Kirana berdiri sejenak di ambang ruangan, membiarkan pandangannya menyapu seluruh sudut. Cahaya sore menyelinap masuk melalui kisi-kisi jendela tinggi, menimbulkan garis-garis keemasan yang menari di atas lantai keramik pucat.
Aromanya khas: perpaduan antiseptik lembut dan aroma kertas lama yang menyerap jejak waktu. Di tengah keheningan yang tenang, suaranya mengalun hangat, nyaris seperti bisikan yang menyentuh lembut permukaan udara.
"Kamu benar-benar memperhatikan... Terima kasih banyak," katanya dengan ketulusan yang tak dibuat-buat. Nada bicaranya tenang, namun dalam, seolah ada sesuatu yang lebih besar di balik kalimat sederhana itu.
Wiratama menoleh pelan. Untuk sesaat, ia tampak terdiam—seolah tengah menimbang sesuatu di dalam dirinya. Namun, senyumnya segera muncul, lembut, agak mengalah, dan suaranya menghangat, seperti kopi yang perlahan mendingin namun masih menyisakan kehangatan di cangkir keramik.
"Ah, itu hal kecil. Gak perlu terlalu
Setelah memesan makanan sesuai selera dua bocah laki-laki di hadapannya, Raka menyandarkan punggung ke sandaran kursi, berusaha mencari celah dalam keheningan.Restoran itu sebenarnya cukup ramai, dengan suara gelas beradu dan tawa pelan dari meja-meja lain, tapi di meja mereka, hanya bunyi logam sendok menyentuh piring yang mendominasi.Pelayan datang membawa nampan, uap tipis mengepul dari sepiring nasi hangat dan lauk yang menggoda.Raka memberi isyarat ringan dengan tangannya. Makanan diletakkan perlahan di hadapan Aidan dan Bayu.Aroma gurih menguar, mengisi udara di sekitar mereka.“Terima kasih, Pak Pradana,” ujar Aidan. Suaranya datar, terukur, namun tetap sopan.“Ah, jangan sungkan,” sahut Raka sambil tersenyum tipis, meski bibirnya terasa kaku. Ia mengangguk kecil, seperti orang yang terbiasa bersikap formal tapi asing dengan interaksi seperti ini.Jelas terlihat: ia tidak terbiasa duduk berhadapan dengan anak-anak, apalagi
Aidan memandangi wajah Raka dengan sorot mata tajam, nyaris menusuk, seakan ingin menyibak lapisan demi lapisan jawaban dari balik ketenangan ayahnya."Ibu ke mana? Kenapa bukan Ibu yang jemput?" tanyanya, suara datarnya menyimpan nada tak percaya.Dari sebelahnya, Elina ikut mengarahkan pandang ke ayah mereka, tidak menyela, tapi menanti. Udara di halaman sekolah sore itu terasa menggantung, seolah ikut menahan napas.“Ia masih kerja di lembaga riset,” jawab Raka, suaranya lembut namun tetap mantap, “mungkin pulangnya agak malam. Aku datang duluan supaya bisa ajak kalian makan malam.”Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan senyum tipis yang nyaris tak kentara, “Lagipula, pasti kalian sudah lapar, kan? Yuk, ikut aku.”Bayu, yang sejak tadi menahan rasa laparnya dengan menggigit bibir, menoleh ke Aidan, berharap saudaranya segera menyetujui.Namun melihat Aidan masih terpaku, ia ikut bungkam, menyembunyikan semangatnya di balik tatapan
“Aku masih di lembaga riset. Kami sedang menyelidiki masalah dalam formulasi. Kenapa memangnya?”Suara Kirana terdengar terburu, samar diselingi gemerisik kertas dan denting halus alat-alat laboratorium.Nada suaranya tak sepenuhnya hadir—seperti sebagian pikirannya masih tertinggal di antara tabung reaksi dan catatan yang berserakan di meja kerjanya.Di seberang, suara Raka terdengar sedikit menahan napas sebelum akhirnya bicara. “Tadi pihak TK menelepon. Mereka nggak bisa hubungin kamu. Anak-anak belum dijemput. Karena kamu lagi sibuk, biar aku saja yang ambil mereka.”Kirana terhenyak. Ada jeda di ujung telepon, keheningan pendek yang terasa seperti dorongan pelan namun tajam ke ulu hati.Ia menoleh ke arah layar ponselnya yang kini menampilkan deretan notifikasi tak terbaca—termasuk tiga panggilan tak terjawab dari nomor TK.Elina.Namanya melintas di benaknya seperti bayangan yang tak sempat ditangkap sepenuhnya. Anak itu memang
