Home / Urban / Penyesalan Setelah Poligami / 7. Ungkapan Penyesalan

Share

7. Ungkapan Penyesalan

Author: Pujiati
last update Last Updated: 2022-06-03 15:43:58

"Ibu mengerti, Sayang. Ibu dukung keputusanmu," dengan tatapan teduhnya.

"Haus Bunda!" Daffa terengah-engah mendekat ke arahku. Di meja sudah disediakan minum buat persediaan mereka yang sedang bermain.

"Sayang, pelan-pelan," ucapku.

"Aku mau juga, Dek," ucap Bang Akram.

"Ini Yah, Alhamdulillah seger," ucap Daffa lalu rebahan di teras.

"Mandi yuk, Kak!" ajak Daffa.

"Jangan dulu, masih berkeringat tunggu kering keringatnya, Dek. Mandi bareng Ayah nanti," ucap Bang Akram.

"Ayah, kenapa mesti nunggu kering?" tanya Daffa.

"Karena ketika masih panas berkeringat langsung mandi itu tidak baik buat kesehatan, Sayang," jawab Bang Akram sambil mengelus kepala anaknya yang masih berbaring di lantai.

"Kakak saja nggak capek, kok kamu sampai terkapar begitu, Dek?" sambil menertawakan adiknya.

Aku terus memperhatikan Bang Akram yang sedang bersama anak-anak. Bang Akram mengambil hp dan terlihat murung, mungkin dapat W******p dari Indah.

"Bang, jangan melamun. Kalau kangen telpon balik saja. Tadi dia yang telpon," ucap Fitri.

"Sayang, jangan mulai deh. Abang lagi menikmati kebersamaan dengan kalian," jawab Bang Akram lesu.

"Kangen sama siapa, Yah?"

"Tau tuh, bunda ngomong apa. Sudah kering, yuk kita mandi!" mengalihkan penasaran anak keduaku.

Mereka sangat kompak dengan ajakan ayahnya.

"Ayah, ayo jadi mandi kan? Hp diletakan dulu Ayah!" ucap Daffa tegas, aku tertawa melihat tingkahnya persis sepertiku. Mereka sudah memegang handuk masing-masing tanpa ku siapkan.

"Bang, betul kata Daffa, segera letakan HP. Mandi dulu, mau telpon, w* bahkan vidio call tak masalah nanti!" ucap ku membenarkan omongan Daffa.

"Iya, Sayang. Alhamdulillah akhirnya teguran yang sudah Abang rindukan keluar juga dari mulutmu, terimakasih," ucap Bang Akram sambil menggandeng tangan Daffa masuk kamar mandi. Teguran ketus dari istrinya menandakan suasana hatinya sudah mulai kembali.

"Dasar, aneh."

"Loh, Akram mana, Fit?"

"Baru saja masuk mau mandi, Pak."

"Yah, ndi ... yah ... ndi," celoteh Hilda.

"Iya, Dek. Ayah mandi, kita kedepan lagi yuk. Tungguin ayah didepan saja," ucap Bapak kepada cucunya.

"Mau sama bunda?" tanya Fitri. Hilda menggeleng nggak mau, nempel terus dengan kakek atau ayahnya. Bapak berjalan ke depan, duduk di karpet ruang keluarga membiarkan Hilda bermain. Syifa juga sudah berada disitu, dengan wajah yang lebih segar karena sudah mandi. Hari libur jam 9 baru mandi setelah selesai bermain terlebih dahulu.

"Bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan ke taman kota sore nanti, InsyaAllah," ucap Bang Akram yang tiba-tiba sudah muncul bersama Daffa.

"Beneran, Yah? Alhamdulillah, sudah lama nggak jalan-jalan. Bun, akhirnya ayah ngajak jalan-jalan. Berapa bulan ya, kita dirumah terus nggak pernah kemana-mana?" ucap Syifa.

"Kak, Ayah kan lembur. Nggak apa-apa sekarang jadi kita bisa buat jalan-jalan karena Ayah lembur, duitnya jadi banyak. Iya kan, Bun?" ucap Daffa berbinar. Aku hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala, tiba-tiba tenggorokan tercekat nggak bisa ngomong apa-apa, karena Bang Akram tidak hanya membohongi ku, tapi juga anak-anak polos tak berdosa.

"Bang, bagaimana kalau kita ke Mall? kebutuhan banyak yang habis, aku nggak ada waktu buat beli, belakangan ini beli di warung dekat rumah, repot mesti bolak balik. Mau ke Mall sama anak-anak saja nggak berani, mengingat membawa 3 anak," ucapku setengah memelas.

