“Hanny bilang kamu sedang kepepet dan aku yakin pekerjaan ini pasti akan menjadi solusi untuk permasalahan kamu.”Pria itu masih saja tak mengungkapkan tentang pekerjaan di tempat ini.“Iya aku memang kepepet dan membutuhkan uang banyak.”“Nah, aku yakin pasti akan langsung cocok dengan pekerjaan di sini.”Aku menyergap pria berambut tebal itu dengan tatapan tegas.“Kalau begitu katakan padaku Pak, pekerjaan apa yang akan jalani di sini?”“Menjadi pemandu lagu, kerjanya cukup mudah, kamu tinggal temani saja pada pelanggan yang datang dan penuhi semua permintaan mereka. Tapi kalau kamu lebih berani lagi, kamu akan mendapatkan uang yang besar dalam waktu singkat.”Aku langsung mengernyit curiga.“Lebih berani bagaimana maksudnya Pak?” tanyaku curiga
“Ada ya Pak?” tanyaku penuh rasa penasaran atas panggilan dari manajer personalia di tempatku bekerja itu.Pria paruh baya yang memiliki tubuh berisi itu menatapku sedikit tegas.Aku menjadi dihinggapi rasa gelisah.Aku mulai menduga kemungkinan yang terburuk.“Apa aku dipecat Pak?” tanyaku memastikan dengan suara yang terdengar lugas.Pria itu masih saja memberikan tatapannya yang tegas.“Mulai sekarang kamu bukan lagi seorang office girl.”Aku mengerutkan kening menjadi kian merasa janggal.“Jadi aku benar-benar dipecat Pak?”“Apa kamu tidak mendengarku tadi saudara Kumala Hapsari?”Aku menjatuhkan pundakku mulai bersikap pasrah.Setelah itu aku mulai membalikkan badan. Aku sudah merasa tak memi
“Kamu?!” seruku begitu kaget bahkan saking kagetnya aku sampai menudingkan telunjuk ke arah pria yang sedang duduk di atas kursi kebesarannya.“Apa yang sedang kamu lakukan? Benar-benar nggak sopan.”Aku langsung menarik tanganku sendiri dan membawanya ke bawah, hingga menempel pada kedua pahaku.Setelah itu aku bergerak canggung dan menunduk dengan cepat, karena terlalu rikuh dengan situasi ini.“Ngapain kamu masih berdiri di sana?” sergah pria itu.Sungguh sangat aku duga jika ternyata pria yang selama ini aku kenal dengan nama Gamal itu nyatanya adalah CEO di perusahaan bonafid ini.“Apa kamu yang bernama Pak Adhi itu?”Aku mulai berjalan mendekat dengan keraguan yang sedikit terunggah.Gamal malah melirikku tegas meski kemudian dia kembali melanjutkan pekerjaannya dengan mengarahkan tatapannya di depan layar laptop.“Apa kamu tadi tidak diberitahu Pak Mizwar?”Aku mengangguk sembari tergeragap.“Sudah Pak, tapi kenapa sebelumnya Bapak memperkenalkan diri dengan nama Gamal?”“Gamal
“Sudahlah sekarang siapkan saja semua pakaianku aku mau mandi!” sergah Gamal masih saja mengunggah kesombongannya.Nyatanya lelaki itu sama sekali tak menyebutkan solusi yang tadi sempat ia ungkit.Aku langsung tergeragap, menjadi gelisah karena aku tak tahu pasti pakaian seperti apa yang harus aku siapkan.“Gamal, turunkan suara kamu, jangan seperti itu.”Gamal menghentikan langkahnya urung ke kamar mandi dan memandang pada wajah uminya sejenak.“Kalau gitu tolong, Umi kasih tahu Mala, apa yang harus disiapkan.”Setelah itu pria arogan itu mulai melanjutkan langkahnya yang tertunda.Tante Risa mengunggah senyumnya dengan lembut. Aku jadi sangsi kalau wanita anggun dan sholehah ini bisa memiliki anak temperamental seperti itu.“Jangan diambil hati ya, Gamal memang orangnya sep
