Namun Kirana segera memotong, nadanya tajam tapi berusaha terdengar tenang, “Tante Mahira yang bakal jagain kalian dua hari ini, jadi kalian harus nurut dan jangan bikin masalah.”
Kalimat itu meluncur seperti aba-aba terakhir sebelum keberangkatan panjang. Meski terucap pendek, intonasinya cukup untuk mengukuhkan batas.
Aidan dan Bayu, yang tadinya tampak hendak mengeluh, sontak diam. Mata mereka hanya saling bertaut, memahami sesuatu yang belum bisa mereka beri nama: kehilangan kecil yang menyelinap diam-diam.
Kirana menunduk perlahan, melepaskan tangan mungil Elina yang mencengkeram ujung bajunya seakan enggan dilepas.
Tangannya dingin, gemetar sedikit, tapi wajahnya tetap mencoba tenang saat ia menoleh ke arah Raka.
“Udah malam. Kalian sebaiknya pulang. Besok kamu harus kerja, kan?” ucapnya, pelan tapi jelas, seakan menyudahi seluruh percakapan yang belum sempat terjadi.
Raka mengangguk pelan, tak bicara. Ia berdir
Panggilan telepon itu pecah di telinga Wiratama, meninggalkan gema getir yang menancap dalam, seperti serpihan kaca bening berserakan di atas lantai marmer dingin. Retaknya tak bisa dipungut lagi, apalagi disatukan.Jari-jarinya masih menggenggam ponsel, namun terasa beku, seolah darah enggan mengalir. Ia menarik napas panjang, dada naik turun dengan berat. Bibirnya mencoba melukis senyum tipis, tapi matanya tetap kosong, tak tersentuh.“Halo, Pak Tegar...” ucapnya akhirnya, nada ceria terdengar kaku, seperti senar gitar yang dipetik terlalu kencang.Namun sebelum kalimat itu sempat berakar, suara dari seberang menyambar, cepat, terburu-buru, menusuk.“Oh, Dr. Nugraha! Maaf ya, kami sedang rapat. Nanti kita bicara lagi. Saya tutup dulu.”Klik.Sambungan terputus, dan sunyi menjelma beban. Hanya desis pendingin ruangan di laboratorium yang berisik, seolah sengaja menekankan kesepian yang mengeras di udara.Wirat
Suara printer tua masih sesekali mencicit, terdengar seperti keluhan mesin yang enggan menua, berpadu dengan dengung monoton AC yang meniupkan hawa dingin ke seisi ruangan.Di balik kaca jendela yang berembun, langit Bandung menggantung berat, kelabu pekat, seolah mencerminkan dada Kirana yang sejak berhari-hari lalu dicekik resah.Ia menurunkan ponsel perlahan dari telinganya, gerakan itu lambat, nyaris lesu. Wajahnya, yang dulu selalu tegas, kini tampak lebih tirus, garis lelah tergurat jelas di bawah mata. Sebuah sketsa kegelisahan, begitu rapuh namun juga keras kepala.“Kita nggak dapat apa-apa?” tanya Wiratama. Suaranya pelan, hati-hati, tapi tetap saja terdengar seperti seutas harapan yang sudah ia tahu akan dipatahkan. Ia duduk di kursi seberang, tubuh condong sedikit ke depan, mencoba menangkap raut Kirana yang tak mudah dibaca.Kirana hanya mengangguk, gerakannya sekilas saja. Pandangannya kosong, jatuh ke arah tumpukan berkas pengaju
