Share

6. Tuduhan Keji

“Kita harus bicara,” sergah wanita yang selalu sering mengumbar aset tubuhnya. Bahkan saat ini Vania membiarkan kaki jenjangnya terpampang dengan paha mulusnya haanya tertutupi separuh.

Aku mendengus jengah ke arahnya dan menjadi sangat malas menghadapi sikapnya yang sering menyudutkan juga mengklaim Jason sebagai miliknya.

Aku memilih melanjutkan langkahku alih-alih mengabulkan keinginannya.

Sontak Vania mengikuti sembari menghentak-hentakkan kaki di tanah menunjukkan kekesalannya atas pengabaianku.

Benar-benar kekanakan menurutku.

“Aku nggak mau tahu pokoknya kamu harus jauhin Jason.”

Aku memutar malas bola mataku ke arahnya dan mulai menghentikan langkah kala wanita yang sok cantik itu menarik pundakku dengan keras.

“Jason dan aku akan tunangan, Tante Anggun yang sudah bilang semua ke aku tentang rencana ini.”

Aku menyergap gadis manja di depanku itu dengan tatapan nyalang.

“Trus kamu udah dapat persetujuan Jason tidak?” tukasku ketus.

Vania tampak tergeragap. Aku membalasnya dengan senyuman sinis.

“Pasti Jason nggak tahu soal kamu yang akan ditunangkan sama dia.”

Aku kembali melanjutkan langkahku tapi Vania masih saja mengejar.

“Jason pasti bakal nurutin mamanya.”

“Pede banget kamu.” Aku mulai mencebik sarkas. Walau aku hanya menganggap Jason sebagai sahabat tapi aku merasa perlu memberi pelajaran pada gadis sombong yang terus mengejarku itu.

“Asal kamu tahu ya, Jason itu tergila-gila sama aku dan kami sudah pacaran.”

Aku berucap dengan asal hanya membuat gadis yang selalu memakai pakaian kurang bahan itu terhenyak kecewa.

Wajahnya sekarang mulai terlihat menyedihkan. Bahkan bibir tebalnya yang berisi filler itu tampak manyun. Alih-alih terlihat seksi di mataku malah tampak seperti bibir ikan.

“Itu tidak mungkin, mana mungkin Jason mau sama janda gatel kayak kamu.”

Aku mulai jengkel gadis tidak tahu malu itu menyebutku janda gatal berulangkali, nyaris setiap kali kami bertemu.

Tapi saat ini aku benar-benar malas menanggapi dirinya meski Vania kembali menyebutku sebagai janda gatal, benar-benar sebutan yang membuat telinga merah.

“Terserah kamu mau percaya atau tidak. Kalau mau tahu kebenarannya kenapa kamu tidak tanya saja sama Jason?”

Aku menentangnya dengan sengit setelah itu aku mempercepat langkahku, tak memberi kesempatan pada gadis berambut blonde itu untuk mengejarku.

Vania menjadi terlalu kesal hingga kembali menghentakkan kakinya di atas tanah sembari memendam kegeraman terhadapku.

Tapi aku benar-benar tak peduli, bahkan meski nantinya ia akan menanyakan kebenaran ucapanku pada Jason. Jika nantinya Jason kemudian bertanya tentang apa yang sudah ditanyakan Vania padanya, aku sudah memiliki jawaban, bahwa aku hanya menganggap Jason sebagai pacar pura-puraku.

***

Aku melihat ada yang aneh dengan tatapan Vania padaku ketika aku melihatnya keluar dengan terburu-buru dari area loker karyaawan. Gelagatnya sangat mencurigakan meski aku tak tahu apa yang sedang dilakukan gadis itu di tempat yang biasanya tidak pernah didatanginya ini.

Tapi ketika aku akan bertanya gadis itu segera berlalu pergi, tanpa memberiku kesempatan untuk melemparkan pertanyaan.

Pada akhirnya aku memilih untuk tak mempedulikannya karena aku harus segera bersiap untuk pulang. Hari sudah semakin sore dan aku ingin segera tiba di rumah untuk bertemu dengan Ghara dan Ghana yang pastinya sudah menungguku di depan rumah di saat seperti ini.

Bergegas aku mengambil semua barang-barangku dari dalam loker dan mulai berbalik untuk melangkah menuju arah pintu keluar.

Sesekali aku membalas sapaan teman-temanku yang semuanya adalah lelaki.

“Hey, aku cabut dulu ya teman-teman, anakku udah nunggu di rumah nih,” sapaku ketika berjalan berlalu dari area loker.

“Iya semut imut, nggak nyangka cewek manis kayak kamu ternyata udah punya anak.”

Salah seorang dari mereka memberikan sahutan. Teman-temanku memang sering memanggilku dengan sebutan semut imut karena kulitku yang berwarna eksotik ini.

Justru Jason yang lebih ekstrim dia memanggilku panci gosong. Sejak dulu anak itu memang sangat menjengkelkan.

Mereka memang hanya tahu kalau aku adalah seorang wanita yang memiliki anak kembar. Beberapa kali bahkan Ghana dan Ghara mendatangiku ke bengkel bersama bunda. Karena itu wajar jika semua orang kini menganggap aku adalah seorang janda. Bahkan aku juga enggan untuk menjelaskan apapun pada mereka soal diriku yang belum pernah menikah sama sekali dan benar-benar masih perawan.

