Share

Kabur

“Bersumpahlah padaku kamu tidak akan memberitahu siapapun!”

Mata Amanda lekat memandang Prisilla. Gadis itu balas menatapnya bingung. Mungkin tidak menyangka alih-alih mendengar kabar gembira, Prisilla malah diminta bersumpah.

“Tunggu sebentar, sebenarnya ada apa?” Prisilla jelas tak mau begitu saja disumpah untuk sesuatu yang tidak dimengerti.

Amanda mulai menimbang-nimbang untuk jujur. Jika ia ingin kepercayaan dari Prisilla, dirinya tentu juga harus mengatakan semuanya. Mana mungkin ada seseorang yang percaya tanpa pikir panjang.

“Ada sesuatu yang tidak kuceritakan padamu.” Amanda memulainya. Namun, ia tetap gelisah karena merasa akan mencoreng arang ke keningnya.

“Ada apa, Amanda? Jangan buat aku penasaran!” pekik Prisilla akhirnya karena Amanda tidak kunjung bicara.

Amanda malah meremas-remas jemarinya. Matanya menatap gelisah dan tidak fokus di satu tempat saja. “Kamu pasti ingat pada apa yang dilakukan Alex padaku, kan?” Dilihatnya Prisilla mengangguk. “William orang yang membayar pada Alex.”

Setelah mengakui hal itu air mata turun di pipi Amanda. Ia tidak bisa menahan diri untuk tetap bersikap tegar. Hal tersebut serasa baru terjadi kemarin dan sampai saat ini menjadi mimpi buruk untuknya. Amanda sudah berusaha melupakan kejadian buruk tersebut, tetapi tak berhasil.

Apalagi sekarang ia terus-terusan ditemui William. Mimpi buruk itu jadi semakin kuat saja dan seperti mencekiknya hingga mati.

“Dasar lelaki brengsek!”

Mau tak mau Amanda jadi tergelak. Ia tak sangup mengumpat, tetapi selalu Prisilla mewakilinya. Apapun keadaannya teman baik Amanda selalu berada di sampingnya.

“Kamu sudah tahu mau pergi ke mana?” Mata Prisilla terbeliak ingin tahu.

Amanda mengeleng pelan. Ia sungguh-sungguh tidak tahu harus ke mana. Ia hanya tahu harus segera melarikan diri sebelum hari perjanjian untuk memberikan persetujuan pada William datang. Ia tidak mau bertemu lagi dengan pria itu. Bahkan melihat bayangan pria yang sudah tidur dengannya.

“Bagaimana kalau ke kampung halamanku?”

Amanda menelengkan kepala ingin tahu. Ia tak pernah ke kampung halaman Prisilla karena setiap kali karena setiap kali ajakan datang, Amanda sedang mendekati tenggat pembayaran indekos atau tagihan hidup lainnya.

“Aku akan merepotkan keluargamu nanti, tidak usah,” tolak Amanda.

“Tidak. Aku akan cemas kalau tidak tahu kamu berada di tempat yang aman. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang lebih gawat dari pada kejadian dengan Alex dan Pak Bos bertampang malaikat.” Prisilla menerawang dan mengepalkan tangan tanda kesal. “Kalau di kampung halamanku akan ada yang menjagamu di sana. Kumohon, kamu di kampungku saja. Dengan begitu, aku akan merasa tenang karena tahu kamu baik-baik saja.” Tatapan Prisilla berbinar-binar penuh harap.

Amanda jadi tidak punya keberanian menolak. Ia mengangguk dan meyakinkan diri bahwa tidak apa-apa jika bersembunyi di kampung Prisilla.

“Kapan kamu pergi?” tanya Prisilla. Ia sedang mengusap air matanya yang hampir jatuh.

“Secepatnya. Kalau bisa sore ini. Aku tidak mau Pak Azzar keburu menemukanku dan membawaku ke tempat William.”

Tengat perjanjian besok dan Amanda masih bertekad untuk tidak bekerja sama dengan William. Citra pria muda itu sudah terlanjur jatuh di matanya. Ia juga sudah tidak mau tertipu dengan tampang manis pria tersebut lagi. Amanda melihat Prisilla menelepon seseorang. Selama temannya menelepon, Amanda hanya menangkap kalimat yang merujuk suruhan untuk menjemput dirinya.

