“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku pada sosok sahabatku sejak kecil itu yang sekarang sedang duduk di teras rumah bercengkerama bersama Ghana dan Ghara tapi raut mukanya jelas tampak sedang menantiku.
Jason segera memusatkan perhatian padaku, memandangku dengan sangat dalam ketika aku sudah berdiri di hadapannya.
“Apa aku tidak boleh mengunjungi sahabatku sendiri?” Jason berusaha menyunggingkan senyuman wajar terhadapku di tengah sikap waspadaku yang sekarang ingin menjaga jarak dengannya.
Meski begitu aku tetap menemuinya dan duduk di bangku yang sama dengannya, sembari meladeni kedua keponakanku yang selalu akan bermanja padaku setiap kali aku baru pulang dari manapun.
“Jas, sepertinya kamu harus membatasi kunjungan kamu ke sini,” ungkapku datar.
Jason memandangku dengan sedih. Lelaki blasteran itu mulai menarik nafas panjang.
&n
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria yang pernah aku lihat di jalan dulu sedang mengalami kesulitan dengan mobilnya. Gayanya masih saja dingin dan sarkas. Aku membalas tatapannya dengan tak kalah tegas. “Apa kamu nggak lihat kalau aku sedang kerja di sini? Kalau kamu, untuk apa sopir angkot kayak kamu berada di perkantoran elit ini?” Aku balas menyergah. Nyatanya sosok itu menanggapiku dengan tatapan yang semakin dingin meski aku sempat melihat sebuah seringai muncul di sudut bibirnya. “Kamu bilang aku sopir angkot?” “Lha yang kemarin emang mobil itu bukannya milik kamu?” Pria itu kemudian malah mencebik. “Jadi karena itu kamu menganggapku sopir angkot?” Aku mengedikkan bahu pelan. “Kalau nggak sopir angkot terus apa?” Pria itu malah ikut mengangkat kedua bahunya. “Terserah kamu menganggapku apa.” “Ya sudah, jangan sinis gitu dong.” Aku kembali melakukan pekerjaanku. Tapi nyatanya pria itu malah memindaiku dengan semakin lekat. Sama seperti yang sudah dilakukannya
“Pria mesum sebenarnya apa sih kerjaan kamu?” Aku bertanya dengan datar yang segera menarik tatapan pria bertubuh jangkung itu ke arahku. “Kamu menyebutku apa tadi?” Aku bergeming enggan mengulangi perkataanku. Tapi nyatanya pria itu malah melukis segaris senyuman samar yang terkesan misterius di mataku. “Sekali lagi aku mendengarmu, memanggilku pria mesum lihat apa yang akan aku lakukan padamu, hingga definisi pria mesum itu benar-benar akan sesuai dengan perkataan kamu.” Aku terhenyak ketika mendapati kerlingan matanya yang terunggah padaku. Entah mengapa aku malah menjadi takut. Tatapan pria itu terlalu mengintimidasi. Hingga aku enggan untuk menentang tatapan matanya lagi bahkan sampai kemudian pria itu melanjutkan langkahnya dan benar-benar pergi tanpa menjawab pertanyaanku tentang apa yang dikerjakan oleh lelaki itu di area gedung perkantoran ini, padahal kemarin aku sedang melihatnya berkutat dengan mesin mobilnya yang bobrok. Setelah pria berhidung sempurna itu berlal
“Dari mana kamu tahu kalau aku bekerja di bengkel sebelumnya? Siapa sih kamu itu?”Ketika mendengar cecaran pertanyaan dariku, pria yang memiliki dagu yang agak lancip itu malah membalas tatapanku dengan tenang, sembari memajukan wajahnya ke depan mendekatiku yang sedang duduk di hadapannya.“Apa kamu lupa kalau kemarin kamu sempat menolongku memperbaiki mobilku yang mogok? Dari caramu memperbaiki mesin siapapun pasti dapat menduga jika kamu adalah seorang montir.”Aku mendesah panjang.“Bagiku bekerja di mana pun tak akan menjadi masalah asal aku masih bisa menghasilkan uang untuk membiayai keluargaku. Aku memiliki tanggungan dua orang anak juga seorang ibu, belum lagi aku harus membayar kuliahku sendiri.”Lelaki itu kini ganti mengerutkan kening di depanku setelah menarik wajahnya mundur dariku.“Kamu memiliki anak?
