-Lantai 132, reaktor pendingin V-
Cssshhhh…!
Bunyi uap yang keluar dari sebuah mesin besar menuju sebuah pipa besi lebar yang mengarah ke atas. Tidak ada yang pernah melihat ujungnya, termasuk mereka yang sudah lama bekerja di sana. Namun, dalam buku manual dijelaskan bahwa ujung pipa yang lainnya berada di atas permukaan bumi.
Dong..! Dong..! Dong..!
Mendengar alarm khas itu, puluhan petugas yang tersebar dalam lantai tersebut langsung meninggalkan tempatnya dan bergegas menuju satu tempat untuk membuat tiga bersaf barisan. Setelah semuanya bergeming di barisan masing-masing, seorang pria paruh baya berjalan keluar dari ruangan yang ada di hadapan mereka. Tidak ada yang berani menatap matanya langsung. Ketika telah berdiri tepat di depan barisan, pria itu berdeham.
“Mulai laporannya.”
“Siap! Unit A, normal!’
“Unit B, normal!”
“Unit C, normal!”
“Unit D, normal!”
Begitu seterusnya hingga
Terimakasih telah membaca chapter <#6 Isu> ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya! (Kritik dan saran sangat diapresiasi)
Syuush! Trang! Sebilah pisau melesat melewati pelipis kirinya dan terjatuh akibat berbenturan dengan pintu. Saat itu belumlah lima menit sedari ia sampai di dalam ruangan blok H nomor 7. “Sa, sambutan yang sangat ramah y-ya, Sa-sangria..!” ucapnya tergagap karena masih mencerna situasi. Cimot? Cimot..? Cimot..??!! Dengan panik ia memanggil rekan suaranya yang tidak memiliki raga itu. Namun tidak ada jawaban. Pandangannya pun mulai menjadi waspada akan perempuan yang berdiri di hadapannya. “Kamu pikir aku akan mempercayaimu semudah itu?” tanya Visera sinis. Tangannya memegang ujung benang yang terikat pada ujung pisau tadi. Sambil menggulung benangnya, ia berjalan mendekat. Dan ketika pisau telah kembali berada di tangannya, ia menempelkan mata pisau tersebut ke leher wanita yang tadi menjadi salah satu pelanggannya itu. Normalnya seorang perempuan pasti sudah teriak ketakutan... pikir Visera. “Aku tanya sekali lagi,
Tes… tes… tes… Satu per satu tetesan air infus jatuh memasuki selang yang terhubung dengan lengan kanan bawahnya. Hari ini genap sudah seminggu Lizo dirawat. Selama tujuh hari itu juga, Megan lah yang secara rutin menjenguk teman dari sepupu jauhnya itu. Grrekk!! Dengan santai Dan membuka pintu gesernya. “Kamu ini buka pintu kenceng-kenceng…! Nanti Lizo kebangun..!” ujar Megan dari sofa di sudut ruangan. Terlihat sebuah jendela hologram yang memuat sebuah dokumen berisi penuh kalimat di depan matanya. “Lho? Dia tidur lagi?” tanya Dan menutup pintu ruangan kembali. Sekitar dua jam yang lalu Megan menghubunginya dan mengatakan kalau Lizo telah sadarkan diri. Di saat itu juga Dan secepat kilat mengganti pakaiannya dan bergegas menuju lantai tiga puluh enam, lantai medis tingkat tiga. “Iya, sehabis makan tadi. Sekarang sudah setengah jam. Waktu bangun tadi katanya kaki tangan badannya pegel semua, jadi si dokter nyuruh di
-Ruang Sondaica, dunia virtual- “Nah…” “Bisa kita mulai laporannya?” Semua yang ada di ruangan, baik yang sedang dibisukan maupun yang tidak, mengangguk tanda setuju. “Baiklah, kalau begitu mari kita mulai dengarkan laporannya dari…” matanya menangkap seorang peserta yang baru pertama kali ini ditemui secara langsung olehnya. Walaupun tidak bisa dibilang secara langsung karena sekarang mereka sedang berada di dalam dunia maya, sih. “Ah, Mister Osmus! Selamat datang di Konferensi Majelis Triwulan! Terimakasih telah setuju untuk bergabung dengan pemerintahan. Anda tentu telah diinformasikan mengenai prosedur dari kegiatan rapat ini bukan? Waktu dan tempat saya persilahkan…!” Sambutan dari Madame Dendrich itu membuat beberapa peserta lain begidik merinding. “Hyii! Benar-benar tidak dikasih napas..!” Sementara itu, peserta yang dipanggil beranjak dari duduknya dengan tetap mempertahankan senyuman bisnisnya. “Terima
-ruang rahasia 11, dunia virtual- “Bisa memindahkan jiwa?” ujar Mister Gray takjub. “Dapat diinterpretasikan demikian. Namun, fungsi utama dari Tempesse ini ialah untuk menyimpan, untuk mempertahankan, satu jiwa makhluk hidup-” jawab Miss Briece. “baik itu hewan maupun manusia…” lanjutnya. “……” Ruangan menjadi sunyi selama beberapa saat. Entah itu Mister Henders ataupun Mister Gray, keduanya menatap benda yang berotasi konstan itu lekat-lekat. Bahkan Samala sampai membelalakkan matanya. Namun tidak dengan satu orang. “Hewan maupun manusia…? Jiwa siapa yang berhasil kalian pindahkan?" “Baik, menjawab pertanyaan Madame Dendrich, setelah percobaan menggunakan lebah dan kupu-kupu itu berhasil, kami mulai merencanakan penelitian ini kepada manusia. Butuh waktu berminggu-minggu untuk menemukan relawannya. Dan beruntungnya, setelah tiga hari relawan pertama berhasil kami temukan, salah seorang pasien di lantai medis dinyatakan wafat.
