LOGINPOV Angela
Aku menunduk, berusaha menyembunyikan kekacauan yang bergejolak di dadaku. Telepon dari rumah sakit itu terus terngiang di kepalaku. Mom dalam kondisi kritis. Mereka membutuhkan persetujuanku untuk operasi. Tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini kepada Aaron. Aku tidak ingin membebani dia lagi setelah semua yang dia lakukan untukku hari ini.
"Aku baru ingat ada sesuatu yang harus kuurus," kataku cepat, memaksakan senyum yang kuharap terlihat alami. "Aku harus pergi. Kau bisa gunakan mobilku untuk pulang."
Aaron menatapku, sorot matanya tajam. "Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"Tidak ada. Ini hanya sedikit urusan keluargaku," jawabku. Aku bisa mendengar nada gugup yang menyelip dari suaraku.
"Angela."
Aku mendongak, dan mata kami bertemu. Aku berusaha menahan air mata yang hendak keluar dan aku berharap dia tidak menyadarinya.
"Kalau kau harus pergi, pergilah," katanya pelan. "Tapi kalau kau butuh bantuan, apa pun itu, katakan padaku."
Dadaku terasa sesak. Ada begitu banyak hal yang ingin kuungkapkan. Aku ingin jujur padanya tetapi kata-kata itu tidak pernah keluar. Aku hanya mengangguk pelan menanggapi perkataannya.
"Terima kasih, Aaron," bisikku sebelum berbalik dan berjalan pergi.
***
Perjalanan ke rumah sakit terasa begitu panjang. Aku terus mengkhawatirkan kondisi Mom. Pikiranku penuh dengan skenario buruk. Aku mencoba menelepon Dad beberapa kali, tetapi seperti sebelumnya, tidak ada jawaban. Pesan suara lagi, dan lagi. Rasanya seperti aku benar-benar sendirian menghadapi ini.
Setibanya di rumah sakit, aku bergegas menuju ruang ICU. Begitu tiba di pintu ICU, seorang perawat menghentikanku sejenak.
"Wali pasien atas nama Mrs. Jones?" tanya perawat itu.
"Ya, itu saya," jawabku cepat.
"Dr. Smith, dokter bedah kami, sudah menunggu untuk menjelaskan prosedur," katanya sambil mengarahkanku ke arah ruang medis.
Aku segera melangkah masuk. Dr. Smith, dengan jas putihnya, menatapku dengan serius begitu aku memasuki ruangan.
"Miss Jones, kita butuh segera melakukan operasi darurat untuk menyelamatkan ibu Anda," ujar Dr. Smith. "Namun, kami memerlukan persetujuan Anda untuk melanjutkan tindakan."
Aku menelan ludah, perasaan cemas semakin menghimpit. "Apa yang harus saya lakukan?"
Dr. Smith menjelaskan secara singkat prosedur dan risikonya. Setelah itu, dia menyerahkan formulir kepada perawat di sampingnya yang sudah siap dengan dokumen administrasi.
Perawat itu menunjuk ke meja kecil di pojok ruangan. "Silakan tanda tangani formulir ini," katanya.
Aku mengangguk dan tanpa ragu mengambil formulir itu. Setelah menandatangani dengan cepat, aku menyerahkannya kembali.
"Terima kasih. Kami akan segera memulai persiapannya," kata perawat itu sambil membawa formulir tersebut.
Aku hanya mengangguk, jantungku berdebar kencang, sementara aku hanya bisa menatap pintu ruang ICU, berharap Mom bisa melewati operasi ini.
Aku berjalan ke ruang tunggu. Ketika duduk di sana, kecemasan mengalir deras di kepalaku. Bayangan Mom terus muncul di pikiranku. Senyum lembutnya, tawa hangatnya yang selalu membuat rumah menjadi hidup. Sekarang, dia terbaring di ruang operasi, berjuang antara hidup dan mati.
Tidak terasa, air mata mengalir tanpa permisi, membasahi pipiku. Aku ingin Mom kembali padaku, menyemangatiku saat aku menghadapi ujian sekolah, atau sekedar mengingatkanku untuk makan. Aku merindukan semua itu, setiap detik kecil yang terasa begitu berharga.