“Hey, kenapa sih kalian melihat aku kayak gitu?”Aku segera mencecar teman-temanku yang kini malah bersikap sangat tak wajar itu.Senyuman mereka kemudian malah tampak dipaksakan, bahkan mereka sekarang menjadi canggung saat berinteraksi denganku.Hingga akhirnya sampai pada pembagian tugas dan aku berniat untuk melakukan tugasku seperti biasanya.Tapi kepala divisiku malah memerintahkan seorang temanku yang lain untuk segera membantu, melakukan pekerjaan yang biasanya aku lakukan sendirian.“Kenapa sekarang aku harus dibantu Pak? Aku kan biasa melakukan semua ini sendiri.”“Kami tak ingin kamu terlalu letih,” jawab kepala divisiku itu.Sontak aku berjengit sengit.“Maksud ucapan Bapak tadi apa ya?”Lelaki bertubuh gemuk itu agak tersen
“Kalau gitu coba bilang padaku, pria seperti apa yang menjadi pria idaman kamu?”Gamal seperti sedang memancingku.Aku menautkan alisku saat memandangnya meski kemudian aku berpaling ke depan mulai menatap nanar dengan pandangan menerawang.“Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang? Apa kamu tidak punya kriteria pria idaman?”Aku bergeming ketika mendengar Gamal kembali bertanya. Mendadak sekarang aku teringat pada sosok kakakku yang selama ini aku tahu berusaha untuk menjadi suami terbaik juga seorang putra yang berbakti walau itu kadang mengukungnya dalam dilema.“Hey, kok kamu malah bengong.”Aku menanggapinya dengan kedikan tipis di bahuku.“Sebenarnya aku tak terlalu percaya pada pria,” gumamku pelan sembari mengingat tentang sosok ayahku sendiri yang brengsek.
Setelah semalam menghabiskan waktu di warung nasi goreng. Pagi ini Gamal kembali mendatangiku di pantry dengan membawa beberapa bungkusan makanan yang aku anggap kelewat banyak.Aku yang sedang iseng mengamati gambar rancangan rumah impianku, yang selama ini aku buat sedikit terperangah melihat kedatangannya dengan tangannya membawa plastik yang berisi makanan.“Mulai hari ini aku minta kamu untuk sarapan sebelum mulai bekerja.”Gamal langsung meletakkan makanan yang ia bawa itu tepat di depanku.Aku melirik sekilas pada sekantong makanan yang sekarang teronggok di atas meja, di hadapanku itu.Aku mendengkus kesal meski sebenarnya aroma makanan yang meruap di indera penciumanku sudah mulai mendiktrasiku."Aku semakin yakin kalau kamu itu orang kaya, hingga begitu mudah menghambur-hamburkan uang untuk membeli makanan sebanyak ini.”Aku kemudian menyergapnya dengan tatapan tegas.“Ayo ngaku aja kalau kamu itu pasti bukan sopir kan?”Aku mulai mendesaknya.Tapi Gamal malah menanggapiku d
“Katakan Er, siapa yang sudah nyuruh kamu untuk mengambil alih pekerjaanku?” Aku kian mendesak pada temanku yang sekarang tampak sangat gugup itu bahkan terus menerus menghindar dari sergapan sorot mataku.“Er, kenapa kamu diam cepetan jawab!” desakku kian tak sabar.Aku kian jengkel karena sikapnya yang masih saja diam.Di tengah kekesalanku itu mendadak aku rasakan seseorang datang mendekat dan terasa sedang berdiri di belakangku.“Aku yang menyuruhnya,” tegas suara itu.Sontak aku menoleh ke belakang dan melihat sosok Gamal sedang berdiri di sana.Ketika melihat aura kharismanya yang mendominasi dengan ketegasan tatapannya, hatiku kian dihinggapi prasangka terlebih saat aku memandang sikap Erni yang sekarang kian menjadi gugup dan resah.Nyatanya Gamal kemudian mengangkat tangannya dan memberi isyara
“Kalau boleh aku tahu di mana ayahnya Ghana dan Ghara sekarang?”Gurat di wajah Gamal menampakkan kesungguhan, pria itu tampaknya sangat penasaran dengan kehidupan pribadiku.“Ayah mereka meninggal karena kecelakaan,” jawabku santai, walau sebenarnya aku selalu miris bila mengingat nasib kakakku yang tragis itu. Kak Gio selama ini berjuang keras untuk kami, dengan terkukung dendam atas perlakuan ayah kami yang telah menolak keberadaan anak-anaknya sendiri.Kak Gio sempat berhasil dengan usaha bengkelnya bahkan kehidupan keluarga kami sedikit lebih terangkat. Tapi nyatanya dia bertemu wanita yang salah, yang malah diperistrinya. Seorang wanita bernama Nita yang bukan hanya materialistis tapi juga culas dan tidak berperasaan.Wanita itu merongrong usaha Kak Gio yang baru berkembang dengan keinginanny