Kejadian yang kualami pagi ini membuat moodku ambyar, susah fokus. Pekerjaanku tidak ada yang beres, teringat sikap dingin Uma. Tak kusangka, dia begitu arogan. Apalagi kata terakhirnya terus terngiang-ngiang di telingaku. "Bahkan saya lupa pernah menjadi istri anda" Uma benar-benar sudah berubah. Karena nggak konsen dengan kerjaan kantor, akhirnya aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Dengan alasan tak enak badan aku minta ijin Mbak Yeni. Sampai rumah, kudapati pagar tidak digembok, berarti ada orang di rumah, begitu pikirku. "Assalamualaikum .... Dek! Mas pulang!" seruku lantang."Waalaikum salam ... eh, Pak Afnan sudah pulang?" Wanita setengah baya yang kupanggil Bibi itu, tergopoh-gopoh menghampiriku. "Bu Sandi mana? Masih di kamar?" tanyaku pada Bi Murni, harusnya Sandi yang menyambutku, kenapa malah pembantu?."Bu Sandi pergi, Pak.""Kemana?""Nggak tahu Pak, nggak pamit tadi, kan biasanya emang begitu." Jadi tiap hari, kalau kutinggal kerja, Sandi pergi kel
Minggu pagi.... Menikmati secangkir kopi, bercengkrama berdua dengan istri tercinta, hanya ada dalam anganku saja. nyatanya Sandi, masih asik berlayar di alam mimpi. Kuputuskan untuk keluar mencari sarapan, biasanya week end begini alun-alun ramai, banyak yang olah raga, atau sekedar jalan-jalan. Dan biasanya, banyak juga penjual makanan yang menggelar dagangannya.Berharap Sandi memasakan sarapan untukku adalah satu kemustahilan. Lebih baik aku mengisi perutku sendiri, soal Sandi, biasanya juga pesan grab food. Sepanjang perjalanan, banyak orang yang sedang joging. Ada yang berdua dengan pasangannya, bahkan ada yang membawa anak-anaknya.Sisi hatiku tertampar, seandainya saja aku masih bersama Uma, pasti saat ini aku sedang jalan pagi bareng Uma dan anak-anak.Akhirnya aku sampai di alun-alun kota, setelah tengok kanan tengok kiri, aku mendapat parkir dekat penjual bubur ayam. Nampaknya semangkuk bubur ayam pedas, akan terasa nikmat pagi ini, gumam hatiku.Baru saja aku turun dar
Pov Uma"Uma!" Terdengar suara bariton yang asing di telingaku, memanggil.Reflek aku menoleh, sesosok pria jangkung berkaca mata menghampiriku. "Ya Allah, Uma .... Dari tadi aku ngikutin kamu lho. Buat mastiin, kalau ini beneran Uma temanku atau bukan. Soalnya kamu berubah banget, makin cantik sekarang," ucap pria itu, dengan nafas terengah-engah. Aku mengernyitkan dahi, mencoba mengingat siapa sosok mahluk tampan yang berdiri di hadapanku. Seperti pernah lihat, tapi di mana? Aku benar-benar lupa."Kamu nggak ingat aku?" tanyanya padaku, aku menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Ini aku, Prabu Wijaya teman kuliah kamu. Kita dulu sering dijodoh-jodohin sama teman-taman, karena kita punya nama yang mirip. Kamu ingat 'Wijaya kuadrat'? Begitu kita dipanggil dulu." Saat dia menyebutkan namanya, aku jadi ingat. Dia adalah pria yang pernah membuatku jatuh cinta sekaligus patah hati dalam waktu bersamaan. Dia teman kuliahku, putra pejabat daerah di kota ini. Kami dulu sempat
Kuputuskan berangkat kantor pagi-pagi, sekalian nyari sarapan. Di rumah lama-lama juga buat apa? Sandi masih ngorok.Bicara soal Sandi, entah mengapa akhir-akhir ini aku merasa hampa, apa aku sudah bosan dengan sikap membangkangnya? Mungkin saja. Seharian kemarin kami di rumah berdua saja. Setiap hari minggu Bi Murni libur, ingin menikmati waktu bersama keluarga katanya. Aku maklum saja, masak kerja nggak ada liburnya.Idealnya, ada waktu berdua saja di manfaatkan untuk ngobrol, saling cerita kesibukan masing-masing, atau mesra-mesraan lah. Lha ini?Sandi sibuk dengan gawainya, gegoleran di atas tempat tidur sambil nonton drakor favorit. Ada suami di rumah malah dicuekin, sebenarnya mau dia apa sih?Bukannya minta maaf karena ketahuan keluyuran kemarin, untuk memperbaiki hubungan kami. Dia malah bersikap tidak perduli, apa aku harus minta maaf duluan? Sorry! Not my style. Dalam perjalanan, tiba-tiba terlintas dalam fikiranku untuk melewati rumah mantan mertuaku, kebetula
