Share

Perawan Untuk Om Duda
Perawan Untuk Om Duda
Author: Daisyster

Perawan Serampangan

“Astatang, mau sampai kapan mata gue dilimpahi dosa? Mana suara lo panas banget lagi,” kritik Diska, lelah dengan desisan kasar dari mulut Selma.

“Kicep, lo! Kalau bukan karena lo yang kasih info, udah gue mutilasi dari tadi!” desis Selma, kemudian membenahi posisi ponsel yang terselip di antara ronce kerang.

Lepas memastikan belah bibir Diska merapat, Selma kembali memfokuskan bidik kamera ke arah dua sejoli yang dengan tidak tahu malu tengah bercumbu di sudut kafe. Lebih memalukan lagi, pemeran pria dalam video panas itu adalah manusia yang selama dua tahun ini lancang melabeli diri sebagai kekasih Selma.

Posisi panas itu mungkin memang tidak terlalu tersorot karena terhalang penyekat ruangan. Tidak jelas, bukan berarti tidak terlihat. Untungnya Diska cukup andal dalam memilih markas, sehingga sekat beraksen kerang itu justru menjadi profit tersendiri bagi Selma. Dari sekian banyak sumpah serapah dan absen kebun binatang, hanya posisi itulah yang sepertinya akan mendapat pujian Selma.

Diska mencolek bahu Selma. “Kenapa nggak dilabrak aja, sih? Lo cuma menodai mata gue tahu, nggak! Pakai acara direkam segala, kaya situ ada pasangan buat begituan aja,” komentarnya, dengan suara berbisik.

“Sembarangan banget kalau nyablak. Kalau ada pun, gue ogah kali diajak begituan. Apalagi mojok gratisan, kaum nggak kuat nyewa hotel,” ejek Selma, kemudian menyimpan ponsel ke dalam saku celana. “Lagian, lo yang kasih tahu gue, jadi lo harus siap dengan rencana penyergapan kaya gini.”

“Iya, Sel, tapi masalahnya gue gatal sendiri lihat mereka. Bikin pengen ‘anu’ aja.” Diska mengelus dada. Jomblo berkuncir kuda itu berulang kali tarik-ulur akses oksigen ke dalam paru-parunya.

“Anu apaan? Yang begituan lo pengenin?”

“Bodo, lah! Hayati sudah lelah.” Diska menenggelamkan kepala ke lipatan lengan.

Memang benar, Selma pikir Diska harus mempertanggungjawabkan laporannya sampai akhir. Semula ia hanya merebah santai ditemani drama kesukaan di dalam kamar. Pikiran Selma masih aman diombang-ambing oleh teori kasus pelik di layar laptop, tapi tidak lagi sampai sahabatnya itu mengirim sebuah foto pemicu hipertensi lewat pesan singkat.

Selma meremas buku menu di tangannya. “Emang nggak ada otak. Mentang-mentang kafe lagi sepi, seenaknya mojok. Apa dikira pegawai sama segelintir pelanggan ini buta!” cercanya.

“Udah. Daripada mikir pegawai sama pelanggan,” Diska mengelus bahu Selma “mending pikirin diri lo sendiri. Sekarang gimana, apa mau nunggu sampai mereka buka baju?” tanya gadis itu, separuh sarkas.

Suara Selma hening, namun saraf kepala tengah ramai mengendalikan emosi. Suatu kebohongan besar jika gadis dua puluh satu tahun itu tidak merasa sakit. Hanya bermodalkan percaya, pria yang tidak berani berbuat lebih dari menenteng tangannya ternyata telah mencari kepuasan bersama wanita lain.

Dendang musik beraliran pop dance yang tersiar melalui pengeras suara menyadarkan Selma. Hanya layar televisi padam, namun benda menggantung di tengah atap itu sedikit mencuri atensinya. Tidak bisa terus seperti ini, menjadi lemah dan penuh ratap tidak akan menyelesaikan penderitaan. Hari ini juga, Selma bertekad memperjelas kekuatan yang sebenarnya.

“Mengkhianati Selmara Vallence tidak akan semudah itu,” ucap Selma seraya memasang smirk andalan. “Gue bakal bikin mereka malu, bahkan lebih malu dari sekadar nggak pakai baju,” tambahnya, penuh amarah.

Jangan pernah melupakan satu fakta penting. Seorang Selma adalah pribadi yang tidak pernah gagal mempermalukan orang lain, terlebih lagi orang yang dianggap telah merugikannya. Pernah sewaktu masih putih abu-abu, Selma menyiramkan urine bekas tes kehamilan pada seorang siswi yang menuduhnya positif tanpa bukti.

