Share

#2 Manusia Besi

Namanya Dan. Orang pertama yang kutemui ketika berhasil sampai di lantai ini.

|

“Kkhh!” Satu per satu tetesan darah jatuh ke lantai.

Gapapa.. ini ga sakit.. ini.. ga.. sakit..

Ditekannya kuat-kuat tangan kanannya itu dengan kain.

“Darahnya akan berhenti.. darahnya pasti berhenti..” gumamnya hingga kain yang ia gunakan itu memerah hampir seluruhnya.

Krriett… Perlahan pintu yang ada di hadapannya terbuka.

Klak! Lampu pun menyala, menerangi seisi ruangan, termasuk dirinya dan seorang lelaki yang baru saja masuk itu.

“Ha?” ucap lelaki itu dengan wajah bingungnya.

Ah.. Apakah aku akan mati..?

Penglihatannya menggelap dan tubuhnya terjatuh ke lantai. Sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, samar-samar ia mendengar sebuah suara memanggil namanya.

***

“Haa… pada akhirnya garam kita gabisa diambil lagi…” gumam Dan dalam perjalanan meninggalkan balai desa untuk yang kedua kalinya.

“Maaf.. Dan. Seharusnya aku memeriksa barang bawaan dulu tadi..” ujar Verisa pelan.

“Jangan terlalu dipikirin, Vis. Kita bisa akalin biar ga terlalu hambar pas masaknya. Tapi kamu benar, bulan depan nanti ingetin cek barang-barang dulu sebelum dibawa ya!” balas Dan memukul-mukul kecil kepala Visera.

“Ekhem, maaf mengganggu, tapi jangan lupa kalau kita diundang Kak Goden ke tempatnya, jadi ayo kita belok kanan,” ujar seorang laki-laki di samping Dan yang sedari tadi ikut berjalan bersama mereka, Lizo. Mereka bertemu dengannya saat hampir sampai di balai desa tadi.

“Ah iya.. aku hampir lupa, haha..! Ayo ayo!” Ketiganya berbelok memasuki sebuah lorong dan berjalan memutari ruangan yang berbentuk menyerupai tabung.

“Marc dan Rick diundang juga ga ya?”

“Katanya sih tidak.”

“Oh ya, kok kau bisa tahu kalau kita diundang?”

“Jadi petugas AMAH di balai desa tadi itu Kak Goden. Dia mengundangku ke tempat mereka sekalian kau yang tidak sempat dia sapa tadi!”

Selagi keduanya mengobrol, Visera terus memperhatikan dinding cembung itu. Tak berapa lama kemudian, sampailah mereka di depan sebuah pintu besar dengan emblem bintang perak di sisi kiri dan kanannya.

“Wuah.. jadi ini secundus..?!” ujar Lizo ketika melewati pintu masuk Secundus-wilayah tempat tinggal bintang dua.

“Cuma beda warna tuh?” celetuk Dan. Visera mengikuti di belakangnya

“Katanya ruangan mereka lebih besar dari kita lho!”

“Oh gitu..” gumam Dan yang sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan.

“Oi, Liz! Kenapa.. mereka.. pada ngeliatin kita?” tanya Dan risih.

“Entahlah..” jawab Lizo yang baru menyadari.

“Apa karena jaket kuningku ini?” Visera tiba-tiba bersuara.

“Ahaha...! Bisa jadi. Disini dimana-mana kalau bukan warna cokelat, ya warna merah. Makanya mereka terpukau ama jaket kuningmu itu, Vis!” Lizo tertawa.

“Itu ruangannya bukan?” tunjuk Dan ke arah sebuah ruangan. Tertulis kata ‘F6’ di samping pintunya.

“Iya, benar. Ayo!” Ketiganya pun langsung menghampiri ruangan tersebut.

Ting tung… Liz menekan bel. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya membuka pintu.

“Halo tan-“

“Lama sekali datangnya! Inilah kenapa aku tidak mau pakai jasa bersih-bersih murahan!” sela wanita tua itu.

“Maaf tante, kami-“

“Yasudah! Cepat masuk!”

“B-baik!” Ketiganya diburu-buru masuk menaiki tangga hingga sampai di sebuah ruangan yang cukup untuk dimuati sampai lima puluh orang. Banyak piring-piring kotor berserakan di atas meja, kursi-kursi yang berantakan dan terjungkal, hingga karpet yang terkena tumpahan air, kuah, kue, dan segala macam noda yang ada.

“Peralatannya ada di belakang. Saya ingin semuanya sudah bersih mengkilat ketika saya pulang, paham!?”

“Pa.. paham… tante..” jawab Dan menanggapi.

“Bagus! Kalian punya waktu tiga jam!”

