Dia mengejarku? Tapi… kenapa? Bukankah dia seharusnya membenciku?
Pertanyaan itu bergaung di kepala Kirana, terus-menerus seperti gema yang tak tahu malu. Wajahnya mendung, seperti langit Bandung usai hujan sore hari—tidak sepenuhnya gelap, tapi juga jauh dari terang.
Melihat sorot matanya yang mulai meredup, Mahira menepuk lutut sahabatnya dengan pelan. Sentuhan kecil itu seperti secercah hangat yang datang dari arah barat saat matahari mulai turun.
Lalu suaranya, hangat dan mantap, mengisi ruang yang sempat hening.
“Udah, jangan terlalu dipikirin. Bandung itu besar, Ran. Selama kamu nggak sengaja nongol di tempat dia kerja atau main ke komplek rumahnya, kemungkinan kalian ketemu itu kecil banget. Lagian, pekerjaan kamu juga udah beda galaksi sama dia, kan?”
Kirana hanya mengangguk pelan. Gerakan kecil itu tak menyembunyikan kegelisahan di balik matanya. Ada kekhawatiran yang menggantung di sana—rapuh, tapi
Raka mengikutinya dari belakang, langkahnya terjaga namun gelisah, seolah takut suara sepatunya mengusik kesunyian yang tersisa dalam pikirannya.Di depannya, Kirana melangkah cepat, tapi jejak panik masih membekas pada setiap gerakannya.Pintu keluar rumah hantu itu sebenarnya tak sulit ditemukan. Namun dalam gemuruh cahaya strobo, jeritan rekayasa, dan kabut tebal buatan yang menyerupai pelukan hantu masa lalu, Kirana sempat kehilangan arah.Nafasnya memburu, pandangannya kabur oleh kecemasan yang menjelma nyata. Ketakutan bukan hanya datang dari efek visual atau suara, tapi dari sesuatu yang jauh lebih dalam—sebuah kenyataan yang baru saja ia dengar dari mulut Raka, dengan nada lirih yang mengguncang.Saat akhirnya ia berhasil menenangkan dirinya, Kirana seperti tersadar dari mimpi buruk yang terlalu nyata.Langkahnya menuntunnya pada pintu kayu bercat hitam yang menggembok dunia ilusi itu dari dunia luar.Ia menyibak tirai tebal yang men
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benak Kirana, berputar-putar tanpa henti seperti daun-daun gugur yang terseret pusaran angin.Tapi bibirnya tetap terkatup rapat. Ada sesuatu yang menahannya—mungkin rasa takut, atau mungkin luka lama yang enggan dibuka lagi.Sorot matanya buram oleh kebimbangan.“Ibu!”Suara nyaring itu menusuk keheningan seperti panah melesat di udara. Dua sosok kecil berlari menembus kegelapan, langkah mereka cepat dan tergesa.Di wajah Aidan dan Bayu terpancar kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Nafas mereka memburu, mata mereka liar mencari sosok yang paling mereka kenal dan cintai.“Akhirnya kami nemu Ibu! Ibu nggak apa-apa, kan?”Tanpa ragu, mereka mendekat dan langsung berdiri di sisi Kirana—yang saat itu masih digenggam erat oleh Raka.Kontak mata singkat antara dua bersaudara itu, cukup untuk saling memahami: bahaya sedang mengintai.Bayu segera melangkah ke depan, dadanya membusung
Kirana menarik napas panjang, lambat, seolah udara malam yang lembap bisa meredakan badai kecil yang berputar di dalam dadanya.Suaranya lembut tapi mengandung getar yang sulit disembunyikan. “Aku hargai itu, Raka. Tapi kamu tahu... aku butuh lebih dari sekadar ucapan untuk bisa percaya.”Dari seberang, suara Raka terdengar berat, penuh muatan perasaan yang ia tahan-tahan. “Aku paham.”Hening sesaat. Hanya desahan napas dan suara malam yang merambat di antara mereka.“Aku bersedia melakukan apa pun, Kirana. Aku peduli pada Aidan dan Bayu. Aku ingin mereka tumbuh dalam rumah yang penuh tawa, bukan trauma... tempat yang bisa mereka sebut ‘rumah’ tanpa merasa tercekik.”Kirana menunduk. Rambutnya yang bergelombang jatuh ke pipi, sedikit menutupi ekspresi wajah yang tak sepenuhnya bisa ia kontrol.Matanya terpejam sejenak, mencoba menjinakkan gemuruh emosi yang datang bergelombang. Rasa marah, lelah, ragu, dan harapan—semuanya bertumpuk tak bera