Di gerai pakaian dalam wanita, kulihat Sandi istriku, sedang belanja di sana. Wajar wanita sekelas Sandi memilih belanja di sini, Mall besar menjual produk branded. Yang jadi masalah adalah, dia belanja ditemani seorang laki-laki tak kukenal. Dari tatapannya, aku tahu, dia berhasrat sekali terhadap Sandi. Apalagi saat Sandi menempelkan lingeri tipis ketubuhnya, pria itu seperti ingin menelan Sandi hidup-hidup.Sebenarnya aku bisa saja melabrak mereka, sekaligus menggampar laki-laki itu, Tapi untuk apa? Untuk mempermalukam diriku? Memperlihatkan betapa bodohnya aku, karena sudah menikahi wanita murahan seperti Sandi? Tidak, itu tidak akan kulakukan. Lagi pula ini tempat umum, kalau terjadi keributan, bisa mempuruk citra perusahaan tempatku bekerja, karena aku datang ke sini atas nama perusahaan.* * * * * "Gimana hasilnya, Af?" tanya Mbak Yeni, menyambut kedatanganku. "Beres Mbak," jawabku lesu."Syukurlah kalau begitu, semoga penjualan semakin meningkat usai ekspo ya?""Iya M
"Iya! Dia memang kaya dan royal padaku! Tidak seperti kamu! Sudah kere*! Pelit!" seru Sandi dengan suara tinggi.Ucapan Sandi berhasil memprofokasi aku, dan... "Plak!" Tamparanku mendarat tepat di pipi mulus Sandi, hingga meninggalkan bekas merah di sana.Untuk pertama kalinya, aku main tangan pada istri. Baik Uma, maupun Riyanti, tidak pernah berani bersuara tinggi di depanku, mereka hanya bisa menitikkan air mata bila aku marah. Padahal pertengkaran kami, biasanya disebabkan oleh kesalahanku. Sandi benar-benar sudah keterlaluan, jelas-jelas dia salah bukannya minta maaf malah berani memaki dan berkata kasar, yang merendahkan harga diriku sebagai suami, seketika rasaku padanya yang menggebu, padam.Aku sudah memenuhi semua kebutuhannya, bahkan aku memberinya uang untuk kebutuhannya sendiri, kenapa dia bilang aku pelit?Uma saja, kuberi uang kurang dari lima juta, karena waktu itu gajiku masih sedikit, tak sebanyak sekarang. Nyatanya uang itu cukup untuk biaya
Apa aku mulai menuai karma? Anak-anakku tidak mengenal aku sebagai ayahnya. Dan kini harus menerima kenyataan, bahwa Sandi yang ternyata wanita murahan.Entah apalagi, kejutan dalam hidupku nanti? Allah seperti sedang menjungkir balikkan kehidupanku, sejak menikah dengan Sandi. Dulu aku adalah suami dominan, keinginanku adalah titah, tak boleh dibantah.Tapi dengan Sandi, aku harus banyak mengalah, menuruti semua maunya, tapi nyatanya? Sandi tak lebih dari wanita murahan dan matrealistis, harusnya aku menyadarinya dari awal, sebelum kami menikah."Mas, kita resepsinya di hotel bintang lima ya? Aku mau busana pengantinya yang terbaik, beli di Cantik Boutique," ucapnya, kala kami baru merancang acara pernikahan."Kenapa harus beli? Kan bisa sewa? sanggahku waktu itu. "Sewa? Ogah aku Mas, pakai baju bekas orang lain, nanti kulitku alergi," ucapnya menolak mentah-mentah usulanku."Butuh biaya nggak sedikit itu, Dek. Uangku sudah kepakai buat bayar maharmu yan
Perutku terasa melilit, dari pagi aku belum kemasukan apapun, hanya sebotol air mineral yang kuambil dari mobil tadi.Sandi sudah dipindah ke kamar perawatan, tapi masih belum sadar. Aku juga sudah menelfon ibu mertuaku, agar bisa menggantikanku menjaga Sandi. Tak lupa kutelfon Mbak Yeni, minta ijin karena hari ini tidak bisa masuk kantor."Kamu yang sabar ya, Af? Kamu nggak usah khawatir, biar pekerjaanmu aku yang handle. Semoga Sandi lekas sembuh," ujar Mbak Yeni, saat kukatakan Sandi keguguran dan harus menjalani operasi pengangkatan rahim. Lama menunggu Ibu mertua, aku merasa tidak sabar, akhirnya aku memutuskan keluar ruangan, dan kulihat Ibu mertua sedang berjalan menuju kearahku."Bagaimana keadaan Sandi sekarang?" ucap wanita setengah baya yang selalu tampil modis dan full make up ini, persis seperti Sandi."Sandi belum sadar, Ma," jawabku pelan. "Kejadian sebenarnya bagaimana sih? Kok bisa sampai begini?" tanyanya lagi."Sandi menenggak obat penggugur kandungan, Ma.