Share

Bab 3

Penulis: Nayla
Tatapan Finn sempat menampakkan kecanggungan. "Emi, apartemennya Wanda lagi direnovasi. Bau catnya terlalu menyengat, nggak baik untuk tubuhnya, jadi ...."

Hati Emily seperti diremas kuat. Dia mengira dirinya sudah kebal. Namun nyatanya, rasa sakit yang mencekik itu tetap menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Dia nggak punya uang buat tinggal di hotel ya?" tanya Emily.

Dengan mata berkaca-kaca, Wanda merapikan biolanya. "Kalian jangan bertengkar gara-gara aku. Aku pergi sekarang juga."

Dia buru-buru hendak mengambil koper, tetapi terbentur ujung meja. Dia pun menahan dadanya sambil meringis. Desahan napasnya terdengar lemah sekaligus menggoda.

"Kamu nggak apa-apa? Kok ceroboh banget? Mana yang sakit? Kamu bawa obat nggak?" Finn panik, segera mengangkat tubuh Wanda dengan kedua lengannya dan berniat membawanya ke lantai atas.

Di atas hanya ada dua kamar. Satu milik Emily, satu lagi milik Finn.

"Ini rumahku. Aku nggak setuju!" Emily berdiri mengadang.

Suasana mendadak menegang.

Wajah Finn menggelap. "Emi, Wanda sekarang benar-benar nggak enak badan. Kalau mau marah, pilih waktu lain. Dan dengar baik-baik, vila ini aku yang beli! Ingat itu!"

Di mata Wanda berkilat kepuasan. Dengan lemah, dia melingkarkan tangan ke leher Finn. Bibirnya nyaris menyentuh dagu Finn saat berbicara, "Finn, turunkan aku. Dengan latar belakangku, mana pantas aku tinggal di sini."

Namun, sikapnya justru membangkitkan gengsi laki-laki. Finn mendorong Emily menjauh. "Kalau aku bilang pantas berarti pantas."

Emily membentur pagar tangga. Rasa sakitnya membuat wajahnya pucat pasi. Finn malah sibuk menenangkan Wanda, sama sekali tak menoleh padanya.

Selesai mengurus Wanda, Finn turun lagi, tetapi tidak melihat Emily. Telepon pun tidak diangkat. Dia tidak terlalu peduli.

Di Kota Kumo, selain di rumah ini, Emily hanya bisa pergi ke rumah Florisa di pinggiran kota. Setelah puas melampiaskan emosi, wanita itu pasti akan kembali.

Saat hendak naik lagi, Finn melihat sesuatu di sudut ruangan. Sebuah kantong jimat berwarna kuning terjatuh.

Dia langsung teringat, Emily pernah bilang soal memilih tanggal pernikahan menjelang ulang tahunnya. Dia membungkuk, mengambil kantong itu, lalu melihat tanggal yang tertulis.

Finn mengeluarkan ponsel, menelepon asistennya, menyisakan waktu khusus di pagi hari itu.

Baru saja menutup telepon, sederet notifikasi belanja dari kartu tambahan muncul. Perhiasan, pakaian, tas ....

Dia membuka WhatsApp, mengirim pesan.

[ Batas 20 miliar. Habiskan lalu pulang. Nggak boleh menginap di luar. ]

Ada rasa tak berdaya, tetapi tetap memanjakan.

Emily yang baru saja menandatangani surat pembelian menatap pesan itu dengan hati kosong. Sejak umur sepuluh tahun, dia selalu hidup di bawah aturan Finn. Kalau Finn bilang tidak boleh, dia pasti patuh.

Namun, kini laki-laki yang berjanji akan menjaganya seumur hidup, justru memeluk wanita lain di kamar yang seharusnya menjadi kamar pengantin mereka.

Tidak boleh? Kali ini, dia tidak akan bersikap patuh.

Karena tidak ada lagi mood untuk berbelanja, Emily langsung menuju hotel bintang tujuh termewah di Kota Kumo. Dia memesan suite di lantai paling atas, juga anggur termahal dan steik terbaik.

Selesai berendam, Emily berdiri di depan jendela besar dengan segelas anggur, menatap gemerlap malam Kota Kumo.

