"Keluar dulu," suara Raka terdengar pelan tapi tegas, suaranya tak mengandung emosi, nyaris datar, saat ia menoleh ke arah tiga pasang mata yang mengintip dari ambang pintu.
"Jangan masuk."
Ketiganya—Aidan, Ellie, dan Revan—saling bertukar pandang. Ada kegamangan yang jelas terbaca dari sorot mata mereka, tapi setelah melihat Kirana duduk tenang dengan tangan yang mulai ditangani, ragu itu perlahan-lahan surut.
Dengan langkah pelan dan kepala sedikit tertunduk, mereka mundur, membiarkan ruang dapur kembali sepi.
Udara di dalam ruangan itu sejenak terasa hening dan padat. Bau alkohol dari antiseptik melayang tipis di antara aroma sisa sayur lodeh dan nasi yang masih mengepul dari meja makan.
Dengan gerakan yang tampak dilatih oleh kebiasaan, Raka mengeluarkan sapu tangan bersih dari saku celana jinsnya—warnanya biru pudar, dengan pinggiran yang mulai berjumbai.
Ia membalut jari Kirana dengan cekatan. Meski jemarinya kaku, setiap lilitan kain
Udara pagi di Bandung menyisakan jejak embun di kaca jendela mobil-mobil yang parkir di sepanjang jalan.Langit mendung menggantung seperti jubah kusam yang belum sempat digantungkan, menyelimuti suasana hati Elina yang sekelam warna bajunya hari itu.Langkah kecilnya terseret pelan, seakan sepatu yang ia kenakan terbuat dari batu. Wajahnya mencemberut, menyuarakan penolakan yang tak sempat ia ungkapkan dengan kata.Di sampingnya, sang ayah berjalan diam—terlalu sunyi untuk disebut pendamping, terlalu jauh untuk dibilang pelindung.Namun seketika, seberkas cahaya menyeruak dari balik langit kelabu: sosok Kirana berdiri di kejauhan, rambutnya tersapu angin lembut, mata menatap ke depan namun tampak ragu.Elina tersentak—mata beningnya membulat, menyala oleh harapan seperti lilin yang baru dinyalakan di ruangan gelap.Ia berlari kecil, lalu berhenti di depan Kirana, menarik rok wanita itu pelan-pelan. Jemarinya yang mungil dan dingin mencengke
Perasaan bersalah datang menyergap Kirana seperti ombak besar yang menggulung tiba-tiba—tak terduga dan tak terbendung.Jantungnya berdetak lebih cepat, dada terasa sesak, seakan ada yang mengganjal di tenggorokan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, berusaha meredam tangis yang mulai pecah.Tapi tetap saja, air mata jatuh juga, satu-satu, seperti butir mutiara yang terlepas dari untaiannya—jernih, rapuh, dan tak terbendung.Ia menarik napas panjang, sekali, dua kali. Dingin udara sore menyeruak lewat celah jendela rumahnya yang terbuka separuh, namun tak cukup untuk meredakan panas yang menggelegak di dadanya.Ia tahu, ia tak boleh kalah. Tidak sekarang.Segalanya tiba-tiba menjadi jelas. Terlalu jelas. Raka—pria yang dulu pernah ia percayai untuk menjadi ayah bagi anak-anaknya—tak akan pernah bisa menerima Aidan dan Bayu.Tak akan pernah. Ada sesuatu dalam sorot matanya, cara ia diam ketika nama mereka disebut, cara ia menghindari pembic
Dengan amarah yang mendidih hingga ke ujung rambut, Elina melempar boneka kelincinya ke lantai. Bunyi kepalanya yang berbenturan dengan lantai kayu menciptakan dentuman lembut namun pedih, seperti tangisan yang tertahan.Ia berlari menaiki tangga tanpa menoleh. Rambut kuncir satu yang biasanya melambai ceria kini melambai penuh emosi, seirama dengan langkah kaki kecilnya yang menghentak kasar di setiap anak tangga."Aku nggak akan percaya Ayah lagi!"Di ruang tengah, suara itu menggema. Raka yang duduk di sofa dengan tubuh sedikit membungkuk langsung membuka mata, seakan tersentak dari lamunan yang tak nyaman.Ia memejamkan mata sejenak, merasakan denyut pelipisnya berdegup lebih keras dari biasanya. Bukan karena tekanan darah, tapi karena rasa bersalah yang perlahan mencubit sisi-sisi hatinya.Langit sore menggantung di balik jendela, mengguratkan warna jingga yang menyusup masuk ke dalam rumah, menyinari rak buku dan bingkai-bingkai foto