Tes yang rutin dilakukan oleh pihak sekolah itu otomatis ramai dengan tajuk ‘menyebar kabar miring, tubuh bau pesing’. Memang kurang ajar, tapi itulah Selma. Meski berakhir dihukum, gadis itu tetap bangga karena berhasil menyelamatkan nama baik dengan hasil satu garis merah sepanjang tiga tahun bersekolah.

“Eh, Selmacan! Mau ke mana, woi!” Tangan Diska mengambang di udara, lantas segera menyusul langkah Selma tanpa ribut mengundang perhatian sejoli yang menjadi objek pengintaian mereka.

Mungkin saking seriusnya bermesra, sampai-sampai langkah murka Selma tidak berhasil menggugah kesadaran mereka. Hanya satu tempat yang menjadi fokus gadis ternistakan itu, meja kasir.

“Halo, Kak, ada yang bisa kami bantu?” sapa pelayan wanita sambil tersenyum ramah.

“Saya boleh sewa audio sama televisi di sini sebentar, nggak?” Tanpa banyak pembuka, Selma mengutarakan niatnya.

Diska menampar bahu Selma. “Jangan mengadi, deh! Mau apa sama televisi?” tanyanya, setengah memperingatkan lewat tatapan tajamnya.

Selma menghela napas, menatap Diska sekilas sebelum berakhir mengabaikan sahabatnya itu. “Boleh, Mbak? Saya mau numpang promosi ini.” Gadis itu menyodorkan ponsel, di mana layarnya menampilkan thumbnail adegan panas di sudut kafe.

Pegawai yang bertugas menunggui meja kasir itu terbelalak sembari menutupi separuh mulutnya, lalu mengatakan,”Maaf, Mbak, bukankah ini terlalu … tidak pantas?”

“Lo beneran udah gila, Sel! Nggak gini juga caranya,” peringat Diska, volume suaranya membisik di telinga Selma.

“Gue emang udah gila dari dulu, dan lo yang paling tahu soal itu,” balas Selma dengan yakin.

Dari dulu sampai sekarang, segala kelakar Selma kerap kali mendapat penahanan dan wejangan dari Diska. Namun, Selma tetaplah Selma. Nasehat Diska yang sudah seperti nenek tua pun akan lewat begitu saja. Memang Diska akui bahwa sahabat satu itu sangat menjunjung tinggi namanya kesucian dan kehormatan wanita, bahkan mungkin cocok jika dijuluki titisan Raden Ajeng Kartini. Kendati demikian, polah Selma yang lebih mirip Harley Quinn kerap membuat kesan negatif pada diri gadis itu.

Pegawai kafe tampak kebingungan didesak Selma. “Aduh, maaf, Mbak. Masalahnya adalah–“

“Ada apa ini?” Pria berkemeja rapi yang diduga kuat adalah atasan pegawai tersebut pun muncul, mengambil alih posisi pegawainya untuk menghadapi Selma. “Maafkan atas ketidaknyamanan kafe kami, apa ada masalah, Mbak?” tanyanya.

Selma mengangguk kuat. “Tentu saja ada. Saya pikir tindakan mesum tidak dibenarkan di tempat umum mana pun, terlebih lagi jika itu terjadi di kafe ini. Apa Bapak setuju?” timpalnya.

“Ya, Anda benar sekali. Tapi, siapa yang ber–”

Prak!

Diska dan dua manusia lain yang tengah berinteraksi dengan Selma sedikit terjingkat oleh gebrakan tangan gadis itu. Selma kemudian berkata, “Maka dari itu, saya berniat membantu Bapak dalam mempertahankan nama baik kafe dari pasangan tak bertanggung jawab seperti ini.” Selma memperlihatkan layar ponselnya, dibantu Diska yang dengan sukarela menunjuk lokasi konkret dari meja kekasih, emm calon mantan kekasih Selma.

“Astaga, benar-benar tidak tahu malu! Biar saya urus mereka dengan benar!” Pria itu menyingsingkan lengan kemeja, bersiap melabrak.

“Eits, tunggu sebentar, Pak. Daripada membuang tenaga, saya akan dengan senang hati membantu pekerjaan Bapak selesai dengan lebih berkelas. Tidak susah, hanya izinkan saya meminjam audio dan televisi di kafe ini,” ujar Selma, mengajukan penawaran. Diska hanya menanggapi niat gadis itu dengan helaan napas pasrah.

“Tapi, Mbak ….”

“Berapa?” todong Selma, membuat pria di hadapannya terjingkat kebingungan. “Apa dengan membayar bill seluruh pengunjung sudah cukup?” imbuhnya.

“Iyain aja, deh, Pak. Daripada teman saya ini makin menggila,” bujuk Diska, sudah lelah dengan segala kebobrokan Selma.

