Enam tahun berlalu.
Pagi yang sibuk menyelimuti lorong-lorong Institut Riset Medis Nusantara. Bau alkohol medis dan kopi sachet yang diseduh cepat-cepat memenuhi udara. Kirana keluar dari ruang laboratorium dengan langkah lelah.
Rambutnya disanggul seadanya, wajahnya dibayangi lingkar hitam di bawah mata akibat begadang tiga malam berturut-turut. Namun ada binar kesabaran dalam sorot matanya yang tak mudah pudar.
Saat ia hendak meregangkan punggung yang pegal, Linda, asistennya, datang tergopoh, wajahnya mencerminkan kombinasi antara panik dan pasrah.
“Dokter Kirana, Profesor Pradipta ingin bicara. Beliau minta Anda ke ruangannya sekarang,” katanya, sambil menepuk-nepuk map di tangannya.
Kirana mendengus pelan, memijat pelipis. “Jangan-jangan dua bocah kecil itu bikin ulah lagi?”
“Sepertinya begitu.” Linda menghela napas. “Aidan dan Bayu mondar-mandir di sekitar ruang profesor. Katanya mereka sedang ‘eksperimen’. Kayaknya, profesor bisa tumbuh uban baru karena mereka.”
Kirana tersenyum miring, lelah namun lembut. Ada cahaya aneh di matanya saat nama kedua anak itu disebut. Di balik kesuksesannya sebagai peneliti muda yang dikenal luas, ia menyimpan cerita yang jauh dari mudah.
Enam tahun lalu, setelah meninggalkan rumah Pradana dan menjejakkan kaki di negeri asing, ia menemukan kenyataan mengejutkan: ia hamil. Ia sempat berdiri lama di depan klinik aborsi, ragu antara mempertahankan dan melepaskan.
Namun saat masuk ke ruang tindakan dan mendengar detak jantung dua janin mungil di layar monitor, air matanya jatuh. Ia tahu, ia tak sanggup mengakhiri kehidupan itu. Maka ia memilih berjalan sendirian, melawan arus, membesarkan dua anak yang kini menjadi matahari kecil dalam hidupnya.
Kini, setiap jejak langkahnya bukan hanya demi dirinya, tapi demi Aidan dan Bayu—dua bocah cerdas, keras kepala, dan penuh rasa ingin tahu.
Satu hal yang disesali, tangisan pertama bayi perempuannya tak pernah terdengar. Hanya Aidan dan Bayu yang tumbuh besar, membawa seberkas terang yang tak mampu menghapus sepenuhnya bayangan kehilangan.
Dunia telah berubah, Kirana telah berubah. Tapi jauh di dalam hatinya, ada ruang kosong yang belum ia izinkan siapa pun menyentuh.
Ruang yang pernah diisi oleh seseorang bernama Raka.
Hanya saja, kedua anak luar biasa pasti melakukan hal yang luar biasa, kan?
Kirana buru-buru menyusuri lorong berlampu temaram yang menuju ruang kerja Prof. Hari.Namun saat tangannya mendorong pintu kayu tua itu, pemandangan yang menyambutnya adalah dua malaikat kecil yang baru saja bangun tidur—tak berdosa, polos, dan terlalu tenang untuk ukuran anak yang baru saja bikin ulah.
Begitu mata mereka menangkap sosok Kirana, senyum merekah seketika. Seperti matahari menembus celah awan.
“Ibu!” seru Aidan, dengan suara nyaring penuh lega. “Akhirnya selesai juga! Kupikir Ibu akan tinggal selamanya di dalam lab itu!”
“Ibu capek, ya? Sini duduk, biar aku pijitin,” timpal Bayu dengan gaya sok perhatian sambil menarik tangan ibunya seperti pemandu spa cilik.
Mereka menggiring Kirana ke sofa seolah ia tamu penting, memaksanya duduk manis di antara tawa kecil dan perhatian yang begitu tulus. Hati Kirana mencair. Ada kehangatan yang menjalar dari jemari Bayu yang masih kecil ke dalam sanubarinya—hangat, tapi juga mengaduk rasa bersalah yang ia simpan rapi.
Namun ketenangan itu cepat diusik suara dari balik meja.
“Lihat mereka,” gumam Prof. Hari, separuh mencibir, separuh menahan tawa. “Manis dan penurut sekali, ya? Tapi sayangnya kalian nggak sepolos ini waktu meretas komputerku tadi pagi.”
Aidan langsung angkat bicara dengan ekspresi tak terima. “Itu salah Profesor sendiri! Ibu disuruh kerja lembur terus. Sekarang lihat, Ibu jadi kurus kering!”
