Dengan sangat antusias Vania segera membuka ranselku yang sudah aku lemparkan padanya. Raut mukanya yang sarkas benar-benar membuatku menaruh curiga.
Aku merasa gadis itu sedang merencanakan sesuatu. Perasaanku benar-benar tidak enak. Terlebih saat aku ingat dia memasuki ruangan loker karyawan dengan gelagat yang sangat mencurigakan.
Sampai kemudian Vania menemukan ponsel yang dicarinya itu yang secara ajaib bisa berada di dalam ranselku.
“Ini apa?” Vania segera menyergapku dengan tatapan nyalang.
Sementara semua orang kemudian menjadi terperangah ketika melihat apa yang sudah ditemukan Vania di dalam ranselku.
Aku sendiri juga tak kalah kagetnya, meski kemudian aku mulai menatap gadis yang manipulatif yang sudah menjebakku dengan tuduhan yang sangat keji itu.
“Emang mana ada pencuri ngaku, bisa penuh penjara kalau semuanya ngaku,” celetuk Vania pedas benar-benar terdengar sangat menyakitkan.
“Aku nggak percaya kamu melakukan ini Mala. Kemiskinan sudah membuat kamu jadi kriminal.” Tante Anggun mulai ikut menimpali, kian menorehkan luka di dalam hatiku.
Meski aku merasa sangat tersakiti atas konspirasi jahat mereka, aku tetap menampakkan ketegaranku di hadapan semua orang.
Walau kemudian aku tak bisa menentang tatapan Jason yang sedikit tampak kecewa padaku.
Aku benar-benar tak mau mengakui apa yang sudah mereka tuduhkan itu meski ponsel itu sudah berada di dalam tasku.
Aku kian yakin bahwa Vania benar-benaar sudah merencanakan semua ini.
“Pokoknya mama nggak mau tahu, kamu harus mengeluarkan pencuri ini dari bengkel kamu Jason.”
Tante Anggun kian mendesak putra semata wayangnya itu.
Tapi Jason bergeming diam, meski aku melihat di wajahnya terpancar aura kecewa tapi juga berbalut ketidakpercayaan atas apa yang sedang ia saksikan saat ini.
“Aku akan melakukan penyelidikan dulu Ma.”
Jason masih berusaha mempertahankan aku.
Tapi aku benar-benar tak sanggup melihat tatapan kecewa sahabatku sejak kecil itu padaku.
Meski aku tak pernah mau mengakui tuduhan mereka, tapi aku juga enggan untuk tetap bertahan bekerja di bengkel Jason.
Walau berat aku segera mengambil keputusan dengan memilih keluar dari bengkel Jason.
Sementara Jason masih saja diam tetap tak mengambil keputusan apapun sampai beberapa waktu.
“Kamu nggak usah melakukan penyelidikan apapun, semua sudah jelas bahkan bukti itu sudah ada di dalam tas pencuri itu.”
Tante Anggun benar-benar menyudutkan aku, sama sekali enggan memberikan aku kesempatan untuk membela diri.
“Ma, cukup jangan pernah menyebut Mala pencuri.”
Jason masih saja berusaha membelaku.
“Lha emang dia pencuri Jas. Dengar Jas, kamu harus pecat Mala sekarang juga.”
“Tidak usah repot-repot, aku akan berhenti sekarang juga.”
Kemudian aku menatap lurus pada Jason yang sekarang sedang terdiam kelu. Lelaki itu tampak terkejut dengan keputusanku.
Aku tahu jelas Jason masih belum sepenuhnya percaya dengan tuduhan itu tapi tetap saja Jason tak bisa menunjukkan pembelaan yang terlalu lugas kepadaku.
“Jangan seperti itu La, semua tetap harus diselidiki dengan jelas.”
Jason masih berusaha untuk menahanku.
Tapi aku sudah bersikeras.
“Sudahlah Jas, bagaimanapun aku harus tetap berterima kasih atas semua pertolongan kamu selama ini.”
Jason bergeming memandangku dengan sangat lekat yang aku tahu membuat Vania menjadi tampak seperti cacing kepanasan. Terus menerus mencebikkan bibirnya yang seperti bibir ikan itu.
“Aku pergi,” ucapku kemudian sembari membalikkan badan.
Jason tampak pasrah benar-benar tak bisa melakukan apapun untuk menahan kepergianku.
Aku melenggang pergi dengan langkah berat. Tuduhan yang sangat menjatuhkan harga diri itu benar-benar harus aku terima mentah-mentah, yang membuatku terlihat seperti pesakitan yang rendah.
Untuk ke sekian kalinya aku harus menjalani episode pahit dalam kehidupanku setelah rentetan kemalangan yang pernah menimpaku sebelumnya.
***
Sudah tiga tempat yang aku datangi hari ini untuk melamar pekerjaan. Tak ada satupun yang memberikan hasil baik.
Nyatanya memang tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan di belantara Ibukota yang seringkali menggerus kesempatan bagi kebanyakan orang.