Pria itu menggaruk kepala. “Eum, tapi saya tidak–“

“Dua kali lipat. Atur semuanya, dan saya bayar tagihan seluruh pengunjung sebanyak dua kali lipat.” Sebuah kartu kredit tersodor di atas meja. Mata Selma menyorot tegas, sama sekali tidak menampakkan keraguan terhadap pundi rupiah yang akan dilayangkan dompetnya.

“Deal!” Pria berkemeja biru navy itu menyodorkan telapak tangan dengan penuh semangat.

Rekaman video sudah berada di posisi, begitu pula dengan Selma yang siap dengan segala rencana eksekusi. Jangan tanya di mana dan sedang apa Diska, karena sahabat baik satu itu hanya anteng seraya mengabadikan susasana kafe lewat kamera ponselnya. Pemeriksaan terakhir, manajer kafe mengacungkan ibu jari di sela giginya yang tersenyum semangat. Selesai, dan klik!

“Selamat siang, semuanya! Mohon maaf mengganggu waktunya.” Suara Selma menggema di seantero kafe, seluruh pengunjung termasuk dua pelaku yang akan dibidik telah tercuri ruang dengarnya.

Prang!

“Selma ….” Pemeran pria yang tengah menyuapi wanitanya cepat sekali tersadar, sendoknya saja sampai tercerai di atas lantai.

“Mungkin yang saya sampaikan ini sedikit tidak nyaman untuk didengarkan, dan saya akan meminta maaf untuk hal itu. Sebagai gantinya, saya akan mengambil alih seluruh tagihan pengunjung sekalian tanpa terkecuali. Tidak perlu berterima kasih, karena saya tidak membutuhkannya.”

Suara yang tak memperlihatkan sosoknya itu sukses besar mengundang sorak bahagia dari pengunjung yang terhitung kurang dari dua puluh orang itu. Tak ingin berlama, otak kejahatan utama memulai lagi orasinya.

“Hadirin sekalian, hari ini adalah momen yang berkesan untuk kekasih saya. Oleh karena itu, sedikit persembahan ini semoga dapat mengesankan Anda juga. Dari Princess Vall teruntuk Marviko Savalas, semoga bahagia bersama kekasih barumu.” Riuh kebingungan dari pengunjung menjeda suara Selma sejenak. Gadis itu kemudian menyambung, “Ah, iya! Bijaklah dalam memilih tontonan, hiburan ini mengandung konten dewasa. Terima kasih.”

Tidak perlu banyak acara, video tidak senonoh yang telah diburamkan wajah pelakunya itu menghiasi layar televisi 50 inch milik kafe. Masih baik Selma tidak mempertontonkan wajah Viko dengan gamblang. Sebagai gantinya, pria itu dan kekasihnya diseret manajer kafe keluar paksa di sela mulut pengunjung yang sibuk melayangkan hujatan.

Entah hujatan itu ditujukan pada Viko atau siapa, yang jelas sekarang gadis bermarga Vallence itu sudah melengang santai diiringi tatapan abstrak dari para pengunjung. Senyum puas tercetak jelas di bibir coral pink milik Selma, bahkan setelah bertatap muka dengan Viko di luar kafe pun kebahagiaan itu tidak meluntur.

“Selma, lo benar-benar, ya!” Viko merah padam, menatap Selma berapi-api.

“Bukankah sepuluh juta terlalu mahal untuk kebobrokan semacam ini?” Diska menatap jijik pada Viko.

Selma bergaya dengan kacamata big frame coklat miliknya. “Bukankah kita harus membayar mahal untuk sesuatu yang menghibur?” Gadis itu memajang senyum miring penuh kejahatan.

“Ah, tidakkah hiburan hari ini terlalu murahan untuk sekelas kita?” timpal Diska. Gadis ini memang partner terbaik Selma dalam menghujat orang lain.

“Jangan berkata seperti itu, Nona,” Selma melepas kacamatanya, “setidaknya harga yang kubayar jauh lebih mahal daripada harga diri mereka.” Gadis itu berancang-ancang pergi, lugas menertawai Viko yang ditinggalkan wanitanya begitu saja.

“Marina, tunggu!” Viko hendak meninggalkan Selma, namun urung dan malah berbalik lagi.

“Oh, namanya Marina. Pantas aja lenjeh, kaya lotion,” decak Selma.

“Sel, awas!”

Wet, brug!

Teriak peringatan dari Diska sepertinya terlampau lambat. Selma yang tidak siap apa-apa hanya bisa diam tertahan. Oh, ayolah! Sangat tidak menyenangkan sekali jika babak kedua di mulai dalam waktu sedekat ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status