Share

Bab 2

Author: Nayla
Kali ini tidak ada kata-kata, hanya foto.

Foto Finn yang sedang tertidur. Pria itu memeluk Wanda dari belakang dan tidur dengan sangat nyenyak.

Wanda tersenyum malu-malu, bibirnya bengkak. Dari kerah piama yang terbuka, bekas ciuman tersebar ke bawah. Apa yang terjadi semalam, tak perlu dijelaskan lagi.

Mereka sudah bersama lima tahun, tetapi tidak pernah melewati batas hubungan yang paling nyata itu.

Dulu, setiap kali dia tak mampu menahan diri, Finn akan memeluknya erat sambil berkata, "Emi, cepat dewasa ya?"

Belakangan, Finn tak pernah lagi memeluknya seperti itu, hanya menenangkannya dengan janji, mengatakan setelah menikah, baru akan benar-benar memilikinya.

Emily selalu mengira itu karena menghargai, karena cinta. Padahal nafsu juga adalah sisi lain dari cinta, 'kan?

Menatap foto itu, air mata Emily jatuh deras. Rasanya seperti ada sebongkah daging yang dicongkel dari hatinya, membuatnya berlumuran darah.

Selesai makan, Emily pergi ke vila di sebelah. Dia melewati jembatan khusus yang menghubungkan dua rumah. Bunga-bunga bermekaran di bawah, tetapi di matanya hanya ada kehampaan.

Kedua vila ini dulu mereka beli tunai setelah menyelesaikan satu proyek besar bersama. Nama di sertifikat adalah nama Emily.

Finn bilang segala miliknya juga milik Emily, jadi menulis nama Emily tidak ada salahnya. Dia bahkan menyuruh orang membuat taman yang menyatu dan jembatan penghubung.

Katanya, kalau Emily marah dan ingin pulang ke rumah orang tua, tinggal pergi saja ke vila sebelah. Selama bisa melihat Emily setiap hari, dia baru bisa merasa tenang.

Sekarang, meskipun Emily ada di hadapannya siang dan malam, Finn tidak pernah lagi benar-benar menatapnya.

Emily memasukkan kode sandi dan pintu vila pun terbuka. Ruangan besar itu bukan rumah siap huni yang mewah, melainkan didekorasi seperti galeri. Setiap lemari kaca menyimpan karya seni keramik peninggalan ibunya. Semua itu adalah barang yang amat langka di dunia.

Dulu, Emily sendiri yang meletakkannya satu per satu ke sana. Itu sama dengan menyerahkan dirinya sekaligus masa depannya kepada Finn.

Sekarang, dia akan mengemas satu per satu dengan tangannya sendiri, lalu mengembalikan masa depan itu kepada dirinya sendiri.

Jarinya menyapu kaca lemari khusus. Emily berhenti di depan lemari terbesar. Isinya bukan karya indah karena bentuknya aneh, miring, tak sempurna.

Setiap tahun di hari peringatan kematian ibunya, Finn akan menemaninya membuat kerajinan keramik.

"Emi, jangan sedih. Aku temani kamu membuat barang kesukaan ibumu untuknya. Dia pasti tahu kamu merindukannya, juga tahu kalau hidupmu akan semakin baik."

Emily memang tidak mewarisi bakat ibunya. Awal-awal, bahkan sekadar membuat gumpalan tanah liat yang utuh pun dia tidak bisa.

Waktu itu, Finn juga belum menjadi presdir. Dia tidak punya uang untuk berfoya-foya. Dia sampai harus membujuk pemilik tempat kerajinan keramik, hanya agar Emily bisa menenangkan diri dan menuangkan emosinya pada tanah liat.

Belakangan, Emily semakin mahir. Namun, waktu dan kesabaran Finn di sisinya justru semakin menipis.

Emily membuka lemari, mengambil sebuah guci keramik berwarna paling indah. Di atasnya tertulis nama mereka berdua dengan tulisan tangan, di tengahnya tergambar sebuah hati. Kekanak-kanakan sekali.

Saat itu, Finn menggenggam tangannya menuliskan tulisan itu, lalu mencium ujung telinganya dengan penuh kasih sayang.

Suara seraknya disertai tawa ringan. "Di hadapan ibumu, kita sudah cap stempel. Kamu nggak boleh ingkar janji ya?"

