Share

Bab 2: Enam Tahun Berlalu

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-05-07 21:06:04

Enam tahun berlalu.

Pagi yang sibuk menyelimuti lorong-lorong Institut Riset Medis Nusantara. Bau alkohol medis dan kopi sachet yang diseduh cepat-cepat memenuhi udara. Kirana keluar dari ruang laboratorium dengan langkah lelah.

Rambutnya disanggul seadanya, wajahnya dibayangi lingkar hitam di bawah mata akibat begadang tiga malam berturut-turut. Namun ada binar kesabaran dalam sorot matanya yang tak mudah pudar.

Saat ia hendak meregangkan punggung yang pegal, Linda, asistennya, datang tergopoh, wajahnya mencerminkan kombinasi antara panik dan pasrah.

“Dokter Kirana, Profesor Pradipta ingin bicara. Beliau minta Anda ke ruangannya sekarang,” katanya, sambil menepuk-nepuk map di tangannya.

Kirana mendengus pelan, memijat pelipis. “Jangan-jangan dua bocah kecil itu bikin ulah lagi?”

“Sepertinya begitu.” Linda menghela napas. “Aidan dan Bayu mondar-mandir di sekitar ruang profesor. Katanya mereka sedang ‘eksperimen’. Kayaknya, profesor bisa tumbuh uban baru karena mereka.”

Kirana tersenyum miring, lelah namun lembut. Ada cahaya aneh di matanya saat nama kedua anak itu disebut. Di balik kesuksesannya sebagai peneliti muda yang dikenal luas, ia menyimpan cerita yang jauh dari mudah.

Enam tahun lalu, setelah meninggalkan rumah Pradana dan menjejakkan kaki di negeri asing, ia menemukan kenyataan mengejutkan: ia hamil. Ia sempat berdiri lama di depan klinik aborsi, ragu antara mempertahankan dan melepaskan.

Namun saat masuk ke ruang tindakan dan mendengar detak jantung dua janin mungil di layar monitor, air matanya jatuh. Ia tahu, ia tak sanggup mengakhiri kehidupan itu. Maka ia memilih berjalan sendirian, melawan arus, membesarkan dua anak yang kini menjadi matahari kecil dalam hidupnya.

Kini, setiap jejak langkahnya bukan hanya demi dirinya, tapi demi Aidan dan Bayu—dua bocah cerdas, keras kepala, dan penuh rasa ingin tahu. 

Satu hal yang disesali, tangisan pertama bayi perempuannya tak pernah terdengar. Hanya Aidan dan Bayu yang tumbuh besar, membawa seberkas terang yang tak mampu menghapus sepenuhnya bayangan kehilangan.

Dunia telah berubah, Kirana telah berubah. Tapi jauh di dalam hatinya, ada ruang kosong yang belum ia izinkan siapa pun menyentuh.

Ruang yang pernah diisi oleh seseorang bernama Raka.

Hanya saja, kedua anak luar biasa pasti melakukan hal yang luar biasa, kan?

Kirana buru-buru menyusuri lorong berlampu temaram yang menuju ruang kerja Prof. Hari. 

Namun saat tangannya mendorong pintu kayu tua itu, pemandangan yang menyambutnya adalah dua malaikat kecil yang baru saja bangun tidur—tak berdosa, polos, dan terlalu tenang untuk ukuran anak yang baru saja bikin ulah.

Begitu mata mereka menangkap sosok Kirana, senyum merekah seketika. Seperti matahari menembus celah awan.

“Ibu!” seru Aidan, dengan suara nyaring penuh lega. “Akhirnya selesai juga! Kupikir Ibu akan tinggal selamanya di dalam lab itu!”

“Ibu capek, ya? Sini duduk, biar aku pijitin,” timpal Bayu dengan gaya sok perhatian sambil menarik tangan ibunya seperti pemandu spa cilik.

Mereka menggiring Kirana ke sofa seolah ia tamu penting, memaksanya duduk manis di antara tawa kecil dan perhatian yang begitu tulus. Hati Kirana mencair. Ada kehangatan yang menjalar dari jemari Bayu yang masih kecil ke dalam sanubarinya—hangat, tapi juga mengaduk rasa bersalah yang ia simpan rapi.

Namun ketenangan itu cepat diusik suara dari balik meja.

“Lihat mereka,” gumam Prof. Hari, separuh mencibir, separuh menahan tawa. “Manis dan penurut sekali, ya? Tapi sayangnya kalian nggak sepolos ini waktu meretas komputerku tadi pagi.”