Raka mengangguk, perlahan, nyaris seperti gerakan seorang pria yang sedang menelan beban berton-ton di dadanya.Matanya tetap terpaku pada Kirana, seolah ingin mengukir wajah itu dalam ingatannya."Kau pegang kata-kataku, Kirana. Aku nggak akan mengecewakanmu."Nada suaranya dalam, berat, namun bukan tanpa kelembutan. Di balik setiap kata, ada semacam ketulusan yang terasa gamang—seperti orang yang sedang memanjat tebing dengan kaki gemetar tapi tak mau berhenti.Kirana hanya diam sesaat sebelum memutar tubuhnya. Langkahnya mantap meninggalkan halaman sekolah kecil di Dago itu, tempat yang kini mulai lengang, hanya menyisakan desir angin sore yang menggugurkan daun-daun ketapang ke tanah berpasir.Suara sepatunya beradu dengan kerikil, menjadi satu-satunya musik pengiring kepergiannya. Di belakang, Raka tetap berdiri mematung, membatu seperti patung taman yang ditinggalkan waktu.Pikirannya terus berkecamuk, mengaduk-aduk masa lalu
Ia berhenti sejenak. Suaranya berubah—lebih padat, lebih berat, seolah setiap kata membawa beban yang sudah lama dipendam.“Memang,” ucapnya akhirnya. “Aku sempat bicara pada kepala TK waktu tahu Aidan dan Bayu satu sekolah dengan Ellie. Tapi setelah kejadian itu—yang, kau tahu, cukup menghebohkan—aku janji pada diriku sendiri nggak akan campur tangan lagi. Demi Ellie.”Raka menunduk sejenak, jemarinya mengepal di sisi sofa seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak.“Tapi semua ini... berawal dari Zelina. Dia lihat Aidan dan Bayu di halaman sekolah waktu nganterin Ellie pagi-pagi. Dan, seperti yang bisa kau tebak, dia langsung menemui kepala sekolah, minta mereka dikeluarkan. Aku baru tahu kejadian itu setelah kamu datang ke rumah.”Kirana tertawa pelan. Tapi tidak ada kehangatan di sana, hanya nada getir yang menggantung di udara seperti kabut dingin.Senyum sinis menyelip di sudut bibirnya, dan matanya—yang biasa lembut saat menatap anak-anaknya
Udara dingin Bandung malam itu menyelusup masuk lewat sela-sela jaket tipis Kirana, namun bukan hawa dingin yang membuat tubuhnya menggigil.Di tengah koridor sempit yang remang di sisi bangunan tua, ia bisa merasakan setiap detak jantungnya seperti genderang kecil yang memukul dadanya dari dalam.Tubuhnya masih gemetar, lututnya nyaris tak kuat menopang langkah.Tiba-tiba, sebuah suara yang tak asing mengalun, pelan namun dalam, seperti embun yang jatuh di atas kaca:“Kalau kamu sebegitu takutnya... kenapa datang ke sini?”Kirana membeku.Ia mengenali suara itu secepat indera penciumannya menangkap aroma yang menampar kenangan—aroma kayu manis dan hujan, aroma yang tak mungkin salah.Ia mendongak perlahan, seperti sedang berusaha menolak keyakinannya sendiri, dan mendapati sosok itu berdiri tak jauh di depannya.Raka.Wajah itu. Tatapan itu.Ada kecemasan di matanya, tapi juga keteguhan—campuran emosi yang memban