Aku melangkah gontai keluar dari area bengkel tapi belum sampai berada di luar mendadak seorang sekuriti memanggilku dan wajahnya terpampang begitu serius.

“La, kamu dipanggil Mas Jason di kantornya.”

“Ada apa ya Pak?” tanyaku penasaran. Wajah pria paruh baya itu yang tegang membuat perasaanku mendadak tidak enak.

Nyatanya pria yang sudah akrab denganku itu mengedikkan bahu, tampak enggan untuk memberi penjelasan apapun.

“Kamu ke sana aja, di sana juga ada Ibu Anggun dan Nona Vania.”

Aku mengernyit bimbang, menjadi ragu untuk menuju ke sana.

“Kamu hati-hati ya,” ucap pria yang beraura kebapakan itu sembari menepuk pundakku pelan sebelum kemudian dia berlalu dari hadapanku tetap membiarkan aku bertanya-tanya.

Pada akhirnya aku memutar langkahku ke sana untuk memenuhi panggilan Jason yang tampak begitu resmi, sungguh bukan sesuatu yang biasa.

"Masuklah, La,” seru Jason ketika aku mengetuk pintu ruang kantornya.

Perlahan aku membuka pintu dan segera masuk ke dalam.

Di ruangan yang terkesan sangat maskulin dengan didominasi warna hitam putih benar-benar bernuansa otomotif di setiap sudutnya itu, aku mulai melangkah masuk, perlahan mengarahkan pandangan ke arah dua orang wanita yang selalu memakai outfit mewah yang bahkan kini menyergapku dengan tatapan nyalang.

“Ada apa Jas, kamu memanggilku?” tanyaku pelan, berusaha mengabaikan kedua orang manusia yang selalu saja berusaha untuk merendahkan manusia seperti diriku hanya karena aku tidak lagi tinggal di kawasan mewah dan kehilangan segala fasilitas.

Aku sudah dianggap tak sekelas dengan mereka. Padahal seingatku dulu, saat aku masih kecil Tante Anggun selalu memperlakukan aku dengan manis.

Hal ini mengajarkan sesuatu yang sangat berharga bagiku, bahwa kebanyakan manusia menghargai manusia lain karena harta yang mereka punya, bukan pada kualitas dan kapasitas manusia itu sendiri. Walau awalnya terasa sangat menyakitkan, sekarang hatiku menjadi kebas menghadapi pandangan minor orang pada keluargaku yang sekarang sudah jatuh miskin.

Ketika melihat keberadaanku, Jason segera mendekat dan selalu akan mengunggah sikap yang akrab.

“Bukan apa-apa, hanya saja ada sesuatu yang perlu untuk dijelaskan saja.”

Aku mengernyit tak paham, terlebih ketika melihat tatapan Vania yang terlalu tegas terlihat begitu menyudutkan.

“Sudah tidak usah bertele-tele, cepat berikan saja ponsel miliknya Vania yang sudah kamu curi.”

Tanpa pernah aku sangka aku mendengar tuduhan yang sangat menyakitkan itu dari seseorang dulu pernah memperlakukan aku dengan sangat istimewa.

Sontak aku menggeleng sembari membeliakkan mata nyaris tak percaya.

“Ponsel apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba aku dituduh mengambil ponsel?”

Aku mengunggah gurat kebingungan di hadapan mereka.

Jason terlihat tak percaya juga bahkan sahabatku itu menampakkan kegeraman di hadapan mamanya sendiri.

“Ma, please calm down, jangan menuduh tanpa bukti.”

Aku tanpa sadar mengangguk membenarkan ucapan Jason.

Jason sendiri mulai menyergapku dengan tatapan simpati.

“Jadi kamu mau bukti, kenapa kamu tidak geledah saja tas ransel yang dibawanya itu?” celetuk Vania begitu sarkas tampak sangat percaya diri.

Hatiku semakin tidak enak, bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Jason sontak menyergap Vania dengan tatapan nyalang.

“Kamu jangan keterlaluan Va,” sergah Jason yang tampak tidak rela jika aku terus disudutkan.

“Lagipula bisa saja kamu lupa menaruh ponsel kamu sendiri.”

“Tidak, aku tidak lupa terakhir aku membawanya sampai ke dalam toilet dan siang tadi aku bersama Mala.”

Aku berdecih kesal di depannya. Tuduhannya benar-benar sangat menjengkelkan.

“Iya kamu sendiri yang menyusulku ke toilet, katanya kamu pengen ngomong sama aku, dan topiknya selalu saja sama, bahwa kamu mengatakan kalau kamu itu calon tunangannya Jason jadi aku harus menjauhi Jason, gitu kan yang selalu kamu bilang?”

Aku mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya.

Vania menampakkan kekesalannya.

“Udah, udah, sekarang cepetan geledah aja tasnya Mala. Kita lihat saja apa yang sedang dia sembunyikan di sana.” Vania kian mencecar dengan sengit.

Aku semakin meradang jengkel. Segera aku melepaskan tas yang aku sandang dan melemparkannya di hadapan gadis sombong yang selalu membuatku geram.

“Baik, siapa takut periksa saja tasku itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status