Home / Urban / Penyesalan Setelah Poligami / 6. Adik Maduku Telpon

Share

6. Adik Maduku Telpon

Author: Pujiati
last update Last Updated: 2022-06-02 20:17:17

"Baik, aku turuti permintaanmu. Aku mohon jangan marah lagi," Aku hanya terdiam tak punya niat menjawab permohonan Bang Akram.

"Sayang, pulang yuk!" ajak Bang Akram sambil duduk disamping ku. Hilda sudah bermain bersama Bapak dan Ibu diruang depan.

"Aku masih pengin disini dulu, Bang. Boleh ya?" pintaku.

"Sayang, aku mau bicara yang lebih leluasa. Mengertilah!" Bang Akram memohon.

"Apakah aku yang harus selalu mengerti, Bang. Tolong kasih waktu aku untuk menata hati ini. Kasih waktu 2 hari saja untuk menerima keputusan Abang, kali ini saja, Bang. Abang yang harus mengerti dengan kondisiku,"

Baiklah, tapi besok kita pulang ya?" ucap Bang Akram lembut. Aku mengangguk, sebagai tanda setuju.

"Abang, bermainlah dulu sama anak-anak. Mereka sangat haus kebersamaan dengan Ayahnya!" perintahku.

"Baiklah, kamu segera menyusul ya, Abang bicaranya nanti malam saja. Jangan melamun sendirian," ucap Bang Akram sambil mengelus pucuk jilbabku.

"Nggak lah, Bang. Aku masih punya Allah, yang membuat aku masih berdiri kokoh, dan lukaku akan segera sembuh karena kebohongan yang Abang lakukan," ucapku sambil tertawa sumbang.

"Maaf, ...."

"Hallo, anak-anak Ayah, kalian sudah siap bermain, mana bolanya? Yuk, kita ke halaman depan!" teriak Bang Akram yang baru keluar dari ruang keluarga.

"Siap Ayah, let's go!" sambut Daffa.

"Tungguin Kakak, Dek!" teriak Syifa.

"Buruan, Kak. Ayah biar Daffa sendiri terima operan bola Ayah dan Kakak. Kakak satu tim bareng Ayah ya!"

"Siap, Dek. Tendang bolanya ke kami!" ucap Bang Akram.

"Ayah, Kakak tangkap bolanya!" ucap Daffa.

"Melesetnya ke Hilda, Dek. Ini tangkap," ucap Kakeknya yang berhasil menangkap bola yang nyasar ke arahnya.

Fitri ikut ke teras menyaksikan suami dan anak-anaknya bermain di halaman, Hilda sedang bersama Bapak dan Ibu juga ikut menyaksikan keseruan kakak-kakaknya.

Andai Abang tak membuat hatiku terluka, tentu saat ini aku menjadi wanita paling bahagia. Dengan melihat anak-anak bahagia sudah lebih dari cukup untuk ukuran kebahagiaan saat ini. Padahal jelas-jelas Allah melarang kita untuk berandai-andai, karena hasilnya pasti mengecewakan.

"Bang, Handphone Abang bunyi. Ada yang memanggil!" teriakku setelah melihat handphone yang di meja teras bunyi berulang. Tertulis nama Indah, hatiku berdebar kencang.

"Tolong jawab saja sama kamu, Sayang,"

"Beneran, Bang. Boleh!"

"Iya, kasihan anak-anak baru mulai main,"

Aku mengangkat dengan hati yang berdebar kencang, bismillah berilah kekuatan.

"Assalamualaikum," terdengar suara merdu dari sebrang suaranya persis seperti kemari malam saat Hilda menangis kencang.

"W*'alaikumussallam, salam kenal saya Fitri," aku beranikan diri untuk memperkenalkan diri.

"Saya Indah Mbak, sudah ku tebak nggak diangkat pasti lagi sama istri pertamanya," ucap Indah. Aku sengaja tidak terpancing dengan ucapannya. Aku masih diam, kelihatannya sangat menggebu ingin bicara.

"Kelihatannya bahagia sekali ya Mas Akram, tawanya terdengar sangat jelas bersama anak-anak. Tapi kok bisa menikah lagi ya mbak, apa yang kurang dari Mbak Fitri?" ucapnya terdengar sangat pedas. Kok bisa ya, Bang Akram menikahi wanita seperti ini, batinku.