Emily tersenyum getir. Semua kenangan indah yang dia jaga mati-matian, ternyata hanya menjadi bahan lelucon.

Genggamannya melonggar, guci keramik itu jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping. Ini seperti kenangan berwarna dalam kepalanya. Setelah pecah, semuanya lenyap begitu saja.

....

Setelah semua sudah dirapikan dan dimasukkan ke mobil, waktu menunjukkan pukul 4 sore lewat.

Emily memanggil agen properti untuk melihat rumah, menandatangani semua dokumen. Setelah menetapkan harga, dia meminta agar rumah dipasang iklan mulai Senin depan.

Setelah urusan selesai, dia naik taksi ke sebuah vila di pinggir kota.

"Kamu benar-benar mau pulang?" Florisa, tante Emily, menatapnya dengan penuh penyesalan. "Dulu kamu dan Finn begitu serasi, Tante kira kalian bakal bersama terus."

Emily tak menjawab, hanya memejamkan mata dan berbaring di kursi goyang. Dia seakan-akan masih bisa mendengar suara bel sepeda yang dibunyikan Finn, diikuti seruan riangnya. "Emi, cepat! Kita hampir telat. Aku bawakan siomai dan susu, ayo!"

Emily memaksa mengenyahkan ingatan itu dari benaknya. Kemudian, dia membuka mata, menatap wanita paruh baya yang sedang memotong buah.

"Tante, dulu kamu meninggalkan Keluarga Hadid demi pria itu, apa pernah menyesal?"

Gerakan Florisa sempat terhenti. Kemudian, dia melanjutkan, "Aku punya adikmu."

Jadi, menyesal atau tidak? Emily terpaku menatapnya, tetapi tidak mendapat jawaban.

Dulu, ayahnya memaksa Florisa menikah. Namun, Florisa malah kabur bersama pria lain dan diusir dari Keluarga Hadid. Saat dia hendak melahirkan, pria itu justru menghilang.

Kini, adiknya sudah kuliah, tetapi pria itu tidak pernah kembali. Cinta itu sebenarnya apa?

Florisa mencuci tangannya, menggenggam pergelangan tangan Emily. "Kalau ini karena paksaan ayahmu, kamu nggak perlu ...."

"Bukan." Emily menggeleng. "Finn sudah punya wanita lain di luar."

Kata-katanya lirih, tetapi seperti menggema lama di halaman. Florisa tak bisa lagi menasihati.

Emily kembali bersandar di kursi goyang. "Aku nggak akan membiarkan papan arwah Ibu dipindahkan dari aula leluhur!"

Dia tahu ayahnya kejam, tetapi tidak menyangka bisa begitu rendahan. Ayahnya setuju dengan usulan perempuan itu. Katanya Emily sudah lama pergi dari rumah, sama seperti Florisa, harus dicoret dari kartu keluarga.

Selain itu, ibunya juga tidak boleh lagi ditempatkan di aula leluhur untuk mendapat penghormatan. Benar-benar menjijikkan!

Sebelum pergi, Florisa memberinya sebuah kantong jimat kuning. "Dulu kamu yang suruh aku minta jimat itu."

Di dalam mobil, Emily baru membukanya. Isi jimat itu adalah secarik kertas merah dengan sebuah tanggal tertulis.

Pada tahun kedua hubungannya dengan Finn, mereka pernah sepakat, setelah dia berulang tahun ke-23, mereka akan mendaftarkan pernikahan.

Florisa adalah satu-satunya keluarga dan kerabat Emily di Kota Kumo. Karena itu, dia yang diminta pergi ke kuil untuk menanyakan hari baik.

Tak disangka, hari yang ditulis itu ternyata jatuh tepat Senin depan. Hari yang sama dengan keputusan Emily meninggalkan Kota Kumo. Betapa ironisnya.

Saat Emily kembali ke vila, suara biola lembut terdengar dari ruang tamu. Wanda Suharko, tampak anggun saat berdiri di depan jendela besar yang diterangi cahaya lampu oranye.

Finn duduk bersandar di sofa, kaki panjangnya bersilangan. Dia mendengarkan dengan serius. Sungguh pemandangan mesra penuh keintiman.