Dulu dia pikir, seumur hidupnya dia tidak akan meninggalkan kota ini. Namun, kenyataan berbeda.

Setelah meneguk dua gelas, Emily mengetik pesan.

[ Besok jam 10 siang di kafe timur kota. Bawa uangnya. Aku tanda tangan. ]

Balasan segera datang.

[ Oke! ]

Grup Eternal adalah perusahaan yang didirikannya bersama Finn. Saat awal berdiri, Finn memberinya 10% saham pendiri. Sama seperti vila gandeng itu, itu adalah salah satu cara Finn memberinya pegangan. Dengan begitu, keduanya seolah-olah tak akan pernah terpisahkan.

Emily dulu girang bukan main, juga terharu melihat perjuangan Finn. Bahkan dia menghubungkan rekening dividen saham awalnya ke bagian keuangan. Bertahun-tahun, dia tidak pernah mengambil sepeser pun. Semuanya dipakai kembali untuk perusahaan.

Sekarang kalau harus berpisah, dia ingin benar-benar bersih.

Menjelang tidur, Finn kembali mengirim pesan di WhatsApp.

[ Aku sudah perpanjang sewa hotelmu sampai Senin depan. Emi, jangan marah lagi. Senin aku jemput kamu. Kita ke kantor catatan sipil. ]

Emily mencari-cari, baru sadar kantong jimatnya hilang. Dia menatap pesan itu lama sekali.

Finn sendiri yang membawa Wanda tinggal di rumah mereka, tetapi justru membayarkan hotel untuknya, lalu tenang-tenang membahas soal pernikahan.

Ironis sekali! Atas dasar apa pria ini mengira dirinya masih mau patuh dan menikah dengannya?

....

Pukul 11 malam lewat, Emily terbangun karena sakit perut yang hebat, seolah-olah lambungnya terbakar.

Dulu saat Finn merintis bisnis, demi mendapatkan proyek dan investor, Emily rela menghadiri sampai empat jamuan dalam sehari. Waktu itu, satu-satunya harapannya hanyalah agar Finn bisa punya posisi di Keluarga Aristo yang merendahkannya.

Akhirnya, Emily jatuh sakit karena lambungnya bolong. Dia diopname setengah tahun. Sejak itu, Finn melarangnya ikut urusan bisnis, menyuruhnya bersiap menjadi Nyonya Aristo.

Kesadaran Emily mulai kabur karena sakit. Dia meraba-raba laci nakas mencari obat. Namun, dia lupa tempat ini adalah hotel, bukan rumah. Obat maag yang biasa dia simpan pun tidak ada.

Rasa sakit semakin kuat, membuat tubuhnya meringkuk dan keringat dingin membasahi dahi. Semula dia mengira bisa menahannya, tetapi setelah 15 menit tak juga mereda, dia panik.

Dengan tangan gemetar, Emily mengambil ponsel dan hendak menelepon ambulans. Saat itu, panggilan masuk. Dari Finn.

Di saat rapuh dan tak berdaya, manusia paling mudah goyah. Melihat nomor familier itu, hidungnya terasa sesak. Topeng kuat yang dia pertahankan beberapa hari ini pun runtuh seketika.

Dia menekan tombol jawab, menempelkan ponsel ke telinga. Namun, belum sempat berbicara, suara Finn yang menahan amarah sudah terdengar. "Emily, kamu sebenci itu sama Wanda? Dia 'kan sahabatmu."

Setiap kata membuat kepala Emily bergetar. Dia menekan perutnya erat-erat, giginya bergemeletuk saat bertanya, "Dia kenapa?"

Suaranya lemah, nyaris tak terdengar. Kalau saja Finn sedikit lebih peka, dia pasti sadar ada yang salah.

Namun, Finn tidak demikian. Amarahnya justru semakin tersulut. "Masih bisa pura-pura? Emily, sejak kapan kamu jadi seperti ini?"

"Kamu tahu Wanda punya asma. Tapi kamu semprot rumah dengan disinfektan, lalu taruh aromaterapi di kamar mandi. Kamu tahu nggak, dia hampir mati kehabisan napas?"