“Siapa?” Amanda tiba-tiba merasa curiga. Ia tahu kalau Prisilla mengidolakan William. Ia masih ingat betapa hebohnya teman Amanda ini menceritakan hal apa saja yang baik dan sempurna dari William.

Bagaimana kalau yang dihubungi Prisilla adalah William? Hati Amanda merasa perih tiba-tiba. Ia tidak sanggup dikhianati lagi oleh siapapun.

“Kakakku. Aku minta dia jemput kamu di halte.” Prisilla menyimpan kembali ponselnya. “Aku kirimkan nomor kakakku nanti padamu, ya? Biar tidak salah orang.” Prisilla mengedip.

Amanda merasa lega. Matanya terasa perih kini. Jika saja diberi Tuhan kesempatan untuk memilih saudara, Amanda pasti akan memilih yang seperti Prisilla.

***

“Dia tidak ada di kosnya?”

William baru saja hendak beristirahat setelah menyelesaikan berkas keuangan yang diperiksa. Masih ada beberapa kesalahan yang menyebabkan berkas tersebut harus kembali direvisi sebelum diperiksanya kembali.

Azzar menunduk. “Ya, Tuan. Pagi ini saya datang ke kosa Nona Amanda dan dia tidak ada.”

William berpikir sebentar. Ia pernah bertemu Amanda di depan rumah indekos, saat itu gadis yang sama berjalan-jalan keluar. “Paman sudah memeriksa ke panti asuhan tempat dia pernah tinggal?”

Azzar mengangguk. “Dia juga tidak ada di sana, Tuan. Bahkan saya sudah pergi ke restoran tempat Nona Amanda bekerja. Kata manager di sana, Nona Amanda menambah masa cutinya beberapa minggu lagi karena alasan kesehatan.”

Suara napas William terdengar kasar. Harusnya ia sudah menduga sejak awal. Amanda tidak mungkin setuju dengan rencana yang sudah disusun. Gadis itu keras kepala sepertinya. Sama sepertinya, melarikan diri adalah jalan keluar yang akan dipilih Amanda ketimbang menyerah.

“Bagaimana dengan pegawai hotel bernama Prisilla yang menjadi temannya?”

“Saya sudah memanggilnya tadi, Tuan. Dia bilang tidak tahu apa-apa dan Nona Prisilla menuduh kalau ini salah Tuan.”

Amanda sudah memberi tahu Prisilla apa yang terjadi pada mereka. Di awal pertemuan mereka, Prisilla jelas-jelas menunjukka keantusiasan jawaban lamaran Amanda. Tidak mungkin sikap seperti itu akan berubah tanpa alasan.

“Dia pasti berbohong,” katanya pada Azzar. “Selidiki Prisilla. Dia tahu sesuatu. Aku yakin!”

Azzar mundur. Sesuai arahan William asistennya itu akan melaksanakan tanpa cacat. Kini yang harus dipikirkan William apa yang harus dilakukan pada Amanda jika ditemukan.

Kenyataannya tekanan hanya membuat gadis itu semakin kabur darinya. Jadi tekanan seperti yang dilakukan sekarang akan merugikan dirinya sendiri. Seperti menepuk air dalam dulang. Percikan airnya membasahi William.

“Tidak bisa menampakan diri padamu, ya?” gumamnya.

Ia berdiri dan melangkah ke jendela kaca besar dengan pemandangan yang menakjubkan. Jika sore hari cahaya matahari akan masuk dari jendela kaca ini menerangi ruangan. Di bawah sana mobil-mobil tampak kecil berlalu lalang. Akan tetapi, karena kedap suara pemandangan di bawah sama sekali tidak terkesan hidup.

“Butuh rencana lebih, ya.” Sekali lagi William bergumam. Ada setitik cahaya segar di dalam kepalanya. Rupanya ia tidak kehilangan akal seperti yang dikira. Semuanya akan baik-baik saja. William meyakinkan dirinya sendiri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nduuk Waee
ceritanya bagus..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status