Emily melangkah masuk begitu saja. Begitu melihatnya, Wanda berhenti bermain, lalu tersenyum manis menyambut.

"Emily, ini lagu yang Maestro Vin buat khusus untukku. Finn mendaftarkanku ke kompetisi internasional. Aku kurang percaya diri, bisa kamu dengarkan sebentar?"

Emily menatap wajah pucat polos itu. Dulu, dia juga pernah tertipu kelembutan Wanda yang tampak rapuh. Dia meminjamkan gaun, mengajarinya memainkan biola.

Dia menyembunyikan kemampuan sendiri, mendorong Wanda ikut lomba kampus, bahkan bersorak gembira untuknya.

Tak pernah dia sangka, yang Wanda inginkan bukan hanya nama dan prestasi itu, tetapi juga Finn.

Di tengah keheningan, Wanda tiba-tiba menunduk dengan takut. "Emily, kamu marah ya karena aku pindah ke sini?"

Ekspresi Emily langsung berubah. Dia mengangkat kepala menatap Finn. "Dia mau pindah ke sini?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 100

    Austin duduk tegak di sofa dengan mata setengah terpejam. Sulit ditebak apa yang sedang dipikirkannya. Pria tua itu sedang beristirahat.Emily refleks memperlambat langkahnya. Saat dia mendekat, Austin seakan merasakan sesuatu, lalu membuka matanya. Sepasang mata yang tampak bijak itu perlahan beralih padanya."Emily, kamu nggak terluka?""Hm?"Emily terkejut. Dia sempat mengira, Austin akan menegurnya karena dianggap tidak hormat pada ayah. Tak disangka, hal pertama yang keluar dari mulutnya malah menanyakan keadaannya.Melihat keterkejutannya, sorot mata Austin berangsur-angsur melembut. "Aku memang dengar kabar bahwa kamu membuat ayahmu sampai masuk rumah sakit, tapi aku juga sudah tanyakan duduk perkaranya.""Ayahmu mengadakan jamuan, itu pilihannya. Tanpa memberitahumu lebih dulu, dia malah menuntut kamu menjamu tamu dengan hangat. Lalu saat jamuan, dia menghukummu di depan tamu dengan alasan bicara nggak sopan .... Itu nggak pantas.""Keluarga besar menetapkan aturan, tujuannya a

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 99

    Tatapan cemas Finn sepenuhnya terhalang. Mobil melaju stabil meninggalkan kompleks Keluarga Hadid, menuju hiruk pikuk pusat kota.Di dalam kabin mobil yang hening, barulah Emily menoleh. "Pak Kristof, kenapa kebetulan lewat depan rumah Keluarga Hadid?""Bukan kebetulan lewat."Wajah Kristof tetap tampak dingin di dalam bayangan kabin, hanya matanya yang dalam memantulkan sosok Emily. "Aku memang sengaja datang untuk menjemputmu.""Menjemputku? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Emily mengangkat alis. Jangan-jangan, kabar Ronny membantu Finn merebut proyek, lalu Keluarga Hadid berencana bekerja sama dengan Finn, sudah sampai di telinga Kristof? Sebagai sekutu, Kristof sengaja memutar jalan untuk memberi peringatan padanya?Pikiran itu membuat tatapan Emily ikut menjadi serius.Kristof menjawab, "Ibu tirimu yang menelpon ke rumah Keluarga Maison. Katanya sejak kamu jadi istri Keluarga Maison, sikapmu sudah tidak tahu aturan.""Dia bahkan mengadu, bilang kamu membuat Glenn masuk rumah sakit k

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 98

    Setelah keluar dari rumah Keluarga Hadid, Emily berdiri di pinggir jalan, bersiap-siap untuk memesan mobil.Suara langkah terdengar dari belakang. Dia menoleh dan melihat seorang pria yang berlari dengan jaket tersampir di lengannya dan hanya mengenakan kemeja tipis. Dalam cahaya lampu jalan, dia berhenti tepat di depan Emily."Aku antar kamu."Finn menyibak rambut di sisi wajah Emily, sorot matanya hanya dipenuhi dengan Emily. Seolah-olah, semuanya masih sama seperti dulu. Dulu, Finn juga sering berlari menghampirinya begini.Namun sekarang, Emily hanya merasa angin malam ini membuatnya menggigil. Dia kembali merapatkan mantel di tubuhnya dan jari tetap bergerak di layar, terus mencoba untuk memesan mobil."Nggak perlu."Rumah Keluarga Hadid agak jauh dari pusat kota, aplikasi pemesanan terus berputar, tetapi mobil tak kunjung tersedia.Melihat hal itu, Finn mendekatinya. Dia memperlihatkan lengannya yang lebam akibat pukulan itu dan bibir tipisnya terkatup rapat."Emi, hukuman keluar