Aku menggigit bibirku, mencoba menahan suara isak yang hampir lolos dari bibirku. Aku mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya kembali mencoba menelepon Dad. Sama seperti sebelumnya, tidak ada jawaban.
Saat rasa khawatir semakin menyelimutiku, aku mencoba mengalihkan perhatian. Aku membuka layar, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberikan sedikit ketenangan. Tapi sesuatu mengusikku, sebuah berita yang membuat mataku terbelalak tidak percaya.
"Perusahaan Jones Terancam Pailit Setelah Krisis Keuangan Meluas."
Aku membaca kalimat dari berita itu berulang-ulang. Aku tidak bisa mempercayai semua masalah ini akan menimpa keluargaku. Proyek gagal, investor mundur, dan perusahaan Dad, yang selalu dia banggakan, hanya selangkah lagi dari kehancuran.
Air mata mengaburkan pandanganku. Aku merasakan tanganku yang gemetar dan dadaku yang terasa sesak. Mom di ruang operasi, perusahaan Dad yang terancam pailit, dan kini dunia kami mungkin akan runtuh. Aku merasa terjebak dalam badai yang tiba-tiba menghantam hidupku. Bagaimana aku bisa menghadapi semua ini kelak?
Saat aku masih terjebak dalam pikiran itu, aku mendengar suara seorang wanita yang memanggil namaku dari kejauhan.
"Angela Jones?"
Aku mendongak, melihat seorang wanita paruh baya dengan pakaian elegan berdiri beberapa langkah dariku. Cara dia berdiri, dengan postur penuh percaya diri, membuatnya tampak mendominasi ruangan.
"Ya, saya Angela. Siapa Anda?" tanyaku.
Dia tersenyum tipis. "Namaku Victoria Bennett. Akhirnya kita bisa bertemu di sini."
Jantungku mencelos mendengar nama itu. Bennett. Ian Nathaniel Bennett. Apakah wanita di hadapanku ini ada hubungannya dengan si brengsek Ian? Seketika, ingatan kejadian di sekolah kembali menyeruak. Aku kembali teringat bagaimana dia mencoba melecehkanku, dan bagaimana Aaron datang tepat waktu untuk menghentikannya.
Dia melangkah mendekat, ekspresinya tampak dingin. "Aku mendengar cerita tentang anakku, Ian. Juga tentang temanmu yang telah membuatnya babak belur."
Aku mengepalkan tangan, menahan amarah yang mulai menguasaiku. "Ian pantas mendapatkan itu," jawabku dengan nada tajam.
Victoria tertawa kecil. "Pantas atau tidak, itu bukan sesuatu yang bisa kau tentukan. Aturan hanya berlaku jika seseorang itu memiliki kekuasaan. Sedangkan kau dan temanmu itu?"
"Jadi karena kami tidak memiliki kekuasaan, kami tidak berhak menegakkan apa yang benar?" tanyaku.
"Aku mendengar kabar tentang perusahaan ayahmu. Kau tahu betapa mudahnya untuk menghancurkan sesuatu yang sudah di ambang kehancuran, bukan?" lanjutnya.
Aku tertegun. "Anda tidak bisa mengancamku seperti ini!"
Dia menyeringai, wajahnya tetap terlihat tenang. "Mengancam? Aku hanya memberimu gambaran kenyataan. Di dunia ini, yang lemah hanya bisa bertahan jika mereka tahu tempatnya. Tapi, kau dan temanmu telah melanggar batasan dan berani mengusik keluargaku."
Aku membuka mulut untuk membalas, tetapi dia menyela.
"Tapi aku bermurah hati memberimu kesempatan, Angela. Berikan kesaksianmu sebagai korban besok. Pikirkan baik-baik. Orang yang hampir melecehkanmu itu adalah Aaron. Ian hanya datang menyelamatkanmu. Kau bisa menceritakan kisah itu dan menyelamatkan keluargamu."
Hatiku bergetar mendengar kata-kata menjijikkan itu dari mulutnya. "Kau ingin aku memfitnah Aaron?" suaraku mulai meninggi, tak terima dengan manipulasi yang tak terduga ini.