Aidan langsung angkat bicara dengan ekspresi tak terima. “Itu salah Profesor sendiri! Ibu disuruh kerja lembur terus. Sekarang lihat, Ibu jadi kurus kering!”

“Benar! Ibu itu manusia, bukan robot! Masa kerja siang malam, nggak ada libur?” sambung Bayu sambil menepuk-nepuk bahu Kirana seolah sedang memijat pasien lelah.

Prof. Hari mengangkat alis, lalu tertawa pendek. “Dua bocah ini terlalu protektif,” katanya, separuh geli, separuh menyerah. “Padahal semua peneliti di sini juga kerja keras, tahu!”

Ia lalu mengalihkan pandangan ke Kirana, sorot matanya melembut. “Jadi, gimana penelitianmu?”

Kirana menghela napas pendek, menyunggingkan senyum tipis yang menyimpan lelah sekaligus kebanggaan. “Lancar, Prof. Nanti saya kirimkan datanya.”

Hening sejenak, sebelum ia bertanya, nadanya berhati-hati. “Ngomong-ngomong, komputer Profesor... sudah pulih datanya?”

Prof. Hari menyapu rambutnya ke belakang dengan telapak tangan. Gerakannya penuh frustrasi.

“Sudah sejam saya coba utak-atik. Tetap nihil. Hilang semua sepertinya.”

Kirana menoleh ke Bayu, lalu menepuk tangannya lembut. “Nak, bantuin Prof. Hari, ya? Tapi jangan iseng-iseng lagi. Gimana kalau ternyata datanya penting banget?”

Bayu mengangguk mantap seperti seorang teknisi profesional yang menerima tugas rahasia. “Tenang, Bu. Aku selalu buat cadangan data dan sistem keamanan berlapis. Aman kok!”

Tanpa banyak bicara, ia berjalan ke arah meja kerja. Jemarinya mulai menari di atas keyboard, cepat dan pasti. Bunyi ketikan memenuhi ruangan, berpadu dengan napas tertahan yang menanti hasil kerja bocah itu.

Aidan berdiri di sampingnya, sesekali memberi saran layaknya rekan sejawat.

Beberapa menit berlalu, dan layar komputer tiba-tiba menyala kembali. Program-program penting muncul satu per satu seolah tak pernah hilang. Cahaya dari layar memantul di wajah Prof. Hari yang kini membeku antara kagum dan tak percaya.

“Hebat…” gumamnya, nyaris tanpa suara. “Anakmu akan jadi dokter sepertimu, kan? Kita harus memastikan laboratorium kita jadi nomor satu di masa depan.”

Kirana menggelengkan kepala mendengarnya.

Semua karena dua anak lelakinya yang memiliki otak seperti rangkaian mesin!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 19: Rahasia Itu Bernama Aidan dan Bayu

    Kirana terkekeh pelan, nyaris hanya getaran samar dari bibir yang mulai mengendur dari ketegangan. Sorot mata mereka bertemu—sepasang tatapan yang membawa kelegaan, tetapi juga kelelahan yang menempel seperti embun dini hari pada kaca jendela.Malam itu belum sepenuhnya selesai, tapi langkah mereka terus bergerak, seolah menolak berhenti sebelum tiba di titik aman.Rumah itu menyambut mereka tanpa kata—sunyi, sedikit pengap oleh udara malam yang belum sempat berganti, namun tetap terasa seperti pelukan yang akrab.Begitu pintu tertutup, aroma nasi uduk dan lauk dari bungkus kertas cokelat memenuhi ruang makan kecil yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Bau khas dari Warung Nyi Darmi—dengan jejak sambal terasi yang kuat dan lengkuas yang menempel di lidah—menjadi pengingat bahwa bahkan dalam kekacauan, ada hal-hal kecil yang tetap setia memberi kenyamanan.Tanpa banyak bicara, Kirana dan kedua anaknya segera menyerbu meja m

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 18: Tangis yang Tak Pernah Jatuh

    Jika bukan karena kehadiran Raka, mungkin Zelina sudah meluapkan emosinya tanpa ampun. Tapi sorot mata pria itu terasa seperti pisau yang membelah udara di ruang tamu—tajam, tenang, dan tak bisa diabaikan.Maka ia menahan diri. Rahangnya sempat mengeras, mata menyala marah, tapi hanya sekejap. Lalu, dengan gerakan teatrikal, ia melepaskan genggamannya dari lengan Elina dan menjatuhkan diri ke lantai seolah tubuhnya tak lagi sanggup menopang beban emosinya.Zelina memandang Elina dengan tatapan penuh luka yang terasa dibuat-buat, seolah ia adalah korban dari drama besar yang tak ia pilih.“Ellie…” suaranya gemetar, seperti helaan napas di tengah kabut pagi, “aku tahu kamu nggak suka aku. Tapi aku sungguh khawatir, Nak. Kenapa kamu harus begini... kejam sekali.”Air mata menggenang di sudut matanya, mempertegas citra seorang wanita yang patah hati. Ia bahkan menunduk sedikit, seakan menyerah pada keadaan, menunggu simpat