Tanpa koneksi segala tidak akan berjalan dengan sempurna.
Di tengah rasa putus asa yang nyaris mendera, aku segera mengunggah harapanku sendiri. Karena hanya harapan yang membuat manusia bisa bertahan. Barangkali di dalam setiap kesulitan yang aku hadapi akan selalu tercipta kemudahan. Sebagai seorang yang beriman tentu saja aku harus mempercayai janji Tuhan yang seperti ini.
Menjelang sore dengan rasa lapar yang setia mengukungku sejak tadi siang, aku melangkah lesu menyusuri salah satu sudut Jakarta yang lebih lengang, menepi sejenak dari segala keramaian yang kadang menyesakkan jiwa.
Dengan tanpa membawa hasil apapun aku masih berusaha membesarkan jiwaku sendiri.
“Jangan menyerah Mala, ini masih hari pertama, besok masih ada kesempatan.”
Aku masih saja melangkahkan kaki hingga di ujung jalan aku melihat seseorang sedang kebingungan dengan terus menerus menggaruk kepala ketika membuka kap mobil.
Aku segera menduga jika mobil pria yang dari tempatku sekarang berdiri hanya menampakkan punggungnya yang lebar itu sedang mengalami mogok.
Aku langsung mendekat berusaha untuk membantu pria berkemeja agak lusuh yang sedang kebingungan dengan mobilnya itu.
“Perlu bantuan?” tanyaku dengan sangat percaya diri. Aku sangat yakin, aku pasti bisa membantunya. Menangani penyakit mobil memang keahlianku sejak dulu.
Pria itu sontak menoleh ke arahku setelah sebelumnya menunduk sangat dalam mengamati rentetan kabel mobilnya yang mungkin sedang bermasalah.
Ketika melihat wajahnya sontak aku terkesima. Nyatanya pria yang sebelumnya aku duga memiliki tampang pas-pasan khas seorang sopir angkot itu, memiliki wajah setampan Akin Akinozu. Aktor kenamaan Turki yang aku idolakan itu. Sebentuk ketampanan yang segera membuatku terpana.
“Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?” sergah pria itu sarkas yang langsung melucuti segala keterpanaanku.
Aku langsung mendengus kesal ke arahnya. Segala rasa kagumku dengan cepat berubah menjadi kejengkelan.
“Apa kamu sedang meremehkan aku?” letupku dengan jengkel.
Pria itu mengernyit tipis, lalu mencebik dengan sinis.
“Kalau begitu coba saja lakukan apa yang bisa kamu lakukan pada mobil butut ini.”
Segera aku menyingsingkan lengan baju sebelum kemudian mengikat rambut panjangku yang sebelumnya aku biarkan tergerai.
“Kamu lihat saja apa yang bisa aku lakukan untuk menghidupkan mobil ini.”
Ketika aku melakukan semua itu mendadak pria berhidung sempurna itu memindaiku dengan tatapan yang asing.
Tapi aku memilih mengabaikannya dengan apa yang mungkin sedang dipikirkan pria itu pada diriku. Walau aku sedikit risih dengan tatapannya yang sangat dalam memindai, aku berusaha untuk tak mempedulikan segera memusatkan pada mobil mogok yang harus aku tangani.
Aku merasa diriku tetap seorang montir, walau sekarang tak lagi bekerja di bengkel.
Ketika mulai memeriksa mobil itu aku kemudian menemukan masalah pada aki mobilnya yang kering yang nyatanya hanya tinggal diisi dengan air maka permasalahan mobil itu bisa segera diatasi.
Dengan mudah aku bisa menghidupkan mobil itu, sembari melirik pada pria tampan di dekatku yang sayangnya penampilannya lumayan kacau itu.
“Masih meremehkan aku?” sergahku sinis pada pria yang awalnya mengunggah sikap tidak bersahabatnya itu.
Pria itu hanya mengernyit tipis tapi masih saja memberikan tatapan yang penuh makna padaku.
“Sekarang mobilnya sudah bisa aku perbaiki. Lain kali kamu jangan meremehkan wanita.”
Setelah itu aku melangkah pergi meninggalkan pria tampan yang sepertinya terlihat kacau dan masih saja tercenung bahkan saat aku mulai berlalu dari hadapannya.
Seusai melihat intermezo yang menyegarkan mata itu aku sekarang kembali meresapi permasalahan hidupku. Sambil berjalan lesu aku kembali memikirkan tentang biaya kuliahku, biaya kehidupan keluargaku sehari-hari juga uang sewa kontrakan yang bulan ini harus segera aku bayar.
Sungguh semua itu mampu membuat kepala pusing tujuh keliling.
Rasa pusing itu terus aku bawa sampai ke rumah. Tapi nyatanya sesampainya di bangunan kelewat sederhana itu aku malah bertemu dengan seseorang yang tidak aku duga akan datang menemuiku lagi.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
***
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.