BLAM! Kemudian ruangan menjadi sunyi.

***

Cplash!

“Gila! Apa-apaan tadi itu! Seenak jidat nyuruh-nyuruh orang!” celoteh Lizo yang sedang mengepel lantai.

“Pantas kakaknya Goden hanya ‘mengundang’. Mengundang kerja bakti maksudnya, bukan mengundang makan-makan! Hahaha!” tawa Dan yang sibuk mengelap piring di dapur.

“Bisa-bisanya dia tertawa di saat seperti ini! Vis, kau juga kesal, kan!” Lizo menengok ke belakangnya dan melihat Visera yang sedang mengelap meja dengan teliti. Melihat itu, Lizo menghela napas.

“Atau mungkin kau salah dengar kali, Liz.. Harusnya besok, bukan hari ini!”

“Jelas-jelas dia bilang ‘nanti datang ke rumah ya! Sekalian ajak temanmu yang cepak itu tuh, siapa? Dan ya?’ gitu!” Lizo menirukan gestur dan intonasi Goden yang ditemuinya tadi siang. Dan yang cepak hanya tertawa datar.

“Berarti dia tidak bilang jam berapanya?” Visera membuka suara.

“Bisa jadi pestanya udah selesai, terus mereka pergi keluar, jalan-jalan. Dan.. karena ruangannya berantakan sampai kacau begini, akhirnya ibunya harus menyewa jasa petugas kebersihan. Tapi, si ibu ini buru-buru mau pergi juga, makanya dia kesal karena harus menunggu petugasnya nyampe.”

Dan dan Lizo terdiam.

“Tapi.. dia bilang ‘tidak mau pakai jasa bersih-bersih murahan’ tadi. Berarti, yang mau memesan 'jasa bersih-bersih murahan' itu.. bukan dia dong?” sanggah Dan.

“Ah, benar juga… aku lupa.."

“Terus anehnya.. harusnya si tante itu mengenali wajahku dan Dan tadi. Tapi dia malah memberlakukan kita seperti petugas betulan! Sudah tua jadi pikun dia dah!” gerutu Lizo.

“Berarti hanya ada satu kemungkinan.”

“Apa itu?”

“Kalian dipandang rendah oleh keluarga mereka.”

Mendengar itu, Dan dan Lizo tersentak.

“Em… aku juga sih..” Visera menambahkan.

Dia blak-blakan banget… pikir Dan dan Lizo.

“Ya.. apapun itu.. mending kita selesain dulu yok..! Kupingku sakit kalau harus mendengar suara cemprengnya lagi.. ahahaha..!”

Ketiganya lanjut membersihkan ruangan. Tidak sampai dua setengah jam kemudian, ruangan yang seperti kapal pecah itu kini menjadi bersih, mengkilat seperti bagian dalam kapal pesiar yang mewah.

“Tuh kan, bahkan parabot secundus juga lebih berkualitas!” ujar Lizo mengetuk-ngetuk meja dan almari pajangan.

“Yaa kalangan secundus kan diperbolehkan membeli barang-barangnya sendiri..” balas Dan yang sudah duduk di sofa.

“Hm? Memangnya kita tidak boleh?” tanya Visera yang ikut duduk.

“Iya. Kita yang warga bintang satu hanya boleh membeli barang-barang yang disediakan balai desa,” jawab Dan.

“Meskipun kau mampu untuk membeli barang diluar yang disediakan pun, tetap tidak diperbolehkan. Ah..! sofanya empuk banget..!” tambah Lizo menjatuhkan tubuhnya ke sofa.

“Begitu rupanya… lalu, Keluarga Goden kan dulunya tinggal di bintang satu, kenapa bisa pindah ke secundus?”

“Itu…” Dan dan Lizo melirik satu sama lain.

“Jadi.. Kau ingat tentang AMAPOB yang kujelaskan tadi pagi, Vis?”

“Ingat”

Kemudian Dan melirik Lizo, seakan menyuruhnya untuk menjelaskan.

“Jadi semua keluarga yang ada di secundus ini pasti senggaknya pasti ada satu anggota keluarga mereka yang ikut program AMA atau Advanced Meta Armored. Program ini ada dua jenis, Human dan Part of Body. Makanya singkatannya AMAH ama AMAPOB. Nah, apa sih Advanced Meta Armored itu? Jadi AMA ini gabungan dari ilmu teknologi sekaligus medis. Bagian tubuh manusia yang sudah rusak, atau yang mau di evolusi, bakal diganti menggunakan Meta-armor!” jelas Lizo penuh antusias.