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 17: Pelukan yang Tak Diinginkan

    “Kalau kamu belum siap cerita, nggak apa-apa. Tapi tolong, janji satu hal… jangan kabur lagi, ya?”Suara itu lirih tapi jelas, seperti buih ombak yang pelan-pelan menyentuh karang—lembut, namun menyimpan kekuatan di dalamnya.Raka menoleh ke depan, menyembunyikan gelombang perasaan yang baru saja terbit dari tatapan mata yang ia sembunyikan di balik kaca mobil yang mulai berembun.“Zayyan,” ucapnya setelah jeda singkat, nada suaranya kini lebih tegas, “minta rekaman CCTV dari restoran itu. Segera.”Masih ada bara yang menyala. Ia belum menyerah.“Siap, Pak Pradana,” jawab Zayyan, pelan. Suaranya dalam, nyaris berat sebelah. Ia tahu, perintah ini hanya akan menyayat luka yang belum sempat mengering.Dua puluh menit kemudian, mobil meluncur pelan melewati gerbang besi hitam yang mengarah ke sebuah rumah bergaya tropis modern.Dindingnya dihiasi tumbuhan rambat yang ditata rapi, dan halaman depannya asri, seolah menyambut siapa pun yang

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 16: Pahlawan Kecil di Malam Panjang

    Kirana mengembuskan napas panjang, seperti baru saja melepaskan beban besar dari dadanya. Dalam satu gerakan refleks, ia meraih kedua anaknya dan memeluk mereka erat.Helaan napasnya nyaris terdengar seperti isakan kecil, namun ia menahan diri.Aroma khas rambut anak-anaknya—sedikit keringat yang bercampur wangi sabun mandi—membanjiri indranya, menghadirkan rasa aman yang selama beberapa jam terakhir terasa begitu jauh.“Ya Tuhan... syukurlah Ibu punya kalian.” Suaranya serak namun hangat. Tangannya meremas pelan bahu Aidan dan Bayu.“Kalian penyelamat Ibu hari ini.”Aidan dan Bayu hanya menanggapi dengan senyum malu-malu. Ada binar tipis di mata mereka, seperti sedang menikmati peran sebagai pahlawan dalam cerita petualangan yang selama ini hanya mereka saksikan lewat layar.Meskipun detak jantung mereka masih belum sepenuhnya normal, perasaan bangga perlahan menenangkan tubuh kecil mereka.“Terus, kita langsung pulang, Bu?” tanya Aidan, suaranya sedikit bergetar namun mencoba terden

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 15: Rahasia yang Tak Pernah Padam

    Berapa lama Mahira bisa bertahan?Pertanyaan itu bergema dalam kepala Kirana, berulang-ulang, seperti detak jam yang berdetak terlalu keras di ruangan sepi.Angin sore menyapu rambutnya yang setengah terikat, menambah dingin di tengkuk yang sudah basah keringat. Sementara hiruk-pikuk di jalan depan restoran itu seolah tak peduli pada kekacauan kecil yang sedang menggumpal dalam dada Kirana.Kalau penyamaran mereka terbongkar…Ia menelan ludah, tapi kerongkongannya terasa kering.Apa yang harus ia lakukan?Ia mencoba merangkai rencana di kepalanya, tapi pikirannya seperti terbenam dalam kabut tebal—segala kemungkinan muncul, tumpang tindih, lalu lenyap sebelum sempat ia tangkap.Tiba-tiba ia tertawa. Hambar. Palsu. Suara itu nyaris tak terdengar, tenggelam dalam bising kendaraan dan percakapan orang-orang yang lalu-lalang.Apa sebenarnya yang ia takutkan?Kalaupun bertemu lagi…Kalaupun benar-benar berdiri di depan Raka hari ini...Besar kemungkinan laki-laki itu hanya akan menatapnya

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 14: Dering yang Membongkar Segalanya