"Siap, Sayang. Jadi nanti habis sholat Asar langsung berangkat InsyaAllah,"

"Terimakasih, Bang. Telpon Indah dulu Bang, takutnya dia merasa di abaikan. Aku sangat mengerti rasanya, karena aku juga seorang wanita," ucapku setengah berbisik, takut anak-anak mendengar, belum saatnya mereka mengetahui hal ini. Menunggu moment yang pas untuk menjelaskan kepada mereka.

"Ya sudah, aku telpon dulu sebentar,"

"Tut ... Yah. Tut ... Yah," Hilda berjalan tertatih menuju Bang Akram dan meminta gendong. Hilda digendongnya menuju teras kemudian terlihat dibalik kaca Bang Akram menelpon Indah. Hatiku bergetar, bismillah ikhlas ... suami hanya titipan. Aku terus memperhatikan gerak geriknya, awal dia ekspresinya tersenyum. Lama-lama berubah menjadi emosi, takut Hilda kenapa-kenapa melihat perubahan ayahnya. Tepat dugaan ku Hilda menangis. Aku langsung ikut ke teras untuk mengambil Hilda.

"Maaf, biar Hilda sama aku, Bang," aku berusaha meraih Hilda untuk menggendongnya.

"Nggak usah, Sayang. Biar Hilda sama Abang."

"Tapi, Abang terlihat emosi Hilda takut," ucapku datar.

"Maaf, Sayang. Nggak bermaksud menakuti kamu," sambil mengelus kepala Hilda. Hilda terisak sebentar kemudian tertidur digendongnya Ayahnya.

"Ikut Abang ya, Dek. Menidurkan Hilda di kasur," pinta Bang Akram. Aku mengangguk setuju, lalu mengikuti langkah lebarnya dibelakangnya. Kami terdiam tak satupun membuka pembicaraan beberapa saat, terlihat Bang Akram gusar. Aku memberanikan diri bertanya.

"Bang, mau minum teh atau kopi,"

"Aku kangen kopi buatan kamu, Dek,"

"Bang, bukannya baru 2 hari nggak menikmati kopi buatan ku?" aku tertawa.

"Tadi pagi kamu masih marah, Dek. Nggak buatin kopi buat Abang,"

"Gampang, Bang. Kalau aku marah, tinggal kerumah istri muda. Lagi sayang-sayangnya pasti dibuatkan, dengan rasa spesial," ucapku meledek.

"Dek, jangan gitu. Jika kamu ingin aku menceraikan Indah, akan ku lakukan. Yang penting kamu jangan marah,"

"Jangan gitu, Bang. Tiap rumah tangga pasti ada ujian masing-masing. Begitu juga rumahtangga Abang dengan Hilda, jelas banyak rintangan. Jika Abang benar-benar niat ibadah tentu semua akan mulus,"

"Sayang, aku benar-benar menyesal. Sudah mengabaikan keberadaan kamu beberapa bulan ini. Aku sangat berdosa sama kamu dan anak-anak. Aku sudahi saja dengan Indah, barusan dia marah-marah sama Abang, aku harus balik kesana hari ini juga. Tapi aku menolak, kemudian dia minta ketemu sama bapak,"

"Wajar lah, Bang. Masa menikah tidak mengenal keluarga suami satupun. Memang dulu Abang ngomongnya nggak punya keluarga?"

"Aku sudah jujur, Dek. Dan teman Indah juga sudah mengingatkan untuk tidak lanjut. Keputusan saat ini ada ditangannya, mengingat aku sudah jujur dengan keadaan, Abang," Bang Akram bercerita semua perjalanannya hingga dia menikahi Indah.

"Hatimu terbuat dari apa sih, Yang. Mendengar cerita Abang dengan santai, padahal jelas Abang telah menyakiti hatimu? Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi?"

Netra Bang Akram menuntut jawaban pasti dariku. Jika sudah tahu tindakannya menyakiti hatiku, mengapa dia tega berbuat demikian? Aku mencoba menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaannya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan Setelah Poligami   97. Rencana Menjemput Akram

    Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena kesibukannya menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya. "Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Video Call. "Hem ...," sahut istrinya sambil manyun. "Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian. "Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri. "Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram tersenyum tipis. "Masa, ... sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal. "Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal. "Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya. "He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram. "Gombal,

  • Penyesalan Setelah Poligami   96. Keberangkatan Akram

    Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa

  • Penyesalan Setelah Poligami   95. Kecemasan Fitri dan Syifa

    "Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu

  • Penyesalan Setelah Poligami   94. Fitri Penasaran

    "Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri

  • Penyesalan Setelah Poligami   93. Papa Mau Bicara Dengan Akram

    Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B

  • Penyesalan Setelah Poligami   92. Jika Aku Tiada

    Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status