Share

7. Ungkapan Penyesalan

"Ibu mengerti, Sayang. Ibu dukung keputusanmu," dengan tatapan teduhnya.

"Haus Bunda!" Daffa terengah-engah mendekat ke arahku. Di meja sudah disediakan minum buat persediaan mereka yang sedang bermain.

"Sayang, pelan-pelan," ucapku.

"Aku mau juga, Dek," ucap Bang Akram.

"Ini Yah, Alhamdulillah seger," ucap Daffa lalu rebahan di teras.

"Mandi yuk, Kak!" ajak Daffa.

"Jangan dulu, masih berkeringat tunggu kering keringatnya, Dek. Mandi bareng Ayah nanti," ucap Bang Akram.

"Ayah, kenapa mesti nunggu kering?" tanya Daffa.

"Karena ketika masih panas berkeringat langsung mandi itu tidak baik buat kesehatan, Sayang," jawab Bang Akram sambil mengelus kepala anaknya yang masih berbaring di lantai.

"Kakak saja nggak capek, kok kamu sampai terkapar begitu, Dek?" sambil menertawakan adiknya.

Aku terus memperhatikan Bang Akram yang sedang bersama anak-anak. Bang Akram mengambil hp dan terlihat murung, mungkin dapat W******p dari Indah.

"Bang, jangan melamun. Kalau kangen telpon balik saja. Tadi dia yang telpon," ucap Fitri.

"Sayang, jangan mulai deh. Abang lagi menikmati kebersamaan dengan kalian," jawab Bang Akram lesu.

"Kangen sama siapa, Yah?"

"Tau tuh, bunda ngomong apa. Sudah kering, yuk kita mandi!" mengalihkan penasaran anak keduaku.

Mereka sangat kompak dengan ajakan ayahnya.

"Ayah, ayo jadi mandi kan? Hp diletakan dulu Ayah!" ucap Daffa tegas, aku tertawa melihat tingkahnya persis sepertiku. Mereka sudah memegang handuk masing-masing tanpa ku siapkan.

"Bang, betul kata Daffa, segera letakan HP. Mandi dulu, mau telpon, w* bahkan vidio call tak masalah nanti!" ucap ku membenarkan omongan Daffa.

"Iya, Sayang. Alhamdulillah akhirnya teguran yang sudah Abang rindukan keluar juga dari mulutmu, terimakasih," ucap Bang Akram sambil menggandeng tangan Daffa masuk kamar mandi. Teguran ketus dari istrinya menandakan suasana hatinya sudah mulai kembali.

"Dasar, aneh."

"Loh, Akram mana, Fit?"

"Baru saja masuk mau mandi, Pak."

"Yah, ndi ... yah ... ndi," celoteh Hilda.

"Iya, Dek. Ayah mandi, kita kedepan lagi yuk. Tungguin ayah didepan saja," ucap Bapak kepada cucunya.

"Mau sama bunda?" tanya Fitri. Hilda menggeleng nggak mau, nempel terus dengan kakek atau ayahnya. Bapak berjalan ke depan, duduk di karpet ruang keluarga membiarkan Hilda bermain. Syifa juga sudah berada disitu, dengan wajah yang lebih segar karena sudah mandi. Hari libur jam 9 baru mandi setelah selesai bermain terlebih dahulu.

"Bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan ke taman kota sore nanti, InsyaAllah," ucap Bang Akram yang tiba-tiba sudah muncul bersama Daffa.

"Beneran, Yah? Alhamdulillah, sudah lama nggak jalan-jalan. Bun, akhirnya ayah ngajak jalan-jalan. Berapa bulan ya, kita dirumah terus nggak pernah kemana-mana?" ucap Syifa.

"Kak, Ayah kan lembur. Nggak apa-apa sekarang jadi kita bisa buat jalan-jalan karena Ayah lembur, duitnya jadi banyak. Iya kan, Bun?" ucap Daffa berbinar. Aku hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala, tiba-tiba tenggorokan tercekat nggak bisa ngomong apa-apa, karena Bang Akram tidak hanya membohongi ku, tapi juga anak-anak polos tak berdosa.

