Ditakdirkan?
Kirana membiarkan pikirannya tenggelam dalam pusaran pertanyaan yang tak terjawab—siapa sebenarnya Elina?
Ia menggigit bibir bawahnya pelan, seperti mencari rasa dalam diam. Tatapannya mengambang, sejenak menembus batas ruang, lalu suaranya mengalir datar, nyaris tanpa warna, “Mungkin saja.”
Bara tidak menangkap nada ganjil dalam ucapan Kirana. Ia berdiri dengan gerakan ringan, seolah beban di bahunya baru saja diangkat.
“Karena kakek saya masih butuh waktu sekitar satu jam lagi, bagaimana kalau kita tunggu di bawah sambil minum? Terima kasih banyak atas bantuanmu, Dokter Alesha,” ujarnya ramah.
Kirana menghela napas diam-diam, seperti mengusir sesak yang tak kasatmata. Ia mengangguk cepat, hampir terburu-buru, seolah ingin segera mengakhiri momen canggung itu.
Raka yang sedari tadi berdiri kaku di sisi tempat tidur, ikut melangkah menjauh, tanda setuju tanpa suara.
Namun, sebelum mereka bena
“Bagaimana aku memperlakukan anakku, itu bukan urusanmu. Jangan merasa berhak ikut campur hanya karena dia kebetulan menyukaimu.”Kata-katanya meluncur seperti pisau yang dilempar tanpa ampun. Ujung-ujungnya menancap di udara, memekatkan atmosfer jadi sesuatu yang nyaris meledak.Kirana membeku, sorot matanya—yang semula teduh—mendadak menghitam, seperti langit yang mendung tanpa aba-aba.Ia tidak bicara, tapi gelombang panas terasa menjalar dari pori-porinya.Sesuatu dalam dirinya terguncang, seperti api yang tak disengaja disulut di dalam relung hati. Ia sendiri tak tahu pasti apa yang terbakar, hanya tahu bahwa bara itu membuat dadanya sesak.Dan ketika bara itu mereda, yang tersisa hanyalah rasa malu yang menyakitkan—dan getir yang menyesap diam-diam di balik tenggorokannya.Memang… aku bukan siapa-siapa. Di matanya, aku hanya bayangan yang bisa dilewati begitu saja, pikir Kirana, sembari menunduk, menatap lantai yang dingin dan
Kirana mengernyit, matanya menyipit seakan mencoba menembus kabut di balik nada tajam Raka. Nada itu tak biasa.Ada sesuatu yang menggantung di udara, samar namun mencengkeram—ketegangan yang bisa dirasakan bahkan oleh daun-daun kering yang gugur di halaman TK.Guru TK yang tadi sibuk merapikan mainan di sudut ruangan, kini berdiri kaku. Tatapannya mondar-mandir di antara dua orang dewasa itu.“Kalian... saling kenal?” tanyanya perlahan, seolah takut mengusik sarang lebah. Ia mengingat dengan jelas bagaimana Kirana tadi tampak begitu alami saat menghibur Elina, seperti dua potongan puzzle yang tak sengaja bertemu tapi langsung menyatu.Tapi kini, setelah mendengar nada bicara Raka, teka-teki itu semakin membingungkan.Kirana tidak langsung menjawab. Hanya anggukan kecil yang terlepas, nyaris tak terlihat, sebelum ia mengalihkan sorot matanya kembali pada pria itu.“Aku ke sini untuk menjemput anak-anakku. Tapi putrimu... dia tidak mau melepa
Begitu pintu mobil tertutup dengan bunyi lembut namun mantap, udara di dalam kendaraan berubah seketika.Kirana duduk sejenak, tangannya masih gemetar saat meraih kemudi. Matanya memandangi kaca spion, memastikan dua anak lelakinya sudah tenang di jok belakang sebelum akhirnya menarik napas dalam, perlahan—seolah berusaha menyiapkan diri menghadapi badai yang sudah di depan mata.Aidan dan Bayu duduk berdampingan, bahu mereka hampir bersentuhan, tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka untuk beberapa saat.Di luar, matahari sore menyembul malu-malu di balik awan, membentuk bayangan panjang dari deretan pohon flamboyan yang tumbuh di pinggir trotoar sekolah.Cahaya keemasan itu menyusup ke dalam mobil, menyentuh wajah mereka dengan hangat yang menipu.Bayu menyandarkan dagunya di atas tangannya, pandangannya terpaku ke luar jendela seolah berharap mendapat jawaban dari semesta.“Kira-kira kenapa ya, Ibu suruh kita nunggu di sini?” t
