Share

#5 Monokrom

Hari ini hari keenam setelah kejadian di ruangan Secundus F6. Setelah memastikan Lizo mendapat perawatan di Lantai Medis lima hari yang lalu, Dan dan aku kembali menjalani rutinitas kami masing-masing seperti biasa.

|

-Lantai 75-

Pip! “Silahkan masuk.”

Terdengar suara bunyi mesin setiap kali terdeteksi keberadaan Identity Chip di antaranya. Pengunjung yang hendak masuk harus meletakkan terlebih dahulu lengan kanannya ke antara dua batang besi yang berdiri di atas sebuah meja itu. Tentu saja mereka yang merupakan AMAH tidak perlu mengikuti prosedur ini.

Pip! “Silahkan masuk.”

Hari ini juga ada petugasnya ya… pikir Visera dalam hati sambil mengintip-intip dari balik dinding. Kemudian dari dalam ranselnya, iamengeluarkan sebuah gelang tipis berwarna hitam. Dipasangnya gelang tersebut ke lengan kanannya. Lalu ia mengenakan jaket kuning khas miliknya sembari berjalan menuju antrean.

Pip! “Silahkan masuk.”

Fyuh… batin Visera lega. Ia berhasil memasuki ruangan dengan lancar, tanpa hambatan.

Tetot!

Deg!

“Maaf nona, lengan yang sebelah kanan, bukan yang sebelah kiri.” tutur petugas keamanan–yang tentunya merupakan seorang AMAH–kepada salah seorang pengunjung. Penampilan wanita itu cukup mencolok dikarenakan rambut putih panjang mengkilapnya. Atasan yang dikenakannya adalah kemeja ruffle berwarna putih, sedangkan bawahannya ialah celana slacks berwarna hitam. Sepatu stilleto, pump atau moccasin mungkin akan cocok untuk digunakan sebagai alas kakinya. Namun, yang terpasang pada kaki wanita tersebut sayangnya adalah sepasang sandal jepit polos dan tipis berwarna abu-abu tua.

“Ah.. iya iya, aku tidak fokus tadi..!” balas wanita itu langsung mengganti lengan kiri dengan lengan kanannya.

“……” Tapi mesin malah tidak berbunyi sama sekali.

“Pss! Bagaimana caranya ini..?!” wanita itu terlihat sedang berbisik-bisik meskipun tidak ada seseorang di dekatnya. Ia lalu menggerak-gerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah. Namun, mesin masih tetap tidak berbunyi.

“Nona-”

Pip! “Silahkan masuk.”

Wanita itu tersenyum kepada si petugas dan langsung melangkah masuk ke dalam ruangan. Matanya menangkap sebuah cctv yang berada di pojok langit-langit kanannya. Kemudian dengan semangat, ia melambai-lambaikan tangan ke arah kamera.

Perempuan aneh... batin Visera yang tanpa sadar ikut menyeringai. Sedari tadi pandangannya selalu tertuju kepada perempuan tersebut. Apakah karena kesepuluh jari-jemari yang dibalut perban itu? Atau karena ada yang salah dengan lengan kanan wanita itu? Yang manapun, ketika menyadarinya, Visera memutuskan untuk tidak memperdulikan dan berbalik melanjutkan perjalanannya.

***

-Lantai 75, Brown’s Manipedi-

Klining… bunyi lonceng tanda pintu dibuka.

“Selamat da-oh…” sambut seseorang dari balik meja respsionis. ‘Hazel’, itulah kode namanya. Rambut panjangnya berwarna pirang. Sebuah topeng menyerupai wajah rubah menutupi wajahnya-mulai dari dahi hingga ujung hidung.

“Tumben kamu lebih lama tiga menit hari ini, yaa walau shift-mu masih sepuluh menit lagi sih…” lanjutnya.

“Iya, antrian masuknya lebih panjang dari biasanya, senior.”