-Blok H, Primus, Lantai 138- Ceklek! “Hup!” Membawa sebuah kotak besar dengan kedua tangannya, Visera berjalan menuju sebuah kotak yang jauh lebih besar yang berdiri di ujung jalan. Setelah meninggalkan kotak yang dibawanya itu di sana, ia berjalan kembali ke ruangan. Sewaktu berbalik, dari kejauhan, terlihat seseorang yang sedang duduk di kursi umum yang berada di persimpangan menghadap ke arah ruangannya. Postur tubuhnya terlihat familiar. Tep tep tep tep…! Dengan langkah terburu-buru Visera mendekati orang itu. Namun tiba-tiba ia memelankan langkahnya lantaran mengetahui bahwa orang itu sedang tertidur. “Hmmm…” gumamnya memperhatikan penampilan orang itu dengan cermat, terutama dua jemarinya yang terdapat siluet hewan bernama lumba-lumba itu. Apa-apaan nih, kemarin kayaknya wajahnya serem banget… . . . “hmmm..?” Secara perlahan ia membuka matanya dan
-Lantai 146, pintu masuk utama Kawah Pemurnian, beberapa jam yang lalu- Terlihat banyak warga yang lalu lalang masuk ke dan keluar dari tempat itu. Namun tidak dengan seorang perempuan ini yang duduk diam sedari tadi di pojokan. Matanya mengamati barang-barang yang dibawa masuk oleh para komuter ke dalam aula besar itu. "Dua juta Am... seratus enam puluh juta... Dua juta Am... seratus enam puluh juta...” gumamnya tidak karuan. Pengunjung lain yang berlalu lalang di sekitarnya pun menatap ke arahnya dengan wajah yang prihatin. Uh… Nyari satu chip aja kok gini amat… keluhnya dalam hati. Kenapa tidak ada yang buang alat elektronik sih…? Mana Cimot ngilang lagi… Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh sebuah tangan yang besar, kepalanya menoleh ke arah sebuah pintu yang lebih kecil yang jaraknya tidak jauh dari pintu utama. “Sudah? Jelas?” terdengar suara tanpa raga itu di telinganya. “Sebenarnya belum sih, tapi th
Tatatatatak…! Setelah mengumpulkan informasi pribadi dari wanita bernama Rosa itu, Visera kembali mengetik papan tombol dengan gesit dan cepat, mengejar proses pembuatan Identity Chip versinya itu. Portable Identity Chip (PIC), begitulah sebutan yang ia berikan. Tidak ada hukum untuk tindakan ilegal ini. Karena tidak pernah ada kasus kepemilikan Identity Chip ilegal yang terungkap. Selain itu, hampir tidak ada satupun yang mengetahui dan mampu untuk membuat PIC-nya kecuali dirinya sendiri dan satu orang lagi, yang sekaligus merupakan orang yang mengajarinya. . . . Tak! “Ini minum…” ucap sang pemilik ruangan menyodorkan segelas soda padanya. Keduanya diusir dari ruang komputer oleh Visera. “Ini jaket, ini kursi…” lanjut laki-laki itu menyerahkan sebuah jaket tebal padanya sembari menggeser kursi menjauhi meja. “Duduk dengan tenang disini sambil meminum minumanmu. Daah. Hoaahm
[Lantai 138, Internet Café di persimpangan blok H dan J] “Son! Dua unit!” teriak Visera begitu dirinya memasuki ruangan, membuat Hudson, si petugas internet café itu terkejut. Rosa yang menyusul di belakangnya malah terkejut dengan penampakan sebuah patung seorang perempuan yang berdiri menyambutnya di samping pintu. Sepertinya itu merupakan patung seorang idola. Bila bukan karena papan peringatan [Jangan Disentuh!] di sampingnya, mungkin Rosa sudah akan mengira kalau patung tersebut adalah manusia betulan. “Satu untuk dua jam, satu lagi untuk empat lima menit.” lanjut Visera pada Hudson yang sedang memeriksa layar komputernya. “….ada nomor 3… dan 7... Hei nona yang disana! Bisa lihat papan jangan disentuhnya tidak?!” teriaknya pada Rosa yang langsung menyembunyikan tangannya. “Ehehe…” “………” “….Tidak ada yang bersebelahan?” Visera melanjutkan percakapan. “…ck. Tujuh sembilan, delapan puluh…!” “Ya.” balas Visera si