Aidan terdiam, pandangannya jatuh pada sepasang sepatu kecil Elina yang sedikit kotor terkena debu taman. Dadanya terasa sesak, seolah sesuatu yang lama terkubur mulai menggeliat pelan. Hatinya... melembut.
Ada jeda di benaknya, ruang kosong yang tiba-tiba terisi oleh kemungkinan yang tak pernah sempat ia bayangkan.
Andai saja dia bukan anak dari wanita itu, batinnya, getir. Kalau saja Ayah tidak...
Ia tak sanggup menyelesaikan kalimat itu. Kenangan yang membebani, seperti kabut yang menolak sirna.
Ia melirik Bayu yang berdiri tak jauh di sampingnya—wajah tegang, bibir terkatup rapat, tangan mengepal halus. Aidan tahu, mereka berdua sebenarnya ingin hal yang sama: menjaga Elina, melindunginya seperti seorang adik kandung.
Tapi kenyataan terlanjur mencabik impian itu. Mereka tak bisa membiarkan perasaan pribadi mengkhianati luka ibu mereka—luka yang belum pulih, yang masih menyala di balik senyum sabarnya.
Saat A
Baru saja Kirana selesai menyematkan anting mungil di telinganya, suara dering ponsel memecah keheningan kamar yang berbau samar lavender dari lilin aromaterapi yang masih menyala di sudut meja rias.Layar ponsel menyala, menampilkan nama yang sudah tak asing: Lukman.Ia menarik napas pelan, bibirnya terangkat membentuk senyum samar. Jari-jarinya meraih helai rambut yang masih lembap, mengusapkannya ke belakang telinga sebelum menekan tombol hijau.“Lagi di mana?” suara Lukman terdengar ringan, nyaris gumam, tapi entah kenapa, kehangatannya membuat kamar kecil itu seolah dipenuhi udara berbeda.“Di rumah. Ada apa?” sahut Kirana, matanya tetap pada bayangan di cermin. Kilasan jarum jam di dinding membuatnya sadar—waktu meluncur lebih cepat dari yang ia kira.Terdengar tawa kecil dari seberang. “Aku jemput, ya?”Kirana terdiam sejenak. Ia tak perlu bertanya, sudah bisa menebak maksudnya. Malam ini mere
Suara seruan Aidan dan Bayu pecah nyaring, meluncur hampir bersamaan, seolah melesat menembus udara pagi yang penuh riuh di halaman sekolah. Mereka berdua menarik lengan Kirana, mata membelalak, suara terengah.“Ibu! Itu Ellie!”Kirana, yang sejak tadi berjalan dengan wajah tanpa ekspresi, seperti menyembunyikan diri di balik dinding tak terlihat, akhirnya menoleh.Dan di sana, seakan waktu melambat, sosok mungil dengan jaket merah muda kebesaran berlari ke arahnya. Elina. Rambutnya yang dikuncir pita tampak hampir lepas, wajahnya berpendar cahaya semangat yang murni, tulus, tak terkotori keraguan.Tak jauh di belakang, langkah Raka menyusul, tenang tapi pasti. Di tangannya tergantung tas kecil bergambar binatang, sementara matanya—ah, mata itu—menatap Kirana dengan intensitas yang tak bisa begitu saja diabaikan.Ada sesuatu yang sulit dijabarkan di sana: kekhawatiran, kerinduan, juga sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ka
Raka menyipitkan mata, alisnya sempat bertaut. “Aku masih mikir langkah selanjutnya,” gumamnya lirih, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Suaranya tenggelam di tengah musik lembut yang mengalun di restoran itu.Bara, yang duduk berhadapan dengannya, tiba-tiba merogoh saku jaket. Gerakan kecil itu cukup untuk membuat Raka menoleh, alisnya terangkat, menunggu jawaban dari sesuatu yang belum ia tanyakan.Dengan senyum nakal yang sudah jadi ciri khasnya, Bara mengeluarkan dua lembar tiket. Kertas tebal berwarna gading dengan tepi emas itu berkilau terkena pantulan lampu gantung restoran yang temaram.“Kebetulan banget, tadi pagi aku dapet dua tiket konser.” Ia menyodorkan tiket itu dengan gaya santai, seperti sedang menawarkan permen, padahal jelas benda itu lebih berharga. “VIP, bro. Ajak dia nonton. Siapa tahu... suasananya bisa lebih cair.”Raka menerima tiket itu perlahan, seolah benda rapuh yang bisa pecah kala