Lebih panjang dua orang sih… lanjut Visera dalam hati. Sampai delapan hari yang lalu, dia selalu datang jam satu lewat empat puluh tepat. Tidak lebih, tidak kurang.

“Begitu rupanya…”

“Iya, saya siap-siap dulu, senior.”

“Yaa.”

Visera memasuki sebuah ruangan yang lebih kecil. Sebuah papan bertuliskan ‘khusus staff perempuan’ terpasang di pintu bagian depannya. Ia membuka loker pribadi miliknya dan mulai mengganti pakaiannya dengan satu setel kemeja-celana panjang berwarna hijau fern. Ditambah sebuah apron berbahan plastik dan kartu tanda pengenal yang yang wajib dikenakan selama berada di ruang kerja, serta topeng yang memiliki bentuk wajah dari maskot toko tersebut–binatang rubah. Setelah memastikan dirinya sudah siap sepenuhnya, Visera pun berjalan memasuki ruang kerjanya dan mulai melayani pelanggan yang telah menunggu satu demi satu.

‘Brown’s Manipedi’, tempat perawatan dan kecantikan kuku–baik itu adalah kuku tangan maupun kuku kaki. Namanya saja ‘kecantikan’. Jadi, tentulah pengunjung yang datang mayoritas berasal dari kaum hawa, terutama mereka yang dari kalangan tertius ke atas. Sangat jarang menemukan mereka yang berasal dari Primus. Bahkan, hanya Viseralah satu-satunya staff yang berasal dari Primus. Untunglah dia pernah mengikuti kursus seni kuku di tempat ini sewaktu kecil, jadi, manajer yang merekrutnya tidak perlu meragukan keahliannya lagi. Tidak pernah terpikirkan olehnya jika pada akhirnya dia akan ikut bekerja disini demi menunjang kebutuhan sehari-harinya.

“Selesai..!” sahutnya setelah memoleskan top coat pada kuku jari terakhir.

“Silahkan tunggu sampai cat-nya mengering ya kak, paling cepat lima belas menit. Tapi, untuk kualitas yang maksimal, kami anjurkan ditunggu dua puluh sampai dua puluh lima menit.”

(semua pelanggan dipanggil dengan sebutan ‘kakak’ disini.)

“Ini…” gumam sang pelanggan memperhatikan kuku-kuku baru miliknya dengan seksama.

“Cakep banget ..!! Rapih, nggak keliatan simple, tapi juga nggak keliatan norak, Bagus banget! Bagus! Oh, siapa namamu? Lain kali aku mau pakai jasamu lagi deh!” teriak pelanggan wanita tersebut kegirangan.

“A-anda bisa memanggil saya Sangria..” jawab Visera memperlihatkan kartu tanda pengenalnya. Dari sekitarnya, bisa ia rasakan tatapan-tatapan penuh rasa ingin tahu yang ditujukan kepadanya.

Heboh banget sih..

“Sangria, Sangria… Oke! Next time ya!

“Terimakasih atas kepercayaannya kak.” Balas Visera menampilkan senyum bisnisnya.

“Baiklah kak, sebelum saya permisi, apa kakak ingin menunggu sambil mendengarkan lagu atau nonton film? Untuk game, karena ini kuku tangan, jadi tidak diperbolehkan dulu ya kak.”

“Tidak usah, saya sambil istirahat saja.”

“Oke, kak. Kalau begitu, saya permisi dulu. Jangan lupa untuk membawa token yang ada di depan cermin sebagai syarat untuk melakukan pembayaran ya, kak. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya…” jelas Visera yang kemudian berbalik meninggalkan si pelanggan.

Tap.. Tap.. Tap…

Matanya melirik ke arah kiri dan kanan, memeriksa apakah ada pelanggan yang belum mendapat pelayanan. Setelah memastikan bahwa semua pelanggan telah dilayani oleh masing-masing rekan kerjanya, Visera pun bergegas menuju meja resepsionis. Terlihat Hazel yang masih sibuk melayani pengunjung yang hendak membayar.