Victoria mengangkat alis, senyum tipis di bibirnya semakin lebar. "Kenyataan tidak selalu sehitam-putih yang kau pikirkan. Jika kau melakukan apa yang aku minta, keluarga Bennett akan membantu menyelamatkan perusahaan Jones. Dan ketika ibumu bangun, dia tidak akan menyaksikan kehancuran keluarganya."
Aku tercekat, kata-katanya seakan meresap ke dalam diriku dan membuat jantungku berdegup kencang.
"Tapi jika kau tidak melakukan apa yang aku minta," dia mengangkat alis, matanya terlihat penuh keyakinan, "Maka bersiaplah untuk kehancuran keluargamu."
Victoria kemudian mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetnya, lalu mengulurkannya padaku. "Sebaiknya kau pikirkan ini baik-baik, Angela. Jika kau berubah pikiran, kau bisa menghubungiku kapan saja."
Victoria membalikkan tubuhnya dan sebelum pergi, dia melontarkan satu kalimat terakhir. "Terkadang, untuk mendapatkan sesuatu yang besar, kita harus mengorbankan hal-hal kecil."
Dengan langkah angkuh, Victoria meninggalkanku begitu saja. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh, sementara tanganku gemetar menggenggam erat kartu namanya.
Aku ingin menghancurkan, merobek kartu itu hingga menjadi serpihan tak berarti tetapi ancamannya terus terngiang di kepalaku. Tidak. Aku tidak akan mengkhianati Aaron. Namun, pikiranku berperang dengan rasa takut. Aku tidak bisa membiarkan keluargaku hancur, tidak di tangan keluarga Bennett.
Tetesan air mata mulai mengalir di pipiku, tak bisa kutahan lagi. Siapa sangka hidupku akan sampai pada titik ini?
Waktu terasa berjalan lambat. Hingga akhirnya, suara berat engsel pintu ruang operasi membuatku mendongak.
POV AaronLyla melangkah lebih dekat, matanya masih menatap ke arah koridor, seolah ingin memastikan benar-benar tidak ada orang di sana.Aku meraih pergelangan tangannya, menariknya perlahan sampai tatapannya kembali padaku."Aku akan datang ke pesta itu," kataku, mencoba mengalihkan perhatiannya.Sudut bibir Lyla perlahan terangkat membentuk senyuman. "Kau serius?"Aku mengangguk kecil, menyelipkan satu tanganku ke saku celana. "Ya."Senyumnya melebar. "Akhirnya."Aku memberi isyarat dengan dagu ke arah sofa. "Duduklah."Dia sempat menatapku sebelum berjalan pelan ke sofa dan duduk. Sementara, aku menuju ke meja bar kecil."Kau mau minum?" tanyaku."Air putih saja," jawabnya.Aku mengambil dua botol air dari pendingin, membuka tutupnya, lalu menuangkannya ke dua gelas. Suara gelembung kecil naik dari dasar gelas, satu-satunya suara yang terdengar di ruangan.Aku meleta
POV AngelaDia berhenti di tengah langkah. Perlahan, dia berbalik. Tatapannya gelap dan dingin. Lalu dia mulai berjalan ke arahku — langkahnya pelan, mantap, tapi tiap langkah seperti memadatkan udara di antara kami.Aku mundur satu langkah tanpa sadar, tapi dia terus maju sampai jarak di antara kami nyaris hilang.Tangannya terulur, jari-jarinya mencengkeram rahangku, keras tapi terkendali."Aku terlihat lelah, hah?" suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Jangan coba-coba menganalisis aku. Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa sakitku."Dia mendekat. Suaranya turun jadi bisikan di telingaku. "Justru rasa sakit ini menjadi alasan aku untuk terus hidup."Jantungku berdetak cepat. "Aku tahu aku melukaimu," bisikku.Aaron tertawa pendek — tanpa humor, tanpa rasa. "Melukaiku?" katanya pelan. "Kau menghancurkanku, Angela.""Ya, aku tahu," suaraku nyaris bergetar, tapi aku tetap menatap matanya. "
