Begitu mendengar kalimat itu, tatapan Zelina seketika menajam, seperti kilat yang menyambar diam-diam di tengah langit malam.
Sekilas, sorot matanya menyimpan badai yang belum sempat meledak. Namun, saat ia berbicara, suaranya tetap lembut, bahkan terdengar nyaris lugu—sebuah kontras yang justru mempertegas ada sesuatu yang disembunyikan di balik ketenangan palsu itu.
“Maksudmu apa?” katanya pelan, dengan senyum tipis yang nyaris tak menyentuh matanya. “Aku justru bersyukur kamu bisa menyembuhkan Pak Baskoro. Mana mungkin aku berniat menjatuhkanmu?”
Ucapan itu meluncur halus seperti teh manis yang disajikan terlalu panas—menggoda untuk dipercaya, tapi menyisakan rasa tak nyaman di lidah.
Kirana menghela napas, matanya menyapu wajah Zelina tanpa ragu, seperti sedang mengurai simpul kebohongan.
Tak ingin berlarut dalam permainan kata-kata manis yang palsu, ia langsung menanggapi dengan suara jernih dan dingin.
“Kau tahu betul apa yang kumaksud
Raka mengernyit, langkahnya pelan tapi mantap mendekati Elina yang berdiri membatu di bawah rindangnya pohon flamboyan halaman sekolah.Daun-daunnya yang berguguran diam-diam mengendap di pundak gadis itu, seolah ikut merasakan berat yang sedang dipikulnya.Udara sore menggantung lembab dan tenang, menyisakan sisa riuh anak-anak yang tadi berlarian pulang.Ia mengulurkan tangan, menepuk kepala Elina dengan lembut—sebuah gerakan yang dulu selalu berhasil mencairkan suasana.“Kenapa kamu murung, Sayang? Aku telat, ya? Maaf, Ayah—”Tapi baru sebagian kata keluar, Elina sudah lebih dulu membalas dengan lirih mencibir. Tanpa sepatah pun kata, ia melangkah pergi, melewati ayahnya dengan bahu yang kaku dan langkah cepat.Tidak sekali pun ia menoleh.Raka terdiam, tangannya masih terangkat seperti patung yang kehilangan fungsi. Kata-katanya pun terhenti, membeku di tenggorokan.Ia hanya bisa menatap punggung kecil yang semakin menjauh,
Begitu pesan misterius itu menyembur di layar, seperti lonceng kematian yang dibunyikan di tengah keheningan, suasana ruang kendali seketika berubah.Layar utama mendadak dipenuhi barisan kode menyerang, cepat dan rumit, seolah disusun oleh tangan yang tahu persis di mana harus menusuk.“Apa-apaan ini? Siapa sebenarnya dia?!” seru Zelina. Wajahnya memucat, tapi ada bara marah yang menyala tajam di matanya.Tangannya bergerak cepat di atas keyboard, menciptakan simfoni bunyi klik yang kacau namun terlatih.Di sekelilingnya, staf teknis lain tak kalah gesit. Jemari mereka menari seperti prajurit yang tahu medan perang digital bukan untuk mereka yang ragu.Namun di balik profesionalisme itu, semua tahu: ini bukan serangan biasa. Ini personal.Dan pesan itu—ah, pesan itu—masih membekas dalam benak Zelina.Hebat, iya... Tapi gayanya seperti anak kecil ngambek, pikirnya, geli sekaligus kesal. Ada sesuatu yang janggal, seperti mende
Setengah jam berlalu. Di antara gumaman kipas angin dan dengung nyaris tak terdengar dari server di ujung ruangan, jari-jemari Bayu tiba-tiba berhenti menari di atas keyboard.Suasana yang sejak tadi tegang, mendadak hening—seperti udara yang menahan napas."Kenapa berhenti?" Aidan bertanya, dahinya berkerut, matanya tak lepas dari layar.Bayu hanya menoleh sambil tersenyum lebar. Senyum yang aneh—bukan ekspresi kecewa atau frustrasi seperti yang Aidan duga.“Serangannya... aneh banget,” gumam Bayu, lalu terkekeh pelan. “Tapi seru.”Aidan memiringkan kepala, bingung. “Kok kamu malah senang?”Bayu mengangguk santai, menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Soalnya lawan yang barusan itu jago banget. Rasanya kayak adu catur, tapi semua langkahnya pakai kode. Seru banget. Dan aku yakin, dia bukan dari Pratama Group. Terlalu... cerdas untuk kerja sama orang-orang kayak mereka.”Aidan masih diam, mencoba mencerna kata-kata Bayu. Walau tak s
