ia kendalikan, menepuk bahu Raka. “Selamat, Raka. Sekarang kau resmi punya sepasang anak kembar lagi!”Raka tak menjawab. Bibirnya gemetar, matanya berkabut. Senyum yang ia bawa terasa begitu jujur, tulus, penuh syukur, seakan dunia telah mengganjar semua lelahnya.Anak-anaknya, yang sejak tadi duduk gelisah, meledak dalam sorak
Di sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, Kirana hanya duduk terpaku di kursi penumpang. Pandangannya kosong, seakan menembus kaca jendela mobil, namun tidak benar-benar melihat apa pun di luar sana.Bandung sore itu dipenuhi riuh kendaraan, suara klakson bersahutan, pedagang kaki lima sibuk menutup lapak, tapi semua itu terasa jauh baginya. Jemari halusnya meremas cincin perak di tangan kiri, menggenggamnya erat seakan cincin itu satu-satunya jangkar yang masih bisa ia pegang.“Ibu, Marsha sudah mati. Sekarang engkau bisa beristirahat dengan tenang.”Kata-kata itu hanya terucap lirih dalam hati, tapi terasa berat, menyesak, bercampur antara lega dan pilu.***Seminggu kemudian, langit Bandung begitu jernih. Awan tipis berarak, sinar matahari menimpa pucuk pohon mahoni tua yang menaungi lahan luas di TPU Cikutra. Kirana berdiri di sana, menatap tanah yang baru digali.Ia memilih lahan paling lapang, sekitar delapan puluh m
“Masih berani membela diri, Marsha? Beberapa hari lalu aku memang tak bisa berbuat apa-apa padamu. Tapi sekarang, aku punya cukup bukti bahwa kamu menggunakan Yosef untuk meracuni Ibu! Polisi sudah dalam perjalanan, jadi tunggu saja kehancuranmu!”Suara Kirana menggema di ruang keluarga yang besar namun pengap. Kata-katanya tegas, namun di balik ketegasan itu ada bara yang menggelegak, penuh kebencian yang menekan dadanya sejak lama.Raka, dengan wajah tanpa ekspresi, mengangkat ponselnya dan menekan tombol rekam. Jari-jarinya mantap, sorot matanya tajam, seolah ingin memastikan setiap detik pertukaran kata ini tercatat sebagai bukti yang tak terbantahkan.Yuliana, berdiri tak jauh di sisi ibunya, membeku. Bibirnya sempat terbuka hendak berkata, tapi tak satu pun suara keluar. Aku bisa melihat bagaimana matanya bergetar, seolah duniannya yang rapuh akan runtuh detik itu juga.Yosef, si anak lelaki yang kini sudah tumbuh remaja, menunduk, mengu
Kirana meraba cincin di jarinya seperti orang yang memeriksa bahwa sebuah janji masih melekat. Logam dingin itu menimbulkan bunyi hampir tak terdengar ketika ia menggoyangkannya, lalu jari-jarinya menutup rapat seolah ingin memendam getaran yang muncul dari dalam.Matanya menatap kosong sejenak ke jendela mobil, melihat siluet kota yang basah oleh gerimis, lalu kembali pada Raka dengan garis kening yang mengeras. Suaranya rendah, tetapi tiap kata berisi pembakaran:“Aku sudah dewasa sekarang, Bu. Aku punya suami dan anak. Jangan khawatir. Aku tak akan lagi jadi orang yang diinjak-injak. Aku akan menuntut pembalasan untuk Ibu. Aku janji.”Di antara kata-kata itu ada sesuatu yang tidak bisa disusun oleh logika: kepercayaan yang dibangun dari rasa sakit. Ketika ia menyebut nama Marsha, bibirnya mengeras lebih pasti.“Ayo kita datangi Marsha sekarang juga. Aku tak percaya dia akan berani tetap membisu dan pura-pura tak bersalah.” Ia me
Raka menarik tabung itu dengan jarinya yang gemetar, suara gesekan tutup kecil berbunyi halus di ruang keluarga yang masih diselimuti kabut pagi Bandung. Cahaya lembut masuk lewat tirai, memecah butiran air yang menempel di jendela menjadi titik-titik perak.Di ruangan itu tercium aroma tanah basah dan minyak kayu dari meja tua, kombinasi yang membuat suasana terasa akrab dan rahasia.“Seharusnya ada secarik kertas di dalamnya. Mungkin semua jawabannya tertulis di sana,” gumam Raka, suaranya nyaris tenggelam oleh denting kecil saat ia mengangkat tabung. Tangannya berhenti beberapa detik, menimbang-nimbang; ekspresinya menegang karena harap yang tak pasti.Saat ia membuka, kilau biru memantul secepat kilat. Ada lubang kecil di dasar tabung, dan sebuah cincin meluncur seperti benda hidup. Panca, yang sejak tadi berdiri di samping meja, sigap, menangkup cincin itu sebelum ia sempat jatuh dan memantul hingga menggelinding ke lantai.Ia menatap ben