Kirana berdiri kaku di sudut ruangan, kedua tangannya mencengkeram buket mawar yang baru saja datang pagi itu. Jemarinya seolah menahan sesuatu yang lebih berat daripada sekadar bunga.Kelopaknya masih segar, merahnya seperti bara yang baru saja dinyalakan, aroma manisnya samar bercampur dengan dingin udara kantor. Namun, bukan wangi bunga yang menempel di kepalanya, melainkan gema suara Raka yang sejak tadi enggan pergi dari pikirannya.Tatapan Kirana merosot ke buket itu, redup dan bimbang. Ada kilatan luka di wajahnya—singkat, nyaris tak terlihat, tapi cukup menusuk jika diperhatikan. Senyum yang sempat singgah lenyap begitu saja, diganti raut sendu.Ia tampak seperti seseorang yang berdiri di antara dua sisi jurang, tak tahu sisi mana yang lebih aman.Berjam-jam kemudian, ia kembali membawa buket itu ke kantor. Bukan tanda bahwa ia menerima Raka. Tidak, hatinya belum sejernih itu. Namun membuang bunga yang begitu segar dan cantik terasa seperti
Terpaksa, Kirana kembali meraih buket bunga yang tadi sempat ia letakkan di meja resepsionis. Kelopak mawar yang masih segar menyebarkan wangi lembut, mengusik napasnya yang makin tak beraturan.Ia berjalan di belakang Raka dengan langkah berat, seperti sedang menapaki jalan asing yang licin—setiap pijakan membuat tubuhnya menegang.Restoran itu memancarkan kemewahan yang tenang. Lampu gantung kristal menggantung rendah, cahayanya memantul halus pada meja-meja marmer, seperti bintang yang jatuh pelan dari langit lalu tertahan di udara.Dinding berlapis kayu gelap menguatkan suasana hangat sekaligus mewah, sementara denting piano dari sudut ruangan mengalun rendah, seolah menjadi latar bagi cerita yang tak ingin terlalu keras terdengar.Aroma keju panggang, roti hangat, dan anggur merah tipis-tipis mengambang, bercampur dengan suara bisik para tamu yang menundukkan kepala mereka, menyembunyikan senyum atau rahasia.Namun di tengah pemandangan
Raka terkekeh pendek, tawa yang terdengar bukan seperti canda, melainkan gesekan besi dengan batu. Ada getir di sana, dingin yang berusaha ia sembunyikan di balik suara ringan.Cahaya lampu gantung berpendar ke wajahnya, menegaskan garis tegas rahang yang menegang. Ekspresi wajahnya datar, tapi sorot mata itu—ada ironi, ada luka yang tak pernah benar-benar padam.“Tindakanmu juga cukup merepotkan bagiku, Nona Alesha.”Kirana menegang seketika. Tubuhnya tergerak setengah langkah mundur, seolah setiap kata Raka adalah duri yang menusuk terlalu dekat.“Raka Pradana!” suaranya pecah, meninggi tanpa bisa ia tahan. “Kamu tahu maksudku!”Ruangan yang semula tenang seperti tertarik masuk ke dalam bayangan. Padahal matahari siang masih menembus tirai, tapi suasananya berubah pekat, seakan sinarnya tak sanggup mengusir dingin di antara mereka.Raka menundukkan kepala, rahangnya semakin keras menonjol. Sekejap