Bagaimana jika Raka tahu bahwa anak-anak itu sebenarnya darah dagingnya sendiri?
Pertanyaan itu terngiang di kepala Kirana seperti gema yang tak kunjung reda. Rasanya seperti gemuruh badai yang mengguncang dadanya dari dalam, membuat napasnya menjadi berat dan tidak teratur.
Bayangan tentang Raka—dengan sikapnya yang tenang namun tak pernah benar-benar bisa ditebak—mengetahui kebenaran itu, membuat kulit Kirana terasa dingin meski udara sore menghembus hangat dari jendela dapur.
Ia tahu, Raka bukan pria yang akan tinggal diam jika menyangkut sesuatu yang menjadi haknya. Dan kini, dengan kekuasaan yang dimilikinya, mengambil alih hak asuh anak-anak bukanlah perkara rumit bagi pria itu.
Kirana menahan napas, seperti seseorang yang berdiri di tepi jurang. Ia bahkan tak berani membayangkan hidupnya tanpa Aidan dan Bayu—kedua malaikat kecil yang selama ini menjadi pusat semestanya.
Itu akan menghancurkanku, bisiknya dalam hati.
Tiba-tiba
Angin pagi masih menyusup pelan lewat sela-sela jendela mobil, seolah ikut menggoda pikirannya yang tak kunjung tenang.Sepanjang perjalanan tadi, Kirana lebih banyak diam, memandangi jalanan yang melintas di balik kaca.Hatinya sibuk bertarung dengan keputusan yang baru saja diambilnya, keputusan yang meski terasa berat, tetap ia yakini sebagai yang terbaik.Ada perih yang tak bisa disangkal saat membayangkan harus berpisah dengan Elina. Namun, lebih dari sekadar rasa kehilangan, Kirana merasa lelah.Lelah karena kehadiran Raka yang semakin sering datang, seperti bayangan yang tak kunjung pergi, menghantui tiap sudut rumahnya.Bukan untuknya, bukan pula untuk berbicara tentang masa lalu mereka yang menganga, tapi untuk Elina.Sejak awal, ia sudah tegas menyatakan bahwa mereka berdua adalah orang asing. Tak ada janji, tak ada ikatan, hanya masa silam yang tertinggal tanpa penjelasan.Tapi entah kenapa, belakangan ini, Raka hadir seper
Kirana baru saja menarik sabuk pengaman dan menyentuh tombol starter ketika suara klik kasar di sebelahnya membuat jantungnya melompat.Pintu penumpang terbuka mendadak, dan seorang pria menyusup masuk begitu saja, membawa serta udara dingin yang seperti mencengkeram tulang.Kirana tersentak. Matanya terbelalak saat mengenali wajah yang kini duduk di sebelahnya. “Apa-apaan ini, Pak Pradana?”Tanpa menjawab, pria itu, Raka, menutup pintu pelan namun mantap. Gerakannya tak tergesa, tapi menyiratkan kehadiran yang tak bisa ditolak.“Nggak apa-apa. Mobilku mogok,” ujarnya datar, menoleh ke arah Kirana sejenak, “Kebetulan lihat kamu lewat. Antar aku pulang, ya, Bu Alesha.”Nada suaranya terdengar ringan, tapi hawa yang menguar dari tubuhnya membawa kecanggungan yang pekat.Aroma jaket kulitnya masih menyimpan sisa gerimis sore, dan udara dalam mobil kini terasa sesak, seperti terperangkap dalam ruangan tanpa ventilasi.Kirana semp