Kirana terdiam beberapa detik, seolah mencoba mengurai kekusutan di kepalanya. “Sudah coba hubungi mitra kita?” suaranya terdengar rendah tapi tegas.Ia menyalakan speaker ponsel, lalu melangkah cepat ke kamar mandi. Di sana, air dingin menyentuh kulit wajahnya, membuat pikirannya sedikit jernih, walau dada masih terasa mengencang.“Sudah,” jawab Wiratama, nadanya seperti habis kehilangan tenaga. “Beberapa tak mengangkat telepon, dan yang menjawab pun bicara setengah hati, tak ada kepastian.”Wiratama memejamkan mata sesaat. Rasanya lebih baik jika mereka menolak dengan jelas daripada menggantung.Sikap abu-abu itu membuatnya merasa seperti berjalan di tengah kabut, tidak tahu arah.Kirana mengganti pakaian dengan tergesa, kain blusnya bahkan sempat kusut karena ditarik terlalu cepat.“Baik, aku ke sana sekarang,” katanya singkat, menutup telepon dengan gerakan mantap, meski hatinya masih bergo
Zelina membuang napas pelan, lalu memalingkan wajah, memasang ekspresi sebal yang dibuat-buat.Sudut bibirnya mengerucut tipis, alisnya sedikit mengernyit—tanda ketidaksenangan yang seolah tak ingin ia ucapkan terang-terangan.Sekar, yang duduk di kursi rotan di sudut kamar, tak berkata apa-apa lagi. Hening menggantung di antara mereka, hanya disela suara detik jam dinding yang terdengar lebih nyaring dari seharusnya.Tanpa menoleh, Sekar berdiri pelan, merapikan syal di lehernya, lalu berkata dengan nada datar, “Kamu istirahat saja, Lin.”Zelina memejamkan mata, berpura-pura menurut. Tapi telinganya tetap awas. Ia mendengar langkah kaki Sekar perlahan menjauh, disusul suara pintu kamar yang dibuka lalu tertutup lembut.Di luar, suara derit lantai kayu menyertai langkah Sekar yang semakin menjauh.Kemudian, samar, suara lirih percakapan muncul, tertahan namun cukup jelas untuk ditangkap oleh Zelina yang menahan napas agar b
“Dia harus di rumah saja, Bu. Ellie lebih penting. Tangan saya tidak apa-apa,” ucap Zelina dengan senyum yang hangat, seolah rasa sakit di lengannya bukanlah apa-apa dibandingkan si kecil itu.Cahaya sore menembus kaca jendela ruang tamu, memantul di rambut hitamnya yang tergerai rapi, membuatnya tampak lembut dan penuh ketulusan.Sekar memandangi gadis itu dengan hati yang teriris, seperti ada jarum halus menancap pelan di dadanya.“Kamu memang calon menantu terbaik,” katanya lirih, namun penuh tekad. “Setelah kamu sembuh, Ibu akan pastikan Raka menikah denganmu.”Ada senyum getir yang tak tertahan di wajahnya, senyum seorang ibu yang ingin mengatur masa depan anaknya sebaik mungkin.Zelina menunduk malu, jemari halusnya meremas ujung selimut di pangkuannya. Namun, saat Sekar memalingkan pandangan, senyum lembut itu menghilang, berganti dengan tarikan bibir licik.Anak itu sakit tepat setelah aku kemb
Tanpa sempat mengganti sepatu rumahnya dengan benar, Sekar menyambar jaket dari gantungan, lalu melangkah keluar dengan langkah cepat dan napas setengah tertahan.Udara malam di Bandung menusuk kulit, dingin dan lembap, seperti embusan kabut yang belum selesai mengucapkan selamat tinggal.Mesin mobilnya meraung, menembus kesunyian jalanan yang hanya ditemani deru angin dan lampu-lampu jalan temaram.Di balik kemudi, Sekar mencuri pandang pada layar ponsel yang masih menyala. Nama Zelina tertera di sana, membuat pikirannya dipenuhi tanda tanya.Kenapa bukan Raka yang menelepon? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?“Raka? Dia tidak bersamamu?” tanya Sekar, suara herannya terbungkus kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.“Aku juga tidak tahu dia di mana. Mungkin masih kerja lembur. Aku tak mau ganggu dia. Orang tuaku juga tidak mengangkat telepon, jadi... aku terpaksa minta bantuan Ibu,” suara Zelina terdengar