Share

Salah Tangkap Tangan

“Fitting baju pengantin jam berapa?”

“Dua jam lagi, Tuan.”

Pria yang sibuk dengan berkas di tangan itu tidak juga mengalihkan matanya pada sang sekretaris. Dua jam, itu artinya masih ada kesempatan untuk mempelajari beberapa berkas lagi sebelum tanda tangannya dibubuhkan di atas kertas.

Heran melihat sekretarisnya yang tidak kunjung beranjak, pria itu akhirnya bertanya, “Apa masih ada yang ingin kamu sampaikan?”

“Maaf, Tuan Panji,” sekretaris pria itu menyodorkan sebuah amplop cokelat, “ini ada titipan dari Tuan Wira. Beliau bilang, itu adalah foto calon istri Anda,” ujarnya.

Panji menutup dokumen di tangannya. “Singkirkan saja, aku tidak peduli dengan visualnya. Tidak ada yang bisa kupastikan lewat kertas bergambar itu. Lagi pula, sebentar lagi kita akan bertemu,” katanya.

“Tapi, Tuan–“

“Apa kamu tidak ada kesibukan selain mengurus yang bukan urusanmu?” terjang Panji.

Sekretaris yang diketahui bernama Dafa itu pun mengangguk. “Baik, Tuan, maafkan saya. Mari, saya permisi dulu,” pamitnya, kemudian meninggalkan ruangan.

Lepas memastikan Dafa menghilang, Panji mengeluarkan semua beban di mukanya. Entah apa ini benar atau salah, pria itu hanya menuruti ucapan Wira selayaknya anak yang berbakti. Ia mengaku sudah menyerah dan bahkan tidak ingin mengenal nama cinta lagi. Hanya demi kekuatan bisnis, Panji berharap pilihannya benar-benar membuat perusahaan yang ia pegang ini menjadi raksasa setelah menggandeng keluarga paling berpengaruh di seantero negeri, keluarga Vallence.

***

“Selma, please! Maafin gue, ini nggak kaya yang lo pikirin.”

Muak. Sudah lebih dari sepuluh kali Selma mendengar suara yang sama dari Viko. Ingin rasanya gadis itu menendang, menginjak, dan mengakhirkan pria yang menggelayuti kakinya itu sampai berbentuk lebih buruk dari bola kempes.

“Wah, benar-benar! See, Mr. Savalas, now you’re a looser. Setelah menodai mata gue, seenaknya lo minta maaf? Astaga, bahkan gue kasihan sama Marina lo tadi, dibiarin pergi gitu aja setelah diajak apa-apa.” Selma melambai Diska, lalu memerintah, “Fotoin, dong! Jarang-jarang lihat manusia high class kaya dia ngesot lebih rendah dari keset.”

Diska hanya membalas dengan acungan jempol, kemudian menyiapkan kembali kamera ponselnya. “Bagusnya diambil dari angel mana, nih?” tanya gadis lulusan sarjana seni media rekam itu sambil bergaya ala-ala profesional.

“Ambil dari angel mana pun, asal bau kejahatan gue kental dan pengkhianat ini kelihatan biadab,” balas Selma, diakhiri dengan lirikan sengit ke arah Viko.

Emosi karena terus dihina oleh Selma, Viko akhirnya bangkit. “Puas lo udah rendahin gue, bikin gue jadi malu? Nggak punya malu, sampai harus malu-maluin orang lain?” Warna asli pria itu akhirnya keluar juga.

Selma menyibak poni yang menjulur di pinggiran dahinya. “Wait a moment. Jadi, di sini yang bikin malu siapa? Sorry, kita itu beda level. Kalau lo malu, harusnya tahu diri buat buang muka di depan gue yang ahlinya bikin malu ini,” jawabnya. Gadis itu kemudian menuding bahu Viko, sambil berbisik, “Gue kira orang kaya lo itu cuma punya kemaluan, tapi nggak tahu malu.”

Bats!

Viko menghempas telunjuk Selma yang menghujam di pundaknya. “Harusnya lo tahu kenapa gue kaya gini. Itu semua karena lo nggak bisa kasih apa yang gue butuh. Percuma cantik, kalau nggak tahu caranya main cantik,” pria itu mendekat ke telinga Selma, “dasar sok suci!”

“Heh, gue emang masih suci, ya!” Bola mata Selma menegang, emosinya berhasil terpancing.