“Silahkan letakkan token anda pada salah satu alat berikut untuk mengakses nota pembayaran…! Jika anda memiliki kartu anggota Brown’s Manipedi, silahkan letakkan juga di atas token anda untuk mendapatkan potongan harga sebesar dua puluh persen...! Selanjutnya, tekan tombol ‘benar’ untuk melakukan proses pembayaran..!” jelas Hazel kepada tiga orang pengunjung dengan pelafalan yang lancar dan tidak terpeleset sedikitpun.

Tepat di bagian depan meja, berdiri lima meja kecil-tapi tingginya sama, yang memiliki kubus tipis transparan di atasnya. Masing-masing kubus mengeluarkan cahaya warna warni. Ketika token pengunjung diletakkan, muncul sebuah layar hologram kecil berwarna kebiruan. Ketika kartu anggota ikut diletakkan, layar hologram akan berubah warna menjadi keungu-unguan, dan akan berubah menjadi hijau ketika pembayaran berhasil.

“Terimakasih telah menggunakan jasa kami!”

Klining…

Setelah ketiga pengunjung tersebut meninggalkan ruangan, Hazel mengambil sebotol minuman miliknya dan menjatuhkan diri ke atas sebuah sofa yang berada tidak jauh di belakang meja respsionis. Disaat yang bersamaan, ia menyadari keberadaan juniornya, Sangria, yang telah duduk memperhatikannya sedari tadi.

“Wah.. Akhirnya bisa santai sebentar… Rahangku mau copot rasanya! Dasar bos sialan, kenapa sih tidak pakai alat perekam saja?! Kayak aku bakal makan gaji buta saja...!”

“Ahaha…” Visera tertawa canggung.

“Cuma kamu sendiri yang senggang?”

“Sepertinya begitu, senior.”

“Ooh...”

Kemudian percakapan tidak berlanjut. Keduanya sudah pe'we duduk bersandar di sofa sambil mengistirahatkan mata mereka masing-masing.

|

“Pss! Kau yakin dia ada disini?” bisik seorang wanita yang berdiri di dekat pintu toko.

“Iya! Tidak salah lagi!” jawab sebuah suara tanpa raga di telinga wanita tersebut.

“Tapi yang mana? Itu semuanya pake topeng itu..!”

“Kau masuk kedalam dan kau akan bertemu dengannya, percaya padaku!”

“Haiya! kasih tau saja yang mana, kasih aku clue, oke?”

“…tidak bisa. Itu di luar yang seharusnya.”

“Aah.. merepotkan..!”

Klining…

“Selamat datang di Brown’s Manipedi!” Secepat kilat Hazel telah kembali ke posisinya. Sambutannya yang antusias itu mengejutkan Visera yang sedikit lagi hampir terlelap.

“Ada yang bisa kami bantu, kak?”

“Jadi begini..” gumam wanita tersebut sambil menggenggam lengan kirinya.

“I..ya..?”

|

Ctik..! Ctik..! Ctik..!

Cuma kuku panjang saja.. sampai diperban-perban segala… batin Visera yang sedang melayani pelanggan barunya itu.

Eh, ini…

“Maaf, ini kakak pakai kuteks ya?”

Sang pelanggan membuka mata dan mengangkat kepalanya. Ia memeriksa kuku jari-jari tangannya yang telah rapih dan sedang diperhalus.

“Eh? Ah, iya..”

“Apa mau sekalian diperbarui kak?”

“Oh, boleh, boleh...”

“Baik kak, mohon tunggu sebentar.”

Visera bangkit berdiri dan mengambil sebuah alat dari atas meja yang ada di hadapannya. Kemudian, dipasangkannya alat tersebut ke kelima jari tangan pelanggannya.

Pip… Pip… Pip… bunyi alat yang menghitung mundur selama tiga puluh detik itu.

Csshhh…

Secara perlahan, Visera menarik alat tersebut dari tangan pelanggannya.