“Benar! Ibu itu manusia, bukan robot! Masa kerja siang malam, nggak ada libur?” sambung Bayu sambil menepuk-nepuk bahu Kirana seolah sedang memijat pasien lelah.
Prof. Hari mengangkat alis, lalu tertawa pendek. “Dua bocah ini terlalu protektif,” katanya, separuh geli, separuh menyerah. “Padahal semua peneliti di sini juga kerja keras, tahu!”
Ia lalu mengalihkan pandangan ke Kirana, sorot matanya melembut. “Jadi, gimana penelitianmu?”
Kirana menghela napas pendek, menyunggingkan senyum tipis yang menyimpan lelah sekaligus kebanggaan. “Lancar, Prof. Nanti saya kirimkan datanya.”
Hening sejenak, sebelum ia bertanya, nadanya berhati-hati. “Ngomong-ngomong, komputer Profesor... sudah pulih datanya?”
Prof. Hari menyapu rambutnya ke belakang dengan telapak tangan. Gerakannya penuh frustrasi.
“Sudah sejam saya coba utak-atik. Tetap nihil. Hilang semua sepertinya.”
Kirana menoleh ke Bayu, lalu menepuk tangannya lembut. “Nak, bantuin Prof. Hari, ya? Tapi jangan iseng-iseng lagi. Gimana kalau ternyata datanya penting banget?”
Bayu mengangguk mantap seperti seorang teknisi profesional yang menerima tugas rahasia. “Tenang, Bu. Aku selalu buat cadangan data dan sistem keamanan berlapis. Aman kok!”
Tanpa banyak bicara, ia berjalan ke arah meja kerja. Jemarinya mulai menari di atas keyboard, cepat dan pasti. Bunyi ketikan memenuhi ruangan, berpadu dengan napas tertahan yang menanti hasil kerja bocah itu.
Aidan berdiri di sampingnya, sesekali memberi saran layaknya rekan sejawat.
Beberapa menit berlalu, dan layar komputer tiba-tiba menyala kembali. Program-program penting muncul satu per satu seolah tak pernah hilang. Cahaya dari layar memantul di wajah Prof. Hari yang kini membeku antara kagum dan tak percaya.
“Hebat…” gumamnya, nyaris tanpa suara. “Anakmu akan jadi dokter sepertimu, kan? Kita harus memastikan laboratorium kita jadi nomor satu di masa depan.”
Kirana menggelengkan kepala mendengarnya.
Semua karena dua anak lelakinya yang memiliki otak seperti rangkaian mesin!
Kirana memperlakukan Elina layaknya bagian dari jiwanya yang pernah hilang. Ada sesuatu di mata gadis kecil itu yang mengingatkan Kirana pada masa lalu yang tak pernah benar-benar sembuh.Ia merawat Elina bukan hanya karena belas kasih, tapi juga sebagai semacam penebusan atas kehilangan yang tak pernah ia beri nama.Hari-hari berlalu dalam ritme yang baru, lebih hangat. Aidan dan Bayu, dua anak laki-laki yang biasanya tak mudah akrab dengan orang asing, lambat laun mulai menerima kehadiran Elina seperti adik yang sudah lama mereka tunggu.Di rumah, mereka suka bermain bersama, menggambar di lantai ruang tengah, tertawa sampai lupa waktu.Di taman kanak-kanak, mereka seperti pengawal kecil, berdiri di kiri-kanan Elina, melindungi dari keributan anak-anak lain yang kadang terlalu riuh.Dan Elina? Gadis kecil itu tampak bahagia, dengan senyum yang tak pernah betah bersembunyi terlalu lama.Ada kilau di matanya, seolah tempat baru ini perlahan-
"Udah malam, Pak Pradana. Mending Bapak pulang dulu. Terima kasih ya, udah repot-repot jemput anak-anak hari ini."Suara Kirana terdengar tenang, tapi ada getaran halus yang tersembunyi di ujung kalimatnya. Raka menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun bibirnya hanya bergerak sedikit sebelum ia akhirnya mengangguk pelan.Langkahnya berat saat berbalik, seperti ada beban tak kasat mata yang menggantung di punggungnya.Angin malam menyambutnya ketika ia keluar dari rumah itu. Suara serangga yang bersahutan di halaman hanya menambah kegelisahan yang sejak tadi mengendap di dadanya.Jalanan sudah sepi, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan ke aspal basah, membuat bayangan pepohonan tampak meliuk pelan, nyaris seperti menari di atas genangan.Dalam perjalanan pulang, pikirannya tidak bisa diam. Ada sesuatu yang mencengkeram, mencubit dari dalam.Bukan rasa bersalah, bukan pula amarah. Lebih seperti… kehilangan.