Sasmita mengerutkan kening, garis-garis halus di wajahnya mengeras. Cahaya dari lampu gantung di langit-langit ruang rapat yang serba putih memantul di lensa kacamatanya, menambah ketegasan sorot matanya.“Jadi maksudmu,” suaranya pelan, tapi menyimpan bara, “kalian benar-benar tidak bisa mengatasinya?”Manajer IT itu menunduk, tangan gemetar memeluk tablet yang tadi ia bawa seperti tameng. “Maaf, Pak...” ucapnya, nyaris seperti bisikan yang patah di tengah jalan.“Bodoh.” Sasmita mendesis. Nadanya tak melonjak, namun justru karena itulah ucapannya terdengar lebih menampar.Ia berbalik cepat, jas abu-abu arangnya berkibar ringan seiring langkahnya mendekati sosok yang sejak tadi berdiri membisu di dekat jendela: Zelina, putrinya.Gadis itu menoleh perlahan, matanya merah—entah karena cemas atau amarah yang dipendam. Sasmita menatap lurus ke arah anaknya.“Kita tidak punya pilihan. Hubungi pihak Raka. Tanyakan apakah mereka bisa bant
Bayu mengusap sisa keringat dingin di pelipisnya, mengingat kembali semalam saat tubuhnya menggigil seperti daun dihempas angin malam.Ia sempat demam tinggi—panasnya begitu menyiksa, membuat setiap helaan napas terasa berat. Tapi kini, melihat Aidan bisa bangkit lebih dulu, ia merasa tertantang.Dengan semangat setengah main-main, Bayu ikut melompat turun dari sofa. Suara langkah kecilnya berlari di lantai kayu menggema, menghampiri Kirana yang masih berdiri tak jauh dari meja makan.“Bu!” serunya lantang, senyum lebar menghiasi wajahnya yang masih sedikit pucat. “Aku juga udah jauh lebih baik! Obat dari Ibu hebat banget. Ibu tuh dokter terbaik sedunia! Aku dan Aidan sayang banget sama Ibu!”Kirana tak bisa menahan tawa kecilnya. Tangan kirinya refleks menyeka sisa air sabun dari piring yang belum sempat ia bilas, lalu memutar tubuhnya menatap dua bocah kesayangannya.Ada hangat yang menjalar di dadanya—melihat mereka ceria seperti ini selalu jadi
Begitu pintu kamar belajar tertutup rapat, suasana di kamar anak-anak itu berubah seketika. Sunyi yang tadinya terasa biasa saja kini mendadak memadat, seolah udara pun ikut menahan napas.Aidan dan Bayu langsung duduk tegak seperti tentara yang baru saja menerima perintah. Tak ada lagi wajah lesu atau tubuh yang rebah malas.Mata mereka berbinar—campuran antara antusiasme dan kenakalan yang nyaris tak terkendali. Bayu segera menarik laptop ke pangkuannya, senyumnya merekah lebar seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan rahasia.“Virusnya masih belum bisa dibobol!” ucapnya dengan bangga, hampir seperti membual tapi dengan kilatan puas yang nyata di matanya.Aidan melirik ke arah jam dinding bergaya vintage yang tergantung miring di tembok—jarum panjangnya baru saja melewati angka sembilan.Ia mengangguk kecil, yakin betul akan sesuatu yang tak ia ucapkan dengan lantang.“Sekarang pasti dia udah di kantor,” gumamnya dengan nada mant