Raka membeku, tubuhnya kaku seperti batu karang diterjang gelombang. Bahunya menegang, dan kerongkongannya terasa kering saat mencoba mengucapkan penjelasan.“Memang, aku sempat bicara sama kepala sekolahnya, tapi itu—”Belum sempat kata-kata itu menyentuh udara sepenuhnya, Kirana memotongnya. Suaranya melenting, tajam dan sarat luka.“Kamu nggak sadar kalau kamu keterlaluan?”Nada bicaranya tak lagi bisa ditahan, meluncur cepat seperti air yang menerobos bendungan. “Apa pun yang pernah terjadi antara kita, itu urusan kita berdua. Kalau mau marah, marah ke aku. Aku siap terima. Tapi jangan sentuh anak-anak, Raka. Mereka nggak tahu apa-apa.”Ia mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku-bukunya memucat. Kukunya menancap ke telapak, meninggalkan cekungan kecil, nyeri yang terasa nyata namun tak seberapa dibanding sakit yang menggelegak di dada.“Aku tahu aku salah di masa lalu,” lanjutnya, kali ini lebih lirih. Suaranya bergetar seperti rantin
Langit senja di Bandung mulai berubah warna, jingga berganti ungu lembut, menelusup di antara pucuk-pucuk pohon pinus di kawasan Dago.Asap knalpot mobil bercampur angin pegunungan membentuk kabut tipis di jalanan, namun tidak ada yang lebih keruh daripada benak Kirana sore itu.Langkahnya cepat saat keluar dari kantor, sepatu hak rendahnya berdetak di lantai trotoar basah sisa gerimis tadi.Wajahnya tetap rapi, namun matanya menyimpan badai kecil yang sudah dari pagi ia tahan. Dua anak laki-lakinya, Aidan dan Bayu, langsung berlari kecil menyambut dari bangku taman kecil di halaman kantor.“Aku masih agak sibuk,” ucap Kirana, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang, meski ada semburat ketegangan di ujungnya. “Bagaimana kalau kalian main dulu sama Tante Mahira, ya?”Ia berjongkok, menggenggam tangan Bayu sambil menatap Aidan. Senyumnya dipaksakan, seperti daun yang tetap menggantung meski batangnya retak.Kedua anak itu saling berpandanga
Bagaimana bisa dia berkata seperti itu—di depan Elina pula? Kirana merasakan dada yang semula tenang kini menegang, seperti kawat piano yang ditarik paksa.Hatinya panas, membara oleh kemarahan yang ia tahan di balik raut wajah yang tetap lembut.Ia belum menyadari bahwa kalimat yang baru saja ia ucapkan telah mengguncang emosi Raka. Wajah pria itu mengeras, tatapannya menusuk seperti mata pisau yang terhunus dalam diam.Namun Kirana, tetap dengan kelembutan yang dipelajarinya dengan susah payah selama bertahun-tahun, justru menunduk, lalu berjongkok pelan di hadapan Elina."Ayo, Sayang... Ayahmu sudah datang menjemput. Ibu juga harus pergi. Pulang, ya, sama Ayah." Suaranya lirih, hampir seperti bisikan angin sore yang menyelinap di sela-sela pohon palem di halaman sekolah.Elina menatapnya. Bola matanya yang besar berkilat oleh kebimbangan. Ia sempat melirik tangan ayahnya yang terulur di udara, kaku dan ragu-ragu.Namun sorot matanya kemba