Langit Bandung menjelang senja tak benar-benar gelap, seolah menunda malam demi memberi jeda pada kota yang masih ingin bergerak.Dari kejauhan, siluet pegunungan seperti bayangan samar yang mengintip dari balik kabut tipis.Di halaman depan fasilitas penelitian yang modern namun tak kehilangan nuansa tropisnya, Kirana melangkah keluar bersama Wiratama.Bau logam tipis dari laboratorium masih melekat di udara, bercampur dengan aroma bunga kenanga dari taman kecil di samping gedung.Mereka berjalan berdampingan, langkah-langkah mereka teratur, seperti simfoni yang diam-diam sudah terbentuk sejak lama.Tak banyak kata, hanya energi kerja sama yang mengalir alami."Kayaknya udah seminggu kita kerja kayak budak," ucap Wiratama sambil mengibaskan jaket laboratoriumnya, senyumnya menyeringai tapi lelah."Gimana kalau kita rayain sedikit? Makan bareng, misalnya. Aku traktir."Kirana melihat arlojinya, jarum jam sudah melewati angka li
Di halaman depan rumah, aroma rumput yang baru dipotong bercampur dengan bau tanah basah, menyambut pagi dengan tenang.Tapi ketenangan itu seperti terganggu oleh kedatangan para pria berseragam gelap yang mengangkat kotak-kotak besar dari bagasi mobil hitam berkilat.Langkah mereka mantap, nyaris tanpa suara, wajah mereka tanpa ekspresi, seperti patung-patung hidup dari batu granit.Kirana berdiri di ambang pintu, memicingkan mata. Ada kejanggalan yang menggelitik pikirannya. “Ini… apa ya?” tanyanya, nada suaranya lebih keheranan daripada ingin tahu.Raka, yang sejak tadi berdiri santai di samping mobil, hanya mengangkat bahu seolah semuanya biasa saja.“Lego. Kemarin aku dengar anak-anak pengen main itu. Jadi tadi malam aku minta asistennya beli beberapa set. Ada juga puzzle. Yang agak rumit.”Ia menyisipkan tangan ke dalam saku celana, tatapannya tenang, nyaris terlalu tenang.Kirana masih mematung. Matanya menelusuri lagi wajah-wa
Awalnya, Sekar benar-benar yakin bahwa Raka sudah pulang. Rumah itu terlihat tenang dari luar, tidak ada tanda-tanda kehidupan selain lampu taman yang masih menyala redup, bergoyang pelan diterpa angin malam.Tapi satu jam berlalu, dan gerbang itu tetap tertutup. Hatinya mulai diserang gelombang amarah yang mendidih perlahan.Apa yang mereka lakukan selama itu di rumah Kirana? gumamnya dalam hati, rahangnya mengeras. Ketika akhirnya mobil hitam itu muncul dan berhenti di pelataran, wajah Sekar sudah membeku seperti granit.Raka keluar dari mobil dengan langkah malas, jas masih melekat rapi di tubuhnya, tapi sorot matanya dingin, nyaris menusuk.Ketika melihat ibunya berdiri di depan pintu rumah, wajahnya langsung berubah. Bukan kehangatan yang muncul, melainkan kecurigaan dan kekesalan yang tak ditutupi."Ada keperluan apa malam-malam begini, Bu?" tanyanya, suaranya datar, nyaris tanpa intonasi.Mata Sekar membelalak, darahnya mendi
Bayu menarik tangan ibunya dengan semangat yang hampir membuat Kirana terseret. Langkah kakinya ringan seperti angin pagi yang terburu-buru, matanya menyala penuh antusias.Kirana yang masih mengenakan daster berbunga, mengikuti anak bungsunya menuju ruang tengah dengan senyum geli.Di sana, tepat di tengah karpet bulu berwarna abu muda, berdiri sebuah istana yang menjulang setinggi hampir satu meter.Dinding-dindingnya tersusun dari keping-keping Lego berwarna pastel, dengan menara kecil menjulang di tiap sudut dan jendela-jendela mungil yang seperti siap ditempati para peri.“Kita udah selesaiin kastilnya, Bu!” seru Bayu, dada membusung bangga.Di sebelahnya, Aidan dan Elina berdiri sejajar, wajah mereka bersinar seperti lampu sore yang menembus jendela.Pipinya memerah karena bangga dan kelelahan. Kirana mendekat perlahan, lututnya menekuk saat ia berjongkok agar sejajar dengan pandangan mereka.Matanya tak berkedip mem