Keheningan turun pelan-pelan seperti kabut tipis yang menyusup masuk dari celah jendela. Ruang makan itu—berdinding abu lembut dan lampu gantung berpendar kekuningan—mendadak terasa terlalu luas, terlalu sunyi.Suara garpu yang bersentuhan dengan piring menjadi satu-satunya tanda bahwa waktu masih berjalan. Tak satu pun dari mereka berbicara, bahkan napas pun ditahan seolah suara bisa menyakiti.Elina, duduk di ujung meja dengan punggung tegak namun mata kosong, ikut terbawa suasana. Sorot matanya memantul dari wajah Raka yang tegang ke dua adik laki-lakinya yang menunduk dalam diam.Ia belum paham seluruhnya, tapi perasaan berat itu menular—seperti mendung yang menyelimuti hatinya sendiri.Bibirnya yang mungil terkatup rapat, dan sejenak, ia terlihat jauh lebih dewasa dari usianya.Raka, yang duduk di kursi kepala meja, sempat mencoba menyisipkan humor ringan—tentang kucing yang ia temui di parkiran kantor, atau tentang betapa konyolnya bosnya ter
Malam itu, ruang makan kecil yang disinari cahaya kuning lampu gantung berubah senyap. Aroma hangat sup ayam masih melayang-layang di udara, namun tak ada satu pun yang tampak benar-benar menikmati hidangan di hadapan mereka.Raka sempat tertegun, napasnya tertahan sejenak sebelum ia menarik senyum seadanya—senyum tipis yang terlalu tergesa untuk bisa terlihat tulus.“Nggak kok… cuma pengin tahu aja. Sedikit rasa penasaran, itu aja,” ujarnya pelan, seperti berjalan di atas kaca tipis.Aidan memandangnya tajam, lama, dengan sorot mata yang tak lagi ramah. Ada sesuatu yang retak di balik tatapan itu—mungkin kemarahan, atau luka lama yang menganga.Ia kemudian membuang muka, rahangnya mengeras.“Sejak kami lahir, kami belum pernah lihat wajah ayah kami,” ucapnya, dingin dan tegas, setiap katanya seperti lemparan batu ke dalam danau yang tenang.“Dia ninggalin Ibu dan kami. Buatku, dia pengecut. Aku nggak suka dia.”Suaranya tak tinggi, t
Setelah memesan makanan sesuai selera dua bocah laki-laki di hadapannya, Raka menyandarkan punggung ke sandaran kursi, berusaha mencari celah dalam keheningan.Restoran itu sebenarnya cukup ramai, dengan suara gelas beradu dan tawa pelan dari meja-meja lain, tapi di meja mereka, hanya bunyi logam sendok menyentuh piring yang mendominasi.Pelayan datang membawa nampan, uap tipis mengepul dari sepiring nasi hangat dan lauk yang menggoda.Raka memberi isyarat ringan dengan tangannya. Makanan diletakkan perlahan di hadapan Aidan dan Bayu.Aroma gurih menguar, mengisi udara di sekitar mereka.“Terima kasih, Pak Pradana,” ujar Aidan. Suaranya datar, terukur, namun tetap sopan.“Ah, jangan sungkan,” sahut Raka sambil tersenyum tipis, meski bibirnya terasa kaku. Ia mengangguk kecil, seperti orang yang terbiasa bersikap formal tapi asing dengan interaksi seperti ini.Jelas terlihat: ia tidak terbiasa duduk berhadapan dengan anak-anak, apalagi
Aidan memandangi wajah Raka dengan sorot mata tajam, nyaris menusuk, seakan ingin menyibak lapisan demi lapisan jawaban dari balik ketenangan ayahnya."Ibu ke mana? Kenapa bukan Ibu yang jemput?" tanyanya, suara datarnya menyimpan nada tak percaya.Dari sebelahnya, Elina ikut mengarahkan pandang ke ayah mereka, tidak menyela, tapi menanti. Udara di halaman sekolah sore itu terasa menggantung, seolah ikut menahan napas.“Ia masih kerja di lembaga riset,” jawab Raka, suaranya lembut namun tetap mantap, “mungkin pulangnya agak malam. Aku datang duluan supaya bisa ajak kalian makan malam.”Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan senyum tipis yang nyaris tak kentara, “Lagipula, pasti kalian sudah lapar, kan? Yuk, ikut aku.”Bayu, yang sejak tadi menahan rasa laparnya dengan menggigit bibir, menoleh ke Aidan, berharap saudaranya segera menyetujui.Namun melihat Aidan masih terpaku, ia ikut bungkam, menyembunyikan semangatnya di balik tatapan