Bibir pucat Emily digigit sampai berdarah. Dia hanya bisa tersenyum getir.

Disinfektan itu untuk menghapus jejaknya. Aromaterapi itu untuk Finn agar dia bisa tidur lebih nyenyak. Emily bahkan susah payah mencari formula untuk aromaterapi itu.

"Finn, aku bukan peramal. Mana aku tahu kamu akan membawa Wanda tinggal di rumah itu."

Telepon hening sejenak. Napas Finn terdengar berat, seakan-akan ada api yang tak bisa padam.

Sakit perut kembali menyerang. Emily terpaksa merintih. Ponselnya pun jatuh dari genggaman.

"Kamu kenapa?"

"Finn ... perutku sakit .... Bisa tolong ...." Belum sempat Emily menyelesaikan kalimatnya, Finn menyela dengan lelah dan tidak sabar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 100

    Austin duduk tegak di sofa dengan mata setengah terpejam. Sulit ditebak apa yang sedang dipikirkannya. Pria tua itu sedang beristirahat.Emily refleks memperlambat langkahnya. Saat dia mendekat, Austin seakan merasakan sesuatu, lalu membuka matanya. Sepasang mata yang tampak bijak itu perlahan beralih padanya."Emily, kamu nggak terluka?""Hm?"Emily terkejut. Dia sempat mengira, Austin akan menegurnya karena dianggap tidak hormat pada ayah. Tak disangka, hal pertama yang keluar dari mulutnya malah menanyakan keadaannya.Melihat keterkejutannya, sorot mata Austin berangsur-angsur melembut. "Aku memang dengar kabar bahwa kamu membuat ayahmu sampai masuk rumah sakit, tapi aku juga sudah tanyakan duduk perkaranya.""Ayahmu mengadakan jamuan, itu pilihannya. Tanpa memberitahumu lebih dulu, dia malah menuntut kamu menjamu tamu dengan hangat. Lalu saat jamuan, dia menghukummu di depan tamu dengan alasan bicara nggak sopan .... Itu nggak pantas.""Keluarga besar menetapkan aturan, tujuannya a

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 99

    Tatapan cemas Finn sepenuhnya terhalang. Mobil melaju stabil meninggalkan kompleks Keluarga Hadid, menuju hiruk pikuk pusat kota.Di dalam kabin mobil yang hening, barulah Emily menoleh. "Pak Kristof, kenapa kebetulan lewat depan rumah Keluarga Hadid?""Bukan kebetulan lewat."Wajah Kristof tetap tampak dingin di dalam bayangan kabin, hanya matanya yang dalam memantulkan sosok Emily. "Aku memang sengaja datang untuk menjemputmu.""Menjemputku? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Emily mengangkat alis. Jangan-jangan, kabar Ronny membantu Finn merebut proyek, lalu Keluarga Hadid berencana bekerja sama dengan Finn, sudah sampai di telinga Kristof? Sebagai sekutu, Kristof sengaja memutar jalan untuk memberi peringatan padanya?Pikiran itu membuat tatapan Emily ikut menjadi serius.Kristof menjawab, "Ibu tirimu yang menelpon ke rumah Keluarga Maison. Katanya sejak kamu jadi istri Keluarga Maison, sikapmu sudah tidak tahu aturan.""Dia bahkan mengadu, bilang kamu membuat Glenn masuk rumah sakit k

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 98

    Setelah keluar dari rumah Keluarga Hadid, Emily berdiri di pinggir jalan, bersiap-siap untuk memesan mobil.Suara langkah terdengar dari belakang. Dia menoleh dan melihat seorang pria yang berlari dengan jaket tersampir di lengannya dan hanya mengenakan kemeja tipis. Dalam cahaya lampu jalan, dia berhenti tepat di depan Emily."Aku antar kamu."Finn menyibak rambut di sisi wajah Emily, sorot matanya hanya dipenuhi dengan Emily. Seolah-olah, semuanya masih sama seperti dulu. Dulu, Finn juga sering berlari menghampirinya begini.Namun sekarang, Emily hanya merasa angin malam ini membuatnya menggigil. Dia kembali merapatkan mantel di tubuhnya dan jari tetap bergerak di layar, terus mencoba untuk memesan mobil."Nggak perlu."Rumah Keluarga Hadid agak jauh dari pusat kota, aplikasi pemesanan terus berputar, tetapi mobil tak kunjung tersedia.Melihat hal itu, Finn mendekatinya. Dia memperlihatkan lengannya yang lebam akibat pukulan itu dan bibir tipisnya terkatup rapat."Emi, hukuman keluar