"Bang, bagaimana kalau kita ke Mall? kebutuhan banyak yang habis, aku nggak ada waktu buat beli, belakangan ini beli di warung dekat rumah, repot mesti bolak balik. Mau ke Mall sama anak-anak saja nggak berani, mengingat membawa 3 anak," ucapku setengah memelas.

"Siap, Sayang. Jadi nanti habis sholat Asar langsung berangkat InsyaAllah,"

"Terimakasih, Bang. Telpon Indah dulu Bang, takutnya dia merasa di abaikan. Aku sangat mengerti rasanya, karena aku juga seorang wanita," ucapku setengah berbisik, takut anak-anak mendengar, belum saatnya mereka mengetahui hal ini. Menunggu moment yang pas untuk menjelaskan kepada mereka.

"Ya sudah, aku telpon dulu sebentar,"

"Tut ... Yah. Tut ... Yah," Hilda berjalan tertatih menuju Bang Akram dan meminta gendong. Hilda digendongnya menuju teras kemudian terlihat dibalik kaca Bang Akram menelpon Indah. Hatiku bergetar, bismillah ikhlas ... suami hanya titipan. Aku terus memperhatikan gerak geriknya, awal dia ekspresinya tersenyum. Lama-lama berubah menjadi emosi, takut Hilda kenapa-kenapa melihat perubahan ayahnya. Tepat dugaan ku Hilda menangis. Aku langsung ikut ke teras untuk mengambil Hilda.

"Maaf, biar Hilda sama aku, Bang," aku berusaha meraih Hilda untuk menggendongnya.

"Nggak usah, Sayang. Biar Hilda sama Abang."

"Tapi, Abang terlihat emosi Hilda takut," ucapku datar.

"Maaf, Sayang. Nggak bermaksud menakuti kamu," sambil mengelus kepala Hilda. Hilda terisak sebentar kemudian tertidur digendongnya Ayahnya.

"Ikut Abang ya, Dek. Menidurkan Hilda di kasur," pinta Bang Akram. Aku mengangguk setuju, lalu mengikuti langkah lebarnya dibelakangnya. Kami terdiam tak satupun membuka pembicaraan beberapa saat, terlihat Bang Akram gusar. Aku memberanikan diri bertanya.

"Bang, mau minum teh atau kopi,"

"Aku kangen kopi buatan kamu, Dek,"

"Bang, bukannya baru 2 hari nggak menikmati kopi buatan ku?" aku tertawa.

"Tadi pagi kamu masih marah, Dek. Nggak buatin kopi buat Abang,"

"Gampang, Bang. Kalau aku marah, tinggal kerumah istri muda. Lagi sayang-sayangnya pasti dibuatkan, dengan rasa spesial," ucapku meledek.

"Dek, jangan gitu. Jika kamu ingin aku menceraikan Indah, akan ku lakukan. Yang penting kamu jangan marah,"

"Jangan gitu, Bang. Tiap rumah tangga pasti ada ujian masing-masing. Begitu juga rumahtangga Abang dengan Hilda, jelas banyak rintangan. Jika Abang benar-benar niat ibadah tentu semua akan mulus,"

"Sayang, aku benar-benar menyesal. Sudah mengabaikan keberadaan kamu beberapa bulan ini. Aku sangat berdosa sama kamu dan anak-anak. Aku sudahi saja dengan Indah, barusan dia marah-marah sama Abang, aku harus balik kesana hari ini juga. Tapi aku menolak, kemudian dia minta ketemu sama bapak,"

"Wajar lah, Bang. Masa menikah tidak mengenal keluarga suami satupun. Memang dulu Abang ngomongnya nggak punya keluarga?"

"Aku sudah jujur, Dek. Dan teman Indah juga sudah mengingatkan untuk tidak lanjut. Keputusan saat ini ada ditangannya, mengingat aku sudah jujur dengan keadaan, Abang," Bang Akram bercerita semua perjalanannya hingga dia menikahi Indah.

"Hatimu terbuat dari apa sih, Yang. Mendengar cerita Abang dengan santai, padahal jelas Abang telah menyakiti hatimu? Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi?"

Netra Bang Akram menuntut jawaban pasti dariku. Jika sudah tahu tindakannya menyakiti hatiku, mengapa dia tega berbuat demikian? Aku mencoba menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaannya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status