“Tapi mereka yang sudah mengikuti program AMA ini harus mengabdikan seumur hidupnya ke pemerintah pusat. Terutama yang AMAH, mereka kan.. tinggal otaknya doang yang asli.” Dan menambahkan.

“Ti, tinggal otak?!” Visera terkejut.

“Iya, makanya disebut Advanced Meta Armored Human,” jawab Lizo.

“Kalian tahu banyak ya..”

“Daridulu dia selalu pengen kerja di tim pengembangan projek AMA.” Dan menunjuk Lizo.

“Iya, aku selalu penasaran,  darimana dan menggunakan apa sebagai bahan bakarnya. Di berita manapun tidak pernah diungkap!”

“Oke... Lalu.. karena kita udah selesai... yok, pulang!” Visera melompat dari duduknya dan menarik dua yang lain.

“Kenapa buru-buru? Belom tiga jam juga..” ujar Lizo.

“Justru karena itu..! Ayo cepat sebelum mereka pu-! lang…“

Drrrakk.. Drrakk.. Drrakk…

Langkah kaki yang berat terdengar dari arah belakang.

“Lho, Kak Goden?” Lizo segera berdiri.

"Selama ini kakak ada di ruangan toh!" lanjutnya.

Melihat ekspresi Visera, Dan menyadari kalau ada sesuatu yang salah.

“Lizo, jangan dekat-dekat dia..” Visera berbisik.

“Kenapa? Ah, ini pertama kalinya kamu melihat AMAH dari dekat ya? Tenang Vis, perkenalkan ini kak Goden, teman ka-”

Tidak sempat Visera menarik tangan Lizo, sebuah tangan besi mencengkram leher dan mengangkat tubuh temannya itu.

“Li-!”

“sshhtt!” Visera mengisyaratkan agar tidak membuat suara yang keras.

Drrrakk.. Drrakk.. Drrakk…

Sementara manusia besi itu membawa Lizo yang berusaha melepaskan diri menuju belakang dinding, Visera memeriksa setiap laci parabot.

Harusnya mereka punya satu! Dimana.. dimana..!

Dilihatnya Lizo yang sudah berhenti melawan. Ketika paniknya semakin menjadi, ia tiba-tiba teringat akan suatu hal.

“Dan..! Bawa sentermu ga..?!” bisik Visera menghampiri Dan.

“A-ada, ada..! Nih!”

Dengan panik Dan merogoh saku celananya. Begitu menerima benda berbentuk silinder kecil itu, Visera langsung berlari ke arah Lizo.

Jalannya lambat.. berarti dia belum memakai pelumas sendinya..

Sambil mengatur intensitas cahaya senter menjadi maksimum, Visera belari secepat mungkin dan langsung mengarahkan sinar senter ke mata manusia besi itu. Sesuai dugaan, tangan besi itu melepas cengkramannya dan langsung menutupi matanya. Dan segera menghampiri untuk membawa Lizo yang sudah tak sadarkan diri, sementara Visera terus mengarahkan senternya ke manusia besi tersebut ke arah lain.

“Bawa dulu Lizo keluar! Nanti aku menyusul!” ucap Visera menggunakan gerakan bibir. Dan mengangguk tanda mengerti.

Drrrakk Drrakk Drrakk..!! Langkah manusia besi itu menjadi cepat.

Ayo, apa yang kau takutkan Visera?

Drrrakk Drrakk Drrakk..!!

Ini kesempatanmu…

BRAK! PRANG! Krompyang-!

Kedua tangan besi membabi buta dan menghancurkan barang-barang yang tersusun rapi di atas meja. Kini, ruangan itu menjadi seperti kapal pecah lagi.

Ceklek!

“Vis, cepat!” Mendengar suara itu, Visera tersentak. Ia mematikan senter dan langsung berlari lurus ke arah depannya.

Drrrakk Drrakk Drrakk Drrakk Drrakk..!!

Manusia besi itu persis seperti monster sekarang!

Tepat ketika sampai di depan pintu, Visera berbalik dan kembali menyalakan senter. Alhasil, pergerakan monster itu dapat terhenti sebentar dan ketiganya berhasil keluar dari ruangan dengan selamat. Namun, begitu sampai di luar, seluruh mata menatap tajam ke arah ketiganya.

“Dia sekarang tidak mungkin bisa membuka pintu sendiri, tapi nanti…” ucap Visera dengan napas yang tersengal. Dan membuka mulutnya–hendak mengatakan seuuatu, tetapi Visera mencegahnya. “Simpan dulu pertanyaanmu. Ayo balik dulu..” Visera mengangkat tangan kiri Lizo untuk dipikul.

“Nggak, bukan itu.”

“Terus?”

“Kita kan belum dibayar..."

---------------

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status