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 97

    Emily tetap tak bergeming. Dulu, dia sudah sering merasakan hukuman keluarga ini. Kalau dulu saja dia tidak takut, tentunya sekarang juga semakin tidak gentar menghadapinya.Melihat sikap Emily yang keras kepala, Glenn mengangkat tinggi tangannya. Esther menatap penuh semangat sambil membatin, 'Pukul saja sampai mati!'"Anak tak berbakti!"Wajah Emily tampak dingin. Baru saja dia hendak merebut tongkat itu lalu pergi, tiba-tiba ada bayangan orang melintas di depannya.Finn maju ke depan dan menahan pukulan itu untuknya."Kamu ...." Mata Emily memancarkan keterkejutan dalam sekejap.Finn berdiri di depannya, pelipisnya berkeringat menahan sakit. "Kamu nggak apa-apa?"Empat kata itu membangkitkan kembali kenangan suara Finn di masa lalu.Dulu saat dia kabur dari ibu kota dan pergi jauh ke Kota Kumo, banyak rintangan yang mengadangnya. Finn hanya memeluknya dan menanyakan empat kata itu.Saat Grup Eternal baru berdiri, dia membantu Finn menghadapi jamuan bisnis. Saat itu, dia minum alkoho

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 96

    Sore harinya, di rumah Keluarga Hadid.Emily melangkah pulang di bawah cahaya matahari yang mulai tenggelam. Begitu masuk, pandangannya langsung jatuh pada sosok pria yang duduk sendirian di sofa.Finn mengenakan kemeja dengan celana kain, bagian lengannya digulung hingga menampakkan lengan berotot dan jam tangan emas di pergelangan tangannya. Dia hanya duduk diam sambil menatap Emily dengan sorot mata dalam.Sinar senja yang merah masuk lewat jendela dan jatuh ke lantai, seolah memisahkan mereka berdua ke dalam dua dunia yang berbeda.Keheningan menyelimuti ruangan.Glenn maju mencoba menengahi sambil mengambil mantel Emily dengan lembut dan menggantungkannya. Melihat sikap ayahnya yang tak biasa, Emily lalu memasukkan satu tangan ke saku celananya.Namun, sebenarnya Glenn memanfaatkan gerakan itu untuk berbisik pelan, "Kita akan segera bekerja sama dengan Grup Aristo, mau tak mau akan sering bertemu. Lebih baik cepat bertatap muka dan minta maaf, supaya ke depannya nggak canggung.""

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 95

    "Tenang, aku akan menyuruh perawat datang menjagamu, kamu aman.""Nggak ... Finn, aku ingin ikut denganmu. Serbuk sari di kantor Emily nggak banyak, aku jatuh dari lantai cuma lecet, nggak apa-apa."Wanda baru saja duduk, sepasang matanya yang berkaca-kaca ingin bersikap manja pada Finn. Namun, Finn menekan tubuhnya kembali ke ranjang. Begitu Finn membayangkan sosok Wanda yang terengah-engah di pelukannya, kenangan-kenangan mengerikan waktu itu tiba-tiba muncul dalam benaknya.Tatapan Finn menjadi serius, "Nggak boleh. Sampai badanmu benar-benar pulih, rumah sakit adalah tempat amanmu.""Tapi ....""Wanda, jangan buat aku khawatir."Sorot mata Finn penuh peringatan. Gerakannya jadi lebih kasar saat menekan sampai Wanda merasa sakit. Wanda mengatupkan bibir, dia tahu apa yang membuat Finn khawatir, lalu tak lagi menolak.Finn menahan sorot mata dinginnya barusan, lalu menerima panggilan telepon dari Grup Aristo sehingga dia harus keluar sebentar.Glenn tidak pergi. Dia menunggu dengan s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status