    Raka kembali menatap Mahira. Sorot matanya berubah—tak lagi hanya penasaran, tapi kini dihiasi curiga yang mulai menyala terang, seperti cahaya lampu baca yang sengaja dinaikkan satu tingkat.Mahira bisa merasakannya. Udara di antara mereka mendadak padat, seperti ada sesuatu yang mengambang, menekan dadanya. Ia menggeser duduk sedikit, tapi rasa tidak nyaman itu tak ikut menjauh.Dan tak butuh waktu lama hingga firasat buruknya berwujud nyata.Raka, dengan gerakan yang nyaris tak bersuara, meraih ponsel dari tangan Zayyan. Ia membuka layar, matanya menyipit sejenak seolah mencari sesuatu yang spesifik. Lalu, dengan jari yang tenang namun tegas, ia menekan sebuah nama di layar.Suasana di meja sempat hening. Lalu suara nyaring dering ponsel terdengar—dari arah Mahira. Dari dalam saku roknya.Deg.Seolah ada sesuatu yang meledak kecil di dadanya. Jantung Mahira terpukul dentuman panik. Ia hampir saja melompat dari duduknya, tapi buru-buru menenangkan diri. Ia menarik napas, menekannya

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 13: Bayang Dingin di Balik Pintu

    Mahira otomatis menegakkan tubuh, meski dadanya sesak oleh degup jantung yang seolah memukul-mukul dari dalam. Ia menarik napas perlahan, berusaha menciptakan ilusi ketenangan. Padahal, tubuhnya nyaris gemetar.Langkah sepatu kulit terdengar menjejak lantai marmer yang mengilap, memantulkan cahaya lampu gantung di langit-langit restoran mewah itu. Dari balik pintu yang terbuka, muncul sosok tinggi bersetelan jas gelap.Gerakannya tenang tapi penuh kendali, nyaris seperti siluet dari mimpi buruk yang datang tanpa aba-aba.Raka Pradana. Aura dinginnya menyebar cepat, seperti kabut yang menyerbu masuk ke dalam ruangan.Kini, hanya ada dua orang dewasa yang saling menatap dalam ketegangan yang mengental di udara. Sementara di sudut ruangan, duduk seorang gadis kecil bersandar di sofa empuk berlapis beludru biru gelap.Elina. Dengan kedua tangan bersedekap dan alis berkerut, ekspresinya memperjelas kemarahannya—bukan karena Raka, tapi karena Kirana yang pergi tanpa sepatah kata pun.Begitu

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 12: Genggaman yang Tak Ingin Lepas

    Mahira, yang sedari tadi hanya menjadi pendengar diam, perlahan meletakkan sendoknya ke tepi piring. Gemerincing halus terdengar saat logam itu menyentuh keramik, mengisi jeda percakapan yang tiba-tiba menggantung di udara.Ia menatap gadis kecil itu lekat-lekat, matanya menyipit, seolah mencoba menerjemahkan sesuatu yang tak terucap.“Itu... kebetulan banget, nggak sih?” bisiknya, nyaris seperti gumaman. Nadanya limbung—antara ragu yang menggantung dan harapan yang nyaris menyentuh permukaan.Sebagai sahabat yang tahu persis alur naik-turun hidup Kirana selama enam tahun terakhir, Mahira bukan hanya mendengar cerita—ia menyaksikan sendiri luka yang menganga, malam-malam panjang yang tak berujung, dan cara Kirana belajar tersenyum lagi dari kepingan yang berserakan.Ia tahu kapan Kirana menangis tanpa suara, kapan tawa itu hanya penutup rapuh. Dan sekarang, gadis kecil ini…Kalau anak itu benar berusia enam tahun, maka... dia lahir tak lama setelah perceraian itu.Mahira menarik napas

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 11: Terkejut

    Warung Nyi Darmi—meski dari luar hanya tampak seperti warung sederhana di sudut jalan yang sering terlewat pandang di Bandung Selatan—menyimpan aura eksklusivitas yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.Dindingnya dari bata merah yang dibiarkan terekspos, menyambut pengunjung dengan nuansa hangat dan bersahaja, tapi begitu melangkah masuk, dunia seolah berubah.Aroma rempah-rempah yang menggoda langsung menyergap indera penciuman—ada jejak lengkuas yang membara, wangi serai yang menyelinap halus, dan samar-samar asap dari ikan bakar yang baru diangkat dari panggangan arang.Interiornya unik: memadukan kelembutan nuansa Jawa kuno dengan sentuhan elegan yang sederhana. Meja-meja jati tua dibatasi oleh sekat-sekat berukir motif bunga kamboja, sementara cahaya temaram dari lampu gantung berbahan anyaman bambu menciptakan bayangan yang menari di dinding.Langit-langit bangunan dibiarkan terbuka sebagian, memperlihatkan langit malam yang jernih.Cahaya bulan menetes perlahan ke dal

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status