Diska buru-buru menarik lengan Selma, sambil mengucapkan, “Udah, Sel. Nggak enak dilihat sama aspal, mana lagi rame lagi.”

Memang benar, mereka masih mengambil trotoar sebagai latar tempat perdebatan. Hanya saja, Selma tidak peduli dengan hujatan orang lain, apalagi soal aspal. Jauh di dalam hati, Selma bersyukur karena ditunjukkan kebobrokan Viko dari sekarang. Ya, meski hatinya sudah terjatuh terlalu dalam dan sakitnya juga terlampau lebam.

“Serius, masih suci?” Viko mencolek pipi Selma, namun berhasil ditepis, “Coba kasih buktinya,” tantang pria itu.

Duagh!

Puas melihat Viko meringis, Selma kemudian mengatakan, “Itu belum cukup buat bayar otak kurang ajar lo! Emang nggak ada yang bisa nutup mulut pengkhianat, selain bogem cantik dari Princess Vall!”

Langkah Selma terasa ringan, bangga hati dapat menyaksikan Viko meringkuk kesakitan. Sejujurnya masih banyak bogem dan tendangan yang ingin dilayangkan, tapi lebih baik disimpan untuk nanti jika sewaktu-waktu bertemu pria semacam itu lagi.

Setelah sekian meter menempuh perjalanan dalam hening, Diska memilih angkat bicara. “Sel, are you okay?” tanya gadis itu. Penelitian terhadap wajah Selma memang baik-baik saja, tapi wanita mana yang tidak terluka setelah menerima pengkhianatan?

“Sebenarnya pertanyaan lo itu terlalu receh, nggak, sih?”

“Oke, oke, sekarang lo mau ke mana? Habis ini gue ada proyek foto prewedding, lo nggak apa-apa ditinggal sendiri?” Dalam hati Diska mengkhawatirkan Selma yang bisa saja menggila tanpa pengawawsan profesional.

“Ya udah, pergi aja! Gue mau ketemu Sana,” jawab Selma. “Lo nggak usah khawatir, gue juga masih punya kesibukan yang lebih penting dari mikirin cowok anjlok moral kaya Viko,” tambahnya, seolah dapat membaca kekhawatiran di mata Diska.

“Syukurlah. Mending sering-sering jengukin florist. Entar nyesel kalau itu toko sukses tanpa pengawasan dari lo,” saran Diska.

Selma nyengir singkat, lalu mengatakan, “Punya karyawan buat apa? Lagian, tanggungan materi kelas bahasa gue masih numpuk.”

Memiliki toko bunga hanyalah perwujudan dari kesukaan Selma terhadap warna-warni tanaman. Baru lulus dari jurusan sastra Indonesia beberapa bulan silam, gadis itu disibukkan dengan menjadi pemateri seminar dan pengajar kursus bahasa Indonesia. Jurusan sehalus sastra Indonesia sangat tidak sinkron dengan kelakuannya yang berjiwa kritikus muda banyak musuhnya.

“Duluan, ya, Sel!”

Selma mengangguk. “Hati-hati,” pesannya, lalu mengiring kepergian Diska yang sudah menjauh digotong taksi.

Memang benar jika semua prahara langsung membayang saat posisi sedang sendiri. Sepanjang jalan hanyalah dipenuhi oleh amuk batin Selma. Gadis itu semakin mempercepat langkah, tidak ingin buku-buku jarinya lepas kendali dan berakhir menonjok kepala sembarang orang.

Di sinilah Selma berada, di kompleks hunian keluarga Vallence. Lahan dengan fasilitas lengkap nan berkelas itu telah menjadi bukti kejayaan usaha yang dirintis induk keluarga, Kakek Sagara Vallence. Mulai dari fasilitas olahraga, halaman hijau menyejukkan mata, bioskop pribadi, serta banyak lagi faslitas di samping dua rumah pewaris dan satu rumah utama.

Rumah utama tentu dihuni oleh kakek Selma, Sagara Vallence beserta istrinya. Rumah pewaris salah satunya adalah milik Selma dan ayah ibunya, sedangkan lainnya adalah milik anak pertama Sagara beserta istri dan dua anaknya.

“Dari mana, kamu?” tanya Damar–sepupu tertua–sambil bergantian menatap layar laptop dan Selma. “Tahu-tahu nongol di sini, tadi dicari Tante Lea, ‘tu!” tunjuknya.