"Apa kabarmu Indah, selamat ya. Kamu jadi adik maduku sekarang, kapan-kapan semoga kita bisa bertemu,"

"Bagaimana bisa ketemu, Mbak. Kalau sama mertua saja aku tidak kenal,"

"Nanti pastinya akan di kenalkan sama suamimu," ucap ku.

"Mbak, suamiku baru satu hari disini main disuruh pulang mbak. Itu nggak adil, aku telpon mau protes sama Mas Akram. Mas Akram mana? Aku mau bicara!" ucap Indah seolah memerintah.

"Adik maduku, yang menyuruh terima telpon itu suamimu. Jadi aku hanya berusaha taat, menjalankan perintah suami, nanti kalau sudah selesai bermain sama anak-anak jelas telpon balik. Nggak mungkin mengabaikan istri baru kan?"

"Mbak, jangan mancing-mancing emosiku,"

"Siapa yang mancing, Dek. Justru aku hanya meladeni kamu, yang dari awal merasa tidak suka denganku, menyudutkan ku dengan bilang kenapa bisa nikah lagi. Berdamai dengan keadaan, kenyataannya kita harus berbagi suami, kamu jelas tahu kan sebelum menikah kalau Pak Akram sudah beristri dan punya anak. Dan kamu menyetujui, itu artinya mau tidak mau kita harus berdamai dengan keadaan, kita harus menjadi partner yang baik kedepannya. Jangan sampai timbul kecurigaan satu sama lain. Aku mau kita berteman, Dek,"

"Maaf, Mbak. Aku terlalu emosi karena Mas Akram disini hanya sehari, sudah dipaksa pulang,"

"Maaf ya, Dek. Kalau suamimu seperti itu. Karena kondisi Hilda, Bapak jadi memaksa untuk pulang,"

"Ya sudah, Mbak. Aku tutup dulu, assalamualaikum," Indah mengakhiri panggilannya.

"W*'alaikumussallam," tersenyum lega. Ternyata setelah bicara perasaan lebih plong. InsyaAllah aku bisa menjadi partner yang baik untuk berjuang bersama meraih surga Firdaus.

Bapak dan Ibu ternyata memperhatikan sejak tadi, tergambar wajah penasarannya. Ibu mendekatiku, ikut duduk di sampingku.

"Sayang, istri baru Akram?"

"Iya, Bu," ucapku.

"MasyaAllah, jika selalu melibatkan Allah hasilnya jadi seperti ini, kamu luar biasa, Nak. Sudah tidak begitu terpuruk, bisa dilihat dari raut wajahmu. Ibu bangga sama kamu, semangat Sayang,"

"Ibu, bisa saja. Allah sudah memberi obat bagi lukaku, Bu. Sikap bapak dan ibu sudah menjadi obat lukaku. Tak ada alasan lagi buat aku bersedih. Hanya saja untuk bicara sama Bang Akram seperti sebelumnya masih belum bisa seperti seperti dulu. Bukan karena maduku, tapi karena Bang Akram sudah membohongiku terlalu lama. Apakah Ibu mendukungku?"

Jawaban seperti apa yang aku minta dari mertuaku? Beliau itu Ibu dari suami, bukan ibuku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Manis
Yang bisa setegar itu mungkin hanya ada di novel. Semangat Fitri
goodnovel comment avatar
Tika lia
Aku tak bisa berkata-kata, Fitri kamu kuat sekali
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Penyesalan Setelah Poligami   97. Rencana Menjemput Akram

    Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena kesibukannya menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya. "Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Video Call. "Hem ...," sahut istrinya sambil manyun. "Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian. "Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri. "Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram tersenyum tipis. "Masa, ... sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal. "Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal. "Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya. "He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram. "Gombal,

  • Penyesalan Setelah Poligami   96. Keberangkatan Akram

    Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa

  • Penyesalan Setelah Poligami   95. Kecemasan Fitri dan Syifa

    "Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu

  • Penyesalan Setelah Poligami   94. Fitri Penasaran

    "Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri

  • Penyesalan Setelah Poligami   93. Papa Mau Bicara Dengan Akram

    Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B

  • Penyesalan Setelah Poligami   92. Jika Aku Tiada

    Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status