Ia menatap kakaknya lekat-lekat, tatapannya tak hanya menyelidik—tapi juga meradang. “Tapi sekarang aku malah heran,” suaranya rendah, seperti bara yang mendesis pelan di dasar tungku.“Kenapa kamu terus-terusan ngebela dia? Apa dia juga udah ngebutain kamu? Kamu nanya kenapa aku tersinggung sama dia—seharusnya aku yang nanya. Apa kamu udah dipengaruhinya?”Bara, yang sejak tadi mencoba menjaga sikap, akhirnya tak sanggup lagi menyembunyikan gejolak di dadanya.Sorot matanya tiba-tiba menajam, seperti kilat yang menyambar di langit mendung. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tegang."Sudahlah. Jangan bicara sembarangan," katanya dingin, suaranya terdengar lebih pelan tapi memuat tekanan yang sulit dibantah.“Apa pun yang terjadi antara Dr. Alesha dan Raka, itu urusan mereka. Kita nggak punya hak buat mencampuri, apalagi menuduh. Aku minta kamu jangan bahas ini lagi.”Senja mengatupkan bibirnya, menggigit sisi dalam mulutnya pelan, me
Padahal Zelina sudah merawat Kakek selama bertahun-tahun, pikir Senja geram, dan tak pernah kalah darinya dalam hal apa pun.Tapi perempuan ini, si perusak hubungan orang, malah menuduhku nggak sopan!Nada batinnya penuh bara. Amarah itu seperti kabut panas yang menutup matanya dari kenyataan, membuat setiap kata Kirana terdengar seperti cemoohan yang dibungkus senyum palsu.Tangannya mengepal di pangkuan, gemetar nyaris tak terlihat, namun cukup untuk membuat jari-jarinya kaku.Melihat wajah adiknya yang merona merah dan rahang yang mengeras, Bara hanya bisa menghela napas panjang.Udara sore Bandung yang sejuk seolah tak mampu meredakan ketegangan di ruang keluarga itu. Tanpa berkata apa-apa, ia sempat melirik tajam ke arah Senja—pandangan yang tak memaki, tapi juga tak menyetujui.Lalu, seperti tersentak oleh sesuatu yang lebih mendesak, ia melangkah cepat meninggalkan ambang pintu dan mengejar sosok yang baru saja pergi."Kirana!"
“Ini obat keluarga kami yang paling ampuh untuk luka bakar. Sebagai dokter, tanganmu itu aset utama. Jadi harus dirawat baik-baik,” ujar Bara, suaranya rendah namun mengandung ketegasan lembut, seperti embusan angin sore yang membawa aroma kayu manis dari dapur tua.Ia menyodorkan sebuah botol kecil berisi cairan berwarna kuning keemasan. Aromanya samar, campuran herbal dan sesuatu yang asing namun menenangkan—mungkin warisan rahasia dari generasi yang tak sempat dicatat dalam buku pengobatan manapun.Tangan Bara menyentuh jari-jari Kirana secara tak sengaja saat menyerahkan botol itu, sekelebat panas yang bukan berasal dari luka membuncah sesaat di antara keduanya.Kirana nyaris membuka mulut untuk berterima kasih ketika suara yang memotong udara seperti pecahan kaca terdengar dari arah pintu.“Bara, jangan terlalu baik begitu. Nanti malah bikin orang baper,” kata Senja. Suaranya nyaring, kering, dengan nada yang mengiris, seperti gesekan logam di atas b