POV AngelaTunggu... Apa?Mataku bergerak cepat menelusuri layar.Sudah kuduga. Dia tidak kelihatan seperti tipe begitu. Rekaman CCTV membuktikannya.Foto-foto itu palsu. Diedit.Edward Kane yang seharusnya minta maaf.Maaf sudah menilaimu.Dia tidak pantas diperlakukan begitu.Jangan menyerah, Angela.Aku menggulir lebih cepat, jantungku berdegup kencang. Semua postingan isinya sama. Dukungan. Simpati. Kepercayaan."Apa-apaan ini..." bisikku.Aku mengetuk salah satu tautan berita yang memenuhi inbox-ku. Judulnya langsung menohok mataku."Bukti Baru Membersihkan Nama Angela Jones — Rekaman CCTV Membuktikan Tidak Ada Perselingkuhan."Artikel itu menjelaskan semuanya — rekaman restoran, sudut kamera, dan bagaimana "ciuman" itu sebenarnya hanya saat Edward mencondongkan tubuh untuk mengambil gelas. Satu detik, satu
POV AngelaKata-kata itu masih bergema di kepalaku. "Kau ada di sini karena izinku. Bukan karena kau berarti."Sialan dia. Benar-benar dingin dan tak berperasaan.Aaron keluar begitu saja dari mobil tanpa menoleh. Aku turun beberapa detik kemudian, membanting pintu sedikit lebih keras. Garasinya bersih tanpa cela — lantai beton mengilap, semuanya tertata rapi. Tiga mobil berjejer seperti pajangan di pameran.Dia berjalan di depan tanpa peduli apakah aku mengikutinya atau tidak.Pintu samping langsung mengarah ke dalam rumah. Begitu aku melangkah masuk, langkahku terhenti.Tempat itu tampak seperti halaman depan majalah arsitektur. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit, garis-garis tajam, tanpa sedikit pun sentuhan pribadi. Tak ada foto, tak ada barang kecil yang menunjukkan siapa pemiliknya. Tempat itu terasa seperti dirinya. Dingin, terkontrol, dan tak tersentuh."Berapa lama kau mau berdiri di situ?
POV AaronAku melirik ke bawah, pada tangan Angela yang masih menempel di lenganku."Lepaskan," kataku datar.Dia ragu sejenak, lalu perlahan melepaskan genggaman. Tangannya turun, tapi matanya tetap menatapku. "Kau berdarah."Aku menatap garis merah di buku jariku, sisa dari perkelahian tadi."Kau mungkin harus mengobatinya," katanya.Aku menatapnya dingin. "Jangan berpura-pura peduli, Angela.""Aku tidak berpura-pura," sahutnya. "Hanya mengatakan apa yang kulihat.""Aku tahu cara mengurus diriku sendiri."Dia tidak berkedip. "Oke, kalau begitu. Tapi bukan berarti kau harus berdarah buat membuktikannya.""Kau bicara terlalu banyak untuk seseorang yang seharusnya tidak ikut campur urusanku."Tatapannya tak bergeser. "Aku hanya memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku. Bukan berarti aku ikut campur. Aku akan melakukan hal yang sama untuk siapa saja, bukan cuma untukmu."Itu
POV AaronAku memelintir pergelangan tangan Bennett sampai uratnya menonjol di bawah kulit. Dia meraung, keras dan serak, tapi aku tidak mengendurkan cengkeramanku, justru semakin menguatkannya.Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, tapi matanya masih menyimpan kesombongan. "Kau pikir kau cukup besar buat menantangku, Carter?" desisnya tajam, napas tersengal menahan sakit.Aku menatapnya datar. Suaraku tenang dan dingin. "Kau pikir nama Bennett membuatmu kebal? Nama keluargamu mungkin berarti sesuatu di atas kertas. Tapi kau tidak lebih dari bajingan pengecut yang hidup dari nama itu."Lalu aku melepaskannya dengan satu hentakan cepat. Dia terhuyung ke belakang, wajahnya memerah menahan amarah.Aku menoleh ke arah Angela yang masih terpaku di dekat pagar paddock. "Masuk mobil," kataku datar.Dia sempat ragu sepersekian detik, tapi akhirnya menurut. Pintu mobil tertutup di belakangnya, meninggalkan aku berdua dengan Bennett