“Tugas apalagi sih Pak?” sergahku jengah menampakkan ekspresi bersungut-sungut.Gamal membalas tatapanku dengan ketegasan sikapnya.“Apa kamu sudah tidak membutuhkan pekerjaan ini Mala?”Aku sontak mendekat di depannya.“Jangan main ancam gitu dong Pak.”Aku lalu mendesah resah.“Cepetan bilang sekarang apalagi yang harus aku lakukan?”Gamal kemudian malah mengulurkan tangannya di depanku.Aku mengernyit memandang tangannya dengan datar tanpa tahu apa yang harus aku lakukan.“Kancingkan ini,” perintah Gamal menunjukkan pada kancing di lengannya yang belum terpasang.Aku benar-benar tak habis pikir, ternyata dia malah menyuruhku melakukan pekerjaan yang terlalu sederhana. Aku kemudian malah menjadi bertanya-tanya selama ini apa dia masih harus dibantu untuk melakukan pekerjaan kecil seperti ini yang bahkan anak TK saja sudah bisa melakukannya.Apa Tante Risa tetap harus membantunya sebelum bersiap ke kantor. Aku sungguh tak menyangka kalau CEO dari perusahaan besar ternyata adalah soso
“Apa yang sudah kamu lakukan?” tanya Gamal yang ternyata sudah berada di belakangku.Aku bergeming, bisu tak memberikan jawaban. Tanpa sadar aku menundukkan kepalaku.Sementara Nita langsung menghambur mendekat, memulai drama untuk menyudutkan aku tentunya.“Bagaimana mungkin kamu mempekerjakan asisten bar-bar seperti ini?!” sergah Nita sembari memberikan tatapannya yang tajam padaku dengan tangannya memegangi pipinya yang habsi aku tampar.Gamal menguarkan aura dingin dengan melemparkan tatapannya yang beku padaku.Aku menahan nafasku menunggu bagaimana reaksinya. Sangat mungkin aku akan dipecat hari ini. Tapi aku tidak pernah menyesali apa yang sudah aku lakukan pada wanita jahat seperti Nita. Aku tidak akan pernah membiarkan wanita itu menyebut bundaku bodoh.Bagiku Bunda adalah wanita terbaik di dunia yang bahkan telah mengorbankan segalanya demi anak-anaknya.“Kamu lihat dia sudah menamparku, yang.”Nita semakin memainkan dramanya.Aku masih saja diam, menarik nafas dalam menungg
“Pak sepertinya kita harus bicara.” Gamal sontak mengalihkan perhatian padaku. “Bapak meminta seorang fashion stylist untuk memilih begitu banyak baju yang mahal, apa semua baju itu untukku?” Dengan sangat lugas aku bertanya. Pria itu mulai melirikku dan menyingkirkan sejenak gawainya. “Iya untuk kamu.” “Tapi apa ini tidak berlebihan?” “Kamu jangan banyak tanya.” Aku masih tak bisa terima dengan jawabannya. Gamal begitu dingin bahkan kembali mengacuhkan aku dengan kembali fokus pada gawainya. “Pak baju-baju itu mahal.” Aku berusaha menggugah kesadarannya. “Tidak juga,” jawabnya santai. “Apa Bapak nggak merasa rugi dan sayang gitu membelikan aku baju-baju itu?” Aku berusaha memancingnya dengan pertanyaanku. Gamal kembali menatapku. “Tentu saja tidak rugi, karena kamu sendiri yang akan membayarnya.” Aku sontak terkesiap ketika mendengar ucapannya. Dengan mata terbeliak aku langsung menatapnya lugas. “Aku Pak yang membayarnya? Aku nggak punya uang lho Pak,” jawabku apa a
Tama banyak membantuku untuk menyiapkan semua hal sebelum meeting di mulai. Ternyata lelaki berkaca mata itu adalah partner kerja yang baik dan sangat membimbingku. Hari ini bahkan semua pekerjaan bisa aku selesaikan dengan baik juga berkat bantuan Tama. Juga untuk hari berikutnya aku bisa melakukan lebih banyak lagi. Semakin lama aku menjadi akrab dengan sekretaris atasanku itu. Bahkan di sela-sela kesibukan kami bekerja terkadang kami selingi dengan canda tawa. Seperti siang ini menjelang waktu istirahat kami berdua tertawa saat mendapati minuman kami tertukar. Aku menertawakan ekspresi Tama saat harus menyesap kopi pahit milikku. “Apa ini?” Tama langsung meletakkan cangkir kopi yang sempat dipegangnya. Aku benar-benar tak dapat menahan gelak tawaku saat Tama mencibirkan bibirnya. Pria itu sama sekali tak suka kopi pahit. “Makanya kalau mau minum itu dilihat dulu, kamu ambil cangkir yang mana?” Tempat kerja kami memang bersebelahan dan kami meletakkan cangkir minuman kami