Elina tersenyum kecil, sudut bibirnya terangkat nyaris tak kentara, tapi sorot matanya menyala seperti lampu kecil yang baru dinyalakan di ruangan remang.Ia perlahan menyandarkan tubuhnya ke sisi Kirana, gerakannya hati-hati, seperti seekor anak kucing yang mencari kehangatan di pelukan induknya.Tangannya tetap menggenggam lengan baju Kirana, dengan cengkeraman lembut tapi tak berniat melepas.Dari kejauhan, mereka tampak seperti ibu dan anak yang terjalin dalam kebersamaan yang sudah lama terbentuk—hangat, diam-diam intim.Kirana tidak bergerak menjauh. Ia membiarkan Elina tetap bersandar, tak menunjukkan keraguan atau canggung sedikit pun.Sesekali ia mengangguk pada guru di hadapannya, menyimak dengan mata yang sesekali melirik anak perempuan yang menempel padanya.Ia mulai berbincang ringan, nada suaranya rendah namun bersahabat, seperti angin sore yang menyusup di sela dedaunan halaman TK yang mulai lengang.“Aku ingat kamu pul
Begitu melihat mereka bersiap pergi, Elina spontan berdiri dari tempat duduknya. Tubuhnya kecil, hampir tak bersuara, namun tatapan matanya menyala dengan keresahan yang tak bisa disembunyikan.Sorot matanya yang memburu, menatap tanpa berkedip ke arah Kirana dan si kembar, seolah-olah jika ia berkedip sekali saja, mereka akan menghilang selamanya.Refleks, sang guru yang berdiri tak jauh langsung menahan bahu mungil Elina. Sentuhannya lembut namun sigap, penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang sudah terlalu sering berurusan dengan anak-anak yang dunia batinnya tak bisa ditebak hanya dari tampak luar.Kirana sempat terpaku. Ada yang mengganjal di dadanya, seperti helai benang halus yang tersangkut di sela-sela pikirannya.Ia melangkah setengah, lalu menahan diri. Dalam ragu itu, ia akhirnya bertanya dengan suara yang nyaris setengah bisikan, “Dia baik-baik saja?”Pertanyaan itu tak sempat menggantung lama di udara. Aidan dan Bayu, seolah sudah
Ia nyaris melompat keluar dari mobil sebelum mesinnya benar-benar mati. Langkahnya cepat, tergesa, seperti dikejar bayang-bayang waktu yang menipis.Jalan menuju taman kanak-kanak tempat anak-anaknya belajar terasa lebih panjang dari biasanya. Di balik kemudi, pikirannya berputar tak menentu—apakah mereka ketakutan?Apakah mereka bertanya-tanya kenapa ia belum datang, belum memberi kabar?Langit sore mulai mengalirkan warna-warna emas yang hangat ke permukaan bumi saat ia tiba. Gerbang sekolah tampak terbuka setengah, lengang.Tak ada tawa anak-anak, tak ada langkah kaki kecil yang berlarian di atas paving halaman. Hanya suara angin yang menyelip di antara besi perosotan dan ayunan yang diam menggantung, membiarkan sunyi menggema.Namun di sudut lapangan, di bawah bayang pohon flamboyan yang mulai meranggas, dua tubuh kecil duduk berdampingan di bangku kayu yang sudah mulai pudar warnanya.Aidan dan Bayu. Bahu mereka saling bersentuhan, dan