“Lho..?”

Ia terkejut ketika melihat kuku-kuku jari yang berwarna ungu kebiru-biruan.

“Ah, ini…”

“Apakah sudah diperiksa ke dokter kak?”

“Tenang, ini bukan karena penyakit apapun, kakak sangat sehat total sekali!”

“…..” Visera bergeming dengan senyum bisnisnya.

“Eh... ini cuma karena faktor genetik dari keluarga saya saja..! Ahaha..” sang pelanggan tertawa canggung.

“Baiklah, kalau begitu.. saya lanjutkan treatment-nya ya kak.” balas Visera memasangkan alat ke jari tangan yang satunya. Tiga puluh detik kemudian, ia menarik sebuah troli berisikan segala macam pewarna dan aksesoris-aksesoris kuku.

“Mau request desain apa kak?”

“Hmm…”

“……”

“mmmm…”

“……”

“Lumba-lumba, bisa?”

“Maaf?”

“Lumba-kumba.”

“Lum..ba-lumba..?”

“Iya, lumba-lumba.”

“Apakah itu sejenis bunga, kak?”

“Hah? Kamu tidak tau lumba-lumba?”

Visera menggeleng.

“Ini, hewan ini..!” Wanita itu menunjukkan kalung berbandul hewan laut yang disebut ‘lumba-lumba’ itu padanya.

“A..akan saya coba sebisa saya..”

.

[Empat puluh menit kemudian…]

.

“Terimakasih telah menggunakan jasa kami!”

Klining…

“Aku lupa, disini kan gaada laut. Wajar dia kebingungan.” ujar wanita itu dalam hati. Dilihatnya kuku-kuku barunya itu dengan puas. Berwarna putih–seputih porselen, dengan siluet lumba-lumba di kedua kuku jari tengahnya.

|

“Hey, bagaimana caramu membuat gelangnya?” pertanyaan darinya membuat pelayan yang sedang mewarnai kukunya itu tersentak.

“Maaf..? Gelang apa kak?”

“Aku blak-blakan saja...” gumamnya mendekatkan wajahnya.

“Bagaimana caramu membuat Identity Chip palsu itu?”

“!”

Dia tersenyum menunggu jawabannya.

“Apa tujuanmu? Siapa yang menyuruhmu?” Sorot mata pelayan itu berubah menjadi tajam.

“Tenang, tenang... tidak ada yang menyuruhku. Aku... hanya..” Dia menggulung kemejanya dan memperlihatkan lengan kanan bawahnya. Tidak ada bekas jahitan satupun di kulitnya. “Aku juga butuh satu yang seperti itu.” lanjutnya memelankan suara.

“Jadi, dimana dan kapan kita bisa berkenalan dengan lebih dalam?”

“…….” Kalimatnya membuat pelayan itu begidik merinding. Terlebih senyumannya yang terlihat hangat, tetapi membuatmu merasa seakan ditusuk-tusuk. Merasa tidak nyaman dengan itu, lawan bicaranya akhirnya angkat suara.

“Lantai satu tiga delapan, H tujuh, lima jam lagi.”  jawab pelayan tersebut dengan intonasi yang dingin sebelum lanjut mewarnai kukunya.

“Deal.”

Kemudian dia kembali bersandar di kursinya.

“Ah iya, aku lupa. Siapa namamu?”

“Kakak bisa memanggil saya Sangri-”

“Bukan kode nama, tapi nama-mu.”

“Itu.. maaf kak, nama setiap staff semua dirahasiakan disini.”

“Haha..! Toko kalian punya aturan yang unik ya. Pertama wajah, lalu nama…”

“Ahahaha…” Visera menampilkan senyum bisnisnya. Dia bingung, apakah kalimat untuknya itu merupakan sarkasme atau hanya lelucon semata. Namun, satu hal yang ia tahu pasti.

Aku harus berhati-hati dengannya.

----------------

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status