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 97

    Emily tetap tak bergeming. Dulu, dia sudah sering merasakan hukuman keluarga ini. Kalau dulu saja dia tidak takut, tentunya sekarang juga semakin tidak gentar menghadapinya.Melihat sikap Emily yang keras kepala, Glenn mengangkat tinggi tangannya. Esther menatap penuh semangat sambil membatin, 'Pukul saja sampai mati!'"Anak tak berbakti!"Wajah Emily tampak dingin. Baru saja dia hendak merebut tongkat itu lalu pergi, tiba-tiba ada bayangan orang melintas di depannya.Finn maju ke depan dan menahan pukulan itu untuknya."Kamu ...." Mata Emily memancarkan keterkejutan dalam sekejap.Finn berdiri di depannya, pelipisnya berkeringat menahan sakit. "Kamu nggak apa-apa?"Empat kata itu membangkitkan kembali kenangan suara Finn di masa lalu.Dulu saat dia kabur dari ibu kota dan pergi jauh ke Kota Kumo, banyak rintangan yang mengadangnya. Finn hanya memeluknya dan menanyakan empat kata itu.Saat Grup Eternal baru berdiri, dia membantu Finn menghadapi jamuan bisnis. Saat itu, dia minum alkoho

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 96

    Sore harinya, di rumah Keluarga Hadid.Emily melangkah pulang di bawah cahaya matahari yang mulai tenggelam. Begitu masuk, pandangannya langsung jatuh pada sosok pria yang duduk sendirian di sofa.Finn mengenakan kemeja dengan celana kain, bagian lengannya digulung hingga menampakkan lengan berotot dan jam tangan emas di pergelangan tangannya. Dia hanya duduk diam sambil menatap Emily dengan sorot mata dalam.Sinar senja yang merah masuk lewat jendela dan jatuh ke lantai, seolah memisahkan mereka berdua ke dalam dua dunia yang berbeda.Keheningan menyelimuti ruangan.Glenn maju mencoba menengahi sambil mengambil mantel Emily dengan lembut dan menggantungkannya. Melihat sikap ayahnya yang tak biasa, Emily lalu memasukkan satu tangan ke saku celananya.Namun, sebenarnya Glenn memanfaatkan gerakan itu untuk berbisik pelan, "Kita akan segera bekerja sama dengan Grup Aristo, mau tak mau akan sering bertemu. Lebih baik cepat bertatap muka dan minta maaf, supaya ke depannya nggak canggung.""

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 95

    "Tenang, aku akan menyuruh perawat datang menjagamu, kamu aman.""Nggak ... Finn, aku ingin ikut denganmu. Serbuk sari di kantor Emily nggak banyak, aku jatuh dari lantai cuma lecet, nggak apa-apa."Wanda baru saja duduk, sepasang matanya yang berkaca-kaca ingin bersikap manja pada Finn. Namun, Finn menekan tubuhnya kembali ke ranjang. Begitu Finn membayangkan sosok Wanda yang terengah-engah di pelukannya, kenangan-kenangan mengerikan waktu itu tiba-tiba muncul dalam benaknya.Tatapan Finn menjadi serius, "Nggak boleh. Sampai badanmu benar-benar pulih, rumah sakit adalah tempat amanmu.""Tapi ....""Wanda, jangan buat aku khawatir."Sorot mata Finn penuh peringatan. Gerakannya jadi lebih kasar saat menekan sampai Wanda merasa sakit. Wanda mengatupkan bibir, dia tahu apa yang membuat Finn khawatir, lalu tak lagi menolak.Finn menahan sorot mata dinginnya barusan, lalu menerima panggilan telepon dari Grup Aristo sehingga dia harus keluar sebentar.Glenn tidak pergi. Dia menunggu dengan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status