Bahkan setelah luka yang ditorehkan Zelina pada cucunya sendiri, Sekar masih menyimpan ruang maaf di hatinya.
Tak ada air mata, tak ada amarah yang meledak, hanya dingin yang dibungkus rapi dalam nada bicara dan sorot mata yang sulit dibaca.
Sementara Raka, duduk membatu seperti patung kayu di sudut ruang tamu, tak mampu membaca apakah itu kelembutan atau justru pengabaian yang terbungkus dalam balutan martabat.
Ia tidak tahu, sejujurnya tak pernah benar-benar tahu, sejauh apa Zelina menanam benih kekacauan dalam hidup mereka.
Tapi ketika diam menjadi pilihannya, Sekar menafsirkan itu sebagai persetujuan. Tarikan napasnya melambat, seakan beban di dada mulai meluruh.
“Oh ya, perempuan yang di berita hari ini... itu Kirana, kan?”
Nada suaranya terdengar ringan, tapi ada ketajaman samar yang mengintai di balik setiap suku kata.
Raka tetap diam. Hatinya belum selesai bicara dengan dirinya sendiri.
Sekar menegakkan pung
Angin pagi yang lembut belum cukup untuk menenangkan detak jantung Kirana yang tak karuan. Ia berdiri terpaku, matanya menatap kosong ke arah Raka, pria yang kini berdiri tak lebih dari satu meter darinya.Suara di dalam kepalanya gaduh, penuh pertanyaan dan rasa enggan yang mencoba bersembunyi di balik sikap tenangnya.Ia sempat memikirkan Elina. Tentu saja. Namun, Kirana tak pernah menempatkan dirinya sebagai sosok penting dalam kehidupan gadis kecil itu.Bukankah Raka, ayah kandungnya, sudah lebih dari cukup untuk memberikan rasa aman?Namun, Raka tidak sedang bicara soal dirinya. Ia bicara tentang Elina. Dan nada suaranya, meski tenang dan sopan, membawa satu bentuk ketegasan yang tak membuka celah untuk penolakan.“Sebagai ayahnya, saya tahu hubungan saya denganmu tidak baik,” ucap Raka, matanya menatap Kirana dengan ekspresi yang sukar ditebak.“Tapi Elina... dia sedih karena tak bisa melihatmu. Jadi, izinkan saya men
Begitu suara Bu Rini terdengar dari arah gerbang, mata Elina langsung berbinar, seperti langit yang tiba-tiba cerah setelah hujan reda.Ia menoleh cepat, kuncir kudanya ikut terayun, lalu berseru dengan semangat yang meledak begitu melihat sosok yang ditunggunya.“Bu Alesha!”Suaranya menggema, membuat beberapa orang tua di sekitar ikut menoleh. Di sampingnya, Raka hanya bisa mengangkat alis, menahan napas sejenak menyaksikan perubahan drastis pada anaknya.Tangan yang semula menggenggam erat tangan mungil Elina, kini ia lepaskan perlahan. Ia membiarkan anak itu berlari kecil, langkahnya ringan dan ceria, menuju sosok wanita yang berdiri dengan tubuh sedikit menegang.Kirana.Ia mendengar panggilan itu seperti suara masa lalu yang tiba-tiba hidup kembali. Tubuhnya tak langsung bergerak, tapi perlahan ia menoleh, seakan masih menimbang-nimbang apakah ini nyata atau sekadar bayangan yang kembali menghantuinya.Elina sudah sa
Raka memalingkan wajah ke arah jendela mobil, mencoba menenangkan diri. Cahaya pagi menembus kaca, menyinari profil wajahnya yang tegang.Suaranya rendah, ditahan oleh emosi yang belum selesai dicerna.“Bu Alesha sayang banget sama kamu, Ellie... Mungkin sekarang dia lagi sibuk kerja, jadi belum sempat jemput kakak-kakak. Tapi kamu nggak usah khawatir, ya.”Tapi Elina hanya menunduk, bahunya turun sedikit seolah meresapi kekecewaan yang tak bisa dilukiskan.Matanya redup, menatap lututnya sendiri. Hening, hanya satu anggukan kecil sebagai balasan.Raka mencoba lagi. Suaranya dibuat lebih ringan, seperti sedang mengajak bermain. Tapi setiap pertanyaannya hanya dijawab dengan gelengan atau anggukan pelan.Tak ada kata, tak ada suara. Lalu Elina merogoh tasnya, menarik keluar buku catatan kecil dengan sudut yang sudah mengelupas.Ia membuka halaman kosong dan menyiapkan pulpen seperti sudah terbiasa melakukannya.Raka