“Bodo amat, lah! Kak Damar, Sana di mana?” Selma langsung menduduki kursi di teras, mengabaikan pertanyaan Damar.

“Kayanya tadi ada di dalam, mau dipanggilin?” tawar Damar.

“Ya iya, lah! Masa Kak Damar tega nyuruh aku cari sendiri,” jawab Selma dengan kurang ajarnya.

Damar menggeleng, lalu meletakkan laptopnya di atas meja. “Emang salah aku nawarin bantuan ke kamu, untung adik,” ucap pria itu, sebelum akhirnya memasuki rumah menggelegarkan nama adik kandungnya.

Memang inilah yang menjadi sorotan utama dari publik, khususnya di kalangan para pengusaha. Kerukunan dan kekompakan keluarga Vallence terkenal sangat loyal. Dua putra Sagara Vallence, Sastama–ayah Damar dan Sana, dan Sasmara–ayah Selma, tidak pernah terlibat drama payah sejenis perebutan harta warisan atau semacamnya. Hal itu tidak luput dari didikan ketat dari Kakek Sagara dan Nenek Sasti yang tegas, namun adil bijaksana.

Kepribadian dan keluhuran seorang anak memang dipengaruhi besar oleh suasana keluarga. Namun, entahlah. Sepertinya tingkah slengean yang mendarah di pembuluh Selma perlu dipertanyakan asal usulnya. Menurut Selma, dirinya itu fleksibel. Hidup sebagai preman tetap menawan, hidup sebagai bangsawan juga tidak memalukan.

Sebuah Ferrari hitam terparkir di depan kediaman Sastama, membuncahkan kembali energi Selma yang baru saja hening secara tidak sengaja. Apalagi sosok yang keluar dari kendaraan itu, sukses besar membuat mata Selma memicing keheranan. Kalau diperkirakan, mungkin pria anonim itu sedikit lebih tua dari Damar.

“Cari siapa, ya, Om?” sambut Selma, asal melabeli pria berjas abu-abu itu dengan sebutan ‘Om’.

“Om? Saya pikir kamu tidak semuda itu untuk menyebut demikian,” balas pria yang tak lain adalah Panji.

Selma memalingkan muka. “Ini gue yang kelihatan tua, apa ini orang yang menolak tua?” desisnya.

“Tidak perlu banyak bicara,” Panji langsung menggenggam tangan Selma, “saya tidak punya banyak waktu,” sambungnya, lantas menenteng gadis kebingungan itu menuju mobil.

“Eh, Om, ini maksudnya apa? Main seret aja. Om penculik, ya?” Selma memberontak dalam genggaman Panji, namun pria itu terlalu kuat untuk dilawan.

Blam!

Pintu mobil sudah dirapatkan sempurna beserta Selma dan Panji yang tanpa basa-basi melajukan mobilnya begitu saja. Jangan ditanya betapa hebohnya isi Ferrari hitam itu, Panji saja sampai menyumpal earbuds ke telinga demi menghindari tunarungu di usia belia. Pria itu tidak akan menyangka bahwa pilihan ayahnya sehebat radio yang meledak tombol volumenya.

Kembali lagi di kediaman Sastama, Damar dan Sana kelimpungan mencari keberadaan Selma. Tidak biasanya anak bontot itu kabur tanpa pesan seperti ini, apalagi batal menemui Sana yang notabene sangat sukar dipisahkan darinya.

“Kak Damar bohong, ya?” tuduh Sana. “Udah tahu lagi dandan, ganggu aja,” tambahnya.

“Sumpah, tadi Selma ada di sini. Masa iya udah pulang?” sahut damar.

“Apa malah diculik?”

Damar menunjuk laptopnya. “Kalau aku jadi penculik, mendingan bawa laptop ini daripada angkut si Selma,” tedas pria itu.

Sana mengendikkan bahu. “Paling dia lapar, makanya pulang dulu,” simpulnya.

“Omong-omong, ini calon kamu mana? Katanya fitting baju jam tiga, kok jam segini belum datang,” ujar Damar.

Sana mengendikkan bahu lagi, lalu menjawab, “Nggak tahu, masih dalam perjalanan kali.”

Tanpa mereka ketahui, dua orang yang sedang dibicarakan kini tengah beradu argumen konyol di dalam mobil. Entah siapa yang harus disalahkan, yang jelas Panji berperan besar dalam kekisruhan ini.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Upen Supenti
ngakakkkkkk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status