Wajah Raka mendadak mengeras, seperti tanah yang mengering sehabis hujan dan tak siap menerima badai berikutnya.Sorot matanya yang semula tenang berubah jadi curiga, cemas, dan sedikit... takut. Sementara Kirana, berdiri tak jauh darinya, tetap tenang namun suaranya menggigit seperti angin pagi yang menyusup dari sela jendela yang lupa ditutup."Kalau sampai Bu Pratama atau bahkan Elina salah paham karena sikap Anda," ucapnya tanpa ragu, dingin seperti dinding marmer, "dan hubungan keluarga Anda rusak karenanya, saya tidak tahu bagaimana harus menebusnya."Nada bicara itu bukan sekadar teguran. Itu peringatan, mungkin juga semacam permohonan yang tertutup dalam selimut kekecewaan.Bayangan masa lalu menyeruak dalam benak Kirana, saat tuduhan menjadi orang ketiga menghantamnya enam tahun lalu.Luka lama yang belum benar-benar sembuh, dan kini, berpotensi menganga lagi. Ia tak sanggup membiarkan sejarah berulang.Wajah Raka menggelap. Bukan s
Udara malam menyelimuti jalanan kota yang lengang dengan embusan angin dingin menyusup lewat sela-sela jaket tipis Kirana.Lampu jalan redup menyorot aspal yang basah oleh hujan gerimis tadi sore, menciptakan kilauan samar seperti serpihan kaca yang tercecer.Kening Raka berkerut, matanya menyipit menatap Kirana yang berdiri mematung di bawah lampu jalan.Suaranya tajam, namun tak meledak, seperti bilah pisau yang dingin menyentuh kulit.“Kamu pikir berapa lama kamu harus menunggu taksi di tempat seperti ini? Atau kamu rela Aidan dan Bayu menunggumu pulang sampai larut malam?”Kirana tak menjawab. Bibirnya setengah terbuka, tapi kata-kata terjebak di tenggorokannya. Ia menunduk, dadanya terasa sesak.Ketidaksiapannya menjawab bukan karena pertanyaan Raka terlalu sulit, melainkan karena kebenaran yang mengintai di baliknya.Ia belum sempat memberitahu Lisa sebelum meninggalkan rumah. Bahkan ia tak tahu apa yang Mahira katak
Semua kepala berputar nyaris serempak ke arah pintu masuk bar. Sorot lampu neon yang memantul di dinding kaca sejenak menyoroti wajah-wajah penasaran, termasuk Raka, yang kini berdiri setengah membungkuk, pandangannya tertambat pada satu titik.Mata Raka menyipit, nyaris seperti mencoba menembus kegelapan dan kebisingan musik. Di sudut ruangan, di antara kerumunan meja yang ramai dan asap tipis dari rokok elektrik, ia menangkap sosok yang sangat ia kenal.Kirana. Duduk santai, setengah membelakangi lampu, rambutnya tergerai longgar menutupi bahu.Jadi tadi dia hanya tidak terlihat. Mungkin turun ke lantai dansa, atau sekadar menghindar. Entahlah. Tapi sekarang, di bawah cahaya redup dan dentuman musik elektronik, Kirana terlihat begitu berbeda.Tawanya pecah, lepas, mengalir tanpa beban. Ia dikelilingi beberapa pria, dan salah satu dari mereka—berwajah ramah, tubuh tegap, mengenakan jam tangan mahal yang menyembul dari balik lengan kemeja—teng